POV: Alister.
Aku tersentak dari baringanku. Kelopak mataku yang berat terbuka mendengar suara wanita yang menangis, aku menoleh pada sumber suara itu. Mila sedang bermimpi buruk, gadis itu meraung-raung dalam tidurnya. Keringat dan air mata bercampur jadi satu, gadis itu sedang ketakutan.
Aku menyentuh pipinya lembut, kulitnya terasa dingin. Raut wajahnya seperti di kejar-kejar hantu.
"Hmmmmm.... "
"Tolong... jangan ganggu Mila, Tante tolongin Mila takut."
"Tolong... ibu... Mila takut."
"Mila, kamu kenapa?" Aku menggoyangkan pipinya, berusaha membangunkan Mila, kenapa dia ketakutan seperti ini? Aku baru pertama kali melihatnya bermimpi buruk. "Mila... Heii, bangun. "
"Mila!!" Mata Mila terbuka tiba-tiba, dia menatap sekeliling dengan wajah bingung, belum sadar sepenuhnya.
"Kenapa kamu? Mimpi buruk, hm?" Aku mengangkat tubuhnya agar bisa d
Tiba-tiba suara musik terdengar menakutkan. Pemandangan sekitar gelap, di depannya tampak bayangan yang bergentayangan memekik seperti suara kuntilanak. Wanita itu merasa bulu kudunya merinding sekarang. Dia merapatkan tubuhnya mendekati Alister, satu tangannya sudah menutupi matanya tapi karena penasaran sesekali Mila membuka matanya"AHHHH..." Mila melompat ke pangkuan Alister spontan. Laki-laki itu membiarkan saja sambil menahan tawa. Ternyata Mila memang sepenakut ini.Dia meletakkan tangannya di atas kepala Mila. "Ini cuma film Mila, jangan bikin malu." Kata Alister dengan suara beratnya."Tapi gelap Mas, aku takut. Bisa gak lampunya di hidupiin aja," bisik Mila masih dalam posisi di atas Alister. Dimana ada bioskop hidup lampu? Bener-bener kampungan banget."Ini bioskop, bukan di rumah kamu," balas Alister. Mila mengerjap-ngerjapkan matanya. "Turun kamu." Wanita itu tetap dengan posisinya. 
POV: Mila. Aku jadi ambigu dengan sikap Mas Alister, kadang-kadang ngomel tidak jelas tapi semua kebutuhan yang tidak kuminta dia penuhi. Ah, ya... Aku kemarin beres-beres kamar dan menemukan album foto keluarga Mas Alister. Sangking penasaran aku menanyakan pada Mas Alister tentang foto-foto itu. Katanya hanya tinggal nenek dan Tantenya yang masih hidup.Andaikan aku bisa bertemu mereka, keluarga suamiku."Kamu selagi libur jangan keluyuran. Siapkan otak buat tes masuk kuliah." Kata Alister sembari memakai dasinya. Aku yang lagi sibuk merapikan tempat tidur tidak menyahuti ucapannya."Mila, aku lagi ngomong. Kamu denger gak sih?" Kini tubuh tegapnya menoleh padaku."Mila kan lagi beresin tempat tidur lhoo Mas." Jawabku tanpa melihat padanya."Nanti kerjain lagi, ke sini kamu! Aku lagi bicara, kalau orang lagi bicara itu harus dilihat bukan d
POV: Alister. "Ini berkas yang Bapa inginkan tentang Karmila." Jovanka menyodorkan map berwarna coklat. Aku hanya ingin tahu siapa wanita yang aku nikahi, kenapa dia selalu bermimpi buruk tiap kali hujan turun."Saya sudah mengirim orang untuk mendatangi Meira, dari informasi yang saya dapat dari Meira. Alamat sampai keluarganya sudah saya selidik, beberapa waktu yang lalu saya sendiri yang mengunjungi tempat tinggal Karmila.""Good," Komentarku. Jovanka memang tidak pernah mengecewakanku.Aku tidak tahan untuk segera membuka map itu. Terlihat foto sepasang suami-istri di tengah-tengah anak perempuan cantik, kutebak dia Karmila. Wajahnya tidak jauh berbeda dengan sekarang."Kedua orangtuanya sudah meninggal, Pak." Kata Jovanka, aku tersentak lalu mendongak melihat Jovanka. "Dia tinggal bersama Tante dan Omnya, merekalah yang menjual Karmila kepada pemilik
Tin Tin... Tin....BRAK"HEH! JALAN DI PINGGIR JALAN, MAU MATI KAMU!"Mobil yang hampir menabrak Mila malah berteriak. Untung saja cuma kena serempet. Mila menatap kakinya yang memar sambil meringis."Dia yang nabrak malah dia juga yang teriak.""Gakpapa Neng?" seorang wanita menghampiri. Mila menggeleng dengan tersenyum, menahan perih lututnya. Saat Mila berdiri hendak berjalan, matanya menyipit mengeram kesakitan."Gapapa Bu. Saya masih bisa jalan.""Itu kakinya udah berdarah, ayok aku anterin ke dokter." Seorang laki-laki menawarkan diri. Baru Mila sadari dia sudah menjadi tontonan banyak orang. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian."Ndak papa kok, Mas. Aku masih bisa jalan. Gak p
POV: Mila. "Kamu pulang akhirnya."Bukan Mas Alister yang menungguku di rumah tapi wanita berambut pirang lurus ini. Dari nada suaranya tidak ada keramahan, yeah... dari awal juga dia memang tidak ramah padaku."Maaf Mbak, aku tadi pergi gak ngasih tahu." Ucapku. Kezia masih menatapku dengan tatapan yang tidak suka. Entah, aku melihat dia seperti jijik padaku."Sebaiknya kamu menjauh dari Alister, jalang sialan!"Aku terkejut mendengar ucapan kasar dan penuh kebencian yang keluar dari mulut Kezia. Ternyata pendidikan tidak menjamin perilaku orang. Mungkin Mas Alister sudah menceritakan tentang dia membeliku dari club malam. Aku hanya perempuan yang melakukan apa pun perintah Mas Alister agar bebas dari tempat maksiat itu."Mbak--""Aku ingat siapa kamu, Mila! Perempuan yang bersama kamu itu pelacur, bukan? Kamu sama teman kamu itu
POV: Alister.Kehebohan yang diciptakan nenek tua dan Tante rambut pirang ini akhirnya berakhir di ruang tamu.Sejak tadi aku melipat tangan di depan dada, kami duduk berhadapan dengan ekpresi masing-masing. Nenek ini adalah ibu negara di keluarga kami. Dan wanita berpenampilan heboh itu adalah adik ayahku, sudah berkeluarga tapi masih bersembunyi dibawah ketiak ibunya.Aku tidak tahu darimana mereka bisa tahu tentang Mila, dan yang lebih mengejutkanku adalah keadaan menjadi tenang setelah aku mengatakan wanita kampung itu sudah kunikahi agar tidak terjadi pembunuhan di apartemenku. Aku hanya cukup menceraikan Mila dan mengembalikannya ke kampung."Wow... penampilan kamu bener-bener norak ya," komentar Nandia terkekeh melihat pakaian Mila dengan rok panjang dan kaus polos, rambut diikat kuda.Tante Nandia orang yang sangat fashionable dan sosialita
POV: Mila. "Ini kenapa kok ada bekas gigitan." Aku mengernyit melihat bercak kemerahan di leher. Aku mengangkat dagu dan mengamatinya di depan cermin. Ini biasanya ciptaan Mas Alister, tapi seingatku tadi malem dia tidak membangunkanku. Aku masih sadar sekali tadi pagi bangun dari sofa bukan dari atas ranjang."Mana mungkin Mas Alister kayak pencuri, diem-diem main sun-sun gitu aja. Pasti ini serangga." Heran rumah mewah seperti ini adaserangga.Aku membuka lemari mencari baju berleher, tapi sayangnya tidak ada. Yang kupunya hanya syal berwarna ungu.Aku sangat bersemangat karena ini hari pertamaku kuliah. Sebenarnya sudah masuk dua Minggu lalu, tapi entahlah aku diloloskan tidak mengikuti ospek anak baru begitu saja.Setelah mengenakan pakaian aku keluar dari kamar, menuruni tangga. Nafasku tersengal-sengal karena tenaga yang kuhabiskan dari lantai
Mila menutup bukunya dan memasukan ke tasnya, akhirnya matkul hari ini selesai. Wajahnya sembab karena menangis, dia pun bingung apa yang dia tangisi. Keluarganya masuk penjara atau dia tidak ingin kehilangan suaminya."Hei, kamu gadis obat merah itu, kan?"Mila menoleh pada suara berat yang menghampirinya. Matanya menyipit mengingat-ingat apakah dia mengenal laki-laki ini."Astaga... Mas yang nolong aku waktu kecelakaan itu kan. Obat merahnya manjur, langsung kering luka aku lho." Mila bersuara riang. "Jadi dosen yang nerangin dari tadi itu Mas toh?"Fabian meringis mendengar Mila tidak mengenalnya dari awal. "Aku jadi kecewa, dari tadi aku liatin kamu. Tapi ternyata kamu gak inget ya sama aku." Dari pertama bertemu Fabian langsung memasukan wajah Mila dalam ingatannya. Pertemuan mereka sangat berkesan baginya."Maaf lhoo Mas, aku tadi gak fokus. ""Gak usah minta m