“Katanya dokter Meta mau resign dan penggantinya sudah ada,” ujar salah seorang rekan saat mereka beriringan menuju lobi rumah sakit.
Serayu mengangguk pelan. Ia baru saja menuntaskan stase Ilmu Kesehatan Anak, sehingga kabar itu membuatnya ikut merasa kehilangan dokter spesialis anak yang selama ini membimbingnya.
“Katanya juga … dokter barunya cantik,” lanjut rekannya, membuat Serayu terkekeh kecil. Tentu saja, karena yang bicara adalah rekan lelaki. Beberapa teman lain ikut bersorak menggoda.
“Cewek cantik aja cepat banget tanggapannya, ya!” candaan itu mengundang tawa singkat sebelum akhirnya mereka terpisah di depan pintu utama.
Serayu menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia malas pulang. Sekilas ia berpikir, apa sebaiknya ia sukarela mengambil jaga tambahan saja supaya tidak perlu kembali ke apartemen malam ini?
Larut dalam lamunannya, Serayu tersentak ketika suara tegas menyapanya.
“Pulang dengan saya,” titah Abra, berlalu tanpa menoleh.
Serayu ingin menolak, tapi lelaki itu sudah berjalan menjauh. Terpaksa, ia mempercepat langkah dan masuk ke mobil Abra setelah memastikan sekitar cukup sepi.
Begitu duduk di dalam, hawa dingin di mobil itu menusuk hingga membuatnya merapatkan tubuh. Bukan karena AC mobil, melainkan pembawaan lelaki di sampingnya. Mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah sakit, keheningan menutup rapat keduanya sampai kendaraan berhenti di lampu merah.
“Mama mengundang kita makan malam di rumah malam ini,” ucap Abra datar tanpa menoleh sedikit pun.
Serayu terdiam. Drama apa lagi yang menantinya kali ini? Pikirnya.
***
Ruang makan keluarga besar itu terasa begitu hangat sekaligus mencekam. Serayu duduk kaku di samping Abra, menampilkan senyum terbaiknya setiap kali tatapan para anggota keluarga Wijaya jatuh padanya. Piring-piring berisi hidangan istimewa memenuhi meja panjang, suara senda gurau sesekali terdengar, tapi Serayu tetap tidak nyaman.
Hingga pandangannya membeku. Sosok yang tak asing baru saja tiba—menyapa para tetua, lalu menoleh dan tersenyum tenang padanya, dokter Sedanu.
Serayu terperanjat, jemarinya otomatis meremas serbet di pangkuan. Apa yang pria itu lakukan di sini? Siapa dia sebenarnya?
Seolah menyadari keterkejutan itu, Sedanu justru lebih dulu tersenyum, tatapannya teduh penuh arti. Serayu memalingkan wajahnya, berusaha menyamarkan wajah terkejutnya.
“Tak lama lagi, Abra akan dilantik menjadi pemilik rumah sakit. Proud of you,” ucap salah seorang paman dengan suara mantap. Serentak keluarga besar menoleh menatap Abra dengan senyum bangga. “Kita semua akan hadir saat rapat besar nanti dan mendukung kamu.”
Serayu menoleh, mendapati senyum tipis di wajah Abra saat lelaki itu diajak bicara. Namun dari sisinya terlihat jelas, rahang lelaki itu mengeras, seolah menahan muak atas kalimat yang baru saja ia dengar.
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Riani saat ini—wajahnya jelas memancarkan kebanggaan saat menatap putranya. Namun, begitu pandangannya mendapati Abra menoleh, tersenyum, bahkan meraih tangan wanita di sampingnya, rasa muak langsung membuncah. Andai saja ia bisa, Riani ingin Serayu tidak perlu berdiri di podium saat pelantikan nanti. Baginya, terlalu memalukan memiliki menantu yang kedudukannya jauh di bawah keluarga mereka.
Seperti biasa, setiap kali bersama keluarga besar, Abra selalu menampilkan sosok suami yang manis dan penuh cinta, menutupi sandiwara pernikahan mereka yang sejatinya hambar.
Saat menemani sang suami ngobrol dengan keluarga lain, Serayu pamit sejenak untuk mengambil minum. Ketika berjalan, pandangannya sempat singgah pada Riani yang terlihat sumringah, asyik bercakap dengan sekumpulan wanita bergaya mewah serupa dengannya. Lalu tanpa sengaja, tatapannya bertemu dengan Sedanu yang duduk di sisi lain ruangan. Tatapan itu membuat Serayu tergagap dalam diam, buru-buru ia mengalihkan pandangan dan mempercepat langkah menuju meja prasmanan.
Hingga suara yang familiar membuat jantungnya nyaris meloncat.
“Kenapa muka kamu seperti itu? Seolah kita tidak saling mengenal saja,” goda Sedanu sambil tersenyum. Ia lebih dulu meraih gelas yang hendak disentuh Serayu, lalu menyodorkannya pada wanita itu.
Serayu kaku. Ia takut sekali. Tidak seorang pun di rumah sakit tempat mereka bertugas tahu kalau dirinya adalah istri sah Abra. Perjanjian pernikahan mereka melarangnya bicara jika tidak diperlukan.
Sedanu seolah membaca kebisuannya, lalu berkata, “Saya akan anggap alasan kalian menyembunyikan pernikahan ini demi profesionalitas di rumah sakit, benar begitu?”
Serayu menelan ludah, lalu cepat mengangguk membenarkan. Bibirnya kaku, tapi setidaknya kalimat itu sedikit melegakan.
Sedanu tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. “Tenang saja, rahasia kamu aman di saya. Buktinya, meski saya sudah tahu sejak awal, tetap saya simpan rapat-rapat.” Tatapannya hangat, seolah memberi jaminan.
Mata Serayu sedikit membulat. “Se—sejak awal?” Sedanu mengangguk seraya tersenyum.
Sedanu meminta Serayu melakukan hal yang sama—tidak membongkar identitasnya sebagai sepupu Abra. Tentu saja Serayu langsung setuju.
“Kamu harus traktir saya karena sudah menjaga rahasia besar ini dengan baik,” ujar Sedanu sambil mengedipkan mata dengan senyum jahil.
Keduanya sempat tertawa kecil, tanpa menyadari sepasang mata di kejauhan tengah menatap tajam ke arah mereka, diliputi kesal karena tak bisa mendengar percakapan itu.
Suasana makan malam yang awalnya tegang mendadak menjadi sedikit lebih ringan bagi Serayu. Setidaknya, ada satu orang yang ia kenal dan diam-diam membantunya lebih nyaman di tengah keluarga besar Wijaya.
Usai makan malam di rumah keluarga besar, dalam perjalanan pulang suasana hati Serayu masih penuh kikuk. Ia duduk di kursi penumpang, menatap jalanan malam yang remang, sementara Abra fokus mengemudi tanpa banyak bicara.
“Selamat atas jabatan barunya,” lirih Serayu, berusaha memecah keheningan.
Abra yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri hanya menoleh sekilas, tatapannya dingin.
“Belum dilantik,” balasnya singkat, membuat suasana kembali kikuk.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Sama seperti kemarin, nomor tak tersimpan muncul di layar. Serayu tercekat—wajahnya panas ketika melihat foto kontak yang kini tampak lebih jelas dari sebelumnya.
Cantik. Wanita di balik panggilan itu benar-benar cantik.
Abra melirik sekilas, lalu dengan santai menekan tombol merah. Tanpa sepatah kata pun, ia melanjutkan laju mobil. Serayu menunduk, menahan sesak yang perlahan merayap di dadanya. Namun, tidak lama kemudian, ponsel itu kembali berdering. Kali ini, belum sempat serayu menoleh, Abra langsung meraih ponselnya—mengangkat panggilan tanpa ragu. Nada bicaranya singkat, datar, dan dingin.
“Saya segera datang.”
Beberapa detik kemudian, mobil menepi di halte yang sepi. Abra menoleh sebentar pada Serayu.
“Saya ada urusan penting. Turunlah di sini,” ucapnya tergesa, tanpa memberi ruang untuk menjelaskan.
Serayu membeku. “Apa?” tanyanya pelan, tak percaya, matanya menatap sekitar yang asing.
“Kamu bisa pesan taksi dan langsung pulang,” titahnya dingin.
Serayu tercengang, tidak menyangka diperlakukan begitu.
“Tapi ….”
Namun tatapan tegas Abra membuatnya tak punya pilihan. Dengan perasaan yang sulit dijelaskan, Serayu akhirnya membuka pintu dan melangkah turun ke trotoar. Mobil Abra pun melaju pergi meninggalkannya begitu saja.
Ia berdiri kaku sejenak, tertawa getir—membuang pandangannya kesal.
Tak lama setelah itu, butiran hujan mulai jatuh, deras, menghantam aspal dan pundaknya yang rapuh. Serayu berdiri di halte, merangkul kesepian di bawah cahaya lampu jalan yang temaram. Jemarinya cekatan membuka aplikasi, berulang kali mencoba memesan taksi online. Namun, layar ponsel hanya menampilkan status mencari driver tanpa hasil. Tidak ada satu pun yang menerima orderannya, seakan malam itu pun ikut bersekongkol menambah sepinya.
Hingga sebuah mobil berhenti di depannya. Dari balik pintu yang terbuka, Sedanu keluar dengan payung di tangannya dan tatapan penuh khawatir.
“Kenapa sendirian di sini?” tanyanya lembut, sambil mengangkat payung untuk melindungi Serayu.
Ealah ... dokter satu itu, si maha tega ~_~
Sapa sopan dan hangat dari suara lembut dr. Aileen pada Abra membuat beberapa rekan koas Serayu membulatkan mata, mereka sangat menanti reaksi Abra. Namun, seperti biasanya Abra berlalu tanpa menanggapi. Itu hal yang sudah biasa bagi mereka karena hampir pada semua orang Abra bersikap seperti itu. “Dok, sabar ya. Dokter Abra memang begitu,” celetuk seorang koas membuat Aileen menoleh. “Benarkah?” tanyanya dan yang lain mengangguk membenarkan. Aileen pun ikut mengangguk pelan seolah paham. Pertemuan Serayu dengan Aileen pun berlalu sekilas, tapi cukup meninggalkan gelombang resah di hati Serayu. Sore harinya, Serayu melangkah keluar dari IGD, bersiap untuk pulang. Langkahnya terhenti ketika pandangannya jatuh pada sosok Abra yang berdiri di lorong sepi. Sesaat kemudian, lelaki itu menoleh. Serayu hanya mengangguk hormat lalu kembali melanjutkan langkah.Namun suara berat itu menyusulnya dari belakang.“Pulang dengan saya,” ucap Abra, membuat Serayu berhenti dan menoleh.“Pul
Hubungan yang tak pernah dekat itu kini terasa semakin asing saja. Tidak ada yang berubah dari Abra, lelaki itu tetap saja tenang, dingin, dan penuh jarak. Namun kali ini jarak itu bak jurang yang seolah tak mengizinkan Serayu untuk mendekat. Serayu menelan perih itu dalam diam. Jelas tidak ada pilihan lain, selain tabah menelan luka seorang diri. Lorong rumah sakit hari itu lengang. Serayu yang sedang berdiskusi singkat dengan dokter residen dan beberapa rekannya, sempat menoleh ketika matanya menangkap sosok lelaki yang melangkah dari ujung lorong. Tegap dengan jas putihnya, Abra sempat berhenti— berbincang singkat dengan seorang dokter sebelum kembali melanjutkan langkah. Tanpa menoleh, tanpa senyum, wajah datarnya tetap tak tergoyahkan meski dokter residen dan beberapa koas menyapa sopan saat ia lewat. “Sudah selesai, itu saja. Ada yang mau ditanyakan?” suara Sedanu, dokter residen, terdengar tapi hanya seperti angin lalu di telinga Serayu yang masih terpaku mengikuti punggun
Tidak ada yang istimewa malam itu, tapi Serayu bersyukur sempat bertemu dokter Sedanu. Setidaknya ia bisa pulang dengan selamat dan aman.Pagi ini, seperti biasa, koas selalu datang lebih awal dibanding para dokter. Jadi, pagi-pagi sekali Serayu sudah siap dengan setelan rapi. Namun, matanya membulat saat melihat Abra sudah duduk di meja makan dengan pakaian kerjanya. Biasanya lelaki itu berangkat lebih siang.Ragu-ragu, Serayu melangkah mendekat. Haruskah ia ikut sarapan bersama, apalagi menu di meja tampak disiapkan pas untuk dua orang.Abra mengangkat pandangan, lalu sekadar menggerakkan kepala—memberi isyarat agar Serayu duduk di hadapannya. Apa Serayu bisa menolak? Tentu tidak. Sejauh ini, ia hanya dituntut menurut.Pelan-pelan, Serayu pun duduk. Saat itu juga, Abra mengeluarkan ponselnya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorong ke arah Serayu.Mata Serayu membulat. Di layar ponsel itu, jelas terlihat fotonya saat masuk ke dalam mobil Sedanu. Bibirnya baru saja terbuka hendak m
“Katanya dokter Meta mau resign dan penggantinya sudah ada,” ujar salah seorang rekan saat mereka beriringan menuju lobi rumah sakit.Serayu mengangguk pelan. Ia baru saja menuntaskan stase Ilmu Kesehatan Anak, sehingga kabar itu membuatnya ikut merasa kehilangan dokter spesialis anak yang selama ini membimbingnya.“Katanya juga … dokter barunya cantik,” lanjut rekannya, membuat Serayu terkekeh kecil. Tentu saja, karena yang bicara adalah rekan lelaki. Beberapa teman lain ikut bersorak menggoda.“Cewek cantik aja cepat banget tanggapannya, ya!” candaan itu mengundang tawa singkat sebelum akhirnya mereka terpisah di depan pintu utama.Serayu menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia malas pulang. Sekilas ia berpikir, apa sebaiknya ia sukarela mengambil jaga tambahan saja supaya tidak perlu kembali ke apartemen malam ini?Larut dalam lamunannya, Serayu tersentak ketika suara tegas menyapanya.“Pulang dengan saya,” titah Abra, berlalu tanpa menoleh.Serayu ingin menolak, tapi lelaki itu suda
Serayu menyembulkan kepalanya, mengintip Abra yang piawai menyiapkan sarapan. Sejak menikah, ia nyaris tak pernah benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang istri. Pernah sekali ia mencoba memberanikan diri memasak untuk sang suami, tetapi hasilnya berakhir gagal dan Abra tidak mengizinkannya lagi menyentuh dapur.Sejak kecil, Serayu terbiasa bekerja untuk dirinya sekaligus membantu orang tuanya. Padatnya aktivitas membuatnya jarang menyentuh dapur—selalu ibunya yang menyiapkan makanan untuk keluarga tanpa mengizinkannya membantu karena beliau tahu selelah apa anaknya. Bahkan hingga dewasa, kebiasaan itu berlanjut. Saat kuliah, ia pun mengambil pekerjaan freelance yang menyita waktu dan tenaganya.Serayu menghela napas, lalu menegakkan tubuh dan melangkah keluar kamarnya. Suara langkahnya membuat Abra menoleh. Lelaki itu sempat tertegun melihat Serayu sudah rapi dengan wajah datar.“Duduk. Sebentar, saya siapkan—”“Saya tidak sarapan,” potong Serayu cepat. “Permisi.”Ia melangkah
Pagi-pagi sekali Serayu sudah tiba di rumah sakit. Sebelum memulai aktivitas, denting pesan masuk mengusik perhatiannya. Refleks ia meraih ponsel. Keningnya berkerut begitu layar menampilkan notifikasi dari mertuanya. Seketika jantungnya berdetak tak nyaman saat jemarinya menyentuh layar, membuka pesan itu.[Foto]Dalam bidikan kamera tampak Abra berjalan di halaman rumah sang mertua, tangannya menggenggam tangan seorang wanita. Mereka melangkah beriringan. Meski wajah wanita itu membelakangi kamera, Serayu seolah tahu persis siapa dia.[Sampai rumah jam berapa Abra semalam?]Melihat kedekatan Abra dengan wanita dalam foto itu membuat darah Serayu berdesir. Ingatannya langsung melayang pada pesan Abra semalam yang mengatakan, ia tidak pulang. Bibir Serayu melengkung tertawa getir. Tanpa sadar, rahangnya mengeras menahan rasa yang sulit ia deskripsikan.Ia menutup layar ponsel, memilih untuk tidak membalasnya. Apa yang harus dia katakan? ‘Mas Abra tidak pulang.’ Kalimat itu justru hanya