Share

Bab 1. Shocking news.

Tahun sekarang.

Seorang gadis cantik, dengan tinggi tubuh sekitar seratus lima puluh senti, dengan rambut yang terurai hingga setengah punggungnya, terlihat berusaha meraih sebuah buku dari rak yang menjulang tinggi di hadapannya. Dia sedang berada di perpustakaan jurusan karena ada tugas mata kuliah yang harus segera dia selesaikan.

“Woy, Cahaya Kemilau!”

Buku yang barusan sudah berhasil diraih oleh perempuan itu langsung terjatuh ke lantai karena kaget.

“Deva! Apaan sih? Ngagetin loh!” Tubuhnya membungkuk untuk memungut buku itu kembali.

“He-he-he. Lo serius bener. Lagi ngapain?”

“Nggak liat ini lagi ambil buku? Masak lagi makan? Dah, gue mau ngerjain tugas dulu, Dev. Jangan ganggu.” Wanita itu kembali ke meja yang sudah dia tempati sejak tadi. Deva mengekor.

“Tugas lo ada yang belum beres? Kok nggak bilang ke gue? Biar gue pinjemin.”

“Nggak kebalik? Ishh, udah sih, Dev. Sana dulu. Gue nggak fokus kalau lo di sini!”

“Galak banget sih, Mil! Awas loh, nanti nama lo gue ganti jadi si singa galak!” Deva tidak ikhlas diusir. Tujuannya datang ke sini ya untuk menemui Mila. Untuk apa lagi coba?

Mila sengaja memasang eraphone ke telinganya supaya Deva cepat-cepat pergi. Oke, walau itu terkadang tidak mempan. Biasanya Deva akan menyerah dan memilih untuk ikut duduk di sampingnya. Entah ikut membaca, atau hanya sekedar bermain ponsel.

“Nanti pulang bareng ‘kan?” Saat sudah bosan dan ingin keluar dari perpustakaan, Deva sengaja mengingatkan rutinitas pulang bersama yang selalu mereka lakukan. Dia akan selalu mengantar Mila pulang ke tempat tinggalnya.

“Iya. Nanti gue chat ya? Ini belum beres.”

Waktu bergulir dengan cepat. Cahaya Kemilau, yang dikenal dengan panggilan ‘Mila’ itu terpaksa keluar dari perpustakaan karena jam operasionalnya akan berakhir. Dia mengembalikan buku ke rak semula dan membereskan barang-barangnya. Saat diperiksanya handphone, Devara sudah mengirim pesan dan memberi tahu bahwa dia sudah menunggu di parkir jurusan.

“Mau singgah beli makan dulu buat anak-anak?”

“Nggak usah, Dev. Lo udah beliin terus loh.” Mila menolak dengan halus. Helm yang barusan disodorkan Devara sudah masuk ke dalam kepala.

“Nggak apa-apalah, Mil. Kan nggak sampai sejuta.”

“Iya, ratusan ribu kali tiga puluh hari. Lo mau bikin gue berhutang ke lo secara nggak langsung?”

Devara cekikikan. Memberi kode supaya Mila naik ke atas jok motor bebeknya. Saat wanita itu sudah duduk dengan sempurna, Deva pun menjalankan motor.

Ini adalah rutinitas yang menyenangkan untuk Devara. Dia sudah menyukai Mila sejak lama. Tapi siapapun tau kalau gadis ini tidak berencana punya pacar sampai waktu yang belum ditentukan. Mila sudah yatim piatu sejak dia kelas satu SMA. Dia tidak punya apa-apa, siapa-siapa. Bahkan keluarga. Ayah dan ibunya meninggal dalam sebuah kejadian nahas di lokasi kerja. Sekarang dia tinggal di panti asuhan yang cukup jauh dari kota. Cita-citanya adalah ingin segera lulus kuliah dan mencari pekerjaan supaya bisa membalas kebaikan kepala panti yang sudah menyekolahkannya sampai sekarang. Berpacaran tentunya akan mengganggu studi yang sedang dia tekuni.

Tapi Devara akan setia menunggu. Kalau mereka harus lulus dulu pun,tidak apa-apa. Dia yakin Kemilau sudah tau love language yang selama ini dia tunjukkan, lewat perhatian kepada Mila dan anak-anak panti asuhan. Devara yakin, jika sudah ada waktu yang tepat untuk mengutarakan perasaan, dia yakin Mila akan menerima cintanya. Jadi, tidak apa-apa kalau harus menunggu setahun atau dua tahun lagi.

Perjalanan menuju panti asuhan memakan waktu satu jam. Terkadang Mila tertidur di punggung Deva. Namun sore ini tidak. Sepertinya dia sibuk main ponsel jadulnya. Sehingga saat Deva mengajaknya bicara, dia jadi kurang fokus. Atau bisa jadi dia masih ngambek karena Deva tetap singgah untuk membeli eskrim Magnum sekantong plastik dari supermarket tempat Gisel bekerja. Gisel, teman Mila di panti asuhan.

“Assalamualaikum.”

Salam yang barusan diucapkan Mila membuat semua anak panti berhamburan keluar dari pintu utama.

“Kak Mila!!

“Kak Deva!!”

Dia dan Deva diserbu adik-adik panti yang usianya beragam. Dari lima sampai enam belas tahun, dengan jumlah sekitar sepuluh orang. Yang lain mungkin sedang ada kesibukan di dalam.

“Nih, bagi-bagi buat semuanya, Lis.” Deva memberikan bungkusan es krim di tangannya kepada Elis, salah seorang anak panti berusia enam belas. Yang dia rasa bisa membagi es krim tersebut dengan adil. Setelah bungkusan itu berpindah, berganti, semua anak mengerumuni Elis. Membuat Mila geleng-geleng kepala.

“Bilang apa ke Kak Deva?” Kalau tidak diingatkan, adik-adiknya pasti akan lupa.

“Makasih Ka Devaaaaaaaa.” Ucapan terima kasih yang bagaikan paduan suara itu pun akhirnya berkumandang. Deva tersenyum manis dan menjawab ‘sama-sama’. Ada yang memeluk Deva ada pula yang langsung masuk ke dalam.

“Eh, Nak Deva? Masuk dulu.”

Deva dan Mila berbalik. Mendapati Sulis, ibu kepala panti, sudah berjalan di belakang mereka. Sepertinya beliau baru pulang dari suatu tempat dan melihat Mila sudah datang ditemani Deva, seperti biasanya.

“Assalamualaikum, Bu.” Deva langsung salim ke bu Sulis kemudian diikuti Mila.

“Kalian nggak ngobrol di dalam dulu?”

“Ehm ka—“

“Aku masih banyak tugas, Bu. Besok harus dikumpulin.” Kemilau langsung memotong ucapan Deva. Aslinya dia memang masih punya setumpuk pe-er yang belum selesai. Deva pasti tau dan harusnya paham. Kalau mau ngobrol dulu, bisa-bisa dia akan start di jam sepuluh malam.

Deva menelan rasa kecewanya lagi. Padahal pengen gitu ngobrol bentar. Nggak sampai sejam juga nggak apa-apa. Tapi ya udah deh, ingat lagi kalau Mila memang belum siap untuk sebuah pendekatan. Akhirnya Deva mengalah dan berpamitan pulang.

“Kamu nggak suka sama Deva ‘kan, Mil?” Sulis tiba-tiba bertanya sambil masuk ke dalam ruang tamu.

“Ih, ibu ngomong apa deh? Enggak lah, Bu.”

Sulis tersenyum lega. “Tapi Deva kayaknya suka sama kamu tuh, Mil.”

“Perasaan Ibu aja kali. Kita sahabatan, Bu.”

Begitulah jawaban Mila setiap kali ada yang bertanya tentang hubungannya dengan Devara. Siapa sih yang percaya kalau mereka cuma sahabatan? Tapi Kemilau akan selalu menekankan kalau faktanya mereka memang hanya sebatas teman. And well, tetap saja ada yang tidak percaya.

***

Meanwhile di sudut kota lain.

“Papa semakin kritis, Mas!” Pekikan cemas seorang perempuan muda di balik telepon membuat seluruh darah di tubuh Radinka langsung naik ke ubun-ubun. Kedua tungkai kakinya spontan berdiri dan membuat seluruh peserta meeting sore itu terkejut.

“Mohon maaf, saya harus pergi. Tolong lanjutkan meeting-nya.” Radin menyadari semua orang sedang menatapnya. Lalu memberi perintah kepada pemimpin rapat agar melanjutkan agenda. Setelah itu dia berlari keluar dari ruangan menuju lift di ujung lorong.

“Radin!!” Langkahnya langsung terhenti. Itu suara Sheza.

Sheza berjalan cepat mendapati kekasihnya yang baru saja meninggalkan rapat divisi keuangan. “Ada apa, Sayang? Kamu mau ke mana?”

Pintu lift terbuka. Radin masuk dan menarik Sheza ikut ke dalam.

“Papa kritis. Aku harus ke rumah sakit. Doakan nggak kenapa-kenapa. Nanti hati-hati pulangnya.” Radin tergesa, napasnya terengah.

Sheza cepat-cepat mengangguk. “Oke. Bawa mobilnya yang tenang ya, Sayang. Semoga om Jordhy baik-baik aja.”

Radinka sempat mengecup bibir Sheza sekilas sebelum dia turun di basement. Sedangkan Sheza, langsung menekan tombol lift untuk kembali ke ruang meeting.

Radinka Kevan Saskara. Pemuda tampan berusia tiga puluh sembilan tahun. Sosoknya yang sempurna membuatnya dijuluki sebagai mahluk Tuhan paling seksi di seantero perusahaan. Apalagi dia belum menikah meski usianya sudah sangat matang. Dia adalah penerus ayahnya –Jordhy Saskara– di perusahaan keluarga yang bergerak di bidang industri tekstil bernama Saska T&G. Semua orang sudah tau kalau Radinka berpacaran dengan Sheza Noura, manajer keuangan di Saska, namun tidak ada yang berani membahasnya karena ini menyangkut kehidupan pribadi sang direktur.

***

Pagi ini, seluruh anggota keluarga Saskara sudah berkumpul di sebuah kamar khusus di rumah sakit. Ada Nadya Evelyn, ibu Radinka, istri Jordhy Saskara. Ada Greta Adriana Saskara, adik perempuan Radinka. Satu-satunya saudara yang dia punya. Greta adalah salah satu dokter magang yang ikut menangani papanya sekarang. Dia berusia tiga puluh tahun. Sama seperti sang kakak, Greta pun lebih mengutamakan karir ketimbang berumah tangga. Dan yang terakhir adalah Radinka sendiri, putera sulung di keluarga Saskara. Kini mereka bertiga duduk di sebuah sofa yang berhadapan dengan pengacara keluarga Saskara.

Pertemuan ini dibuat karena vonis dokter yang mengatakan bahwa peluang Jordhy bisa melewati masa krisisnya sangatlah kecil. Faktor usia adalah salah satu penyebabnya. Untuk itu, sang pengacara mengumpulkan mereka semua karena ada pesan yang ingin dia sampaikan. Pesan dari Jordhy Saskara.

“Sebelum pak Jordhy menghembuskan napas terakhirnya, beliau ingin putera sulungnya menyanggupi permintaan terakhir beliau.”

Nadya, Radin dan Greta saling bertukar pandang. Permintaan tentang apa gerangan sampai harus disanggupi sekarang banget?

“Permintaan apa, Pak Roni?” Radinka meminta penjelasan.

“Pak Jordhy sudah memilihkan calon istri buat Bapak. Dan setelah Bapak pergi, Pak Radin harus menikah dengan wanita ini.”

***

 

 

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Teman pencerita
Radin udh tua jg yaaa wkwkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status