Share

Bab Empat

Prita merasa kepalanya sangat sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Semakin keras dia berusaha melawan bisikan bisikan di telinga dengan membaca shalawat di dalam hati, semakin kuat pula tusukan itu menghujam kepalanya. Prita memijit pelipisnya berusaha mengurangi rasa sakit, keringat dingin mengucur deras diiringi wajahnya yang kian memucat. 

Kesadaran Prita semakin memudar, ingin dia menjelaskan apa yang sedang dirasakannya pada Tante Amanda tapi matanya seakan tak mampu lagi terbuka. 

"Gimana ini Tante? Apa gara-gara rencana Tante itu jadi bikin kondisi Prita begini?" bisik Johan pelan ditelinga Tante Amanda.

"Nggak mungkin, Tante yakin bukan karena itu!" Ada sedikit keraguan di hati Tante Amanda, tapi dia menepis semua itu karena sangat yakin yang dicampurkannya tadi hanya air putih berapal mantra sang dukun sakti. Apalagi air kemasan itu dia sendiri yang membeli dan melihat langsung apa yang dilakukan dukun pada air itu.

"Trus, kenapa bisa begini, Tante? Tante yakin, kan, kalau air itu nggak berbahaya?" Johan merasa was was, dia nggak mau gagal memiliki Prita.

"Tenang saja, Tante yakin bukan karena itu! Ini juga, kenapa Prita nggak sadar dari pingsannya, sih!" keluh Tante Amanda mulai resah dan gelisah.

"Akh, mana Tante tahu kalau bakalan jadi begini. Bikin susah orang saja Prita ini, pakai acara pingsan segala!" rutuk Tante Amanda kesal dengan rencananya yang berantakan. Bukannya menolong Prita terlebih dahulu, Tante Amanda malah sibuk berdebat dengan Johan.

"Anggita! Anggita!" teriak Tante Amanda dengan suaranya yang cempreng.

Dari arah dalam rumah, Anggita tergopoh-gopoh sambil menggendong Aldi berjalan ke ruang tamu. Dia baru saja selesai memandikan dan memakaikan pakaian Aldi saat mendengar suara teriakan Tante Amanda.

Diruang tamu, Anggita tak menyangka melihat Prita tak sadarkan diri didalam pelukan Tante Amanda. Anggita spontan menurunkan Aldi dari gendongannya sebelum mendekati Prita.

"Aldi main dulu ke kamar, ya, nak. Mama mau bantuin Nenek dulu," pinta Anggita pada Aldi seraya mengelus pucuk rambutnya.

"Iya, Ma!" sahut Aldi yang langsung masuk kamar sambil berlari kecil dengan riang. 

"Ibu kenapa, Nek? Padahal tadi sebelum pergi, Ibu kelihatan segar bugar seperti biasa tapi sekarang pucat pasi begini?" tanya Anggita sangat khawatir, namun Tante Amanda hanya diam tak menghiraukannya sama sekali. 

Beberapa menit berlalu, Tante Amanda berulang kali mencoba menepuk pelan pipi Prita yang berada dalam pelukannya berharap sang keponakan bisa tersadar.  Anggita mengamati apa yang dilakukan Tante Amanda, perlahan dia mengusap kepala Ibunya sambil mengucap istighfar dan shalawat berulang-ulang.

"Cepat, ambilkan minyak kayu putih!" titah Tante Amanda pada Anggita begitu menyadari tak ada respon sedikitpun dari Prita.

Anggita bergegas masuk ke kamarnya mengambil minyak kayu putih kemudian memberikannya pada Tante Amanda. Dengan bantuan Anggita, Tante Amanda membalur beberapa anggota tubuh Prita. Terakhir menciumkan aroma minyak kayu putih itu di bagian hidung Prita, keduanya sangat cemas berharap Prita segera sadar.

Anggita meminta Tante Amanda untuk membaringkan Prita disofa panjang, dia memangku bagian kepala ibunya. Perlahan dia memijit-mijit kepala Prita, shalawat terus dilantunkan Anggita yang sesekali memperbaiki hijab yang dipakai Prita.

Ada sedikit rasa bersalah dalam hati Anggita, harusnya dia bergegas memandikan Aldi saat dia mendengar perdebatan sengit antara Prita dan Tante Amanda. Semula dia berpikir, Tante Amanda sudah pergi karena tiba-tiba saja keadaan menjadi hening beberapa menit.

"Kalau beberapa menit lagi Ibu nggak sadar juga, tolong bantu Anggita bawa Ibu ke Klinik, ya, Nek!" pinta Anggita dengan sorotan tajam ke Tante Amanda dan Johan.

"Ish, apa sih kamu ini! Tuh mata, nggak perlu melotot ke arah Nenek begitu! Kamu nuduh Nenek yang bikin Ibu kamu jadi pingsan? Kamunya aja kali, kurang perhatian sama Ibu sendiri! Ibumu sakit aja, kamu nggak tahu!" fitnah Tante Amanda tak terima dengan tatapan tajam Anggita.

"Siapa bilang Ibu sakit! Tadi sebelum ketemu Nenek, Ibu baik-baik saja! Memangnya tau darimana Nenek kalau Anggita tak perhatian sama Ibu, baru juga dua kali datang ke rumah ini sudah sok menilai sikap orang lain!" tegas Anggita penuh emosi.

"Masih muda, kok, ya, emosian! Persis kayak Ibumu, ngeyel dan nggak sopan sama orang tua! Lah, itu buktinya kamu nggak tau kalau Ibumu sakit. Mana mungkin tiba-tiba pingsan, Nenek aja nggak apa-apain Ibumu!" nyinyir Tante Amanda.

"Gimana Anggita nggak emosi, sejak kecil setiap kali anggota keluarga Kakek Yoga Prawiro Hartadi datang kesini selalu saja memberi Ibu masalah. Kenapa kalian nggak membiarkan Ibu hidup bahagia tanpa gangguan dari kalian lagi!" cecar Anggita dengan mata berkaca-kaca.

"Sekarang, Nenek Amanda datang tiba-tiba kesini trus Ibu malah pingsan! Gimana Anggita nggak curiga! Sebenarnya apa yang sudah kalian lakukan sama Ibuku!" hardik Anggita sangat kesal.

"Ish... ish! Benar-benar kloningannya Prita ini! Begini, nih, kalau menikah dan hidup dengan orang tak berpendidikan tinggi. Anaknya jadi ikut-ikutan semprul pikirannya! Tuh mulut main tuduh sembarangan pula, apes bener nasibmu Prita!" 

"Maksud Nenek apa bilang kayak gitu, hah!" tantang Anggita yang level kesabarannya sudah setipis selembar tisu sekarang.

"Nggak ada maksud apa-apa! Cuma ngomong kenyataan aja! Lama-lama ngeladenin omonganmu, Nenek pula nanti yang semaput disini! Gimana, jadi mau dibawa ke Klinik nggak, nih, Ibumu?" Tante Amanda mencoba mengalihkan perhatian Anggita.

"Ya, jadilah. Nenek sama teman Nenek ini harus tanggung jawab karena sudah bikin Ibuku pingsan!" 

"Ayo, Johan. Bawa Prita kemobilmu!" perintah Tante Amanda pada Johan.

Johan yang sedari tadi salah tingkah  dan hanya diam dengan perdebatan Anggita dan Tante Amanda, langsung semangat begitu diminta menggendong tubuh Prita ke mobilnya.

"Stop! Dia bukan muhrim Ibuku! Tolong Ambilkan saja kursi roda yang ada di kamar belakang," pinta Anggita pada Johan.

Johan melirik kearah Tante Amanda meminta persetujuan, begitu mendapat anggukan kepala dengan sangat terpaksa Johan mengambil kursi roda ke kamar belakang. Gagal sudah kesempatannya menyentuh tubuh Prita yang amat sangat diidamkannya.

Anggita mengambil ponsel Prita, dia mengirim pesan pada April tetangga sebelah rumah yang biasa membantu menjagakan Aldi kalau dia sedang kerepotan di warung. 

Bersamaan dengan datangnya April, Johan tampak susah payah mendorong kursi roda ke ruang tamu.

"April, tolong jagain Aldi, ya! Kakak mau bawa Ibu ke klinik, Aldi sekarang ada dikamar. Kalau kalian lapar dan haus, ada susu dan cemilan di dalam kulkas." 

"Iya, Kak Anggita. Mau April bantu memapah Ibu ke kursi roda?" tanya April menawarkan bantuannya.

"Iya, tolong bantu Kakak. Itu, buka dulu pengunci rodanya. Pantesan lama ngambilnya, kirain tersesat kemana didalam rumah!" sinis Anggita pada Johan.

Johan merasa serba salah, dengan langkah gontai dia menuju mobil. Menyalakan mesin dan membuka pintu bagian tengah, setelahnya dia duduk manis di belakang kemudi.

'Tak semudah itu rupanya mendekati Prita, tapi aku tak akan menyerah! Prita harus menjadi milikku bagaimanapun caranya,' monolog Johan sembari mendengarkan musik.

Dalam waktu singkat, April dan Anggita bersama-sama menaruh Prita keatas kursi roda. Setelahnya April mendorong, sedangkan Anggita sambil berjalan memegangi bagian atas tubuh Prita agar tak terjatuh.

"Dasar ngeyelan! Kalau digendong Johan tadi, kan, sudah berangkat ke klinik dari tadi!" oceh Tante Amanda yang menjatuhkan bobotnya di jok depan sebelah Johan.

Anggita mengabaikan perkataan Tante Amanda, dia fokus dengan Prita yang kini sudah berhasil masuk kedalam mobil dengan bantuan April.

"Cepat, berangkat Nek!" ucap Anggita begitu April menutup pintu mobil.

"Iya, iya! Ini mau berangkat! Kamu aja yang kelamaan! Keadaan darurat begini, kok, ya masih permasalahkan muhrim!"

"Cukup, Nek! Katanya takut semaput meladeni omongan Anggita. Tapi nggak apa-apa sih, biar adil bukan Ibu saja yang pingsan!" sahut Anggita sambil menahan tawa.

"Hush, kualat kamu doakan yang nggak baik! Amit-amit punya cucu kayak kamu!" Tante Amanda komat kamit tak jelas, sebelah tangannya mengurut dada menahan kesal.

Sekitar 10 menit perjalanan, mereka tiba di klinik. Johan parkir tepat di depan ruangan bertuliskan UGD. Melihat Johan dan Tante Amanda yang hanya diam di tempat duduk mereka masing-masing, Anggita kembali geram. 

Setelah berhasil membuka kaca jendela mobil dengan sebelah tangan, Anggita berteriak kencang ke arah pintu UGD.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status