Tahun sekarang.
Seorang gadis cantik, dengan tinggi tubuh sekitar seratus lima puluh senti, dengan rambut yang terurai hingga setengah punggungnya, terlihat berusaha meraih sebuah buku dari rak yang menjulang tinggi di hadapannya. Dia sedang berada di perpustakaan jurusan karena ada tugas mata kuliah yang harus segera dia selesaikan.“Woy, Cahaya Kemilau!”Buku yang barusan sudah berhasil diraih oleh perempuan itu langsung terjatuh ke lantai karena kaget.“Deva! Apaan sih? Ngagetin loh!” Tubuhnya membungkuk untuk memungut buku itu kembali.“He-he-he. Lo serius bener. Lagi ngapain?”“Nggak liat ini lagi ambil buku? Masak lagi makan? Dah, gue mau ngerjain tugas dulu, Dev. Jangan ganggu.” Wanita itu kembali ke meja yang sudah dia tempati sejak tadi. Deva mengekor.“Tugas lo ada yang belum beres? Kok nggak bilang ke gue? Biar gue pinjemin.”“Nggak kebalik? Ishh, udah sih, Dev. Sana dulu. Gue nggak fokus kalau lo di sini!”“Galak banget sih, Mil! Awas loh, nanti nama lo gue ganti jadi si singa galak!” Deva tidak ikhlas diusir. Tujuannya datang ke sini ya untuk menemui Mila. Untuk apa lagi coba?Mila sengaja memasang eraphone ke telinganya supaya Deva cepat-cepat pergi. Oke, walau itu terkadang tidak mempan. Biasanya Deva akan menyerah dan memilih untuk ikut duduk di sampingnya. Entah ikut membaca, atau hanya sekedar bermain ponsel.“Nanti pulang bareng ‘kan?” Saat sudah bosan dan ingin keluar dari perpustakaan, Deva sengaja mengingatkan rutinitas pulang bersama yang selalu mereka lakukan. Dia akan selalu mengantar Mila pulang ke tempat tinggalnya.“Iya. Nanti gue chat ya? Ini belum beres.”Waktu bergulir dengan cepat. Cahaya Kemilau, yang dikenal dengan panggilan ‘Mila’ itu terpaksa keluar dari perpustakaan karena jam operasionalnya akan berakhir. Dia mengembalikan buku ke rak semula dan membereskan barang-barangnya. Saat diperiksanya handphone, Devara sudah mengirim pesan dan memberi tahu bahwa dia sudah menunggu di parkir jurusan.“Mau singgah beli makan dulu buat anak-anak?”“Nggak usah, Dev. Lo udah beliin terus loh.” Mila menolak dengan halus. Helm yang barusan disodorkan Devara sudah masuk ke dalam kepala.“Nggak apa-apalah, Mil. Kan nggak sampai sejuta.”“Iya, ratusan ribu kali tiga puluh hari. Lo mau bikin gue berhutang ke lo secara nggak langsung?”Devara cekikikan. Memberi kode supaya Mila naik ke atas jok motor bebeknya. Saat wanita itu sudah duduk dengan sempurna, Deva pun menjalankan motor.Ini adalah rutinitas yang menyenangkan untuk Devara. Dia sudah menyukai Mila sejak lama. Tapi siapapun tau kalau gadis ini tidak berencana punya pacar sampai waktu yang belum ditentukan. Mila sudah yatim piatu sejak dia kelas satu SMA. Dia tidak punya apa-apa, siapa-siapa. Bahkan keluarga. Ayah dan ibunya meninggal dalam sebuah kejadian nahas di lokasi kerja. Sekarang dia tinggal di panti asuhan yang cukup jauh dari kota. Cita-citanya adalah ingin segera lulus kuliah dan mencari pekerjaan supaya bisa membalas kebaikan kepala panti yang sudah menyekolahkannya sampai sekarang. Berpacaran tentunya akan mengganggu studi yang sedang dia tekuni.Tapi Devara akan setia menunggu. Kalau mereka harus lulus dulu pun,tidak apa-apa. Dia yakin Kemilau sudah tau love language yang selama ini dia tunjukkan, lewat perhatian kepada Mila dan anak-anak panti asuhan. Devara yakin, jika sudah ada waktu yang tepat untuk mengutarakan perasaan, dia yakin Mila akan menerima cintanya. Jadi, tidak apa-apa kalau harus menunggu setahun atau dua tahun lagi.Perjalanan menuju panti asuhan memakan waktu satu jam. Terkadang Mila tertidur di punggung Deva. Namun sore ini tidak. Sepertinya dia sibuk main ponsel jadulnya. Sehingga saat Deva mengajaknya bicara, dia jadi kurang fokus. Atau bisa jadi dia masih ngambek karena Deva tetap singgah untuk membeli eskrim Magnum sekantong plastik dari supermarket tempat Gisel bekerja. Gisel, teman Mila di panti asuhan.“Assalamualaikum.”Salam yang barusan diucapkan Mila membuat semua anak panti berhamburan keluar dari pintu utama.“Kak Mila!!“Kak Deva!!”Dia dan Deva diserbu adik-adik panti yang usianya beragam. Dari lima sampai enam belas tahun, dengan jumlah sekitar sepuluh orang. Yang lain mungkin sedang ada kesibukan di dalam.“Nih, bagi-bagi buat semuanya, Lis.” Deva memberikan bungkusan es krim di tangannya kepada Elis, salah seorang anak panti berusia enam belas. Yang dia rasa bisa membagi es krim tersebut dengan adil. Setelah bungkusan itu berpindah, berganti, semua anak mengerumuni Elis. Membuat Mila geleng-geleng kepala.“Bilang apa ke Kak Deva?” Kalau tidak diingatkan, adik-adiknya pasti akan lupa.“Makasih Ka Devaaaaaaaa.” Ucapan terima kasih yang bagaikan paduan suara itu pun akhirnya berkumandang. Deva tersenyum manis dan menjawab ‘sama-sama’. Ada yang memeluk Deva ada pula yang langsung masuk ke dalam.“Eh, Nak Deva? Masuk dulu.”Deva dan Mila berbalik. Mendapati Sulis, ibu kepala panti, sudah berjalan di belakang mereka. Sepertinya beliau baru pulang dari suatu tempat dan melihat Mila sudah datang ditemani Deva, seperti biasanya.“Assalamualaikum, Bu.” Deva langsung salim ke bu Sulis kemudian diikuti Mila.“Kalian nggak ngobrol di dalam dulu?”“Ehm ka—““Aku masih banyak tugas, Bu. Besok harus dikumpulin.” Kemilau langsung memotong ucapan Deva. Aslinya dia memang masih punya setumpuk pe-er yang belum selesai. Deva pasti tau dan harusnya paham. Kalau mau ngobrol dulu, bisa-bisa dia akan start di jam sepuluh malam.Deva menelan rasa kecewanya lagi. Padahal pengen gitu ngobrol bentar. Nggak sampai sejam juga nggak apa-apa. Tapi ya udah deh, ingat lagi kalau Mila memang belum siap untuk sebuah pendekatan. Akhirnya Deva mengalah dan berpamitan pulang.“Kamu nggak suka sama Deva ‘kan, Mil?” Sulis tiba-tiba bertanya sambil masuk ke dalam ruang tamu.“Ih, ibu ngomong apa deh? Enggak lah, Bu.”Sulis tersenyum lega. “Tapi Deva kayaknya suka sama kamu tuh, Mil.”“Perasaan Ibu aja kali. Kita sahabatan, Bu.”Begitulah jawaban Mila setiap kali ada yang bertanya tentang hubungannya dengan Devara. Siapa sih yang percaya kalau mereka cuma sahabatan? Tapi Kemilau akan selalu menekankan kalau faktanya mereka memang hanya sebatas teman. And well, tetap saja ada yang tidak percaya.***Meanwhile di sudut kota lain.“Papa semakin kritis, Mas!” Pekikan cemas seorang perempuan muda di balik telepon membuat seluruh darah di tubuh Radinka langsung naik ke ubun-ubun. Kedua tungkai kakinya spontan berdiri dan membuat seluruh peserta meeting sore itu terkejut.“Mohon maaf, saya harus pergi. Tolong lanjutkan meeting-nya.” Radin menyadari semua orang sedang menatapnya. Lalu memberi perintah kepada pemimpin rapat agar melanjutkan agenda. Setelah itu dia berlari keluar dari ruangan menuju lift di ujung lorong.“Radin!!” Langkahnya langsung terhenti. Itu suara Sheza.Sheza berjalan cepat mendapati kekasihnya yang baru saja meninggalkan rapat divisi keuangan. “Ada apa, Sayang? Kamu mau ke mana?”Pintu lift terbuka. Radin masuk dan menarik Sheza ikut ke dalam.“Papa kritis. Aku harus ke rumah sakit. Doakan nggak kenapa-kenapa. Nanti hati-hati pulangnya.” Radin tergesa, napasnya terengah.Sheza cepat-cepat mengangguk. “Oke. Bawa mobilnya yang tenang ya, Sayang. Semoga om Jordhy baik-baik aja.”Radinka sempat mengecup bibir Sheza sekilas sebelum dia turun di basement. Sedangkan Sheza, langsung menekan tombol lift untuk kembali ke ruang meeting.Radinka Kevan Saskara. Pemuda tampan berusia tiga puluh sembilan tahun. Sosoknya yang sempurna membuatnya dijuluki sebagai mahluk Tuhan paling seksi di seantero perusahaan. Apalagi dia belum menikah meski usianya sudah sangat matang. Dia adalah penerus ayahnya –Jordhy Saskara– di perusahaan keluarga yang bergerak di bidang industri tekstil bernama Saska T&G. Semua orang sudah tau kalau Radinka berpacaran dengan Sheza Noura, manajer keuangan di Saska, namun tidak ada yang berani membahasnya karena ini menyangkut kehidupan pribadi sang direktur.***Pagi ini, seluruh anggota keluarga Saskara sudah berkumpul di sebuah kamar khusus di rumah sakit. Ada Nadya Evelyn, ibu Radinka, istri Jordhy Saskara. Ada Greta Adriana Saskara, adik perempuan Radinka. Satu-satunya saudara yang dia punya. Greta adalah salah satu dokter magang yang ikut menangani papanya sekarang. Dia berusia tiga puluh tahun. Sama seperti sang kakak, Greta pun lebih mengutamakan karir ketimbang berumah tangga. Dan yang terakhir adalah Radinka sendiri, putera sulung di keluarga Saskara. Kini mereka bertiga duduk di sebuah sofa yang berhadapan dengan pengacara keluarga Saskara.Pertemuan ini dibuat karena vonis dokter yang mengatakan bahwa peluang Jordhy bisa melewati masa krisisnya sangatlah kecil. Faktor usia adalah salah satu penyebabnya. Untuk itu, sang pengacara mengumpulkan mereka semua karena ada pesan yang ingin dia sampaikan. Pesan dari Jordhy Saskara.“Sebelum pak Jordhy menghembuskan napas terakhirnya, beliau ingin putera sulungnya menyanggupi permintaan terakhir beliau.”Nadya, Radin dan Greta saling bertukar pandang. Permintaan tentang apa gerangan sampai harus disanggupi sekarang banget?“Permintaan apa, Pak Roni?” Radinka meminta penjelasan.“Pak Jordhy sudah memilihkan calon istri buat Bapak. Dan setelah Bapak pergi, Pak Radin harus menikah dengan wanita ini.”***Pemakaman Jordhy Saskara berlangsung dengan khidmat. Banyak rekan bisnis yang datang untuk menyampaikan belasungkawa. Begitupun dengan teman arisan Nadya dan juga rekan-rekan satu angkatan Greta. Semuanya datang untuk memberi penghiburan dan kekuatan. Kini tanggung jawab Radinka semakin besar. Jika sebelumnya dia masih bisa berduksi dengan sang ayah tentang banyak hal, terutama tentang perusahaan, kini dia sendiri. Semua keputusan ada di tangannya. Terus terang itu cukup berat. Dia takut tidak akan sanggup menjadi pemimpin yang persis seperti ayahnya, yang bijaksana dan dicintai seluruh karyawan. Yang dermawan dan suka menolong. Radin masih harus banyak belajar dan berbenah. “Mas.” Seseorang masuk ke dalam ruangan kerjanya yang sengaja dibuat minim cahaya. Radin memang masih dalam suasana berduka. Greta berjalan ke arah Radin yang berdiri tanpa tujuan di tepi jendela. Adik perempuannya itu tiba-tiba memeluknya.Greta menangis pilu. Menumpahkan kesedihannya di dalam pelukan Radinka,
“Bu, ini nggak serius ‘kan??”“Ibu serius, Nak. Sini dengar dulu. Ibu belum selesai.”Kemilau menolak untuk melanjutkan pembicaraannya dengan ibu Sulis yang menurutnya sedikit gila. Perjodohan? Apa-apaan? Dia masih kuliah. Pacaran saja nggak mau, apalagi menikah. “Ini nggak masuk akal, Bu. Aku nggak mau menikah!”“Ini amanah orang yang sudah pergi duluan meninggalkan kita, Mil. Kalau nggak dilaksanakan, Ibu takut kualat.” Sulis berusaha membujuk. “Tapi kenapa harus Mila, Bu? Kenapa nggak Gisel? Gisel jauh lebih cantik, barangkali putera pak Jordhy lebih tertarik. Lagian aku masih kecil, Bu. Pleaseee.” Mila tidak tau bagaimana lagi caranya untuk menolak. Dia memang beberapa kali mengobrol dengan pria tua bernama Jordhy Saskara itu, tapi rasanya tidak bisa dibilang sangat dekat sampai-sampai dia berniat menjadikan Kemilau sebagai menantunya. Tolong masuk akal lah sedikit.“Ibu juga nggak tau, Mil. Permintaan ini sudah lama disampaikan almarhum ke Ibu. Beliau adalah donatur terbesar ki
“Masih jauh lagi nggak sih?” Greta melihat map yang ada di dashboard mobil Radin. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju sebuah panti asuhan. Katanya calon istri Radinka itu tinggal di sana. Satu fakta lagi yang membuat mereka semua pesimis akan sosok perempuan yang digadang-gadang alamarhum ayah mereka cukup pantas menjadi pendamping seorang penerus Saska T&G.“Nanti mentok di depan, trus belok kiri. Sampai.” Radinka menjawab. Kata map sih begitu.“Awas aja kalau nggak ada hasil.”Sheza yang duduk di sebelah Radinka menoleh ke belakang. “Kamu beneran berhenti jadi dokter, Gre?” Dia mencoba melanjutkan obrolan yang sudah berhenti sejak lima belas menit yang lalu. By the way, Sheza lebih tua enam tahun dari Greta. Dia sudah menganggapnya sebagai adik.“Beneran, Kak. Aku trauma. Pegang papa malah ko’it.”“Nggak gitu juga, Gre. Udah takdir, mau diapain? Sayang loh ilmunya.”“Nanti deh, Kak. Aku mau rehat dulu. Mau liat calon istri mas Radin kayak apa dulu. Gatel pengen nindas.”“
“Bu, jujur sama aku. Apa pak Jordhy menyimpan rahasia lain yang aku nggak tau?” Setelah yang ada di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua, Kemilau kembali mempertanyakan kebenarannya. Dia yakin, anggota keluarga Jordhy yang kaya raya itu, tidak mungkin menyukainya begitu saja. Dibandingkan mereka semua, Mila tak lebih dari seorang upik abu. Mustahil mereka mau menerima Kemilau sebagai menantu.“Nggak ada rahasia-rahasiaan, Mil. Tuan Jordhy itu sungguhan kagum sama kamu. Katanya kamu pantas menjadi istri untuk Radinka. Ibu juga kurang paham, Mil, tapi Ibu memilih untuk percaya saja sama omongan alamarhum.” Sulis kembali duduk di sofa. Selama lima tahun mengenal Jordhy, Sulis tau pria itu tidak pernah salah dalam menilai sesuatu. “Atas dasar apa, Bu? Aku masih muda. Bandingin om Radinka, umur aku jauh di bawah dia. Aku juga masih kuliah. Apa yang mereka harapin dari aku, Bu?” Kemilau ikut duduk dan memegang kedua tangan Sulis. Wanita ini sudah dia anggap sebagai ibu sendiri. Dia berh
“Greta?! Ayo, buruan! Pak Kirno sudah stand by di bawah.” Nadya sedikit berteriak memanggil putri bungsunya yang tak kunjung turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Siang ini mereka akan menjemput Kemilau, seperti janji mereka kepada Sulis kemarin. Semakin cepat pernikahan itu terlaksana, semakin cepat pula harta warisan Jordhy pindah nama menjadi milik mereka.Suara derit pintu terdengar dari atas. Lalu disusul derap langkah tergesa menuruni tangga. Itu sudah pasti Greta.“Duh, Ma. Kayak yang penting banget sih pergi ke sana? Sampai aku diburu-buru gini.” Wanita berusia tiga puluh itu ngedumel sambil memasang anting di kedua telinganya. Kini dia berhadapan dengan Nadya yang sudah menunggunya di ruang tamu.“Kita harus berjuang, Gre. Ini cuma sebentar kok. Ayo.” Nadya berdiri dan berjalan ke arah pintu utama. Greta mengekor saja tanpa berkata-kata lagi. Kedua antingnya sudah menempel sempurna di daun telinga. Clutch yang dia jepit di ketiak kini berpindah ke telapak tangan.Kirno,
Selama dalam perjalanan menuju kediaman Saskara yang berada di pusat ibu kota, Nadya dan Greta mengajak Kemilau berbicara tentang banyak hal. Mereka tidak membiarkan gadis itu kesepian. Mila juga dengan senang hati membuka diri. Dia menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh kedua orang itu. Obrolan mereka sedikit mengobati hati Mila yang sedang galau. Oke, abaikan dulu tentang firasatnya kemarin. Harapan Kemilau teramat besar, kelak Greta dan Nadya ini benar-benar bisa menjadi ibu dan saudara perempuan baginya. “Pokoknya, Mil. Apa aja yang mengganggu pikiran kamu, jangan sungkan untuk kasih tau ke kita. Kita maunya kamu nyaman di rumah. Apalagi mas Radin itu sedikit sibuk. Kamu bisa-bisa jarang ketemu sama dia. Kalau kamu nggak punya teman, cerita ke aku aja nggak apa-apa.” Greta kembali menebar racun di dalam pikiran Kemilau. “Betul banget, Mil. Kalau kamu kesepian, main aja ke kamar Greta. Dia sekarang lagi nggak kerja. Jadi, bakalan sering di rumah.” Nadya menambahi.Fix,
Kemilau masih mematung di tempat persembunyiannya. Suara desahan dua sejoli yang sedang bercinta di balkon sebelah membuat sekujur tubuhnya kaku. Punggungnya bersandar di tembok pembatas dan kepalanya tertunduk menatap lantai marmer yang ada di bawah kakinya. Radinka dan perempuan itu … ternyata mereka mempunyai hubungan khusus. Saat ke panti asuhan kemarin, mereka bahkan datang bersama menghadap ibu Sulis. Kenapa bisa? Apakah wanita itu merestui kekasihnya menikah dengan perempuan lain? Bisa dibilang, Kemilau hanyalah seorang bocah ingusan bila dibandingkan dengan dirinya. Why? Apa mereka hanya teman bercinta biasa sehingga tidak ada ikatan yang serius?Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Kemilau tersentak. Pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di dalam kepalanya lenyap seketika. Dengan langkah pelan dia kembali masuk ke kamar dan berjalan menuju pintu. “Nona, makan malam sudah siap. Nona sudah ditunggu di meja makan.” Salah seorang maid yang ditugaskan Nadya datang untuk meny
Satu minggu berlalu tanpa terasa. Sudah satu minggu pula Kemilau tinggal di kediaman Saskara dan mengurus segala hal yang berhubungan dengan pernikahan dia dan Radinka. Laki-laki yang justru tidak pernah terlihat batang hidungnya di rumah. Pasang surut rasa sedih dan takut, berkali-kali dialami oleh gadis itu. Semakin mendekati hari pernikahan, rasanya semakin galau, berdebar, putus asa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu.Namun seperti biasanya, Nadya dan Greta seperti dua malaikat yang selalu ada untuknya. Menghapus air matanya dan menghiburnya setiap kali dia bersedih. Menguatkan Mila dengan janji kalau pernikahan ini adalah yang terbaik untuk dia dan Radinka. Sampai-sampai Kemilau sangat percaya kalau kedua perempuan dewasa itu benar-benar menyukainya. Hari pernikahan pun tiba. Pagi harinya Mila sudah dirias dengan begitu cantik dan sudah memakai kebaya yang dibeli minggu lalu. Ibu Sulis dan suaminya sudah datang sebagai perwakilan dan saksi dari pihak keluarga Mila. Gisel dan