(Bukan) Istri Pilihan - Patah Hati Author's POV"Apa maumu, Yosh?""Pa, izinkan saya bertemu dan bicara dengan Nastasya.""Apa yang ingin kamu bicarakan. Sudah cukup kamu tidak peka dengan perasaannya selama ini. Lepaskan dia, biar Sasa melanjutkan hidupnya tanpa kamu. Saya memang bukan lelaki yang baik, Yoshi. Saya bukan suami yang bisa dibanggakan. Tapi sebagai seorang ayah, saya tidak ingin anak saya dikhianati. Kehidupan kamu berbeda dengan kisah rumah tangga saya. Dan Sasa terlalu baik untuk kamu duakan."Saya tidak berkhianat, Pa," sangkal Yoshi."Yang saya lihat baru saja, itu bukan kebohongan, kan? Mantanmu datang bersama anakmu. Dan saya yakin, ini bukan yang pertama kalinya. Saya paham mengenai tanggungjawab kamu pada anak. Tapi cerita kalian memang berbeda dan sudah tidak sewajarnya. Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan anak saya. Anak saya yang sekarang menjadi istri sah kamu. Oke, kamu tidak berkhianat. Tapi ini apa namanya?" Pak Bastian murka. Kala itu Mayang dan A
Aku mulai enjoy dengan kesendirian ini. Aku lebih bersemangat demi anak. Kelak dia akan mengenal ibunya dengan sebuah kebanggaan.Tidak pernah aku absen dari kursus memasak. Aku selalu datang tepat waktu, naik taksi langganan yang menjadi akomodasi dari apartemen ke Celi Culinary Education.Seperti pagi itu, saat aku turun dari taksi. Pemilik mobil putih susu membunyikan klaksonnya. Aku yang terkejut hanya memandangi hingga mobil menjauh. Sepertinya dia pria yang ramah. "Pria langganan katering itu seorang dokter loh, Nas. Keren. Masih single pula tuh." Mbak Aci memberitahu.Aku melangkah memasuki ruang kelas. Di sana baru aku yang datang. Beberapa dari mereka adalah ibu-ibu yang masih disibukkan dengan anak kecilnya. Jadi selalu datang terlambat beberapa menit. Tapi ada juga yang datang membawa anak.Hari itu kami belajar menu olahan ikan laut. Udang pete tauco. Ah bikin ngiler saja. Di rumah aku jarang sekali masak udang, karena Mas Yoshi alergi. Kalau kepengen hanya masak sedikit
(Bukan) Istri Pilihan - Sidang Kedua Author's POV Yoshi bangkit dari duduknya dan mencium tangan Pak Bastian, sebelum mertuanya duduk."Maaf, kalau kamu lama menunggu," ucap lelaki berkacamata itu. "Nggak apa-apa, Pa."Jelas dia dikecewakan karena anaknya disakiti, jelas dia akan menuntut dan marah pada sang menantu, tapi kata maaf tetap di ucapkan mengingat terlambat datang. Sikap yang diturunkan pada Anastasya. Wanita itu selalu berucap maaf meski kesalahannya tidak seberapa. Sedikit-sedikit minta maaf dan mengucapkan terima kasih. "Papa, mau minum apa?""Teh hangat."Yoshi memanggil seorang pelayan untuk memesan dua gelas teh hangat."Kamu sudah menerima surat panggilan sidang kedua?" tanya Pak Bastian.Yoshi mengangguk."Jangan dipersulit lagi. Biar permasalahan kalian lekas selesai. Kamu bisa melanjutkan hidupmu begitu juga dengan Anastasya." Pak Bastian bicara dengan nada tenang, tidak meledak-ledak seperti di kantor Yoshi kemarin. Di mana ia berpapasan dengan Mayang dan A
Anastasya punya papa yang begitu menyayanginya. Lihat bagaimana cara Pak Bastian melindungi putrinya. Ia yakin, papa mertuanya yang sekarang ini menyembunyikan Nastasya.Melihat Yoshi diam melamun, Mayang hanya diam memperhatikan. Sebelum ini dia tidak pernah melihat Yoshi segalau itu ketika tengah menghabiskan waktu bersamanya dan sang anak.Dulu Yoshi sanggup menyelesaikan sendiri perceraian dengannya. Namun Yoshi tumbang dan tidak sanggup menyelesaikan perceraiannya dengan Anastasya. Suara ketukan di pintu kamar membuat mereka menoleh. Tak lama muncul lelaki seusia Yoshi mengucapkan salam."May, tolong tinggalkan kami berdua," pinta Yoshi.Mayang bangkit dari duduknya dan mengajak sang anak keluar. Ayunda tidak mau, lalu dibujuk diajak membeli es krim di kantin rumah sakit."Bagaimana?""Pemeriksaan perkara selesai hari ini, Yosh.""Terus bagaimana putusannya?""Gugatan pihak Anastasya tidak bisa diterima."Yoshi menghela nafas lega. Usahanya dengan tim kuasa hukum tidak sia-sia.
(Bukan) Istri Pilihan - Pertemuan Anastasya's POV Aku ingat kapan terakhir kali menginjakkan kaki di Tunjungan Plaza Surabaya. Saat makan malam dengan Mas Yoshi kira-kira sebulan sebelum aku meninggalkan rumahnya. Aku ingat saat itu dia pulang kantor lebih awal lantas mengajakku jalan.Keesokan harinya, dia menemani anaknya menghadiri pesta ulang tahun temannya. Dan Mbak Mayang ikut serta. Atas permintaan Ayunda, katanya. Saat itu aku masih diam bersabar dan selalu coba mengerti. Namun sabar ada batasnya.Hingga aku membaca sebuah quote di beranda yang begitu mengena. "Jika hatimu tak lagi dihargai, kakimu tahu caranya untuk pergi."Sekarang aku berdua dengan bayi di perutku menyusuri koridor mall yang baru buka siang itu. Masih sepi, lagian hari Senin juga. Pengunjung pasti berkurang disaat hari efektif kerja begini.Kalau akhir pekan, pasti pengunjung bejubel. Pada masa sekarang ini, jalan-jalan, liburan, bukan untuk bergaya, belanja, tapi sudah menjadi kebutuhan batin. Rutinita
"Di TPS.""Kenapa kamu nggak bilang ke papa atau ke ibu kalau mau ke luar?""Aku suntuk di rumah. Makanya aku ingin keluar sebentar. Tapi papa jangan khawatir, aku ketemu Ruli ini.""Syukurlah kalau ada teman. Kehamilanmu sudah besar dan kamu harus hati-hati.""Iya. Sebentar lagi aku pulang.""Biar papa jemput.""Nggak usah, Pa. Aku naik taksi saja.""Ya sudah, hati-hati.""Ya, Pa."Ponsel kukembalikan ke dalam tas. "Dengan kehamilan sebesar ini. Kamu tinggal sendirian?" tanya Ruli."Ada ART yang menemaniku. Tapi hari ini dia izin pulang karena ada kerabatnya yang hajatan. Besok pagi baru kembali.""Kamu harus sangat hati-hati, Nas. Jangan sampai lahiran prematur.""Iya.""Sejak kapan kamu berhijab?" Sepertinya Ruli penasaran dengan penampilanku sejak tadi."Belum lama. Baru sekitar dua bulanan."Ruli merangkul pundakku. Netranya berkaca-kaca, terharu.***L***Author's POV"Terima kasih, Pak Yoshi. Anda sudi menemui saya untuk membahas permasalahan saya dengan perusahaan keluarga Pak
(Bukan) Istri Pilihan - Pulang, Nas.Author's POV"Mas, pergi saja nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri," kata Anastasya. Tidak sabar ingin segera sampai di rumah dan rebahan, tubuhnya terasa pegal-pegal setelah jalan seharian dalam kondisi hamil besar.Yoshi mengabaikan panggilan ponselnya kemudian meraih paper bag di lantai dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan meraih lengan istrinya. "Mari mas antar."Anastasya bergeming dan berusaha melepaskan cekalan tangannya. Namun jemari itu cukup kuat mencengkeram. Padahal rumah Anastasya berada di lantai tujuh dan tidak ingin suamiya tahu di mana dia tinggal selama ini.Ponsel terus berdering dan Yoshi mengabaikan. Padahal nama baiknya sedang dipertaruhkan sekarang, kalau sampai dia terlambat datang ke sidang. "Mas nggak boleh tahu kamu tinggal di mana?" Yoshi menatap lekat Anastasya. Bola mata bening yang dulu selalu memandangnya penuh kehangatan. Ia kehilangan tatapan yang penuh kerinduan beberapa bulan ini. Anastasya makin anggu
Mobil kembali melaju membelah gerimis menjelang senja. Lampu-lampu jalanan, pertokoan, sudah menyala. Yoshi tidak peduli jika ia harus menunggu di sana, mencari-cari, dan menanti sampai Anastasya mengaktifkan ponselnya lagi.Setengah jam setelah sampai di apartemen, perasaannya kian gundah. Kalau dia nekat naik ke apartemen, bukannya bertemu sang istri, tapi akan timbul permasalahan yang lain lagi.Gerimis berhenti saat Azan Maghrib berkumandang, Yoshi mengambil kaus bersih di jok tengah lalu melangkah menuju musholla yang ada di bagian timur apartemen. Menyempatkan untuk mandi sebentar, lalu salat Maghrib. Sejak dulu di mobilnya pasti ada persediaan sepasang baju bersih. Anastasya yang memberinya saran seperti itu.Seharusnya dia menyadari kesalahannya sebelum istrinya pergi. Kenapa setelah tiada, mata hatinya baru terbuka. Kembali ke mobil, Yoshi menghubungi Anastasya lagi. Kali ini panggilannya masuk. "Jawab, Nas. Please, please ...."Pada panggilan ketiga baru dijawab."Assalamu'