*Happy Reading*
Aku udah gak ngerti lagi dengan situasi yang tengah terjadi sekarang. Ternyata Irfan temannya SMA-nya Alan. Demi apa? Tuhan ... sejodoh itu ya aku sama nih manusia lempeng. Hingga aku kayaknya gak bisa jauh sama tuh makhluk dingin yang ingin sekali aku taruh di tungku.
Biar anget dikit gitu, gengs. Soalnya, Alan tuh dinginnya udah mengkhawatirkan banget. Apalagi, setelah dikenalkan tadi oleh Irfan. Tatapannya itu, loh! Bikin aku pengen pipis mulu.
Lebih menyebalkannya. Tuh cowok kek gak ada kerjaan hari ini. Ngintilin kami terus dari tadi. Bahkan saat Irfan mengajaknya gabung makan siang bersama. Dia setuju aja gitu, tanpa ngerasa dosa sama sekali.
Ya ... Ampun, nih cowok beneran gak ada kerjaan, ya hari ini? Atau emang mau nyambi jadi nyamuk? Nyebelin banget, sumpah!
"Kenapa melihat saya seperti itu? Gak suka saya gangguin kencan kalian?"
Udah tahu tanya! Kalau emang dia sepeka itu, kenapa gak minggat aja, sih. Milih jadi nyamuk. Eh, atau setan. Kan, kalau cewek dan cowok berduaan, orang ketiganya setan. Bener, gak?
"Nggak, kok. Cuma heran aja. Tumben banget A--eh, Bapak bisa keliaran kayak gini. Biasanya kan Bapak sibuk terus." Meski begitu, mana bisa aku jujur. Bagaimana sejak aksi heroiknya malam itu, aku sudah tidak bisa memandangnya seperti dulu.
Katakanlah aku sangat merasa hutang budi padanya. Makanya, aku lumayan segan pada pria yang saat ini tengah memakai kemeja polos dongker, dengan lengan panjang yang digulung sampai sikut.
"Lagipula, siapa bilang saya sama Irfan sedang berkencan? Nggak, tuh. Kami hanya jalan biasa." Entah kenapa, aku malah menambahkan pernyataan itu.
Alan menaikan alisnya satu, seraya menatapku dengan datar. "Kalian gak pacaran?" selidiknya.
"Kayaknya saya gak punya kewajiban apapun buat jelasin sama situ." Akhirnya, aku pun memilih menegaskan tetang batasan yang ada. Agar Alan tidak makin kepo.
Mengangguk paham sejenak, Alan pun kembali menatapku yang kini tengah pura-pura memainkan makanan di piring. Sengaja, biar gak harus balas menatapnya. Soalnya aku masih canggung sama dia.
"Di mana kamu kenal Irfan?" Kukira, dia mengerti batasan yang aku rentangkan. Ternyata, manusia keturunan tembok itu masih penasaran.
"Di pom bensin. Pas saya lupa bawa dompet buat beli bensin. Dia minjemin duitnya dan ... ya, akhirnya kami saling tuker kabar. "
Gilanya. Kenapa pula aku jawab, ya? Plus detail kejadian lagi. Kan aku ngerasa kek bego banget sekarang. Kenapa aku seperti takut Alan salah paham, akan hubunganku dan Irfan yang belum jelas, ya? Whats wrong with me?
"Tapi dia bilang kamu calonnya, loh. Berarti hubungan kalian sudah lumayan intim, ya?" Alan makin menuntut.
"Terserah dia mau bilang apa. Selama dia gak berani ketemu Abah, bagi saya gak ada yang spesial."
"Tapi--"
"Serius deh, Pak. Ini Bapak beneran dari tadi ngintil kami cuma buat ngepoin saya, ya? Bapak beneran segabut itu, ya? Beneran gak sibuk?" Daripada makin merasa begok. Aku pun sekali lagi merentangkan sebuah batasan padanya.
Alan pun menghela napas panjang, sebelum menyandarkan punggungnya dengan nyaman di sandaran kursi, "Saya sebenarnya sibuk."
"Oh, ya? Terus kok bisa ngayap santuy kek gini?" Aku tidak gampang percaya. Bertanya seraya melirik arah toilet restoran ini, di mana tadi Irfan ijin pergi ke sana. Itulah kenapa, aku bisa bicara santai dengan Alan, dan tidak harus berpura-pura tak kenal seperti drama yang Alan mulai.
Catet, ya. Drama yang Alan mulai. Karena memang. Dari awal dia yang sudah pura-pura gak kenal aku. Jadinya ya ... aku sih ngikut aja.
"Karena hanya dengan cara seperti ini kamu gak menghindari saya."
Eh?
"Menghindari?" Aku membeo refleks.
"Tidak usah berkilah. Kamu kira, saya gak tahu kamu dua minggu ini menghindari saya. Saya tahu, Suster. Jangan remehkan kepekaan saya."
Wah, ternyata dia tahu! Hebat juga, ya?
"Apaan, dah? Saya beneran gak ngerti, kok. Lagian siapa juga yang menghindar dari situ? Emang situ siapa ya, harus saya hindari? Sejenis virus, kah?" balasku mencoba sesantai mungkin menanggapi tuduhan dan tatapan tajam dari Alan.
Padahal aslinya. Aku gugup parah. Bahkan demi membuat aksiku terlihat Natural. Aku pun pura-pura mengaduk minumanku dan meminumnya dengan santai.
"Entahlah. Mungkin karena waktu itu saya bilang anda tembus."
Uhuk! uhuk!
Sialan!
Karena kaget dengan jawaban Alan. Aku pun langsung terbatuk akibat tersedak minumanku sendiri. Asli! Sakit banget hidung dan tenggorokanku.
Mana yang aku minum ini mengandung soda, lagi. Kan, perih jadinya, cuy!
Asem banget emang nih pengacara sebiji!
Bener-bener minta di mutilasi, ya?
Mulutnya itu, loh. Bocor banget, sih!
"Gak usah bahas itu lagi bisa, gak?" Aku pun akhirnya mengeram kesal dengan muka merah menahan malu, atas bahasan yang Alan bawa itu.
Katanya peka, tapi kok gak ngerti banget kalau aku gak mau bahas hal itu lagi.
Bukannya prihatin, atau ngerti. Tuh pengacara muka datar, hanya menaikan bahu acuh sambil bilang, "Berarti benar itu masalahnya."
Aku pun memilih membungkam mulutku, agar tak terpancing untuk menyumpahi nih pengacara mulut bon cabe.
Namun tetap saja, mood aku terlanjur anjlok dibuatnya.
"Maaf," katanya kemudian.
Eh?
"Walaupun saya gak tau ada makna apa di balik kata itu, yang bikin kamu kesal dan marah sama saya. Tapi ... jika memang kata itu yang bikin kamu menghindari saya. Maka saya ingin minta maaf sama kamu," sambungnya lagi, dengan face pokernya seperti biasa.
Sementara aku? Malah mengerjap tak percaya mendengar dia minta maaf seperti itu.
Ini dia serius?
Gak lagi ng'prank, atau apa gitu?
Soalnya setau aku, kan. Nih cowok gak pernah tuh ngucapin kata maaf selama ini.
Bahkan dulu, waktu insident ceu Elin pun. Kayanya dia gak minta maaf tuh, udah cium keningku seenak jidatnya.
Kok sekarang ....
"So ... kamu mau kan, maafin saya?" Lanjutnya sambil menuntut jawaban
Eh?
Maafin?
Kasih gak, ya?
Nanti kalo aku kasih maaf, dia bakal balik nyebelin gak, ya? Atau mending jangan maafin aja. Biar dia gak banyak tingkah lagi gitu. Tapi ....
"Sorry ya, lama." Belum sempat aku memberi jawaban. Irfan ternyata keburu datang, dan menginterupsi kami.
"Ah, gak papa, kok. Sans aja, lah," jawabku santai sambil tersenyum manis.
Sementara Alan, tak berkomentar. Juga tak bereaksi apapun. Kembali datar seperti biasanya.
Huh! Nih cowok kayanya emang gak bisa basa basi, deh?
"Oh, ya? Tadi lagi ngomongin apaan? Kayanya seru aku lihat dari jauh. Kalian ... gak ngomongin aku, kan?" Irfan mencoba berkelakar, di akhiri kekehan renyah di tempat duduknya.
Garing sih sebenernya. Tapi sebisa mungkin aku tertawa aja menanggapi kelakarnya yang gak banget itu.
Ini namanya menghargai orang lain, pemirsa.
"Dih! Emang situ siapa mau di omongin? Artes bukan, Pejabat juga bukan. Gak penting tau," timpalku, sebisa mungkin mengimbangi candaannya.
"Loh, aku kan, calon imam kamu. Insya Allah," jawab Irfan lagi dengan percaya diri.
Anehnya aku kok, gak baper ya di modusin dia, gitu? Lebih dari itu, Entah kenapa? Aku malah reflek melirik Alan saat itu juga.
Tetapi emang dasar manusia lempeng. Dia mah anteng-anteng aja di tempatnya. Sambil memakan makanannya dengan lahap. Seperti tak terpengaruh apapun dengan obrolanku dan Irfan.
Kok, aku kesel ya, liatnya?
"Gak usah sesumbar, kalau ketemu Abah aja beluman." Akhirnya seperti Alan yang mengabaikan aku. Aku pun mengabaikan pria itu.
Emang situ doang yang bisa sok cuek. Akikah juga bisa ya, Cyiinn!
"Ada masanya, Sayang. Nanti juga aku bakal temuin abah kamu, kok. Aku bakal minta kamu secara resmi pada beliau. Dan, ya ... nanti kita nikah secepatnya," jawab Irfan meyakinkan. Dengan senyum menawannya seperti biasa. Membuat aku mau tak mau merona di buatnya.
Kan tetapi, tetap saja gak ada deg-degan yang gimanaaaa gitu?
Pokoknya beda banget sama malam itu, di waktu nih pengacara--
Haish! Ngapa jadi ingat-ingat momen itu lagi, sih. Kan, ini aku lagi PDKT ceritanya sama Irfan. Kenapa aku malah mikirin Alan?
Sekali lagi, aku pun reflek melirik Alan. Tapi, seperti halnya tadi. Dia tetap acuh dengan makanannya itu.
Seenak itukah makanannya? Hingga dia mengindahkan aku dan Irfan di sini. Sumpah, ya! Aku kok jadi kesel banget ya, liat keacuhannya itu?
"Hahaha ... bisa aja kamu. Pinter banget sih, jawabnya. Aku jadi terharu. Sumpah deh! Nyontek di buku mana, sih?" jawabku pura-pura tak terpengaruh, dengan gombalan Irfan. Juga dengan keacuhan Alan.
Irfan pun langsung tergelak mendengar jawabku barusan.
"Kamu ini, ya. Emang pinter banget ngerusak momen. Padahal tadi aku udah dari hati banget loh, ngomongnya. Aku serius tau. Kenapa sih, kamu gak bisa percaya sedikit pun sama aku?" kata Irfan lagi, masih dengan senyum menawannya.
"Iya, iya, aku percaya, deh. Biar kamu seneng." balasku pura-pura termakan umpannya.
"Ya, udah. Kalo gitu ayo dong, kita pacaran," tembak Irfan langsung.
"Nope!" balasku cepat, sambil menggeleng tak setuju.
"Ck, kenapa lagi sih, Mi? Kan, katanya kamu udah percaya sama aku? Masa gak mau juga aku ajak pacaran. Padahal kita udah lumayan lama loh, penjajakan kaya gini," keluh Irfan, mulai terlihat kesal. Tapi hanya kutanggapi dengan gedikan bahu acuh saja.
"Aku capek pacaran, Fan. Kapok tepatnya. Jadi, kalo kamu emang beneran serius sama aku. Langsung ketemu Abah aja, deh. Nanti pacarannya biar abis ijab qobul aja," jawabku enteng. Membuat Irfan mendengkus kesal setelahnya.
Lah, emang aku salah ngomong, ya?
Padahal Aku ngomong jujur, kok. Bahkan sudah berkali-kali aku deklarasikan ke hadapannya.
Dia gak denger apa gimana, sih?
Irfan baru aja mau membuka mulutnya lagi. Namun langsung terhenti ketika sebuah seruan kecil menginterupsinya.
"Daddy ...."
Tak lama dari seruan itu. Seorang gadis cilik pun terlihat berlari ke arah Irfan dan melompat kepelukannya dengan riang sambil mencium pipi Irfan dengan durasi yang lama.
Degh!
Daddy?
Tunggu! Ini maksudnya apa?
"Loh, Sayang. Kok, kamu ada di sini, sih? Aku kira kamu masih di kantor, loh."
Tak berselang lama dari kehadiran gadis kecil tadi. Seorang wanita cantik yang berpenampilan elegant pun, menyusul dan langsung mencium pipi Irfan mesra sekali. Membuat aku langsung melotot horor di tempatku.
Drama macam apa ini?
Jadi ... dia suami orang!
"Aduh! Terus kumaha iye? Mana si Bapak udah pergi? Saya telepon Bapak lagi aja, gimana? Pasti belum jauh, kan?" Asisten yang bernama Mbok Minah itu pun seketika panik. "Jangan, Mbok. Jangan ganggu Bapak," larang Hasmi yang kini berusaha mengatur napasnya, demi meredakan sakit yang semakin mendera perut bawahnya. "Ya, terus. Ini gimana, Bu? Saya harus apa?" Meski agak heran dengan permintaan sang nyonya. Mbok Minah pun kembali bertanya. "Suruh Pak Komang siapin mobil. Terus, tolong ambilin tas bayi di kamar yang sudah saya siapin. Mbok nanti temenin saya ke Rumah sakit, mau, ya?" pinta Hasmi setelah memberi titah pad sang asisten. "Iya, iya, Bu. Nanti saya temani. Kalau gitu, ibu tunggu bentar, ya? Saya nyari si Komang dulu." Mbok Minah pun pamit, mencari sopir yang sengaja Alan pekerjakan untuk mengantar-antar Hasmi jika ingin bepergian sendiri. Sementara Mbok Minah melaksanakan titah Sang nyonya. Hasmi sendiri kini tengah sibuk mera
Ektra part 5*Happy Reading*Hasmi mendesah berat, saat terbangun dari tidur malamnya tapi tidak menemukan Alan di sisi tempat tidur. Melirik jam di atas nakas sejenak, yang menunjukan pukul dua pagi. Hasmi pun memutuskan turun dari tempat tidur, dan menghampiri suaminya itu. Ruang kerja menjadi tujuan Hasmi. Karena setelah makan malam, Alan memang pamit meneruskan pekerjaan yang belum sempat dia selesaikan di kantor. Sementara Hasmi, memilih langsung tidur setelah sholat isya.Kehamilan yang sudah semakin besar membuatnya mudah lelah. Itulah kenapa, Hasmi jadi sering mengantuk dan mageran. Ditambah lagi, sekarang ada beberapa asisten rumah tangga di rumahnya. Makin-makin saja kemagerannya itu. Hasmi kembali menghela napas panjang, saat menemukan kebenaran atas dugaannya. Di sana, di dalam ruang kerjanya. Alan tengah menatap layar laptopnya dengan tampang serius sekali. Membuatnya terlihat bersahaja dan tampan sekali. Ah, mema
Ekstra part 4"Sudahlah, Alan. Biar aku saja yang jadi mengajak istrimu berkeliling. Aku janji tidak akan membuat istrimu lecet. Jadi, kau tidak harus menyusahkan diri sendiri seperti itu."Alan langsung mendengkus kesal, saat lagi-lagi Frans mengejeknya ketika jatuh dari motor.Ya. Demi Hasmi. Alan akhirnya memutuskan belajar motor kembali, agar bisa memenuhi ngidam sang istri. Meminta bantuan pada Frans yang memang lihai dalam hal kendaraan beroda dua itu. Awalnya Alan ingin minta di ajarkan lagi dalam mengendarai motor. Siapa sangka? Ternyata pria itu malah terus mengejeknya sepanjang latihan."Terima kasih, Frans. Aku masih bisa menuruti ngidam istriku seorang diri. Kau diam menyimak saja," balas Alan kemudian. Tidak akan pernah mengijinkan Frans berdekatan dengan istrinya lagi. Apalagi, setelah tahu perasaan pria itu pada sang istri. Alan tidak ingin memberi celah sedikitpun untuk sebuah perselingkuhan. Ah, ya! Satu rahasia ya
*Happy Reading*Entah sudah jadi sugesti atau memang kebetulan saja. Sejak mengetahui jika sudah berbadan dua, tubuh Hasmi pun mulai merasakan kodisi yang biasa ibu hamil rasakan. Mual-mual dan lain macamnya. Namun, yang paling membuat Hasmi kewalahan adalah muntah-muntah yang di alaminya. Karena hal itu bukan cuma saat pagi hari saja, tetapi bisa seharian full dan membuatnya tidak bisa berjauhan dari kamar mandi. Selain muntah yang berlebihan, Hasmi juga tidak berselera makan sejak hamil. Semakin dia makan, semakin sering dia muntah. Terutama dengan makanan pokok negara kita, yaitu nasi. Jangankan memakannya, mendengar namanya saja dia sudah mual. Dengan kondisinya yang seperti itu, sudah bisa dipastikan. Hanya dalam hitungan hari saja, Hasmi pun drop. Mengharuskannya bedrest total dan mendapat asupan makanan dari selang infus.Sebagai seorang suami, Alan pun dirundung kesedihan melihat kondisi Hasmi. Seandainya saja dia bisa menggant
*Happy Reading*"Nah, udah kelar! Lo? Udah kelar juga, gak?" Hasmi melirik Mira, menanyakan pekerjaan gadis itu. "Bereslah! Miwra gitchu, loh!""Najis! So imut bet lo!" Hasmi misuh-misuh kesal melihat tingkah Mira. "Emang imoet kakak ...." sahut Mira sengaja mengedip-ngedipkan mata seperti orang cacingan. Ingin menggoda Hasmi"Semerdeka lo aja dah, Mir. Males debat gue." Hasmi mengalah. "Dahlah, yuk sholat dulu. Udah masuk waktunya, kan?" Hasmi memilih mengalihkan obrolan pada yang lebih berfaedah. "Udah, sih. Tapi lo duluan aja.""Lah, Ngapa? Lagi males atau ngerasa udah banyak pahala?" sindir Hasmi."Bukan, gela! Gue lagi dateng bulan."Owh ... pantas saja. Soalnya setahu Hasmi, meski si Mira ini bar-bar dan adminnya lambe jemblehnya rumah sakit ini. Tetapi perkara sholat, gak pernah ketinggalan. Bahkan bisa dikatakan jempolan, soalnya gak nunda-nunda waktu. "Oh gitu ...." Hasmi menganggu
*Happy Reading*(Author pov)Hari ini sabtu dan Alan sedang libur. Pria itu sengaja tidur lagi sehabis sholat subuh, karena memang tak punya rencana apapun hari ini. Hanya bersantai ria dengan istri tercinta yang pastinya sedang sibuk membersihkan rumah.Jangan salah kira. Alan bukannya mau menjadikan istrinya itu sebagai pembantu di rumahnya sendiri. Hanya saja, Hasmi memang suka bebenah orangnya, dan tidak ingin memiliki pembantu dulu."Nanti saja punya pembantunya, A. Sekarang Hasmi belum butuh. Lagian, di rumah ini juga hanya kita berdua. Hasmi masih bisa mengurus semuanya sendirian."Itu katanya, saat Alan tawarkan seorang pembantu untuk membantunya mengurus rumah mereka. Meski sudah dibujuk bagaimana pun. Jawaban wanita itu tetap sama. Belum butuh. Begitu saja terus. Sampai Alan menyerah dalam membujuk wanitanya. Karena tak ingin malah jadi ribut nantinya. Kadang, istrinya itu memang sangat keras kepala. Makanya Alan memilih me