Share

Bab 7. Dilema

last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-03 04:55:37

Sesampai di rumah, Melati langsung disambut oleh Adam.

“Sayang, aku nggak mau kamu kayak gini. Anggap saja aku hanya milikmu.” Adam meraih tangan Melati dan hendak menciumnya, tetapi Melati menolak.

“Nggak usah pegang-pegang, Mas! Aku muak sama kamu! Talak aku, Mas! Bebaskan aku! Aku nggak mau menjadi pelakor!” sentak Melati.

“Melati, aku nggak akan pernah menalakkmu! Aku sangat mencintaimu.” Adam terus membujuk Melati.

Melati menatap Adam dengan tajam.

“Kamu jangan egois, Mas! Jangan serakah!” sentak Melati.

“Mel, beri aku waktu untuk mengatakan hubungan kita ini pada Aisyah. Aku akan menceraikan dia. Aku nggak bahagia hidup dengannya. Aku lebih nyaman denganmu, Mel.” Adam merengkuh Melati.

Melati berusaha melepas pelukan Adam, tetapi tak bisa.

“Mel, jangan pernah memintaku untuk pergi. Aku nggak bisa kehilangan kamu, Sayang. Aku begitu mencintaimu,” ucap Adam. Lalu, dia mencium kening Melati.

Melati akhirnya hanya bisa pasrah. Jika boleh jujur, Melati memang tak mau berpisah dengan Adam, tetapi dia juga tak mau menjadi perebut suami orang. Melati sungguh dilema. Melati tersedia di pelukan Adam.

“Sayang, jangan kayak gini lagi, ya? Jangan pernah memintaku untuk meninggalkanmu. Aku sangat mencintaimu. Aku akan segera berkata jujur pada Aisyah. Jika dia nggak terima, aku akan menceraikannya dan kamu akan menjadi satu-satunya milikku.” Adam mengurai pelukan dan menangkup kedua pipi Melati. Pandangan mereka saling beradu.

Melati terbius dengan rayuan Adam sehingga tak bisa berkata-kata.

“Sayang, jangan diam saja.” Adam terus menatap Melati.

“Terus aku harus gimana, Mas? Aku ini pelakor. Apa kata orang nantinya? Mas, hubungan kita ini salah. Nggak seharusnya kita seperti ini.” Melati kembali menangis.

“Sayang, jangan menangis. Aku nggak bisa ngeliat kamu nangis.” Adam mengusap air mata yang menetes di pipi Melati.

“Gimana aku nggak nangis, Mas? Aku hanya istri simpananmu. Aku bodoh yang terlalu percaya padamu, Mas Adam!” Melati menatap tajam wajah Adam.

“Jangan ngomong gitu, Sayang. Aku akan sering ke sini dan secepatnya akan pindah ke sini. Jadi, kamu nggak usah khawatir akan kehilangan aku. Aku akan tetap lebih memilih kamu dibanding Aisyah.” Adam terus menatap Melati.

Harusnya Melati bahagia mendengar perkataan Adam, tetapi sayang dia merasa sedih. Melati terus menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi Adam sudah memiliki seorang anak. Melati menarik napas dalam. Melati tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati istrinya jika tahu suaminya berselingkuh. Apalagi anaknya.

“Mas, jangan pernah meninggalkan istrimu, kasihan anakmu, Mas. Biarkan aku yang pergi, ikhlaskan aku, Mas. Talak aku.” Melati terus memohon.

“Diam, Melati. Aku mencintaimu dan tidak akan pernah meninggalkanmu. Sudah kamu tenang saja, aku akan mengatur semuanya. Aisyah pasti akan mengerti jika aku tidak bisa bahagia hidup bersama dia.”

Melati sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Adam. Dia pun akhirnya diam. Melati lelah berdebat dengan Adam.

Sementara di tempat lain, Aisyah tampak tak tenang. Dia merasa was-was dan khawatir. Perasaannya sungguh tak enak. Dia terus kepikiran Adam, suaminya.

“Kenapa aku jadi kepikiran Mas Adam, ya? Padahal Mas Adam sering keluar kota berbulan-bulan, tapi ini cuma ke Surabaya saja, pikiranku nggak enak. Ditelepon juga sering nggak aktif.” Aisyah bermonolog sendiri.

“Kenapa lagi, Aisyah?” Tiba-tiba seorang wanita paruh baya sudah berada di samping Aisyah.

“Eh, Bude, ini lo papanya Anindya sudah satu bulan di Surabaya. Katanya sih mau mengurus perusahaan cabangnya di Surabaya, jadi lama di sana. Katanya sih bakal tinggal 2 bulan di sana.” Aisyah berkata sambil menatap ke arah sang bude.

“La kok lama banget? Kamu nggak ikut ke sana?” tanya Bu Darmi.

“Kata Mas Adam, ke Surabaya mau kerja, dia juga cuma dua bulan, nggak seterusnya tinggal di sana. Mas Adam juga janji akan sering telepon.” Aisyah menarik napas dalam.

“Ya seharusnya meskipun cuma dua bulan, yang namanya istri harusnya diajak. Jangan terlalu sering dan lama menjalin hubungan jarak jauh. Di luaran sana banyak pelakor,” ucap Bu Darmi.

“Bude, jangan nakutin gitu ah. Insyaallah Mas Adam setia. Kan, dia juga sering ke luar Jawa, tapi dia nggak selingkuh. Malah kadang 6 bulan juga. Ini baru 1 bulan di Surabaya, Bude.” Aisyah tersenyum.

“Ya, kalau gitu kenapa kamu tadi kayak khawatir?’ tanya Bu Darmi.

“Ini, sudah hampir satu minggu nggak ngasih kabar. Dihubungi susah,” sahut Aisyah.

“Adam sepertinya sering ke Surabaya sekarang ya?” tanya Bu Darmi.

“Iya, Bude, kan, punya perusahaan cabang di Surabaya.” Aisyah tersenyum.

Bu Darmi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kamu hati-hati saja, jangan sampai nasib ibumu menimpamu juga,” ucap Bu Darmi.

Aisyah menarik napas dalam.

“Iya, Bude. Semoga Mas Adam nggak seperti almarhum Papa yang diam-diam mengkhianati almarhum Mama,” ucap Aisyah.

Aisyah menarik napas dalam. Dia teringat masa-masa saat papanya lebih memilih wanita lain. Dulu, saat Aisyah masih berusia sekitar 6 tahun, papanya pergi meninggalkan mamanya. Almarhum mamanya memohon agar almarhum papanya tidak meninggalkan mereka. Namun, almarhum papa Aisyah tak peduli. Bahkan, tangisan Aisyah pun tak dipedulikannya. Hati Aisyah sesak jika mengingat kejadian itu. Aisyah tak mau nasibnya dulu harus menimpa Anindya.

“Ya, sudah, jangan diingat lagi kejadian yang dulu. Sekarang mamamu sudah bahagia di atas sana.” Bu Darmi menepuk pundak Aisyah.

“Iya, Bude.” Aisyah mengangguk.

“Bu, Bu Aisyah!” ART Aisyah datang dengan tergopoh-gopoh.

“Kenapa Mbak?” tanya Aisyah kepada ART-nya.

“Neng Anindya, Bu. Badannya tiba-tiba panas. Pas saya masuk kamarnya untuk mengecek sudah bangun apa belum, tau-tau Neng Anindya menggigau. Dia terus memanggil papanya.” Siti berkata dengan nada khawatir.

“Ya Allah Anindya.” Aisyah langsung berlari ke kamar Anindya dan diikuti oleh Bu Darmi dan Siti.

Setiba di kamar Anindya, Aisyah langsung mengecek badan Anindya. Dia masih memanggil papanya. Anindya memang seperti itu jika sakit, tak bisa jauh dari papanya.

“Sayang,” panggil Aisyah.

“Papa, pengen Papa,” ucap Anindya.

“Iya, Papa akan segera pulang, kok. Kita ke dokter dulu, ya?” Aisyah menatap Anindya dengan khawatir.

“Mau Papa,” sahut Anindya.

“Iya, Mama akan hubungi Papa secepatnya ya? Sekarang Anindya minum obat dulu,” ucap Aisyah.

Kemudian, Aisyah meminta Siti untuk mengambil Paracetamol di kotak P3K. Sementara dia ingin menghubungi Adam. Bu Darmi menemani Anindya.

Aisyah mencoba menghubungi nomor Adam, tetapi lama tak ada respons. Berdering, tetapi tak diangkat.

“Mas, kamu ke mana, sih? Masak jam segini masih sibuk urusan kantor?” Aisyah berkata sendiri.

Aisyah terus menghubungi nomor Adam, tetapi tak kunjung diterima. Aisyah hampir putus asa.

“Kamu kenapa jadi susah dihubungi, sih, Mas?” Aisyah bermonolog.

Saat hampir putus asa, akhirnya diterima juga.

“Halo.”

Aisyah mengernyit saat mendengar suara perempuan yang menyahut. Siapa? Kok, suara perempuan? Aisyah bertanya-tanya dalam hati.

“Halo, ada yang bisa saya bantu?” tanya suara itu lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Pelakor    Bab 19. Kemarahan Melati

    Esok pagi, Melati mengerjap karena cahaya matahari menerobos masuk jendela. Matanya sebenarnya begitu berat untuk dibuka. Melati masih mengantuk karena semalam tidur sudah sangat larut. Napas dia embuskan dengan kasar. Dengan malas Melati bangun dan melangkah keluar kamar menuju kamar mandi.Melewati dapur untuk ke kamar mandi.“Anak gadis bangun, kok, matahari sudah tinggi. Gimana bisa cepet dapat jodoh, jodohnya dipatok ayam.” Ibu menggoda Melati ketika dia hendak masuk ke kamar mandi.Melati menoleh dan tersenyum. Ah, Ibu ... tidak tahu kalau anaknya ini sudah mendapat jodoh meskipun dia tidak lagi single.Tanpa menanggapi perkataan Bu Halimah Melati masuk kamar mandi dan menutup pintu. Melati bersender di balik pintu sambil menumpahkan kesedihan. Napas terasa sesak, cairan hangat pun mengalir membasahi pipi.Tuhan ... ampuni Hamba karena telah berbohong pada Ibu. Hamba tak berani berkata jujur kalau sudah menikah, karena hanya menikah siri dan bukan dengan pria single.Melati sege

  • Bukan Pelakor    Bab 18. Niat Dijodohkan

    Malam ini, Melati duduk di teras rumah bersama Bu Halimah. Menyaksikan kerlap-kerlip bintang di langit. Ya, suasana di rumah Melati ini memang tidak begitu ramai, karena rumahnya jauh dari jalan raya. Hanya jalan kampung kecil dan masih banyak pepohonan di sekitar. Jika malam, suasana hening dan terdengar suara jangkrik, yang sudah tidak terdengar di Kota Surabaya.“Melati, kapan kamu mau menikah?”Pertanyaan Bu Halimah sontak membuat Melati terkejut.Melati langsung menoleh.Aku harus menjawab apa atas pertanyaan Ibu? Aku sudah menikah meskipun hanya siri. Melati berkata dalam hati.“Melati kenapa diam? Ibu berniat menjodohkanmu dengan Rehan, anak Bi Minah yang rumahnya di pojok kampung sana.” Bu Halimah menunjuk ke arah utara.Melati masih bergeming, menunggu Bu Halimah melanjutkan perkataannya.“Dia anak yang baik, udah mapan, dan umurnya juga sudah matang. Dia juga berniat cari jodoh kata ibunya. Kamu kenal dia, ‘kan?” lanjut Bu Halimah.Melati menelan ludah, kemudian menghela nap

  • Bukan Pelakor    Bab 17. Pulang Kampung

    Keesokan harinya Melati memutuskan untuk pulang kampung sebentar. Dia ingin menenangkan diri. Selain itu juga kangen pada ibunya. Semalam Melati langsung memesan tiket kereta api secara online. Untung saja langsung ada.Pagi ini, Melati segera menuju stasiun Gubeng. Dia akan pulang menggunakan jasa kereta api.Setelah tiba di stasiun, dia berjalan menyusuri emperan stasiun. Orang-orang berlalu-lalang memenuhi emperan. Hendak pulang dan pergi. Menyatu dengan tukang asongan, penjaja koran, dan penjual makanan serta minuman. Hari masih sangat pagi saat Melati tiba di stasiun. Kereta tidak terlalu penuh, mungkin karena belum banyak orang yang hendak bepergian, mungkin juga memang bukan hari libur besar ataupun hari raya. Melati bernapas lega, karena bisa duduk santai sepanjang perjalanan. Dia bergegas masuk ke gerbong kereta.Tak lama kemudian, kereta api pun berdecit, melaju meninggalkan Kota Surabaya. Dia memandang ke luar jendela kereta. Menghirup napas dalam. Dia tidak izin pada Adam.

  • Bukan Pelakor    Bab 16. Melati Bingung

    “Melati, Aisyah sedang sakit. Dia nggak boleh dengar kabar menyakitkan. Kalau aku cerita yang sesungguhnya di saat dia drop, aku takut dia akan tersiksa.” Adam mendekap Melati dari belakang.Mendengar pengakuan Adam, Melati hanya terdiam. Menahan isak tangis. Dada Melati teramat sesak. Kalau dia takut istrinya tersakiti, kenapa bermain api? Apakah dia tidak memikirkan Melati yang juga menderita karena hubungan tersembunyi ini? Mengapa hanya istri pertamanya saja yang perlu dijaga perasaan hatinya?“Pergi saja kamu, Mas. Jangan pernah ke sini lagi! Sebaiknya kita memang berpisah.” Suara Melati bergetar menahan amarah.“Sayang jangan pernah minta berpisah. Aku nggak mau. Sabarlah sebentar, saat ini Aisyah sedang sakit. Kondisinya benar-benar drop, karena itu aku harus menjaga perasaannya.” Adam menggenggam tangan Melati.“Memangnya sakit apa dia, Mas?” tanya Melati.“Gejala ginjal,” jawab Adam lirih.Mata Melati membelalak tak percaya. Ginjal? Begitu parahkah, sehingga Adam begitu khaw

  • Bukan Pelakor    Bab 15. Kemarahan Adam

    Genap satu bulan tak ada kabar dari Melati. Jiwa Melati sungguh dirundung pilu. Rasa rindu kian bergelora. Melati ingin meneleponnya kembali, tapi takut jika yang menerima istrinya.Sementara itu hubungan Melati dengan Dion makin dekat. Namun, sejauh ini pria berkulit putih itu tak mengerti kalau Melati seorang istri simpanan. Sementara Dion, sudah mengurus perceraian dengan istrinya. Dia sudah tak sanggup bertahan dengan sang istri yang pengkhianat. Ya, dikhianati berkali-kali oleh orang terkasih pasti rasanya sangat menyakitkan. Mungkin itu yang terjadi pada Aisyah, istri Adam.Sore ini, sepulang dari bekerja Melati duduk di teras. Menunggu kehadiran Adam, walaupun tak yakin pria itu akan datang. Akan tetapi, berharap tidak masalah. Itu yang ada di pikiran Melati.Ketika Melati sedang melamun, tiba-tiba terdengar deru mobil berhenti tepat di halaman. Kemudian, muncullah sosok pria turun dari mobil. Dia tersenyum ke arah Melati. Ternyata dia Dion, Melati pikir tadi Adam. Lagi-lagi se

  • Bukan Pelakor    Bab 14. Hampir Ketahuan

    [Hallo, Mbak masih di situ? Apa maksud Mbak, kalau istrimu? Apa Mbak kenal dengan suami saya, Mas Adam?] Suara dari seberang. Melati tetap membisu. Tak tahu harus menjawab apa. Kemudian, samar-sama terdengar seorang pria berucap. Sepertinya suara Adam. “Ma, ayo makan dulu. Ini buburnya sudah siap.” “Pa, apa kamu punya istri lain selain Mama?” “Apa maksud kamu, Ma? Sudah jangan tanya macem-macem, Mama lagi sakit. Ayo makan dulu, papa suap.” Hati Melati teramat sakit mendengar percakapan Adam dengan istrinya. Sakit apakah Mbak Aisyah, sampai makan pun harus dilayani? Batin Melati. Dia terus mendengarkan lewat telepon yang masih tersambung. “Pa, jawab jujur! Apa Papa selingkuh? Barusan ada yang menghubungi Papa dan bilang istri Papa!” Suara wanita itu terdengar bergetar diiringi isak tangis. “Mama ngomong apa, sih? Nggak ada wanita lain di hati papa. Jangan pernah berpikir macem-macem.” Mendengar jawaban Adam, segumpal daging dalam dada Melati berdenyut nyeri. Melati langsung mem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status