Share

BAB 3 Terlalu Sinis

Setelah Dena turun dari mobil, Kenny segera menginjak pedal gas untuk meluncur menuju kantornya. Kenny sangat berbangga hati dengan apa yang dia dapatkan saat ini. Jabatan dalam karir, para wanita yang tergila-gila padanya, harta berlimpah, serta istri yang selalu percaya dengan ucapannya. Itu adalah pencapaian terbesar bagi seorang pria.

Sesampainya di kantor, Kenny langsung masuk ruang kerjanya. Menyalakan komputer dan memeriksa beberapa dokumen yang ada di meja kerja.

“Huftt.. klien tidak tahu diri. Sudah sepakat pembagian persentase keuntungan project, masih minta bonus. Mereka pikir bisnis di bidang property tidak memiliki risiko? Justru di sini tempatnya high risk. Salah perhitungan dan salah memanfaatkan momentum sedikit saja, bisa rugi besar. Dasar dungu semua!” oceh Kenny suntuk.

“Hallo, Arga bisa kau ke ruanganku?” ucap Kenny ditelepon.

“Baik, bisa Pak.”

Kemudian, sambungan telepon berakhir. Kenny segera merapikan semua dokumen di meja yang baru saja dia lihat. Tidak lama kemudian, suara pintu diketuk.

“Masuk!”

“Permisi Pak Kenny. Ada yang bisa saya bantu?”

“Bantu? Memang kau lebih hebat dariku? Apa kau memiliki segalanya dari pada aku?”

“Mmm.. maksud saya—”

“Seharusnya kau bertanya, ‘apa yang dapat saya kerjakan?’ karena kau seorang pekerja di perusahaan ini, paham!”

“Oke, saya paham. Apa yang dapat saya kerjakan, Pak?”

“Bagus. Aku tahu kau karyawan teladan yang selalu dielu-elukan Pak direktur, papahku. Jadi, aku minta kau periksa dokumen ini. Buatkan resume project dari para klien ini. Aku mau tahu prospek kerjasama dengan mereka seperti apa. Tunjukan bahwa kau memang pantas menyandang status sebagai karyawan teladan.”

“Maaf Pak, bukankah itu dokumen ditujukan untuk CEO kantor. Sepertinya sifatnya confidential, rahasia perusahaan,” sahut Arga.

“Hmm.. Jadi, kau tidak mau mengerjakannya? Kalau begitu, untuk apa kau berada di kantor ini.”

“Bu-bukan begitu maksud saya.”

“Lalu tunggu apa lagi?”

“Baik Pak, segera saya akan infokan hasilnya.”

Kenny tersenyum sinis, lalu membuka tangannya ke arah pintu seraya mempersilakan Arga keluar dari ruangannya. Dengan langkah cepat, Arga meraih dokumen dan angkat kaki dari ruangan tersebut.

“Aku kira kau pintar Arga. Ternyata sama saja seperti yang lain, mudah diancam. Okee, sekarang semua beres,” oceh Kenny sambil duduk bersantai.

**

Suasana di rumah

Di tempat yang berbeda, Febby tampak asik menikmati buah mangga yang kemarin sempat dibeli oleh pelayan pribadinya. Ya, Kenny memberikan pelayan pribadi untuk mengurus dan membantu khusus  untuk keperluan Febby sehari-hari di rumah.

Saat sedang menyantap buah tersebut, terdengar suara orang bercakap sambil tertawa di halaman belakang rumah.

Rumah keluarga Maharendra memang luas dan modern. Mereka dikenal masyarakat kota sebagai pengusaha yang sukses.

“Heuh ternyata Kak Tantri dan Aurel. Paling juga lagi gossip ga penting. Lebih baik aku lanjut makan lagi saja,” ucap Febby sambil menyuap kembali.

“Non Febby mau bibi buatkan susu atau teh hangat?”

“Mmm boleh deh Bi, teh hangat saja.”

“Baik, mau dicampur madu atau jeruk nipis ga Non?”

“Iya mau, sepertinya seger.”

Setelah menunggu beberapa menit, teh hangat pun datang dan siap untuk diteguk.

“Berisik banget sih mereka,” protes Febby kesal.

“Biasalah Non. Mereka kan satu tipe, tukang ngomongin orang. Lagi pula Non Aurel itu ngapain masih dateng ke sini terus. Dia kan sudah putus lama dari Tuan Kenny. Tuan juga sudah menikah dengan Non Febby.”

“Jadi benar Aurel itu mantannya Mas Kenny?”

“Oopps.. Umm.. maaf Non.”

“Tenang Bi, aku sebenarnya sudah tahu. Hanya memastikan saja. Huft.. Aku ga cemburu kok, karena Mas Kenny cinta banget sama aku, jadi terserah Aurel mau ke sini atau gak, suami aku gak akan tertarik.”

“Bagus Non. Lagian Non Aurel itu bawel, judes, tukang ngatur. Syukur deh Mas Kenny jadinya sama Non Febby yang cantik dan baik hati.”

“Bisa saja Bibi. Tapi bener juga sih, ngapain dia masih datang ke sini? Masih mau godain suamiku?”

“Setahu Bibi, dia satu komunitas arisan sama Non Tantri. Mereka juga anggota perkumpulan wanita kelas atas gitu, Non. Tapi, tetap harus hati-hati sama prilakunya. Bisa saja dia bermaksud buruk dengan rumah tangga Non Febby dan Mas Kenny.”

“Ishh amit-amit. Awas saja kalau dia berani macam-macam.”

Wajah Febby mendadak berubah masam. Kata-kata bibi cukup membuatnya khawatir. Apalagi di zaman sekarang, di mana perempuan sudah berani dan terang-terangan menggoda laki-laki yang sudah beristri.

Tiba-tiba terdengar suara orang berbicara sambil tertawa lepas semakin terdengar jelas. Sejurus kemudian, bola mata Febby melirik kearah sumber suara. Benar saja Tantri dan Aurel berjalan santai hendak memasuki ruang belakang rumah, tempat Febby sedang bersantai.

“Non Febby, mereka datang tuh. Bibi ke dapur dulu ya, malas lihatnya. Nanti kalau perlu apa-apa, panggil saja.”

“Iya Bi, makasih.”

Langkah kaki semakin jelas terdengar. Namun, Febby tetap pada posisinya sambil terus menikmati buah mangga.

“Aurel, lebih baik kita ke ruang tengah saja. Tiba-tiba aku merasa mataku terkena polusi berada di sini,” ucap Tantri sambil melirik kearah Febby.

“Ahh di sini saja Kak Tantri. Kita duduk di sebelah sana, pasti mata Kakak tidak terkena polusi lagi. Lumayan berjarak kan dari sumber polusi,” sindir Aurel sambil tersenyum sinis.

Seketika Febby mengerutkan dahinya. Dia paham betul kemana arah pembicaraan mereka. Rupanya, dirinya sedang dicemooh. Tidak mau ambil pusing, Febby terus menikmati buah mangga sambil menyeruput teh hangat di meja sambil menikmati pemandangan taman belakang yang luas.

“Kak, biasanya Mas Kenny pulang jam berapa ya? sudah seminggu ini aku tidak bertemu dengannya,” ucap Aurel dengan suara keras.

“Biasanya jam 07.00 malam. Tapi kemarin sampai larut malam belum juga pulang. Entahlah kemana dulu,” jawab Tantri sinis.

“Kok bisa yah. Apa pergi clubbing bersenang-senang dengan para wanita?” Aurel mulai memancing.

Terdengar suara cekikikan meledek Febby yang perhatiannya sudah mulai teralihkan. Perlahan, Febby menghentikan aktivitasnya dan mendengar percakapan kedua wanita yang duduk dikursi lain, cukup berjarak di belakangnya.

“Jangan begitu Aurel. Biar bagaimanapun Kenny itu adik ipar aku. Dia tidak mungkin melakukan hal itu, kecuali memang ada alasannya,” sahut Tantri sambil menyeringai.

Mereka semakin bersemangat untuk terus membuat Febby terguncang dan kesal. Kapan lagi bisa ada kesempatan memaki perempuan yang selalu dilindungi suami, kakak ipar dan bapak mertuanya.

“Oh tentu saja pasti ada alasannya. Menurutku, Kenny sudah bosan dengan yang ada di rumah. Di luaran sana pasti Kenny banyak bertemu dengan para wanita cantik dan berkelas yang memikat hatinya. Mana mungkin seorang Kenny mau dengan wanita lusuh, lecek, dan kuno macam istrinya,” terang Aurel ketus.

Mereka pun tertawa terpingkal-pingkal tanpa peduli bagaimana perasaan Febby yang sedang menahan amarah.

Sejurus kemudian, Febby mengepalkan kedua tangannya. Dadanya terasa sesak dan nyeri mendengar kata-kata pedas dari kedua wanita tersebut. Seketika Febby berdiri dan menoleh ke arah Tantri dan Aurel yang masih tertawa lepas.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status