Share

Bukan Pelakor
Bukan Pelakor
Penulis: Salbiyah Nurrohmah

Bab 1. Jangan Jual Utari

"Assalamu’alaikum, Mbak Utari,” salam Ajeng kepada kakaknya.

“Wa'alaikum salam, adik Mbak yang cantik,” jawab Utari, yang menghentikan kegiatan menyapunya.

“Mbak Utari enggak sekolah lagi hari ini, ya?” tebak Ajeng.

“Iya, Mbak enggak sekolah lagi untuk hari ini. Karena Mbak dapat kuli di kebun juragan Somat. Dan Mbak juga dapat uang banyak buat beli beras,” tutur Utari sambil mengajak adiknya duduk di depan teras rumahnya.

“Mbak, emang enggak capek kerja sambil sekolah?” tanya Ajeng hati-hati pada kakaknya.

Utari menggelengkan kepalanya tegas. “Mbak enggak akan capek sebelum kehidupan kita bisa berjaya dari kemelaratan kemiskinan seperti ini, Dek.”

Ajeng menatap kakaknya dengan sendu. “Kenapa 'sih kita harus terlahir dari Bapak yang selalu menyusahkan anaknya sendiri?” tanya Ajeng lirih.

“Dek, enggak boleh gitu, ah. Dari pada kita enggak punya Bapak, emangnya kamu mau, hah?”

“Tapi, Mbak. Bapak kita hutangnya banyak ada di mana-mana. Apalagi keadaan ekonomi kita yang melarat kayak gini harus menghidupi Bapak yang selalu berjudi dan berhutang sabu. Padahal sabu-sabu itu haram dikonsumsi, Mbak.”

Utari sangat tahu sekali kecemasan yang selalu melanda adiknya dan juga dirinya sendiri. Mau bagaimana lagi untuk menghindari takdir, sedangkan Utari saja sudah tertulis menjadi tulang punggung keluarganya.

Mempunyai bapak seorang penjudi, pemakai sabu-sabu, dan mempunyai hutang bertumpuk-tumpuk. Membuat Utari tidak bisa berkata-kata lagi. Ibunya yang sudah pergi dua tahun lalu akibat terlalu putus asa menghadapi kelakuan bapak yang sangat di luar batas membuat pukulan telak bagi Utari.

“Asal Mbak Utari tahu, ya. Dari kemarin sore, anak buah juragan Somat selalu mengintai rumah kita, Mbak. Aku takut mereka akan berbuat yang tidak-tidak dengan kita dan rumah ini,” ungkap Ajeng memberitahukan ketakutannya pada Utari.

Hati Utari bergetar sesak mendengar ungkapan dari adiknya. Lantas dirinya memboyong adiknya untuk masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan tumpukan sampah yang belum selesai dibersihkan.

“Mending kamu ganti baju sekarang dan bantu Mbak masak di dapur, ya,” suruh Utari pada adiknya, Ajeng.

Mau tidak mau Ajeng pun menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, Mbak.”

Selepas kepergian Ajeng, Utari langsung mengintip keadaan luar di balik gorden. Sebenarnya, Utari sudah mengetahui gelagat aneh yang dilakukan oleh anak buah juragan Somat.

“Semoga kita masih dilindungi oleh Tuhan, Ajeng,” bisik Utari berdoa ketika hatinya dilanda kecemasan.

“Mbak Utari ...! Berasnya ada di mana?!” teriak Ajeng yang mengejutkan Utari.

Buru-buru Utari berjalan ke arah dapurnya sambil membawa seplastik hitam berisi beras seliter.

“Ini, Dek. Masaknya tiga gelas saja dulu, ya. Sisanya kita simpan buat makan besok,” ucap Utari menyerahkan kantong plastik yang berisi beras pada adiknya. 

***

“Utari! Cepat kamu keluar!” teriak seorang lelaki paruh baya yang menyelonong masuk ke dalam rumah yang ditinggali oleh Utari. 

Utari berjalan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan bapaknya yang sedang dilanda amarah.

“Ada apa, Pak?” tanya Utari takut-takut.

“Nih, buruan pakai. Nanti kamu ikut Bapak ke juragan Somat! Mumpung kamu masih gadis.  Biar Bapak gadaikan  kegadisan kamu buat bayar hutang ke juragan Somat” titah Saman, ayahnya Utari.

“Buat apa, Pak. Utari enggak mau disuruh jual kegadisan Utari sama juragan Somat!” tolak Utari mentah-mentah.

“Heh, kamu siapa yang suruh nolak perintah saya, hah! Enggak ada yang bisa nolak perintah saya di sini selagi kamu masih tinggal di rumah saya!” bentak Saman yang sudah gelap mata.

“Bapak, Utari enggak mau bertemu dengan juragan Somat. Utari masih sekolah. Hutang yang Bapak pinjam, lebih baik Bapak sendiri yang bayar. Utari sudah enggak sanggup kerja sambil sekolah.”

Saman langsung mengambil sapu yang tergeletak di samping pintu rumahnya. Dengan sekali hentakan, sapu tersebut sudah mendarat di tubuh mungil Utari.

Bughh ...!

“Mentang-mentang lo gue sekolahin, tapi lo malah suka melawan gue! Nyesel gue enggak nyuruh tuh lonte buat merawat lo saja!” omel Saman yang masih melayangkan pukulan-pukulannya di punggung Utari.

“Ampun, Pak. Sakit banget, sudah jangan pukul Utari lagi,” mohon Utari pada Saman.

Ajeng yang diam-diam melihat pertengkaran bapaknya dengan kakaknya hanya bisa mengintip bersembunyi di balik gorden kamarnya.

“Makanya, kalau gue bilang jual anu lo sama pekerja proyek didengerin, Utari! Hidup kita enggak akan melarat kayak gini. Mending lo jajakan anu lo yang masih sempit itu ke juragan-juragan di kampung kita dari pada lo sekolah enggak jelas itu!” cecar Saman yang menoyor kepala Utari gemas akan otak sok suci milik anaknya itu.

“Tapi, Pak. Utari enggak mau jadi wanita begitu. Utari enggak mau mengikuti jejak ibu, Pak. Harusnya Bapak yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga, bukan Utari, Pak!” seru Utari yang sudah berderai air mata.

“Heh, bocah bau kencur kayak lo emangnya tahu apa, sih! Dari pada hidup susah, mending lo nikah sama juragan Somat!” bentak Saman.

“Utari enggak mau, Pak! Bapak saja sana yang jual diri!” teriak Utari dengan suara lantang.

“Sialan, lo! Dasar anak enggak tahu di untung. Hidupnya bikin susah gue mulu lo!” balas Saman yang juga ikut berteriak.

Utari pun pasrah tidak bisa melarikan dirinya ketika Saman, bapaknya sendiri menganiaya dirinya dengan brutal. Meskipun percekcokan mereka didengar oleh tetangga, tetap saja tetangga seakan menulikan telinga mereka.

***

Halo, jangan lupa coment, vote, dan share.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status