"Apa yang terjadi denganmu dan Gama? Bukankah kamu sangat menyukai Gama dan berharap bisa menikah dengannya? Tapi kenapa saat orang tua Gama menawarkan sebuah pernikahan kamu malah menolaknya?"
Ayah mengajakku bicara empat mata setelah Gama dan orang tuanya pulang. Mereka pergi dengan kekecewaan, karena aku terus menolak dengan tegas tawaran pernikahan yang mereka berikan. Gama sempat mengajakku bicara berdua juga aku tolak. Aku belum siap bicara berdua dengannya, takut lepas kendali dan malah menghajarnya. Dan Helena, dia langsung pergi ke kamarnya setelah Tante Lisa mengatakan tidak mau Gama menikah dengannya. "Helena, kamu memang cantik. Tapi cantik saja tidak cukup untuk jadi istri Gama. Tante jelas tahu layar belakang mu seperti apa. Jadi maaf sekali, kamu tidak cocok dengan Gama." Helena tidak menjawab apapun, dia meletakkan nampak berisi minum di meja lalu pergi begitu saja. "Jawab Aruna. Kenapa diam saja?" tanya ayah membuyarkan lamunanku. "Ekhmmm,,," aku mengatur napas dan mencoba mencari jawaban logis. "Begini ayah, setelah aku pikiran beberapa hari, perasaan suka ku pada Gama itu hanya cinta monyet saja. Sekarang aku benar-benar tidak memiliki perasaan apapun dengannya. Lagi pula, aku memiliki niatan membantu ayah di perusahaan. Ingin belajar bagaimana mengelola perusahaan dengan baik agar nanti ayah bisa menikmati hari-hari dengan tenang. Cukup bermain dengan Mecca, pergi berlibur dengan teman-teman ayah atau melakukan hal menarik lainnya." Itu harapanku dulu, tapi semua tidak terlaksana. Masih ingat jelas setelah ayah memberikan perusahaan untukku, aku malah langsung memberikan hak penuh pada Gama mengelola perusahaan dibantu juga oleh Helena. Ayah dan Kak Rei sempat memperingatkan agar aku tidak langsung menyerahkan begitu saja perusahaan untuk dikelola Gama. Karena selain usia pernikahan kami masih baru, Gama juga belum berpengalaman. Tapi sudah aku katakan, aku bodoh soal cinta. Juga mudah percaya dengan orang baru. Aku mudah dirayu oleh Gama, juga dibodohi oleh Helena. Ayah yang harusnya bisa santai di rumah bersama Mecca, cucu pertamanya. Sering kali harus pergi ke kantor menyelesaikan masalah yang timbul akibat sikap sok tahu Gama dalam mengambil keputusan. Andai dulu perusahaan aku yang memegang sendiri tanpa campur tangan Gama dan Helena, sudah pasti hidupku tidak se tragis itu. Kecelakaan yang menimpa ayah, Kak Rei, Kak Luz dan Mecca jelas itu salah satu bentuk ketololan ku. Hari itu, ayah harus pergi ke kantor cabang karena produksi disana bermasalah. Itu jelas ulah Gama yang asal-asalan dalam memilih bahan baku. Setelah urusan selesai, ayah pergi ke rumah Kak Rei. Menjemput keluarga kecil itu untuk hadir di acara rumah baru ku. Jika ayah yang menyetir, bisa jadi kecelakaan karena faktor kelelahan. Mobil ayah hanya ayah yang paham. Mau kemanapun pergi jika memakai mobilnya tetap ayah yang mengemudi. Aku benar-benar merasa bersalah pada ayah. "Ayah senang jika kamu berpikir seperti itu. Lagi pula ayah mau kamu menikah dengan pria yang bisa melindungimu. Gama, dia terlalu anak mama. Dia mudah di pengaruhi, sehingga kedepan mungkin sulit untuk berkembang. Ayah cukup berat jika harus merelakan kamu menikah dengannya. Tapi syukur lah, kamu mengambil keputusan yang bijak. Semoga kedepan bisa menemukan pria baik yang sangat mencintaimu." Aku mengangguk dan langsung memeluk ayah. "Terimakasih ayah. Aku janji tidak akan mengambil keputusan asal-asalan. Apalagi menyangkut hidupku sendiri. Maaf jika kemarin-kemarin Aruna sulit sekali dinasehati. Ayah pasti kesal kan denganku?" Ayah membalas pelukanku sambil mengusap kepalaku. "Ayah memang kesal setiap kali kamu mengatakan ingin bersama Gama. Meski hubungan keluarga kita dan Gama cukup dekat tapi ayah merasa tidak nyaman jika kamu dengan Gama. Kamu harus bahagia, Aruna. Jika kamu bersedih karena salah memilih pasangan, ayah takut ibumu di surga pasti akan marah. Marah karena suaminya gagal melindungi putrinya." Aku menangis, air mata ini tidak bisa ku tahan lagi. Karena rasa bersalah ku pada ayah semakin besar. ---------------- "Kak Aruna... " Langkahku terhenti saat Helena memanggil dan berjalan mendekat. "Bisa kita bicara sebentar?" pintanya melihat sekitar. Aku mengangguk. "Bicaralah, tidak ada siapapun di rumah. Kecuali asisten rumah tangga dan satpam." Aku tahu gerak geriknya, Helena pasti berniat meminta sesuatu dengan ku. Jika ada ayah dan lainnya, dia pasti sungkan dan takut. Karena di rumah ini yang selalu menyambut baik keinginannya hanya aku. "Apa kakak berniat masuk ke perusahaan untuk membantu Om Ridwan?" Kan benar, Helena pasti ingin aku turut membawanya masuk perusahaan. Dikehidupan lalu juga sama, bedanya saat itu dia mengatakan ini saat aku dan Gama tengah duduk berdua. Saat itu Gama mendukungnya, memintaku setuju saja. Gama merasa Helena bisa belajar sedikit demi sedikit agar bisa terus membantu kami. Tapi kali ini tidak akan ku biarkan terjadi. Helena harus diberi paham, apapun yang dia inginkan harus diusahakan dengan cara yang baik. "Iya, mulai besok aku sudah ikut ayah ke perusahaan. Ada apa?" Wajah Helena terlihat bersemangat mendengarnya. "Kak, tolong ajak aku juga ya? Aku ingin merasakan dunia kerja. Lagi pula skripsi ku sudah selesai dan masih menunggu wisuda. Jadi untuk mengisi waktu luang, izinkan aku bekerja di perusahaan bersama Kak Aruna. Anggap saja aku sedang belajar bagaimana rasanya dunia kerja." Benar kan? Rubah licik ini memang pintar sekali merangkai kata. "Oh kebetulan sekali minggu depan perusahaan sedang membuka loker untuk bagian administrasi. Kamu bisa mencobanya, Helena. Jika beruntung langsung menjadi karyawan tetap. Untuk persyaratan, kamu cek akun media sosial perusahaan ayah. Semua informasi terkait lowongan kerja ada disana." jawabku mencoba antusias mendengar niat baiknya. Raut wajah Helena mendadak berubah. Tidak akan aku biarkan Helena masuk perusahaan dengan mudah. Jika ingin bekerja di perusahaan maka harus ikut alur sesuai prosedur yang berlaku. "Kak, memang tidak bisa aku langsung ikut denganmu? Masuk perusahaan tanpa mendaftar dan tes. Aku bisa menjadi asisten mu." ujarnya penuh harap. Asisten? Enak saja. Aku bukan Aruna yang bodoh. Dikehidupan sebelumnya, niat Helena masuk perusahaan jelas untuk terus menjalin kedekatan dengan Gama. Bahkan sampai berani mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Pastinya dikehidupan ini juga sama. Apalagi setelah ditolak oleh Tante Lisa, dia pasti sedang mencari rencana lain untuk bisa bersama Gama. Dan salah satunya bekerja di perusahaan ku agar bisa tahu seluk beluk perusahaan seperti apa. "Maaf Helena. Aku sendiri dibawa oleh ayah dan memang tesisku sebelumnya juga berhubungan dengan perusahaan. Jika tesisku membahas hal lain, mungkin aku juga akan masuk perusahaan dengan jalur tes." Semua sudah aku siapkan diluar kepala. Aku akan bergerak tanpa siapapun menaruh rasa curiga. "Sudah coba dulu saja. Jika kamu memiliki kemampuan pasti bisa lolos dengan mudah." Aku tersenyum sambil menepuk pundaknya dan pergi begitu saja. Kemampuan? Cih, kemampuan Helena hanya menggoda saja. Isi otaknya kosong, karena aku tahu jelas kemampuannya seperti apa. Ah, mengingat itu aku sepertinya tahu kejutan apa lagi yang bisa aku berikan pada Helena. "Aku ingin lihat, bagaimana tanggapan dirinya jika viral di media sosial?"Meski terlihat janggal dengan jawaban yang Aruna berikan, Jeff mengangguk saja. Ia tak mau terlalu memaksa gadis ini, takut Aruna malah menjauhinya. Bagi Jeff, rencana Aruna terkesan sempurna. Semua alur kejadian sesuai dengan prediksinya. Namun perihal semua diketahui oleh Aruna karena pemberitahuan Charlotte jelas menyisakan tanda tanya besar bagi Jeff. Secara logika, tidak mungkin Charlotte mau membuka rahasianya sendiri terlebih pada Aruna yang dianggap musuh. Lama mengenal Charlotte, membuat Jeff paham bagaimanapun sifat Charlotte sebenarnya. Tapi baiklah, lagi dan lagi Jeff memilih tidak bertanya lebih jauh. Dia hanya berharap, apapun yang dipikirkan Aruna atau yang dikahwatirkan gadis ini, dia bisa selalu dilibatkan. Cukup jelas bukan keinginan Jeff? Dari sini saja bisa ditebak jika sedari awal Jeff memiliki ketertarikan pada Aruna. Gadis yang selama ini dia cinta adalah Aruna. Namun untuk sekarang bukan waktu yang tepat bagi Jeff mengungkapkan perasaannya. Terlebih setelah
"Aku tidak mengira kamu bisa membuat rencana sedetail ini. Bisa menebak apa yang Charlotte rencanakan, menyiapkan salinan rekaman CCTV, bahkan menghubungi Carl. Sejujurnya aku penasaran, bagaimana kamu bisa terpikir seperti ini, Ru?" Bukan tanpa alasan Jeff bertanya seperti ini, tingkah laku Aruna mendadak berubah h-3 jam sebelum acara ulang tahun mamanya dimulai. Aruna yang sebelumnya tampak ceria, menyapa papa, mama dan beberapa kerabat lainnya, setelah itu menarik Jeff ke tempat sepi. Ia pikir, Aruna ingin menghirup udara segar setelah menyapa orang-orang di dalam. Namun siapa sangka gadis ini malah mengatakan sesuatu yang cukup membuat Jeff terkejut. "Charlotte pasti akan datang." ujar Aruna dengan wajah sedikit tegang. Jeff mengerutkan keningnya. "Tidak mungkin, mama hanya mengundang Om Saddam dan Daisy, adik Charlotte, yang memang memiliki hubungan baik dengan mama." jawabnya cukup yakin, mengingat ia sudah memeriksa daftar undangan yang akan hadir malam ini. "Dia akan datan
BRUGHH BRUGHH BRUGHHKembali Carl melayangkan pukulan, kali ini menghantam pundak dan perut Teo. "Jawab Teoo, jangan diam sajaa." Desak Carl. "Charlotte melewati batas. Mengatakan jika aku hanya seonggok sampah tanpa uluran tangan opa kalian. Jika saja orang tuaku tidak meninggal karena ditabrak mobil mama kalian, jelas opa tidak akan mau menampung hidupku selama belasan tahun lamanya. Bahkan sampai ikut mewarisi bisnis keluarga." Akhirnya Teo buka suara. Jawaban yang membuat Carl mendadak diam dan mundur beberapa langkah. Bahkan oma yang berniat memarahi Teo juga mengurungkan niatnya. "Aku tahu di antara kita tidak ada hubungan darah. Keberadaan ku di keluarga besar kita tidak pernah benar-benar dianggap. Termasuk mama, sejak awal tidak bisa menerima kehadiran ku, bukan?" ujar Teo beralih menatap oma yang berdiri di samping Carl. "Teo, bukan begitu... " "Tidak usah mengelak ma, aku tahu saat papa memberikan salah satu bisnis untuk aku kelola mama menentangnya. Mengatakan aku h
Kamar dengan furnitur full berwarna maroon menjadi tempat yang sangat ingin ia tinggalkn. Bukan karena kotor atau bernilai murahan, namun karena penyedia kamar ini adalah sosok pria yang paling di benci. Charlotte menganggap, pria ini adalah penyebab utama kenapa dirinya menjadi hancur hingga terpuruk seperti ini. "Terima saja keputusan ini, Char. Ini memang sudah takdir yang tidak akan pernah bisa kamu ubah. Anak dalam perutmu, adalah anakku." Charlotte menatap pria di depannya, berdiri dengan sorot mata bahagia meski terlihat jelas bekas pukulan juga tertinggal di wajahnya. Itu adalah Teo yang baru kakaknya hajar habis-habisan di depan opa, oma dan Daisy. Teo Albern, usianya 30 tahun dan masih lajang. Meski tampan dan mapan, Teo tidak pernah masuk dalam kriteria pria idamannya. Alasan pertama, karena Teo adalah anak angkat kakeknya. Charlotte merasa tidak pantas saja menikah dengan orang yang notabene om sendiri. Alasan kedua, karena Teo memiliki tempramen buruk. Tidak segan bert
Seorang wanita meronta-ronta saat dirinya dipaksa masuk ke dalam rumah. Kedua tangannya terikat, dan mulutnya di tutup dengan kain. Cukup miris melihatnya namun ini yang terbaik untuk sementara waktu. "Letakkan disana!" Perintah Carl pada dua orang pria. "Astaga, Charlotte. Kalian apa cucuku sampai jadi seperti ini?" Teriak seorang wanita yang rambutnya telah memutih. Wanita itu bergegas menghampiri cucunya. "Oma boleh di dekatnya asal tidak membuka ikatannya. Biarkan Charlotte dalam keadaan seperti itu agar tidak mencelakai orang lain." kata Carl dengan nada tegas seolah tidak bisa dibantah. Wanita memang Charlotte, yang sengaja Carl perlakukan cukup kasar karena tidak tahan dengan sikap adiknya yang marah membabi buta. Oma mengangguk pelan, sudah sangat paham dengan sikap tegas Carl. "Astaga, kenapa dengan tanganmu, Carl?" Oma kembali terkejut mendapati tangan kanan Carl dibalut kain kasa. "Kak Charlotte tidak sengaja melukainya, Oma." Daisy yang menjawab, gadis itu terlihat
Tatapan Aruna masih terfokus pada Charlotte, kemudian mengatakan sesuatu yang membuat banyak orang mencari nama yang disebutnya. Termasuk Charlotte dan papanya. "Tidakkah kau ingin keluar dari tempat mu, Tuan Carl Deon Saddam?" Charlotte menoleh ke segala arah untuk mencari nama yang disebut Aruna. Wajahnya panik ketakutan, jelas dia tidak mengira akan secepat ini bertemu dengan kakaknya, Carl. "Aku disini, Charlotte!" Suara seorang pria terdengar dari atas tangga yang pegangannya dihiasi aneka bunga segar. "Kakak... " Daisy memanggilnya dengan suara lirih dan wajah berseri. "Carl, kenapa dia bisa disini?" Saddam, terlihat jelas raut wajah keterkejutan saat mendapati anak sulungnya berasa di mansion Keluarga William. "Kak Carl... " ucap Charlotte dengan nada suara gemetar. Wajah penuh keberaniannya mendadak redup, digantikan ekspresi ketakutan mendalam. Aruna dan Jeff tampak tenang dan tersenyum tipis menyambut kedatangan pria berbadan tegap di hadapan mereka."Maaf harus menyi