Share

4. Bersandiwara

Author: Dinis Selmara
last update Last Updated: 2025-09-13 11:52:05

“Katanya dokter Meta mau resign dan penggantinya sudah ada,” ujar salah seorang rekan saat mereka beriringan menuju lobi rumah sakit.

Serayu mengangguk pelan. Ia baru saja menuntaskan stase Ilmu Kesehatan Anak, sehingga kabar itu membuatnya ikut merasa kehilangan dokter spesialis anak yang selama ini membimbingnya.

“Katanya juga … dokter barunya cantik,” lanjut rekannya, membuat Serayu terkekeh kecil. Tentu saja, karena yang bicara adalah rekan lelaki. Beberapa teman lain ikut bersorak menggoda.

“Cewek cantik aja cepat banget tanggapannya, ya!” candaan itu mengundang tawa singkat sebelum akhirnya mereka terpisah di depan pintu utama.

Serayu menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia malas pulang. Sekilas ia berpikir, apa sebaiknya ia sukarela mengambil jaga tambahan saja supaya tidak perlu kembali ke apartemen malam ini?

Larut dalam lamunannya, Serayu tersentak ketika suara tegas menyapanya.

“Pulang dengan saya,” titah Abra, berlalu tanpa menoleh.

Serayu ingin menolak, tapi lelaki itu sudah berjalan menjauh. Terpaksa, ia mempercepat langkah dan masuk ke mobil Abra setelah memastikan sekitar cukup sepi.

Begitu duduk di dalam, hawa dingin di mobil itu menusuk hingga membuatnya merapatkan tubuh. Bukan karena AC mobil, melainkan pembawaan lelaki di sampingnya. Mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah sakit, keheningan menutup rapat keduanya sampai kendaraan berhenti di lampu merah.

“Mama mengundang kita makan malam di rumah malam ini,” ucap Abra datar tanpa menoleh sedikit pun.

Serayu terdiam. Drama apa lagi yang menantinya kali ini? Pikirnya.

***

Ruang makan keluarga besar itu terasa begitu hangat sekaligus mencekam. Serayu duduk kaku di samping Abra, menampilkan senyum terbaiknya setiap kali tatapan para anggota keluarga Wijaya jatuh padanya. Piring-piring berisi hidangan istimewa memenuhi meja panjang, suara senda gurau sesekali terdengar, tapi Serayu tetap tidak nyaman.

Hingga pandangannya membeku. Sosok yang tak asing baru saja tiba—menyapa para tetua, lalu menoleh dan tersenyum tenang padanya, dokter Sedanu.

Serayu terperanjat, jemarinya otomatis meremas serbet di pangkuan. Apa yang pria itu lakukan di sini? Siapa dia sebenarnya?

Seolah menyadari keterkejutan itu, Sedanu justru lebih dulu tersenyum, tatapannya teduh penuh arti. Serayu memalingkan wajahnya, berusaha menyamarkan wajah terkejutnya.

“Tak lama lagi, Abra akan dilantik menjadi pemilik rumah sakit. Proud of you,” ucap salah seorang paman dengan suara mantap. Serentak keluarga besar menoleh menatap Abra dengan senyum bangga. “Kita semua akan hadir saat rapat besar nanti dan mendukung kamu.”

Serayu menoleh, mendapati senyum tipis di wajah Abra saat lelaki itu diajak bicara. Namun dari sisinya terlihat jelas, rahang lelaki itu mengeras, seolah menahan muak atas kalimat yang baru saja ia dengar.

Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Riani saat ini—wajahnya jelas memancarkan kebanggaan saat menatap putranya. Namun, begitu pandangannya mendapati Abra menoleh, tersenyum, bahkan meraih tangan wanita di sampingnya, rasa muak langsung membuncah. Andai saja ia bisa, Riani ingin Serayu tidak perlu berdiri di podium saat pelantikan nanti. Baginya, terlalu memalukan memiliki menantu yang kedudukannya jauh di bawah keluarga mereka.

Seperti biasa, setiap kali bersama keluarga besar, Abra selalu menampilkan sosok suami yang manis dan penuh cinta, menutupi sandiwara pernikahan mereka yang sejatinya hambar.

Saat menemani sang suami ngobrol dengan keluarga lain, Serayu pamit sejenak untuk mengambil minum. Ketika berjalan, pandangannya sempat singgah pada Riani yang terlihat sumringah, asyik bercakap dengan sekumpulan wanita bergaya mewah serupa dengannya. Lalu tanpa sengaja, tatapannya bertemu dengan Sedanu yang duduk di sisi lain ruangan. Tatapan itu membuat Serayu tergagap dalam diam, buru-buru ia mengalihkan pandangan dan mempercepat langkah menuju meja prasmanan.

Hingga suara yang familiar membuat jantungnya nyaris meloncat.

“Kenapa muka kamu seperti itu? Seolah kita tidak saling mengenal saja,” goda Sedanu sambil tersenyum. Ia lebih dulu meraih gelas yang hendak disentuh Serayu, lalu menyodorkannya pada wanita itu.

Serayu kaku. Ia takut sekali. Tidak seorang pun di rumah sakit tempat mereka bertugas tahu kalau dirinya adalah istri sah Abra. Perjanjian pernikahan mereka melarangnya bicara jika tidak diperlukan.

Sedanu seolah membaca kebisuannya, lalu berkata, “Saya akan anggap alasan kalian menyembunyikan pernikahan ini demi profesionalitas di rumah sakit, benar begitu?”

Serayu menelan ludah, lalu cepat mengangguk membenarkan. Bibirnya kaku, tapi setidaknya kalimat itu sedikit melegakan.

Sedanu tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. “Tenang saja, rahasia kamu aman di saya. Buktinya, meski saya sudah tahu sejak awal, tetap saya simpan rapat-rapat.” Tatapannya hangat, seolah memberi jaminan.

Mata Serayu sedikit membulat. “Se—sejak awal?” Sedanu mengangguk seraya tersenyum.

Sedanu meminta Serayu melakukan hal yang sama—tidak membongkar identitasnya sebagai sepupu Abra. Tentu saja Serayu langsung setuju.

“Kamu harus traktir saya karena sudah menjaga rahasia besar ini dengan baik,” ujar Sedanu sambil mengedipkan mata dengan senyum jahil.

Keduanya sempat tertawa kecil, tanpa menyadari sepasang mata di kejauhan tengah menatap tajam ke arah mereka, diliputi kesal karena tak bisa mendengar percakapan itu.

Suasana makan malam yang awalnya tegang mendadak menjadi sedikit lebih ringan bagi Serayu. Setidaknya, ada satu orang yang ia kenal dan diam-diam membantunya lebih nyaman di tengah keluarga besar Wijaya.

 Usai makan malam di rumah keluarga besar, dalam perjalanan pulang suasana hati Serayu masih penuh kikuk. Ia duduk di kursi penumpang, menatap jalanan malam yang remang, sementara Abra fokus mengemudi tanpa banyak bicara.

“Selamat atas jabatan barunya,” lirih Serayu, berusaha memecah keheningan.

Abra yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri hanya menoleh sekilas, tatapannya dingin.

“Belum dilantik,” balasnya singkat, membuat suasana kembali kikuk.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Sama seperti kemarin, nomor tak tersimpan muncul di layar. Serayu tercekat—wajahnya panas ketika melihat foto kontak yang kini tampak lebih jelas dari sebelumnya.

Cantik. Wanita di balik panggilan itu benar-benar cantik.

Abra melirik sekilas, lalu dengan santai menekan tombol merah. Tanpa sepatah kata pun, ia melanjutkan laju mobil. Serayu menunduk, menahan sesak yang perlahan merayap di dadanya. Namun, tidak lama kemudian, ponsel itu kembali berdering. Kali ini, belum sempat serayu menoleh, Abra langsung meraih ponselnya—mengangkat panggilan tanpa ragu. Nada bicaranya singkat, datar, dan dingin.

“Saya segera datang.”

Beberapa detik kemudian, mobil menepi di halte yang sepi. Abra menoleh sebentar pada Serayu.

“Saya ada urusan penting. Turunlah di sini,” ucapnya tergesa, tanpa memberi ruang untuk menjelaskan.

Serayu membeku. “Apa?” tanyanya pelan, tak percaya, matanya menatap sekitar yang asing.

“Kamu bisa pesan taksi dan langsung pulang,” titahnya dingin.

Serayu tercengang, tidak menyangka diperlakukan begitu.

“Tapi ….”

Namun tatapan tegas Abra membuatnya tak punya pilihan. Dengan perasaan yang sulit dijelaskan, Serayu akhirnya membuka pintu dan melangkah turun ke trotoar. Mobil Abra pun melaju pergi meninggalkannya begitu saja.

Ia berdiri kaku sejenak, tertawa getir—membuang pandangannya kesal.

Tak lama setelah itu, butiran hujan mulai jatuh, deras, menghantam aspal dan pundaknya yang rapuh. Serayu berdiri di halte, merangkul kesepian di bawah cahaya lampu jalan yang temaram. Jemarinya cekatan membuka aplikasi, berulang kali mencoba memesan taksi online. Namun, layar ponsel hanya menampilkan status mencari driver tanpa hasil. Tidak ada satu pun yang menerima orderannya, seakan malam itu pun ikut bersekongkol menambah sepinya.

Hingga sebuah mobil berhenti di depannya. Dari balik pintu yang terbuka, Sedanu keluar dengan payung di tangannya dan tatapan penuh khawatir.

“Kenapa sendirian di sini?” tanyanya lembut, sambil mengangkat payung untuk melindungi Serayu.

Dinis Selmara

Ealah ... dokter satu itu, si maha tega ~_~

| 17
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (31)
goodnovel comment avatar
aya
tega bener kau Abra, meninggalkan serayu ditengah jalan demi menemui wanita lain. untung ada sedanu lewat
goodnovel comment avatar
Sri Hartati
benar² gak punya hati nurani si Abrakatabra
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Abra jahat banget sama istri sendiri, meski gak cinta sama Serayu ya harusnya di tanggung jawab mengantar dia sampai rumah lah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   78. Mempertahankan

    Aileen pulang dari pesta ulang tahun temannya. Dalam keadaan frustrasi, ia meneguk alkohol—tidak banyak, tapi kadar toleransinya memang rendah, sehingga mudah mabuk. Ia bahkan tak sadar bagaimana akhirnya bisa berada di apartemen Abra. Memang belakangan ini dalam pikirannya kalut, hanya Abra dan Abra saja—berharap lelaki itu kembali padanya karena sungguh ia mencintainya. Aileen mengikuti seseorang ke dalam lift—meminta bantuan karena tidak mempunyai kartu akses lalu menyebutkan lantai tempat unit Abra berada. Langkahnya terhuyung, matanya sedikit kabur mencari nomor unit lelaki itu. Hingga seseorang melangkah mendekat ke arahnya. Aileen tersenyum melihat Abra berdiri di hadapannya. Dalam hatinya ia yakin, takdir memang selalu menuntun Abra padanya, pikirnya. Seperti dini hari ini, tangan Aileen terulur mengusap lembut pipi lelaki di hadapannya. Sentuhan hangatnya membuat si lelaki menggeliat pelan dan membuka mata. Ia mengerang kecil, menoleh ke arah lain—meraih ponsel di atas naka

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   77. Pertanda?

    Serayu bertemu dengan Amalia dalam briefing siang itu. Wanita itu mengangkat dua jarinya membentuk tanda peace sambil meringis kecil. Amalia sudah menduga, Serayu pasti sudah tahu kalau dirinya mata-mata Abra. Serayu hanya membalas ringisan itu dengan senyum dan mata memicing dari kejauhan.Usai briefing, Amalia menghampiri Serayu dan duduk di sampingnya. Serayu menoleh kanan-kiri, memastikan sekitar yang sepi, lalu berbisik pelan, “Duh, takut banget dilaporin,” sindirnya, bercanda. Amalia refleks memeluk Serayu dari samping.“Maafkan aku…,” lirihnya penuh rasa bersalah. Amalia akhirnya mengakui semuanya—permintaan Abra hari itu. Ia juga yakin kedatangan Abra tempo hari karena ia tak sengaja mengirim kebersamaan Serayu dan Ryan.Serayu hanya mengangguk kecil. “Mas Abra memang nggak suka saya terlalu dekat sama laki-laki lain. Takut istrinya dicuri, kayaknya,” katanya bercanda, Serayu terkekeh geli sendiri. Sementara Amalia terdiam.Ia tak menanggapi. Sepertinya ada hal yang Serayu belu

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   76. Terpisah

    Sampai keesokan harinya, Abra masih enggan berpisah dari Serayu. Entah mengapa, menjelang hari keberangkatannya, suasana terasa begitu berat. Besok pagi Abra akan berangkat lebih dulu bersama beberapa tim, sementara Serayu dijadwalkan pulang seminggu kemudian.Ada rasa syukur, karena jarak hanya akan memisahkan mereka selama seminggu saja. Namun, dengan keterbatasan sinyal di lokasi, waktu yang singkat itu tetap terasa seperti ujian panjang karena rindu yang tak bisa disampaikan setiap saat.Malam itu, udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya, seolah tahu bahwa esok dan beberapa hari ke depan mereka tak lagi terlelap di bawah atap yang sama. Abra masih belum juga melepaskan pelukannya.“Saya nggak mau pisah dari kamu,” bisiknya lirih, suaranya serak karena emosi yang ditahan.Serayu menoleh sedikit menatap wajah suaminya dari jarak sedekat itu hanya mampu mengangguk. “Saya juga, Mas… makin berat rasanya,” aku Serayu membuat Abra tersenyum karena apa yang ia rasakan, Serayu juga

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   75. Kasmaran #2

    Pagi itu udara lebih segar dari biasanya dan langit mulai menampakkan rona cerah menyapa pasangan muda yang menyempatkan diri olahraga bersama—jogging mengitari desa. “Istirahat di situ, Sayang,” tunjuk Abra pada sisi sungai. Meski sudah sering dipanggil ‘sayang’ tetap saja hati Serayu dagdigdug mendengarnya. Dan wanita itu belum pernah memanggil Abra dengan sebutan yang sama. Keduanya melakukan pendinginan ringan usai berolahraga. Semilir suara aliran air menjadi latar yang menenangkan. “Sini, Sayang,” panggil Abra meminta Serayu mendekat. Ia memberikan ponselnya memperlihatkan surat tugas pulang ke rumah sakit asal mereka. “Lusa saya harus kembali,” katanya pelan, menatap Serayu dalam. Tak terasa dua minggu sudah Abra bertugas, sementara Serayu masuk minggu keempat. Jadwal kepulangan mereka berbeda, Abra lebih dulu. “Saya bisa minta tambahan waktu, biar kita pulang bareng.” Serayu mengangkat pandangannya menggeleng tidak setuju. “Tidak perlu, Mas. Ini penugasan. Harus p

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   74. Abracadabra

    Serayu meremang saat Abra berbisik nakal di telinganya, “Kenapa harus?” Kini bibir nakal itu ikut menggerayangi lehernya. “Saya salah apa sampai wajah kamu ditekuk begitu?”“Salah. Pokoknya Mas selalu salah,” sahut Serayu kesal.Abra mengerutkan kening. Ia memutar tubuh wanitanya membuat Serayu menelan ludah. Menatap dada bidang Abra saja sudah salah, apalagi saat mata mereka akhirnya bertemu. Serayu benar-benar tak kuasa.“Tolong jelaskan. Saya tidak bisa menebak hanya dari raut wajah kamu,” ucap Abra sambil mencubit lembut dagu Serayu, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan.“Kalau mau dijelasin, pakai baju dulu minimal,” gumam Serayu, menatap ke arah lain sambil memegangi ponsel di depan dadanya.Abra tidak mengindahkan. Tangannya terulur meraih ponsel itu dan pandangannya langsung jatuh pada layar yang masih terbuka pada ruang obrolan—pesan berisi beberapa foto. Tatapannya terangkat, menelusuri wajah Serayu.“Setelah saya jauh-jauh ke sini, kamu masih percaya hal beginian?” tanyanya

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   73. Panggilan Sayang

    “Kamu istri saya, Rayu,” ujar Abra mengingatkan. “Semua orang juga sudah tahu kalau saya istri Mas Abra,” sahut Serayu. “Sangat tahu, bahkan sampai ke masa lalu—” “Sayang…,” panggil Abra tatapannya seolah tak setuju, membuat Serayu spontan menghentikan kalimatnya. Tangan lelaki itu terulur, menggenggam jemari Serayu, lalu menggeleng perlahan—tak ingin istrinya kembali menyinggung masa lalu wanita itu yang sudah lama dikubur. Abra menunduk, mengecup punggung tangan Serayu. Panggilan itu ‘sayang’ kali ini Serayu dapatkan bukan lagi bagian dari sandiwara. Jangan tanyakan bagaimana jantung Serayu berdetak saat mendengarnya. Kali ini, sebutan itu nyata bukan bagian dari drama. Abra menuntun Serayu duduk. Ia membuka kotak nasi dan meletakkannya di hadapan wanita itu. “Mas,” panggil Serayu pelan. “Hmm,” sahut Abra tanpa menoleh, masih sibuk menyiapkan makanan mereka. “Panggil lagi,” ucap Serayu malu-malu. Nada suaranya kecil, hampir tak terdengar. Malu tapi mau. Abra mengangkat pandan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status