"Assalamu’alaikum, Mbak Utari,” salam Ajeng kepada kakaknya.
“Wa'alaikum salam, adik Mbak yang cantik,” jawab Utari, yang menghentikan kegiatan menyapunya.
“Mbak Utari enggak sekolah lagi hari ini, ya?” tebak Ajeng.
“Iya, Mbak enggak sekolah lagi untuk hari ini. Karena Mbak dapat kuli di kebun juragan Somat. Dan Mbak juga dapat uang banyak buat beli beras,” tutur Utari sambil mengajak adiknya duduk di depan teras rumahnya.
“Mbak, emang enggak capek kerja sambil sekolah?” tanya Ajeng hati-hati pada kakaknya.
Utari menggelengkan kepalanya tegas. “Mbak enggak akan capek sebelum kehidupan kita bisa berjaya dari kemelaratan kemiskinan seperti ini, Dek.”
Ajeng menatap kakaknya dengan sendu. “Kenapa 'sih kita harus terlahir dari Bapak yang selalu menyusahkan anaknya sendiri?” tanya Ajeng lirih.
“Dek, enggak boleh gitu, ah. Dari pada kita enggak punya Bapak, emangnya kamu mau, hah?”
“Tapi, Mbak. Bapak kita hutangnya banyak ada di mana-mana. Apalagi keadaan ekonomi kita yang melarat kayak gini harus menghidupi Bapak yang selalu berjudi dan berhutang sabu. Padahal sabu-sabu itu haram dikonsumsi, Mbak.”
Utari sangat tahu sekali kecemasan yang selalu melanda adiknya dan juga dirinya sendiri. Mau bagaimana lagi untuk menghindari takdir, sedangkan Utari saja sudah tertulis menjadi tulang punggung keluarganya.
Mempunyai bapak seorang penjudi, pemakai sabu-sabu, dan mempunyai hutang bertumpuk-tumpuk. Membuat Utari tidak bisa berkata-kata lagi. Ibunya yang sudah pergi dua tahun lalu akibat terlalu putus asa menghadapi kelakuan bapak yang sangat di luar batas membuat pukulan telak bagi Utari.
“Asal Mbak Utari tahu, ya. Dari kemarin sore, anak buah juragan Somat selalu mengintai rumah kita, Mbak. Aku takut mereka akan berbuat yang tidak-tidak dengan kita dan rumah ini,” ungkap Ajeng memberitahukan ketakutannya pada Utari.
Hati Utari bergetar sesak mendengar ungkapan dari adiknya. Lantas dirinya memboyong adiknya untuk masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan tumpukan sampah yang belum selesai dibersihkan.
“Mending kamu ganti baju sekarang dan bantu Mbak masak di dapur, ya,” suruh Utari pada adiknya, Ajeng.
Mau tidak mau Ajeng pun menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, Mbak.”
Selepas kepergian Ajeng, Utari langsung mengintip keadaan luar di balik gorden. Sebenarnya, Utari sudah mengetahui gelagat aneh yang dilakukan oleh anak buah juragan Somat.
“Semoga kita masih dilindungi oleh Tuhan, Ajeng,” bisik Utari berdoa ketika hatinya dilanda kecemasan.
“Mbak Utari ...! Berasnya ada di mana?!” teriak Ajeng yang mengejutkan Utari.
Buru-buru Utari berjalan ke arah dapurnya sambil membawa seplastik hitam berisi beras seliter.
“Ini, Dek. Masaknya tiga gelas saja dulu, ya. Sisanya kita simpan buat makan besok,” ucap Utari menyerahkan kantong plastik yang berisi beras pada adiknya.
***
“Utari! Cepat kamu keluar!” teriak seorang lelaki paruh baya yang menyelonong masuk ke dalam rumah yang ditinggali oleh Utari.
Utari berjalan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan bapaknya yang sedang dilanda amarah.
“Ada apa, Pak?” tanya Utari takut-takut.
“Nih, buruan pakai. Nanti kamu ikut Bapak ke juragan Somat! Mumpung kamu masih gadis. Biar Bapak gadaikan kegadisan kamu buat bayar hutang ke juragan Somat” titah Saman, ayahnya Utari.
“Buat apa, Pak. Utari enggak mau disuruh jual kegadisan Utari sama juragan Somat!” tolak Utari mentah-mentah.
“Heh, kamu siapa yang suruh nolak perintah saya, hah! Enggak ada yang bisa nolak perintah saya di sini selagi kamu masih tinggal di rumah saya!” bentak Saman yang sudah gelap mata.
“Bapak, Utari enggak mau bertemu dengan juragan Somat. Utari masih sekolah. Hutang yang Bapak pinjam, lebih baik Bapak sendiri yang bayar. Utari sudah enggak sanggup kerja sambil sekolah.”
Saman langsung mengambil sapu yang tergeletak di samping pintu rumahnya. Dengan sekali hentakan, sapu tersebut sudah mendarat di tubuh mungil Utari.
Bughh ...!
“Mentang-mentang lo gue sekolahin, tapi lo malah suka melawan gue! Nyesel gue enggak nyuruh tuh lonte buat merawat lo saja!” omel Saman yang masih melayangkan pukulan-pukulannya di punggung Utari.
“Ampun, Pak. Sakit banget, sudah jangan pukul Utari lagi,” mohon Utari pada Saman.
Ajeng yang diam-diam melihat pertengkaran bapaknya dengan kakaknya hanya bisa mengintip bersembunyi di balik gorden kamarnya.
“Makanya, kalau gue bilang jual anu lo sama pekerja proyek didengerin, Utari! Hidup kita enggak akan melarat kayak gini. Mending lo jajakan anu lo yang masih sempit itu ke juragan-juragan di kampung kita dari pada lo sekolah enggak jelas itu!” cecar Saman yang menoyor kepala Utari gemas akan otak sok suci milik anaknya itu.
“Tapi, Pak. Utari enggak mau jadi wanita begitu. Utari enggak mau mengikuti jejak ibu, Pak. Harusnya Bapak yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga, bukan Utari, Pak!” seru Utari yang sudah berderai air mata.
“Heh, bocah bau kencur kayak lo emangnya tahu apa, sih! Dari pada hidup susah, mending lo nikah sama juragan Somat!” bentak Saman.
“Utari enggak mau, Pak! Bapak saja sana yang jual diri!” teriak Utari dengan suara lantang.
“Sialan, lo! Dasar anak enggak tahu di untung. Hidupnya bikin susah gue mulu lo!” balas Saman yang juga ikut berteriak.
Utari pun pasrah tidak bisa melarikan dirinya ketika Saman, bapaknya sendiri menganiaya dirinya dengan brutal. Meskipun percekcokan mereka didengar oleh tetangga, tetap saja tetangga seakan menulikan telinga mereka.
***Halo, jangan lupa coment, vote, dan share.
Sore yang hampir menjemput malam yang sunyi. Ada Utari yang diseret paksa oleh bapaknya untuk pergi menuju rumah juragan Somat.Banyak pasang mata tetangga yang memperhatikan mereka berdua, namun tidak ada yang berani untuk melawan kebengisan seorang Saman, sang preman kampung yang kerjanya suka menghutang sana sini.“Bapak, lepasin tangan Utari! Utari enggak mau dijual sama juragan Somat!” seru Utari yang mencoba memberontak dari cengkeraman tangan Saman.“Mulut lo bisa diam enggak, sih! Berisik banget lo kayak kambing congek!” bentak Saman semakin mengeratkan cengkraman tangannya.“Bapak, Utari mohon jangan jual Utari. Utari janji bakalan kerja lebih giat lagi, Utari juga janji bakalan berhenti sekolah,” mohon Utari yang semakin menangis histeris saat dirinya sudah sampai di depan rumah juragan Somat.“Waduh ... Permaisuri cantik nan jelita akhirnya sudah sampai, nih,” sambut juragan Somat pada
"Sayang, kenapa kamu menghindar terus, hem? Kita enggak akan melakukan hubungan suami istri sekarang juga sebelum saya mengucapkan ijab qobul,” ucap Somat dengan suara mendayu dilembut-lembutkan.Tangan Utari semakin mencengkram kuat kaos usang yang dipakainya. Apalagi tatapan cabul dari juragan Somat mampu membuat harga diri Utari hancur berkeping-keping.“Kayaknya saya perlu belikan kamu jamu untuk membesarkan dua gunung kembar kamu itu. Saya lebih suka yang besar dari pada kecil seperti milik kamu itu,” ungkap Somat yang semakin mencabuli Utari dengan kata-kata kotornya.Utari masih membungkam mulutnya rapat-rapat.“Ayolah, Utari. Keluarkan suara merdu kamu itu,” rayu Somat sambil mengelus pipi Utari dengan gerakan seduktif.“Jangan sentuh saya, juragan!” sentak Utari dengan suara bergetar.“Kamu ini kenapa, sih? Suka menolak sentuhan dari saya, hah!” bentak Somat yang merasa tersinggu
Utari diam-diam sudah melancarkan aksinya dengan berjalan mengendap-endap menuju ke arah belakang rumah juragan Somat. Berbekal handphone butut tanpa aplikasi senter dan juga sepeda rinjing yang besinya sudah berkarat menjadi kendaraan untuk Utari kabur."Pokoknya aku harus pergi dari sini. Dan jangan sampai para anak buah juragan Somat mengetahui rencana aksi kabur aku ini," gumam Utari yang menyemangati dirinya agar tidak takut untuk melancarkan aksinya ini.Kepala Utari celingak-celinguk ke kanan dan kiri. Rok kebaya yang sempit membuat jalan Utari semakin lambat. Selama ini, keadaan masih aman. Namun, dalam beberapa detik semuanya langsung kacau balau."Gue dengar-dengar kalau juragan Somat mau nikahin si Utari cuma mau merasakan keperawanannya itu. Katanya juga sehabis juragan Somat ngambil keperawanannya, Utari bakalan digilir sama pekerja konstruksi yang juga sudah booking sama juragan Somat," ucap seseorang pada temannya dengan suara pe
Sedangkan di lain tempat, Utari sedang berjuang melarikan dirinya dari kejaran anak buah juragan Somat. Kaki mungil Utari pun sudah terasa kebas menggoes pedal sepeda."Astaga, kenapa enggak ada mobil yang lewat pisan, sih," decak Utari menoleh ke kanan dan kiri.Utari sudah sampai jalanan raya besar. Namun, ternyata ekspetasinya tidak sesuai realita.Jantung Utari semakin berdegup kencang. Apalagi pasti anak buahnya juragan Somat sudah dekat menuju ke arahnya."Aduh, ini gimana, nih? Masa sudah capek-capek kabur langsung ketangkep, sih." Utari menggigiti kukunya cemas, dirinya masih duduk di atas sepeda.Percuma jika ia kabur hanya ke kampung sebelah, yang ada malah bertemu juragan baru. Karena wilayah kekuasaan juragan Somat sudah sampai ke kampung sebelah."Utari, jangan kabur kamu!" seru Nirman kembali, ketika jaraknya dengan Utari sudah dekat.Bersamaan itu pula, ada sorot lampu mobil yang tearah ke wajah polos Utari."Alh
Di sepajang jalan, mata tuan Darsa tidak fokus untuk mengemudikan mobilnya. Lirikan ekor matanya selalu tertuju pada bukit kembar dan kulit mulus pada betis yang menggoda milik Utari."Kamu kenapa kabur dari anak buahnya juragan Somat. Bukannya enak ya jadi istri juragan Somat yang kaya raya itu?" tanya Darsa, lagi dan lagi melirik ke arah bukit kembar Utari."Enghhh ... Itu, Tuan." Utari menjeda ucapannya sejenak, karena merasa gugup. "Sebenarnya saya dijual sama Bapak saya ke juragan Somat untuk melunasi hutang," jelas Utari dengan kepala tertunduk malu."Oh, ternyata begitu," sahut Darsa menganggukkan kepalanya pelan."Lalu, tujuan kamu sekarang ke mana?" tanya Darsa lagi pada utari.Utari melirik takut-takut ke arah wajah tampan lelaki matang yang ada di sampingnya itu. "Saya mau ke kota, Tuan," jawab Utari pelan."Waduh, kalau ke kota malam-malam terus sendirian kayak gini berbahaya untuk kamu. Nanti yang ada kamu diperkosa sama o
Mobil yang dikendarai oleh tuan Darsa akhirnya sampai di sebuah villa yang sangat megah dan mewah. Ada gerbang tinggi yang menghalangi masuk ke dalam villa.Dengan gerakan luwes, Darsa mengambil remote control di balik dasboard mobilnya. Kemudian, membuka kaca jendela mobilnya dan langsung menjulurkan tangannya ke luar guna menyatukan sensor yang tertempel di dinding pagar itu."Wah ... Ini villa pribadi milik Tuan?" tanya Utari berdecak kagum menyaksikannya."Iya, ini punya saya. Tapi, sudah lama tidak ditempati. Karena saya terlalu sibuk di luar kota," jawab Darsa sekenanya."Berarti Tuan ini orang kaya juga di kampung ini, ya?" tanya Utari yang semakin tidak mengontrol rasa antusiasnya mengetahui seluk beluk dari seorang Darsa."Enggak juga lah. Saya sama kayak kalian semua, manusia yang membutuhkan sesuap nasi," elak Darsa yang tidak mau mengaku kebenarannya.Utari hanya bisa mengulum senyuman manisnya yang malu-malu."Kalau jaran
Di dalam ruang persegi empat yang lumayan luas dan megah, namun terasa minimalis. Ada Utari yang sedang melihat-lihat isi dari ruang tersebut. Koleksi sabun cair yang beraneka rasa dan masih banyak lagi perlengkapan untuk mandi."Tuan, Utari merasa sedang mimpi melihat kamar mandi orang kaya sebagus kayak gini," ucap Utari terpesona melihat kemewahan yang ditampilkan oleh kamar mandi milik Darsa.Darsa menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu ini norak sekali 'sih, Utari. Masa cuma lihat kamar mandi saja sampai air liur kamu tumpah-tumpah," decak Darsa menunjuk sudut bibir Utari yang basah.Sontak Utari langsung mengelap air liurnya yang keluar dikatakan oleh Darsa."Aduh, maaf banget, Tuan. Kalau sikap Utari bikin Tuan Darsa jijik." Utari membukukan tubuhnya beberapa kali guna meminta maaf pada Darsa."Bukannya saya jijik sama kamu Utari. Melainkan saya merasa rugi kalau air liur kamu terbuang sia-sia," jelas Darsa yang terasa ambigu di
Sepanjang malam sampai pagi, mata Utari masih terjaga dengan segar bisa dibilang mata Utari kuat melotot. Sejak kejadian di dalam kamar mandi bersama tuan Darsa membuat Utari langsung demam tinggi. Sedangkan tuan Darsa tidurnya malah tambah nyenyak setelah memainkan squisi alami milik Utari. "Tuan, kenapa kita berangkatnya pagi-pagi sekali? Memangnya pejalanannya sangat jauh, ya?" tanya Utari masih dalam keadaan ngantuk, melirik kek arah Darsa yang sedang fokus menyetir mobil. Kenapa Utari bertanya sedemikian seperti itu. Karena, mereka berangkat sebeluum matahari terbit. Sehabis shalat subuh Utari bersama Darsa sudah berangkat untuk meeninggalkan kampung tersebut. Dan Darsa pun melupakan janjinya pada anak buah juragan Somay, tentang janjinya yang menyuruh juragan Somat untuk menemuinya pagi hari. "Sangat jauh, Utari. Sudah begitu Mamah saya dari semalam menanyakan saya kenapa membatalkan rencana saya untuk pulang semalam," jawab Darsa yang menjelaskan secar