“Bersiaplah, kamu perlu berganti baju dan juga membersihkan diri kalau mau,” tukas Darius yang sudah selesai berbincang dengan keluarga Lakshmi sementara istrinya enggan berbicara dengan keluarganya sendiri.
Sebenarnya Darius ingin bertanya kenapa Lakshmi sampai begitu enggan berbicara barang sebentar dengan kedua orangtuanya, sementara mertuanya terus mengkhawatirkan putrinya itu.
Lakshmi hanya mengangguk saja. Dia memilih untuk mengambil baju di lemari kayu miliknya yang sudah reyot dan juga sudah gopok.
Dia berbalik, masih saja menatap Darius dingin. “Keluarlah dulu, jika anda ingin saya cepat berkemas,” sindirnya.
Darius semakin ingin sekali mengurung gadis itu ke pelukannya kalau bisa. Sayangnya, ia hanya bisa menurut saja untuk saat ini. Melangkah keluar kamar dan menunggu istrinya bersiap.
Lakshmi menghela napasnya, lelah. Ia hanya ingin tidur kalau bisa. Namun, semakin lama dia berada di rumah yang sama dengan ayah dan ibunya malah semakin menambah kadar sesak yang dirasakannya.
Dia tak memikirkan baju mana yang indah untuk dipakai di hadapan suami. Semua mimpi mengenai malam pertama yang pernah diutarakannya kepada sahabatnya tak akan pernah terealisasikan. Hanya mengambil rok hitam panjang dengan blouse silver yang masih nampak layak untuk dipakai.
Dia hanya membersihkan make up tebal itu dengan micellar water sementara rambutnya berusaha untuk digelung seadanya setelah dibuat kaku.
Dia tak peduli dengan bedak atau apa pun yang disarankan dipakai oleh wanita.
Matanya menatap banyaknya bingkisan dan kado dari para tamu yang sudah berjejer di kamarnya, termasuk di atas ranjangnya.
Seringaian di bibirnya terbit. “Betapa indahnya menjadi pengantin huh?” sindirnya kepada diri sendiri.
Seakan kado-kado itu adalah sebuah penghinaan untuknya.
Satu set make up yang terbingkis rapi lalu bertutupkan plastik mika yang transparan yang dihias sebegitu indahnya sebagai hantaran untuk sang istri.
“Cih, semuanya hanyalah palsu.”
Lagi-lagi Lakshmi hanya mengambil satu ransel yang diperlukan untuk wadah laptop dan juga ponselnya saja. Dia tak punya apa-apa yang tersimpan di kamarnya. Kamar yang hanya berisi ranjang usang berusia puluhan tahun barangkali, itu adalah warisan dari kakek neneknya. Tidak ada yang berharga.
Sebelum beranjak membuka pintu, dia berbalik sebentar. Menyeringai. Tangannya mengambil cutter dan menyobek asal semua bingkisan lalu sengaja melemparnya ke sana ke mari sampai beberapa benda hancur berantakan.
Prak!
Tak!
Trakk!
Napasnya terengah-engah, semakin tertawa senang. “Hah … hah … bagus sekali,” bisiknya.
Mengusap keringat yang menghiasi wajahnya, ia pun keluar kamar. Tatapannya kembali dingin, tanpa emosi. Dia bisa melihat seluruh keluarganya berkumpul sementara Darius tengah duduk di samping ayahnya.
Bahkan tangan ayahnya yang tak pernah menggenggam tangannya sendiri kini rela menggenggam tangan Darius, si orang asing? Ah, mungkin dia lah yang orang asing di sini, bukan Darius.
Darius tersenyum, segera berdiri menyambut Lakshmi.
“Kamu sudah beres? Berbincanglah dulu dengan keluargamu. Mereka pasti akan merasa kehilangan kamu. Aku akan berganti pakaian.”
Darius seakan memberi waktu untuk keluarga mertuanya agar bisa berbicara dengan putrinya itu. Namun, jawaban Lakshmi semakin membuat orangtua dan para kakaknya tercengang bukan main.
“Tidak ada yang harus dibicarakan. Di mana mobil Mas? Biar aku bisa menaruh ranselku,” tukasnya cepat sama sekali enggan menatap kedua orangtuanya sendiri.
Darius semakin merasa tak enak.
Belum sempat dia membujuk wanita itu, keluarga Lakshmi sudah berteriak kencang.
“Lakshmi!”
“Astaghfirullah, Lakshmi, apa yang kamu bicarakan?!”
“Nak, kenapa kamu tak bicara dulu dengan Ibu, Nak?” Bahkan suara cicitan Suryani seakan lewat begitu saja dengan balasan decihan dari Lakshmi.
Lagi-lagi Suryani menangis dalam diam. Sementara sang ayah semakin mengeras wajahnya. Duduk di kursi singgasananya sembari wajahnya pias, marah besar.
“Pergilah kau anak tak tau diuntung!” usirnya.
“Memang saya akan pergi.”
Bahkan Lakshmi dengan senang hati melenggang keluar gubuk rumah keluarganya.
Darius semakin tercengang. Dia buru-buru izin keluar. “Maaf Pak, sepertinya Lakshmi marah pada saya,” kilahnya beralasan.
Semakin tergugu lah Suryani mendengarnya. Dia merasakan bagaimana putrinya tengah membalas dendam akibat ketidakberdayaannya untuk melanggar keputusan suaminya sendiri.
“Sudahlah, bawa saja anak durhaka itu.” Bahkan Purwanto masih saja arogan, dia sama sekali tak mau memikirkan anak yang pantang menurut padanya.
Sementara anak-anak yang lebih tua dari Lakshmi tengah berusaha menghibur ibu mereka. Entah apa yang dipikirkan Lakshmi, namun dapat dilihat oleh mereka kalau Lakshmi benar-benar merasa sakit hati akibat keputusan kedua orangtua mereka.
Mereka hanya bisa bungkam tanpa bisa berkomentar apa-apa lagi untuk saat ini.
Sebelum Lakshmi menggapai pintu, dia berbalik sambil menyeringai. “Tidak ada apa pun yang kubawa dari rumah ini. Termasuk hantaran dan juga kado-kado pernikahan yang paling tak kuinginkan ini,” desisnya.
“Keluar kau Lakshmi!!!” bentak Purwanto yang seakan semakin terpancing emosinya.
“Dengan senang hati Pak Purwanto.”
Brak!
Lakshmi segera menutup pintu. Setidaknya para warga sudah tak berkumpul. Satu hal yang masih dipikirkan secara waras oleh mantan keluarganya. Pesta pernikahan hanya sampai sore. Malam ini sepi, tersisa beberapa orang yang hilir mudik tak peduli dengan area gubuk keluarganya.
Lakshmi memilih berdiri di sudut luar gubuk, menunduk dan enggan menatap ke arah depan. Dia bisa mendengar langkah terburu-buru yang mendekat. Terang saja dia tahu siapa orangnya.
“Kalau anda hanya ingin berceramah pada saya, urungkan. Saya enggan mendengar pembelaan untuk anak durhaka seperti saya,” ketusnya.
Darius diam. Dia menatap intens wajah datar Lakshmi. Merasakan ada emosi mendalam dari luka di hati gadis itu. Dia menggeleng, memilih untuk tak memperkeruh suasananya. Dia sadar, kalau dia lah penyebabnya.
“Mau pulang sekarang?”
“Pulang? Sejak kapan saya punya rumah untuk pulang.”
Darius kembali diam sesaat sebelum berlanjut menjawab ucapan itu. Dia menghela napas lagi. “Rumahku adalah tempat pulangmu.”
Lakshmi memilih diam saja.
“Tunggu saja di mobilku, aku bicara sebentar dengan kedua orangtuamu.”
Lakshmi tak menjawab. Selagi Darius mengeluarkan kunci mobilnya dan mengontrol agar pintu mobilnya tak terkunci. Terdengar suara yang dikeluarkan mobilnya saat dia menekan remote di tangannya.
Lampu mobilnya berkedip dua kali, tanda yang amat dikenali oleh Lakshmi. “Itu mobilku.”
Lakshmi memilih menuju ke mobil segera, sementara Darius kembali ke rumah setelah memastikan gadis itu duduk di mobilnya.
Katakan saja dia berjaga-jaga kalau gadis itu akan kabur. Sengaja mengunci mobilnya kembali melalui kunci digital yang dipegangnya.
Ia kembali ke rumah.
Sementara Lakshmi hanya menunggu saja di dalam benda kotak berbahan baja itu.
Dia memilih untuk memejamkan matanya, kepalanya terasa pusing. Dia hanya makan sedikit saat tadi siang. Ia hanya perlu menunggu.
Berpikir ingin kabur, dia tahu Darius itu pintar. Tak mudah untuk mengibuli pria tua itu. Katakan saja tua, karena berbeda dua belas tahun darinya.
Yang tak diketahui oleh Lakshmi, Darius mencoba menghibur ibu istri keduanya itu. Mendengar tangisan sedih saja sudah membuatnya enggan dan ingin segera beranjak namun karena dia masih mencoba menghormati mertuanya, dia masih duduk sambil mendengarkan beberapa permohonan.“Kami pamit dulu ya Bu? Nanti jika Lakshmi libur, tentunya saya akan mengajaknya singgah ke rumah walau hanya sehari,” janji Darius yang diantar sampai keluar pintu.Suryani mengangguk, tersenyum. Tangannya terus mengusap lengan sang menantu. “Tolong jaga Putri Ibu ya? Kadang Lakshmi suka lupa makan,” lirihnya penuh harap.Lagi-lagi Darius mengangguk. Dia meletakkan barang-barang yang ditata di dalam kardus, milik sang istri sekaligus miliknya dari seserahan tadi. Dia merogoh dompet di saku celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah dengan nominal tertinggi.“Ini … saya ada sedikit uang, semoga bisa menambah pemasukan Ibu dan Bapak,” ucapnya sebelum pamit.Purwanto tersenyum, bangga. Tak sia-sia dia menerima
“Ti tidak perlu! Saya di sini … saja,” cicit gadis bersurai panjang itu dengan wajah menunduk. Dia memang sedang gugup, memikirkan satu kamar dengan pria lain saja sudah membuat tubuhnya jumpalitan.Dia bukannya tak menyadari kalau sudah menikah, tetapi sekamar dengan pria di saat dia masih perawan adalah hal yang tak bisa dia terima.Bibir Darius berkedut mendengarnya. Dia bisa melihat kekhawatiran dan tingkat waspada Lakshmi menjadi meningkat dua kali lipat setelah melangkah masuk ke dalam kamar.Darius sedang tak ingin berdebat. Sejujurnya otot-otot di tubuhnya sudah terlalu tegang dan membutuhkan rileksasi. Dia sampai berbalik, memijat keningnya sendiri. Dengan mata telanjang, Lakshmi bisa melihat punggungnya yang kuat dan bahu yang lebar.Betapa Darius nampak frustrasi menghadapi gadis keras kepala itu.Dia berbalik, menatap tajam Lakshmi. “Aku sedang tak mau berdebat dengan sikap kekeraskepalaan kamu, Lakshmi. Sebaiknya malam ini kita bekerja sama.”Lakshmi memilih mengalihkan p
Darius masih diam saja saat pagi ini dia mengajak Lakshmi untuk pulang. Dia masih mengingat jelas semalam Lakshmi yang menangis lirih di dalam selimut. Apa Lakshmi pikir tangisannya tak terdengar? Demi Tuhan, bahkan tangisan itulah yang membuatnya semakin susah untuk tidur. Dan dia pun tertidur di jam tiga pagi!Bagaimana pusingnya dia saat ini ketika harus mengendarai mobil untuk ke rumah dan membuka mata agar tak terjadi kecelakaan tentunya. Namun, tangisan lirih penuh penghayatan itu malah semakin terngiang-ngiang di kepalanya.“Kuharap kamu akan menyukai rumah kita.”Kita?Lakshmi mendengus geli mendengarnya. “Rumah anda yang dimaksud,” ralatnya segera.“Rumah kita. Rumah untuk tempat tinggal kita berdua.” Darius masih tak paham dengan sindiran itu.“Oh, pasti istri pertama akan merasa sakit hati luar biasa ya saat ini? Pulang-pulang membawa istri baru,” sindir Lakshmi kembali.Darius menoleh, menatap Lakshmi tak percaya. Rahangnya mengeras saat gadis itu mneyindirnya telak. Ada b
Seketika Lakshmi terdiam kaku, bahkan aliran darahnya seakan ikut terhenti begitu juga napasnya. Benda kenyal yang terasa dingin tengah menghisap bibirnya kuat dan tergesa-gesa. Demi Tuhan. Darius tengah menciumnya lagi sekarang! Namun, rasa mual menyerang perutnya saat ingatannya berputar di malam kemarin. Malam saat Darius memasuki kamarnya. “Le--pashh!” Suara Lakshmi tersendat-sendat selagi tangannya mendorong kuat Darius agar melepaskan pagutannya. Darius membuka matanya, irisnya gelap. Namun, ia bisa menguasai emosinya saat itu. Melihat Lakshmi yang menatapnya penuh benci dengan segala emosi yang dirasakan sekaligus juga bagaimana dirinya yang tak kuasa untuk menahan diri. Dia mencoba tenang walau bibir itu kini menjadi candu baginya, rasanya bak zat adiksi yang ikut membuainya dan membuatnya melayang nyaman. “Kau--sialan!” maki Lakshmi yang segera berbalik, keluar kamar. Bruk! Lakshmi sekuat tenaga membanting pintu kamar itu. Napasnya terengah-engah, masih dengan tangan
Darius baru saja terbangun dari tidurnya, dia melihat ke sisi kirinya. Ranjang itu sudah kosong. Dia hanya berbaring sendirian. Sontak dia panik. Segera saja dia bangun, mencari keberadaan istrinya. Takut kalau-kalau Lakshmi malah kabur karena terbangun dengan kondisi sekamar dengan sang suami. Langkah kakinya bahkan terdengar nyaring saat menuruni tangga. “Mbok! Mbok!” teriak Darius, berusaha mencari sang ART. Dia menuju ke dapur, karena panik bahkan kepalanya tak bisa berpikir dengan benar. “Mbok, tadi apa pintu terbuka?” Lina yang terkejut mendengar suara menggelegar milik Darius buru-buru keluar dari dapur. Sementara Lakshmi hanya berusaha memotong sayuran dengan pandangan terus menunduk. Bahkan dadanya benar-benar bergemuruh hebat, memikirkan kalau semalam dirinya kecolongan. “Ada apa, Den? Kok pagi-pagi malah teriak-teriak begitu?” Darius buru-buru menghampiri Lina, “tadi pagi pintu utama terbuka?” Lina menggeleng, terkekeh, “aduh, hehe. Den, mana ada pintu kebuka? Den
Darius mengernyit heran, dia menyadari kalau Lakshmi terlalu lama berada di dalam kamar mandi. Tok tok tok. Sengaja dia mengetuk pintu kamar mandi. “Lakshmi, kenapa lama sekali? Aku perlu mandi,” ucapnya. Lakshmi yang tengah bingung pun terkejut. “Ah, ya … ya, saya sudah selesai!” “Kalau begitu cepatlah keluar,” pinta Darius tak sabaran. Dia sendiri memang dikejar waktu saat ini. Dia harus pergi bekerja. Lakshmi bingung, dia tak punya handuk dan bajunya basah! Astaga … apa yang harus dia lakukan sekarang?! “Euhm … kamu … tunggu luar dulu!” teriak Lakshmi. Darius mengernyit, heran tentu saja. “Kenapa harus? Aku harus mandi, Lakshmi. Semua peralatan mandiku di dalam sana.” Lakshmi semakin merasa panas mendengarnya. Memikirkan kalau dirinya benar-benar melakukan hal bodoh tadi. Dia tak pernah tahu bagaimana rumah mewah yang ditempatinya mampu melakukan perponcoan padanya hanya karena dia baru saja tinggal di sini. “Ba … baju saya basah!” Darius terdiam mendengarnya. Dia masih
Lakshmi bingung, apa yang harus dilakukannya selama berada di rumah Darius. Dia bahkan sama sekali tak memiliki kegiatan berarti.Apa dirinya disebut menumpang hidup saja saat hanya melakukan makan, tidur dan sembahyang? Bahkan Si Mbok sama sekali tak membolehkannya memegang sapu.Tapi … itu lebih baik daripada dirinya harus melihat wajah Darius seharian. Yang ada dia malah semakin kesal kalau sampai melihat pria itu di rumah.“Non, kok diam saja?” Si Mbok yang memang selalu berada di rumah pun melihat Lakshmi yang tengah bengong walau televisi di depannya menyala.Lakshmi terkejut, dia meringis saat tahu Si Mbok sudah duduk di sampingnya.“Tidak Mbok, saya hanya … bingung.”“Loh, bingung kenapa?”“Tidak ada kegiatan, hehe.”Si Mbok hanya ber-oh ria saja mendengarnya. Tapi … dia pun teringat akan ucapan Darius mengenai libur semester.“Non … pasti masih kuliah ya?”Pertanyaan itu malah membuat Lakshmi semakin diam. Bingung ingin menjawab apa.“Memang sih, libur semester tuh pasti lama
Benar saja, Lakshmi menjadi bebas untuk beberapa hari. Dimulai dengan dirinya yang mengikuti saran Si Mbok untuk kursus memasak secara gratis.“Non, ini ongkosnya.” Si Mbok terburu-buru memberikan beberapa uang lembaran merah dengan nominal tertinggi.Lakshmi terpekur, dia memandangi Si Mbok dengan bingung. “Ini apa Mbok?” tanyanya.“Loh, ini loh Non. Sebenarnya pas kemarin Mbok bilang sama Aden, kalau Non mau ikut kursus. Dia minta Mbok berikan uang saku Non. Katanya dia lupa buat kasih ATM sama Non karena buru-buru kerja,” tutur Si Mbok masih dengan tersenyum ramah.Lakshmi semakin terkejut mendengarnya. “Tapi Mbok … ongkosnya tidak sebanyak itu.”Dia bahkan terkejut karena Darius memberinya uang saku. Kenapa juga? Apa karena status mereka suami istri? Atau karena Darius kaya raya?“Loh, ini mah wajar. Aden bilang segitu, ya berarti itu untuk Non. Sudah, nih. Cepat ambil.” Bahkan Si Mbok memaksakan lembaran uang kertas itu ke dalam genggaman tangan Lakshmi.Lakshmi masih membeku beb