Share

Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.
Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.
Author: Embun Senja

Malam Terlarang

Author: Embun Senja
last update Last Updated: 2025-07-20 14:54:55

Amira Shara tidak pernah membayangkan hari terakhirnya sebagai tunangan justru menjadi hari paling menghancurkan dalam hidupnya.

Satu hari sebelum pernikahan, ia masuk ke dalam apartemen Erick untuk memberikan kejutan kecil. Gaun putih sederhana menggantung di tangannya, harapan besar terpancar dari senyumnya sampai matanya melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan.

Erick berdiri di depan kamar, tubuhnya setengah telanjang, memeluk seorang wanita muda berambut panjang yang tidak ia kenal. Ciuman panas, desahan ringan, dan gelak tawa mesra terdengar jelas dari balik dinding. Amira berdiri terpaku. Napasnya tercekat, matanya membelalak.

"Miranda... jangan keras-keras. Besok aku menikah."

"Makanya malam ini aku harus jadi yang terakhir, Sayang."

Tubuh Amira gemetar. Gaun di tangannya jatuh ke lantai. Ia berlari keluar tanpa sepatah kata, hujan mulai turun membasahi tubuhnya, tapi tidak ada yang bisa lebih dingin dari hati yang baru saja dihancurkan.

Malam itu badai menggila. Petir bersahutan di langit, tapi Amira tidak peduli. Ia masuk ke sebuah club malam, langsung menuju bar dan memesan minuman tanpa henti. Vodka, gin, whiskey, semuanya ditenggak tanpa jeda. Kepalanya mulai berputar, tapi hatinya jauh lebih kacau dari efek alkohol.

Seorang pria asing duduk di sampingnya. Rambutnya berantakan dengan gaya kasual, kemeja hitam terbuka satu kancing di atas, memperlihatkan sedikit dada bidangnya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memberi senyuman kecil yang entah kenapa membuat Amira tertarik.

Amira menatapnya, lalu tersenyum samar. “Aku ingin malam ini berakhir. Aku ingin melupakan semuanya.”

Pria itu mengangguk pelan, lalu menyodorkan tangannya. “Oliver.”

Amira menjabat tangannya. “Amira.”

Tak ada pembicaraan panjang. Tubuh mereka sudah bicara lebih dulu.

Kamar hotel itu gelap dan dingin. Pakaian mereka berceceran di lantai. Amira terbaring di atas ranjang dengan tubuh telanjang, Oliver di atasnya, menatapnya dalam diam.

Ciuman panas langsung menyambut bibirnya. Tangan Oliver menjalar ke dadanya, memijat lembut namun intens. Amira hanya bisa mengerang pelan, tidak menolak. Ia menarik Oliver lebih dekat, membiarkan pria itu menyentuh dan menjelajahi tubuhnya.

Oliver menurunkan kepalanya, mencium leher Amira, turun ke payudaranya, memainkan lidahnya di sana hingga Amira menggeliat tak tahan.

“Lakukan… lebih cepat. Aku sudah nggak tahan lagi,” desah Amira dengan napas terengah.

Oliver tidak membuang waktu. Ia masuk ke dalamnya dengan gerakan penuh tekanan. Amira menjerit pelan, tubuhnya melengkung menyesuaikan. Ia membiarkan dirinya dikuasai sepenuhnya. Gerakan Oliver cepat, kuat, dan memuaskan. Desahan dan suara ranjang yang berdecit mengisi kamar sempit itu.

Amira mencakar punggung Oliver, meminta lebih. Mereka melakukannya berulang kali, sampai tubuh Amira lemas dan napasnya habis. Ia tidak peduli siapa pria itu. Yang ia tahu, malam itu ia merasa diinginkan… dan itu cukup baginya.

Pagi harinya, Amira terbangun dengan kepala berat dan tubuh pegal. Selimut tipis menutupi tubuhnya yang telanjang. Ia melihat ke samping tempat itu kosong. Oliver sudah pergi.

Saat ia melihat tubuhnya sendiri bercak merah di dada dan paha, bekas ciuman dan cakar masih terlihat jelas Amira langsung menjerit. Ia memegang kepalanya yang pening.

“Apa yang sudah aku lakukan…?”

Namun yang paling menyakitkan bukan hanya kehilangan harga dirinya… tapi ia bahkan tidak tahu siapa pria itu, dan kini tubuhnya tidak lagi sama.

Satu malam, satu pria asing, dan sebuah dosa yang akan menghantuinya selamanya.

Amira pulang ke rumah saat matahari sudah tinggi. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat, dan tubuhnya masih terasa lengket oleh keringat dan aroma pria asing yang tadi malam menguasainya.

Langkahnya berat, tapi ia paksakan. Gaun club yang ia kenakan semalam sudah kusut. Beberapa bekas merah masih tampak di bagian dada dan pahanya. Ia berharap rumah kosong, berharap bisa langsung masuk ke kamar tanpa terlihat siapa pun.

Tapi doanya tidak terkabul.

Erick duduk di ruang tamu, tenang, santai, dengan secangkir kopi di tangannya. Ia langsung berdiri saat melihat Amira masuk.

“Amira... ke mana saja kamu semalam?” tanyanya, seolah tidak ada yang salah.

Amira berdiri di ambang pintu, menatap pria yang kemarin ia lihat bercumbu dengan wanita lain. Matanya merah, tapi bukan karena mabuk, melainkan karena dendam dan kehancuran yang terlalu dalam untuk diucapkan.

“Kamu masih punya muka untuk duduk di sini?”

Erick mengangkat alis, pura-pura bingung. “Apa maksudmu?”

Amira tersenyum miring. “Aku lihat kamu dengan wanita itu. Di kamarmu. Kau pikir aku buta?”

Erick tidak menjawab. Ia hanya diam, dan diamnya itu membuat Amira makin ingin muntah. Ia melangkah cepat melewatinya, naik ke kamarnya tanpa berkata apa pun lagi. Air mata sudah menggantung di ujung matanya, tapi ia tahan.

Ia masuk ke kamar, mengunci pintu, dan menjatuhkan diri ke lantai. Tangisnya meledak di sana.

Amira tahu… hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Terutama setelah malam gila itu, setelah tubuhnya dimiliki pria asing, dan setelah ia menyadari satu hal ia telat datang bulan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Perhatian dan Cinta Oliver

    Dua hari kemudian. Amira kini sepenuhnya berada dalam kendali Oliver. Meski kondisi tubuhnya sudah pulih dan ia diperbolehkan pulang, Oliver justru membawanya ke penthouse miliknya, bukan ke rumah orang tuanya. "Ini bukan rumahku. Aku ingin pulang. Papa dan Mama pasti sedang menunggu," ucap Amira memelas, berharap Oliver bersedia mengembalikannya ke rumah. "Tenanglah, Amira. Kita akan pulang setelah kau benar-benar pulih," jawab Oliver enteng. Amira menoleh ke arah lain, menolak menatap wajah pria itu. Ia membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Kembalikan ponselku," pintanya, mencoba memaksa. Namun Oliver tetap santai, seolah Amira hanyalah anak kecil yang sedang merengek. "Amira, kau harus benar-benar pulih dulu. Setelah itu, ponselmu akan kukembalikan. Jangan khawatir." Amira sempat ingin melempar gelas yang ada di meja ke arahnya, tapi ia mengurungkan niat. Ia takut Oliver akan menyakitinya. Oliver kemudian masuk ke kamar mandi. Ia membasahi tubuhnya deng

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Kenangan Yang Menyakitkan.

    Amira tidak peduli dengan semua yang dikatakan Oliver. Baginya, suara pria itu hanyalah gangguan samar yang berdesing di telinga, tak lebih. Ia kembali berbaring, membelakangi Oliver. Namun saat matanya terpejam, ingatan itu datang lagi—saat Erick mengkhianatinya, saat kepercayaannya dihancurkan tanpa ampun. Luka itu masih menganga, masih segar, dan menyiksa jiwanya. Air mata mengalir tanpa bisa dicegah, membasahi bantal yang sudah lembap sejak malam sebelumnya. Hatinya terasa sesak, seperti dihimpit ribuan beban yang tak terlihat. Oliver memperhatikan dari sisi ranjang. Ia menatap punggung Amira yang bergetar halus karena isak tertahan. Hatinya mencelos. Ia—seorang pria yang dulu dengan mudah memainkan hati wanita, kini berdiri di ujung tempat tidur, merasa tak berdaya di hadapan seorang gadis yang bahkan tak mau menatapnya. Seorang Casanova yang dulu dielu-elukan, kini tak punya daya di hadapan luka yang ia ciptakan sendiri. Ia ingin menyentuh bahu Amira, menenangkannya, t

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Amira hilang tanpa kabar.

    Orang tua Amira terus berusaha mencari keberadaan anak mereka. Terakhir kali, Amira menelepon Suzan ibunya dari sebuah pusat perbelanjaan. “Pah, Amira nggak mungkin ninggalin kita. Mama yakin dia cuma butuh waktu untuk nenangin diri,” ucap Suzan, mencoba meredam kemarahan Malik. Namun, Malik sudah telanjur kecewa. “Apa lagi yang bisa diharapkan dari Amira? Dia sudah mempermalukan kita dengan menolak Erick. Tiga tahun mereka bertunangan, nggak pernah ada masalah. Sekarang tiba-tiba dibatalkan? Apa dia nggak mikir harga diri keluarga ini?” Suzan hanya bisa diam. Ia tahu Amira punya alasannya sendiri, tapi ia juga sadar sekarang bukan waktu yang tepat untuk membela putrinya. Sementara itu, tak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya menimpa Amira. Siang itu, saat Malik dan Suzan masih duduk di ruang tamu dalam kekhawatiran yang tak berujung, Erick datang. Wajahnya tampak iba, seolah benar-benar peduli. “Amira belum pulang juga?” tanyanya dengan nada prihatin. “Maafkan

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Luka yang Tak Terucap

    Amira perlahan membuka matanya. Cahaya matahari pagi menelusup melalui celah tirai, menyilaukan matanya yang masih terasa berat. Saat kesadarannya mulai kembali, tubuhnya terasa nyeri dan lelah tak terkira. Namun yang paling membuatnya membelalak bukan rasa sakit itu… melainkan tubuh seorang pria yang tidur di sampingnya. Oliver. Dengan tubuh hanya dibalut selimut putih, Amira menatap pria itu dengan campuran kaget, jijik, dan amarah yang meledak-ledak. Dadanya bergemuruh hebat. Luka batin dan rasa terhina seakan menampar kesadarannya berulang kali. “KAU!!!” teriaknya sambil menghujani tubuh pria itu dengan pukulan bertubi-tubi. Oliver terbangun dengan wajah mengantuk, tapi saat melihat Amira yang menatapnya penuh amarah, matanya membulat. “Kau sudah sadar, Amira?” ucapnya lembut, seolah tak ada yang terjadi. Tanpa basa-basi, Amira mencakar dadanya dan menarik rambut Oliver sekuat tenaga. Tapi tak ada reaksi dari pria itu. Sama sekali tak meringis. Ia hanya diam, membiarka

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Ingin Kumiliki Dirimu

    Amira masih menolak untuk bicara. Mulutnya terkunci oleh rasa marah, jijik, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Tapi Oliver tidak menyerah. Dengan tenang, pria itu mengajak Amira duduk di sebuah kafe yang telah ia sewa khusus hanya untuk mereka berdua. Tak ada pelanggan lain. Semua pelayan pun telah ia perintahkan untuk pergi. Ruang itu kini hanya milik mereka dan percakapan yang selama ini dihindari oleh Amira. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" desis Amira, matanya penuh kemarahan. "Kau mengambil keuntungan dari seseorang yang tidak sadar." Oliver bersandar santai, bibirnya melengkung licik, tapi nadanya tetap tenang. "Maafkan aku, Amira," ucapnya, suaranya seperti racun manis yang memabukkan. "Tapi ini bukan sepenuhnya salahku. Kau yang memaksaku melakukannya. Kau yang memulainya malam itu… Kau sendiri yang memintanya." Matanya menatap lekat-lekat ke arah Amira yang menggertakkan gigi, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. “Cukup,” ucapnya pelan, tajam.

  • Bukan Kekasihku, Tapi Kau Meniduriku.   Tak Sengaja Bertemu

    Amira keluar tanpa mengatakan apa pun pada Malik, ayahnya. Ia hanya ingin menenangkan diri dari semua masalah yang ia hadapi selama beberapa minggu ini. Ia tidak berani memberitahu ibunya bahwa dirinya tengah hamil, sementara ia pun tak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Amira tiba di supermarket. Ia berjalan menyusuri rak buah-buahan segar dan minuman dingin. Tenggorokannya terasa kering, tubuhnya pun lelah tak berdaya. Tanpa ia sadari, seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Seorang pria berpenampilan menarik, bertubuh tinggi tegap, mengenakan kemeja putih dengan satu kancing atas terbuka. Tatapan mata itu tak henti mengawasi Amira, gadis yang sudah ia cari selama satu bulan terakhir. "Itu dia." Oliver segera melangkah mendekati Amira. “Kau sedang apa di sini?” tanya Oliver, berdiri di samping Amira sambil memegang buah yang baru saja ia ambil dari rak. Amira tidak memperdulikannya. Bagi Amira, pria itu hanyalah Casanova yang diincar ribuan wanita.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status