Share

7. Kita Bukan Keluarga Lagi

“Bersiaplah, kamu perlu berganti baju dan juga membersihkan diri kalau mau,” tukas Darius yang sudah selesai berbincang dengan keluarga Lakshmi sementara istrinya enggan berbicara dengan keluarganya sendiri.

Sebenarnya Darius ingin bertanya kenapa Lakshmi sampai begitu enggan berbicara barang sebentar dengan kedua orangtuanya, sementara mertuanya terus mengkhawatirkan putrinya itu.

Lakshmi hanya mengangguk saja. Dia memilih untuk mengambil baju di lemari kayu miliknya yang sudah reyot dan juga sudah gopok.

Dia berbalik, masih saja menatap Darius dingin. “Keluarlah dulu, jika anda ingin saya cepat berkemas,” sindirnya.

Darius semakin ingin sekali mengurung gadis itu ke pelukannya kalau bisa. Sayangnya, ia hanya bisa menurut saja untuk saat ini. Melangkah keluar kamar dan menunggu istrinya bersiap.

Lakshmi menghela napasnya, lelah. Ia hanya ingin tidur kalau bisa. Namun, semakin lama dia berada di rumah yang sama dengan ayah dan ibunya malah semakin menambah kadar sesak yang dirasakannya.

Dia tak memikirkan baju mana yang indah untuk dipakai di hadapan suami. Semua mimpi mengenai malam pertama yang pernah diutarakannya kepada sahabatnya tak akan pernah terealisasikan. Hanya mengambil rok hitam panjang dengan blouse silver yang masih nampak layak untuk dipakai.

Dia hanya membersihkan make up tebal itu dengan micellar water sementara rambutnya berusaha untuk digelung seadanya setelah dibuat kaku.

Dia tak peduli dengan bedak atau apa pun yang disarankan dipakai oleh wanita.

Matanya menatap banyaknya bingkisan dan kado dari para tamu yang sudah berjejer di kamarnya, termasuk di atas ranjangnya.

Seringaian di bibirnya terbit. “Betapa indahnya menjadi pengantin huh?” sindirnya kepada diri sendiri.

Seakan kado-kado itu adalah sebuah penghinaan untuknya.

Satu set make up yang terbingkis rapi lalu bertutupkan plastik mika yang transparan yang dihias sebegitu indahnya sebagai hantaran untuk sang istri.

“Cih, semuanya hanyalah palsu.”

Lagi-lagi Lakshmi hanya mengambil satu ransel yang diperlukan untuk wadah laptop dan juga ponselnya saja. Dia tak punya apa-apa yang tersimpan di kamarnya. Kamar yang hanya berisi ranjang usang berusia puluhan tahun barangkali, itu adalah warisan dari kakek neneknya. Tidak ada yang berharga.

Sebelum beranjak membuka pintu, dia berbalik sebentar. Menyeringai. Tangannya mengambil cutter dan menyobek asal semua bingkisan lalu sengaja melemparnya ke sana ke mari sampai beberapa benda hancur berantakan.

Prak!

Tak!

Trakk!

Napasnya terengah-engah, semakin tertawa senang. “Hah … hah … bagus sekali,” bisiknya.

Mengusap keringat yang menghiasi wajahnya, ia pun keluar kamar. Tatapannya kembali dingin, tanpa emosi. Dia bisa melihat seluruh keluarganya berkumpul sementara Darius tengah duduk di samping ayahnya.

Bahkan tangan ayahnya yang tak pernah menggenggam tangannya sendiri kini rela menggenggam tangan Darius, si orang asing? Ah, mungkin dia lah yang orang asing di sini, bukan Darius.

Darius tersenyum, segera berdiri menyambut Lakshmi.

“Kamu sudah beres? Berbincanglah dulu dengan keluargamu. Mereka pasti akan merasa kehilangan kamu. Aku akan berganti pakaian.”

Darius seakan memberi waktu untuk keluarga mertuanya agar bisa berbicara dengan putrinya itu. Namun, jawaban Lakshmi semakin membuat orangtua dan para kakaknya tercengang bukan main.

“Tidak ada yang harus dibicarakan. Di mana mobil Mas? Biar aku bisa menaruh ranselku,” tukasnya cepat sama sekali enggan menatap kedua orangtuanya sendiri.

Darius semakin merasa tak enak.

Belum sempat dia membujuk wanita itu, keluarga Lakshmi sudah berteriak kencang.

“Lakshmi!”

“Astaghfirullah, Lakshmi, apa yang kamu bicarakan?!”

“Nak, kenapa kamu tak bicara dulu dengan Ibu, Nak?” Bahkan suara cicitan Suryani seakan lewat begitu saja dengan balasan decihan dari Lakshmi.

Lagi-lagi Suryani menangis dalam diam. Sementara sang ayah semakin mengeras wajahnya. Duduk di kursi singgasananya sembari wajahnya pias, marah besar.

“Pergilah kau anak tak tau diuntung!” usirnya.

“Memang saya akan pergi.”

Bahkan Lakshmi dengan senang hati melenggang keluar gubuk rumah keluarganya.

Darius semakin tercengang. Dia buru-buru izin keluar. “Maaf Pak, sepertinya Lakshmi marah pada saya,” kilahnya beralasan.

Semakin tergugu lah Suryani mendengarnya. Dia merasakan bagaimana putrinya tengah membalas dendam akibat ketidakberdayaannya untuk melanggar keputusan suaminya sendiri.

“Sudahlah, bawa saja anak durhaka itu.” Bahkan Purwanto masih saja arogan, dia sama sekali tak mau memikirkan anak yang pantang menurut padanya.

Sementara anak-anak yang lebih tua dari Lakshmi tengah berusaha menghibur ibu mereka. Entah apa yang dipikirkan Lakshmi, namun dapat dilihat oleh mereka kalau Lakshmi benar-benar merasa sakit hati akibat keputusan kedua orangtua mereka.

Mereka hanya bisa bungkam tanpa bisa berkomentar apa-apa lagi untuk saat ini.

Sebelum Lakshmi menggapai pintu, dia berbalik sambil menyeringai. “Tidak ada apa pun yang kubawa dari rumah ini. Termasuk hantaran dan juga kado-kado pernikahan yang paling tak kuinginkan ini,” desisnya.

“Keluar kau Lakshmi!!!” bentak Purwanto yang seakan semakin terpancing emosinya.

“Dengan senang hati Pak Purwanto.”

Brak!

Lakshmi segera menutup pintu. Setidaknya para warga sudah tak berkumpul. Satu hal yang masih dipikirkan secara waras oleh mantan keluarganya. Pesta pernikahan hanya sampai sore. Malam ini sepi, tersisa beberapa orang yang hilir mudik tak peduli dengan area gubuk keluarganya.

Lakshmi memilih berdiri di sudut luar gubuk, menunduk dan enggan menatap ke arah depan. Dia bisa mendengar langkah terburu-buru yang mendekat. Terang saja dia tahu siapa orangnya.

“Kalau anda hanya ingin berceramah pada saya, urungkan. Saya enggan mendengar pembelaan untuk anak durhaka seperti saya,” ketusnya.

Darius diam. Dia menatap intens wajah datar Lakshmi. Merasakan ada emosi mendalam dari luka di hati gadis itu. Dia menggeleng, memilih untuk tak memperkeruh suasananya. Dia sadar, kalau dia lah penyebabnya.

“Mau pulang sekarang?”

“Pulang? Sejak kapan saya punya rumah untuk pulang.”

Darius kembali diam sesaat sebelum berlanjut menjawab ucapan itu. Dia menghela napas lagi. “Rumahku adalah tempat pulangmu.”

Lakshmi memilih diam saja.

“Tunggu saja di mobilku, aku bicara sebentar dengan kedua orangtuamu.”

Lakshmi tak menjawab. Selagi Darius mengeluarkan kunci mobilnya dan mengontrol agar pintu mobilnya tak terkunci. Terdengar suara yang dikeluarkan mobilnya saat dia menekan remote di tangannya.

Lampu mobilnya berkedip dua kali, tanda yang amat dikenali oleh Lakshmi. “Itu mobilku.”

Lakshmi memilih menuju ke mobil segera, sementara Darius kembali ke rumah setelah memastikan gadis itu duduk di mobilnya.

Katakan saja dia berjaga-jaga kalau gadis itu akan kabur. Sengaja mengunci mobilnya kembali melalui kunci digital yang dipegangnya.

Ia kembali ke rumah.

Sementara Lakshmi hanya menunggu saja di dalam benda kotak berbahan baja itu.

Dia memilih untuk memejamkan matanya, kepalanya terasa pusing. Dia hanya makan sedikit saat tadi siang. Ia hanya perlu menunggu.

Berpikir ingin kabur, dia tahu Darius itu pintar. Tak mudah untuk mengibuli pria tua itu. Katakan saja tua, karena berbeda dua belas tahun darinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status