Telepon di meja terus berdering saat aku sedang memeriksa laporan keuangan perusahaan. Sejak pagi tadi, ayah meminta bantuan padaku untuk melakukan pemeriksaan atas data penjualan produk beberapa bulan terakhir. Disinilah aku duduk sembari membuka tumpukan dokumen ditemani Vidi, salah satu karyawan kepercayaan ayah yang ditempatkan di divisi keuangan.
"Nona Aru, maaf apa tidak sebaiknya diangkat dulu. Takutnya penting." Mungkin karena terganggu dengan dering telepon yang tak kunjung berhenti, Vidi menyarankannya itu. Aku menghentikan aktivitas ku sejenak. Melihat nama yang tertera di layar. "Helena... " batinku terasa bahagia. Dia pasti sedang dilanda kebingungan dengan berita pagi ini. Sebuah hadiah yang sudah aku persiapan sebelumnya, khusus untuk dirinya. Ku ambil telepon, bukan berniat untuk mengangkatnya namun mengubah ke mode hening. Helena menelpon ku pasti untuk meminta bantuan. Enak saja, ini baru permulaan. "Tidak diangkat?" tanya Vidi. "Telepon tidak penting, Vid. Lebih baik kita lanjutkan lagi, sebelum jam makan siang harus sudah selesai." jawabku membuat Vidi mengangguk paham. Ditempat lain, Helena bersembunyi di gudang kampus setelah berita tentang dirinya viral di media sosial. Dia yang baru datang untuk bertemu dengan teman-temannya, saat melewati lorong kelas mendapatkan tatapan tidak bersahabat serta cibiran dari mahasiswa lain. "Oh ternyata ini orangnya. Cantik sih tapi licik." "Selebgram yang katanya berbakat ternyata skripsi hasil joki." "Ini yang sempet ikut jadi duta kampus tapi ga lolos kan?" "Gimana mau lolos, isi otak aja kosong!" Masih banyak lagi cibiran dari mahasiswa lain. Membuat Helena yang awalnya cuek mendadak menoleh. "Kalian ngomongin siapa?" tanyanya penasaran. "Ya ngomongin lo, masa orang lain. Dasar ga punya malu. Masih berani aja dateng ke kampus. Mau cari sensasi ya?" jawab seorang gadis dengan menunjuk wajah Helena. Raut wajah Helena mendadak pucat, badannya mulai panas dingin. "Joki skripsi apa maksudnya? Jangan asal nuduh tanpa bukti. Jatuhnya kalian fitnah." ujarnya tidak terima. "Fitnah apanya? Bukti rekaman CCTV lo di cafe buat ambil skripsi udah kesebar di media sosial. Bukti transfer lo ke tukang joki juga ada." Sahut yang lain dengan nada sinis. Helena segera membuka ponselnya, sudah ada puluhan panggilan dan pesan dari teman dekatnya. Juga isi grup sudah membicarakan dirinya yang dicap sebagai pembohong handal. Helena mengerutuki kebodohannya karena ponsel dalam model silent. Wajar tidak mendengar panggilan telepon atau notifikasi lain. Akun media sosial miliknya juga sudah dibanjiri hujatan. Beragam komentar dan hujatan membuat tubuh Helena marah dan malu. "Kita saranin lo keluar deh dari kampus ini. Jangan bikin malu kampus karena punya mahasiswa tukang bohong dan problematik." Suara seorang wanita membuat Helena segera menoleh kebelakang. Disana berdiri Aca dan Gea, teman sekelasnya. Tatapan keduanya terlihat merendahkan Helena. "Iya setuju, mending lo keluar aja deh. Daripada bikin malu satu angkatan. Gue sih ga mau ya, angkatan kita di cap jelek sama pihak luar. Pasti bakal ngaruh buat daftar kerja." ucap Gea dan mendapatkan dukungan dari yang lain. "Bener kata Gea. Lo yang jelek masa kita yang kena." "Selebgram bukannya kasih contoh baik malah kuliah seenaknya." "Jangan-jangan bener juga itu gosip tahun lalu kalo lo jual diri ke dosen ya? Makanya nilai IPK lo selalu tinggi." Celetuk seorang pria membuat wajah Helena semakin memerah. "Gue rasa iya. Dikelas lo ga aktif, absen sering kosong, tugas kelompok juga sering numpang nama, tapi kok bisa nilai lo tinggi?" Jawab Aca mengutarakan pendapat. "Wah ga bener ini cewek. Cantik-cantik tapi agak lain." "Huuuu jual diri, murahan bangett... " "Pergi lo, usir aja yok... " Helena segera berlari saat teman-temannya mulai mendekati dirinya. Keadaan semakin kacau saat lingkungan kampus mulai ramai menyoraki dirinya. Dengan panik Helena terus berlari melewati tangga, dia tidak mau tertangkap oleh mereka. "Sialan. Siapa yang nyebarin ini sih? Bikin ribet aja." batinnya emosi. Suara orang berlarian terus mendekat, membuat Helena semakin panik. Melihat di sebelah kanan ada ruangan dan kuncinya tergantung. Segera dia masuk dan mengunci dari dalam. Lampu ruangan pun segera dia matikan agar tidak dicurigai orang ada penghuni di dalamnya. "Aku harus telepon Kak Aruna, cuma dia yang bisa bantu aku." Segera Helena mencari kontak Aruna dan menelponnya. Namun sudah hampir setengah jam Aruna tidak mengangkat sama sekali. Helena sudah sangat frustasi, dia bingung ingin meminta bantuan kepada siapa. Pada Om Ridwan, Kak Rei dan Kak Luz juga tidak mungkin. Sejak awal dirinya masuk ke rumah itu, mereka sudah tidak setuju dan selalu mengabaikan. "Sial... Sial... Aruna kenapa tidak mengangkat telepon ku? Awas saja akan aku buat perhitungan padanya." ** Jam makan siang telah tiba, Aruna sudah kembali ke ruangan ayahnya. "Luz menghubungi ayah, katanya Helena membuat masalah hingga viral di media sosial." Kata Ridwan disela makan siang bersama Aruna. Sambil menikmati salad buah, Aruna mengangguk pelan seakan tidak terganggu dengan kabar yang disampaikan ayahnya. "Kamu tidak panik?" Tanya Ridwan keheranan. Pasalnya selama ini Aruna sangat peduli pada Helena. Tidak akan membiarkanmu Helena mendapatkan masalah sedikitpun. "Dia sudah besar ayah. Apapun yang dilakukan pasti sudah tahu konsekuensinya seperti apa." Jawab Aruna dengan santai. "Kamu ada masalah dengan Helena?" Ayah mengajukan pertanyaan lain. Aruna menggelengkan kepala, jelas dia paham maksud ayahnya. "Aku hanya merasa sudah saatnya fokus dengan diri sendiri, ayah." Ganti Ridwan menganggukkan kepala. "Aku setuju dengan pemikiran mu. Memang harusnya seperti itu. Kamu mau menampungnya dirumah kita saja, bagi ayah sudah lebih dari cukup." "Aku tahu ayah. Oleh sebab itu sudah saatnya kita melepasnya. Oh ya, apa yang dibuat oleh Helena, ayah? Dia tadi terus menelpon ku tapi ayah tahu sendiri betapa sibuknya aku tadi." Kata Aruna pura-pura tidak tahu. Ayah membukakan room chat dengan Kak Luz, menampilkan isi berita tentang Helena. "Untung saja dia bukan anak ayah. Sehingga ayah tidak harus pusing mengurusnya. Melihatnya sepertinya ini membuat ayah tidak heran, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Ujar ayah membuat Aruna menyengit heran. "Maksud ayah apa?" Tanya Aruna. "Kamu tahu bagaimana Om Dean bisa menikah dengan ibunya Helena kan?" Ujar Ridwan membuat Aruna mengangguk. "Om Dean dalam keadaan mabuk tidak sengaja melakukan dengan Tante Arumi hingga hamil. Namun baru diketahui saat usia kandungan 3 bulan. Om Dean dimarahi habis-habisan oleh kakek dan nenek karena saat itu Om Dean sudah bertunangan dengan wanita lain yang sangat dicintai." "Ya benar sekali. Namun ada alasan lain lagi. Karena latar belakang ibunya Helena adalah wanita penghibur. Itu yang membuat kakek dan nenekmu sangat sulit menerima ibunya Helena sebagai menantu mereka. Bahkan setelah menikah, wanita itu malah membuat ulah yang menyebabkan nenekmu terkena serangan jantung." Wajah Aruna mendadak tidak bersahabat setelah mendengar pengakuan ayahnya. "Kenapa aku tidak tahu?" Pertanyaan Aruna jelas terdengar kecewa. "Ibumu tidak ingin kalian membenci Helena. Bagaimanapun Helena dan kamu adalah saudara." "Ibu memang selalu baik. Tapi maaf bu, aku kini sangat membenci Helena karena dia sudah pernah menghancurkannya hidupku. Semoga ibu paham dengan apa yang aku rasakan." Batin Aruna semakin membulatkan tekadnya untuk menghancurkan Helena. "Ayah kira dia benar pintar, karena setiap akhir semester selalu menunjukkan IPK-nya padamu. Membanggakan dirinya yang selalu mendapatkan nilai terbaik. Bahkan berniat masuk ke perusahaan. Tapi ini, skripsi saja joki, meminta orang membuatkan. Lalu apa gunanya dia membanggakan nilai? Nilai yang selama ini dia dapatkan adalah nol besar. Helena tidak paham dengan mata kuliahnya sendiri." Kata Ridwan mengomentari pemberitaan Helena. "Dia menjalin hubungan dekat dengan dosen, ayah. Bahkan menurut komentar disini, beberapa orang pernah melihat Helena dengan dosen berbeda-beda di hotel." Ungkap Aruna membaca komentar-komentar netizen. Ridwan segera melihatnya, dia menggelengkan kepala seakan tidak menyangka. "Dia berani berbuat sejauh ini. Memang keturunan ibunya, seperti apa yang sudah ayah katakan tadi." Selain foto dan video Helena melakukan joki skripsi. Ada juga foto dan video Helena bersama dosen-dosennya di hotel berbeda-beda. Meski hanya beberapa detik saja, terlihat jelas itu sudah pasti itu dirinya. "Aku hanya memberikan mu satu hadiah saja, Helena. Tapi siapa sangka ini membuka rahasiamu yang lain." Batin Aruna puas. Berita joki skripsi itu memang ulah Aruna, meminta seseorang meng-upload ke media sosial. Tapi soal Helena yang katanya "ayam kampus" ternyata ada orang lain menyebarkannya. Siapapun orang itu, Aruna sangat berterimakasih. Sore hari, Aruna dan ayahnya sudah pulang ke rumah. Mereka tampak terkejut mendapati wartawan standby di depan gerbang rumah mereka. "Biar aku yang turun, ayah masuk saja dulu." Aruna segera keluar dari mobil membuat wartawan langsung mengerumuninya. "Maaf nona, apakah anda mengenal wanita bernama Helena?" "Apakah benar Helena tinggal di rumah ini?" "Rumah ini didapatkan Helena dari hasil jalan dengan salah seorang pejabat pemerintahan bukan?" Banyak lagi pertanyaan wartawan ditujukan pada Aruna. Dia mencoba tetap tenang, mengangkat tangan, memberikan intruksi agar para wartawan diam sejenak. "Aku akan memberikan sedikit tanggapan. Selebihnya tolong jangan membuat keramik disini." Kata Aruna dengan suara cukup lantang. "Helena memang tinggal disini namun dia hanya menumpahkan. Ini rumah Keluarga Mahesa dan aku putri Tuan Ridwan Mahesa. Antara aku dan Helena, kami hanya sepupu. Lalu untuk masalah yang ia timbulkan, itu bukan tanggungjawab kami. Dan mulai hari ini, Helena tidak tinggal disini lagi. Jadi aku mohon, silahkan kalian berkemas dan pergi. Sekian dan terimakasih." Setelah mengatakan itu, Aruna langsung masuk dan mengunci gerbang. Dia berdiri, menyandarkan diri sembari mengatur napas. "Helena, ternyata untuk bisa membuatmu keluar dari rumah ini bisa secepatnya aku lakukan.""Om Dean, apa kabar?" Aruna mendatangi kamar adik bungsu ibunya. Tubuh yang dulunya berisi kini kurus hingga bagian tangan terlihat bentuk tulangnya. "Ru, maaf ya Helena selalu merepotkan kamu." Meski membelakangi Aruna, ternyata Om Dean masih mengenali suara keponakannya. Aruna segera mendekatinya. Posisi Om Dean duduk di kursi roda menghadap jendela. "Om harus sehat, maaf Aruna sudah tidak bisa menjaga Helena lagi." Om Dean menoleh. Wajah tampan pria itu sudah benar-benar tidak dikenali lagi, kusam, keriput. Lebih terlihat muda ayahnya dibanding Om Dean meski usia ayahnya jauh lebih tua. "Om rindu ibumu, Ru. Mungkin sudah saatnya kami bertemu." katanya membuat Aruna berjongkok menggenggam tangan Om Dean. "Semua rindu ibuku, Om. Tapi Helena butuh, Om Dean." Jujur saja Aruna sedih melihat keadaan omnya seperti ini. Jika bukan karena kakek dan neneknya yang sangat peduli, mungkin hidup Om Dean sudah terlantar dijalanan. "Biarkan dia hidup sesukanya. Om sudah tidak sanggup menang
Helena pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dia naik ojek online dan wajahnya ditutupi masker serta kacamata hitam."Ini bener rumahnya, neng?" tanya tukang ojek itu memastikan. "Iya Pak, ini uangnya." Helena menjawab sambil membayar. Dia melihat sekeliling, tidak ada siapapun. Merasa aman, segera dia membuka gerbang namun sepertinya terkunci dari dalam. "Tumben jam segini udah di kunci?" Ujarnya dengan kesal. "Pak Naryo, Pak Naryoooo, buka gerbangnya." Teriak Helena sambil memukul gerbang. "Cepetan pak, saya mau masuk. Pak Naryo lagi apa sih kok lama banget?" Ujarnya dengan kesal. Tidak lama, terdengar suara gebang dibuka. Helena merasa lega dan bersiap masuk. Namun tangan seseorang bergegas menghalanginya. "Kak Aruna, kenapa gerbang ditutup lagi?" Helena melihat Pak Naryo, satpam rumah, tidak keluar sendiri. Melainkan ada Aruna dan Kak Luz. Juga membawa 2 buah koper ukuran besar yang Helena kenali sebagai miliknya. "Kenapa koper ku dikeluarkan?" tanya Helena ke
Telepon di meja terus berdering saat aku sedang memeriksa laporan keuangan perusahaan. Sejak pagi tadi, ayah meminta bantuan padaku untuk melakukan pemeriksaan atas data penjualan produk beberapa bulan terakhir. Disinilah aku duduk sembari membuka tumpukan dokumen ditemani Vidi, salah satu karyawan kepercayaan ayah yang ditempatkan di divisi keuangan. "Nona Aru, maaf apa tidak sebaiknya diangkat dulu. Takutnya penting." Mungkin karena terganggu dengan dering telepon yang tak kunjung berhenti, Vidi menyarankannya itu. Aku menghentikan aktivitas ku sejenak. Melihat nama yang tertera di layar. "Helena... " batinku terasa bahagia. Dia pasti sedang dilanda kebingungan dengan berita pagi ini. Sebuah hadiah yang sudah aku persiapan sebelumnya, khusus untuk dirinya. Ku ambil telepon, bukan berniat untuk mengangkatnya namun mengubah ke mode hening. Helena menelpon ku pasti untuk meminta bantuan. Enak saja, ini baru permulaan. "Tidak diangkat?" tanya Vidi. "Telepon tidak penting, Vid. Le
"Apa yang terjadi denganmu dan Gama? Bukankah kamu sangat menyukai Gama dan berharap bisa menikah dengannya? Tapi kenapa saat orang tua Gama menawarkan sebuah pernikahan kamu malah menolaknya?"Ayah mengajakku bicara empat mata setelah Gama dan orang tuanya pulang. Mereka pergi dengan kekecewaan, karena aku terus menolak dengan tegas tawaran pernikahan yang mereka berikan.Gama sempat mengajakku bicara berdua juga aku tolak. Aku belum siap bicara berdua dengannya, takut lepas kendali dan malah menghajarnya.Dan Helena, dia langsung pergi ke kamarnya setelah Tante Lisa mengatakan tidak mau Gama menikah dengannya."Helena, kamu memang cantik. Tapi cantik saja tidak cukup untuk jadi istri Gama. Tante jelas tahu layar belakang mu seperti apa. Jadi maaf sekali, kamu tidak cocok dengan Gama."Helena tidak menjawab apapun, dia meletakkan nampak berisi minum di meja lalu pergi begitu saja."Jawab Aruna. Kenapa diam saja?" tanya ayah membuyarkan lamunanku."Ekhmmm,,," aku mengatur napas dan me
Aku menyapa ramah kedua orang tua Gama, mengalami mereka sebagai bentuk rasa hormat. Tante Lisa langsung menarik ku agar duduk disampingnya, ini jelas adegan yang sama seperti di kehidupan sebelumnya."Kamu kenapa ga pernah main ke rumah tante lagi? Apa lagi berantem sama Gama?" tanya Tante Lisa.Aku tersenyum samar, menggenggam tangan wanita ini. "Maaf tante, aku lagi bantuin ayah di perusahaan. Kak Rei sudah fokus dengan perusahaannya sendiri, sedangkan Kak Luz juga harus mengurus Mecca yang tahun ini bersiap masuk sekolah dasar. Jadi, mungkin kedepan aku akan jarang mengunjungi rumah tante."Wajah Tante Lisa terlihat kecewa mendengarnya. "Oh begitu, padahal tante senang kalo kamu main ke rumah. Jadi rame rumah. Iya kan, pa?" kata Tante Lisa pada suaminya, Om Gandi."Iya nih, rumah sepi kalo kamu ga main. Kayaknya emang kita butuh cucu, ma. Biar rumah bisa ramai. Tapi Gama belum nemu calonnya nih."Jawaban Om Gandi jelas sebuah kode yang ditujukan untukku. Mereka pasti mengira setel
Aku jelas tahu pendarahan ini sangat parah, kemungkinan kecil untuk bisa mempertahankan anakku. Jelas aku mendengar dokter bertanya dan ingin sekali menjawab, tapi bibir ku terasa kaki, kedua mataku terasa berat seakan enggan untuk dibuka. Dalam hati aku hanya bisa berdo'a meski mustahil sekali rasanya."Tolong selamatkan anakku. Tolong selamat keluargaku. Aku sangat mengkhawatirkan mereka."Sayup-sayup terdengar kembali percakapan dokter dan perawat."Dok, suami pasien masih dalam perjalanan dari luar kota. Operasi belum bisa dipaksakan.""Keadaan pasien semakin kritis. Kita harus segera tindakan jika tidak akan membahayakan keduanya."Aku jelas tahu, Gama berbohong. Dia sedang tidak diluar kota. Tindakannya ini jelas untuk membunuhku dan anakku. Tentu dibandingkan segera datang ke rumah sakit, dia pasti lebih memilih menikmati acara pesta pernikahannya dengan Helena."Biadap, aku membenci mu, Gama. Aku membenci mu, Helena."Semua terasa gelap, dan tiba-tiba aku tidak sadarkan diri k