Share

Konspirasi?

Dengan cepat lelaki berkopiah itu berlari mencari kunci mobil. Ia tak menghiraukan sang istri yang masih terpaku menatap dirinya. Lampu kamar yang kian meredup menambah kesan monokrom yang sangat klasik

"Hei, mau ke mana malam-malam begini?" Wanita berambut pirang sebahu meneriaki putra sulungnya yang tampak tegang. Dengan cepat ia bergegas pergi tanpa menghiraukan pertanyaan dari Aurez

Jemari mungil miliknya bergegas mengambil gamis simpel berwarna moca senada dengan hijab instan sedada, ia mulai menyusul ibu mertua untuk memasak makanan malam. 

"Ada yang bisa Nahwa bantu, Bu?" Wanita paruh baya itu masih berjibaku dengan bumbu-bumbu dapur, meracik dengan sempurna hingga menambah rempah ruah kuah gulai. Aroma khas ikan bandeng bercampur dengan santan yang lemak dan rempah lainnya membuat hidung mungil sang empu tergelitik. 

"Ah, Nashwa tolong bantu ibu bawakan sayur ini ke meja," titah Aurez yang masih sibuk dengan sayur di kuali, sementara wanita bergamis moca tersebut tampak terpaku. Tak beranjak sedikitpun menuju meja makan. Aurez yang kebingungan menoleh ke arahnya. 

Membuat wanita berkharisma campuran Eropa dan Asia tersebut tak menyadari kesalahannya, terlihat alis lebatnya yang saling bertaut. "Nahwa, Bu. Bukan Nashwa," ucap Nahwa dengan pelan disertai senyuman tipis. 

Aurez terperanjat."Maaf, Nak. Ibu lupa, Nahwa bantu ibu bawakan sayurnya ke meja makan, yah," lanjut Aurez dengan rasa bersalah. 

Wanita bertubuh mungil tersebut mengangguk, kemudian ia membawakan sayur ke meja makan. Aneka masakan telah tersusun rapi di meja makan. Gulai ikan bandeng, sambal jeroan, serta lalapan dan tak lupa sambal terasi. Masih sangat kental makanan khas tradisional Indonesia. Keluarga Wijaya bukanlah orang berada yang menikmati harta warisan dari buyut maupun orang tua. 

Mereka berasal dari orang yang cukup dan sederhana, terlahir menelik kehidupan susah dengan segala ujian hingga menghantarkan tingkat kemakmuran pada generasi Daren. 

"Daren, ke mana Na?" Wijaya mulai membuka percakapan, terlihat senyuman ramahnya yang tak luntur termakan usia, masih sama yang Nahwa lihat ketika semasa kecil, Wijaya memang selalu berkunjung ke rumahnya dulu. 

"Nggak tahu, Om." 

"Jangan panggil Om. Panggil saja ayah," kata Wijaya, ia hanya mengangguk mengerti. 

Selesai makan malam Nahwa pergi ke dapur, terlihat asisten rumah tangga menghampirinya. "Biar saya saja, Non. Itu tugas saya." 

"Tak apa, Bi. Ini juga kerjaan sehari-hari saya," tolak Nahwa dengan halus. Tak lupa ia menampilkan senyuman ramah. 

"Nahwa, ada yang mau saya bicarakan dengan kamu. Kita bicara di teras balkon saja, sekalian minum teh ada ibu juga." Nahwa mengangguk, ia kemudian membawakan nampan yang berisi teh melati. 

Suasana di teras balkon sangat sejuk, semilir angin membuat desau rindu Nahwa semakin mengering. Gemerlap sinar sang rembulan dengan bintang yang bertabur di langit. 

"Ayah tahu ini berat bagi kamu." Nahwa mendudukkan bokongnya di sebelah Aurez. Lelaki bertubuh tegap itu berdiri menatap hamparan kebun bunga Aurez yang tengah bermekaran. 

Netra cokelat tersebut menerobos siluet rembulan, menyesapi gelenyar rindu dan benci. Benci akan perihal sandiwara ini dan rindu akan keluarganya yang sangat hangat. 

"Abraham adalah sahabat saya sedari kecil, kami selalu bersama di saat suka maupun duka. Kami juga bekerja keras untuk bisa menjadi orang sukses, dengan minimnya ilmu serta biaya. Abraham memutuskan untuk bekerja dan tidak melanjutkan sekolah." Nahwa mengangguk, ia paham betul kedekatan Wijaya dengan sang ayah. 

"Hingga saya memutuskan untuk kuliah di luar kota. Namun, orang tua saya hanya penjual keripik di jalanan, Abraham dengan rela memberikan sebagian tabungannya untuk biaya saya." Wijaya menarik napas sesaat, kemudian melanjutkannya, "saya sangat berhutang budi padanya. Ia sangat baik, hingga sampai detik ini saya berhasil mendirikan perusahaan sendiri. Van Wijaya Internasional, saya tengah merintis dengan tekad dan kerja keras tentu dengan bantuan Abraham yang selalu menjadi pembimbing yang baik."

Buliran bening kian melesak. Membuat sang empu terisak akan kenangan pahit. "Hingga salah satu anak kami saling jatuh cinta, membuat saya dan Abraham semakin bahagia. Perusahaan kian mengepakkan sayap kesuksesan, perlahan para pengusaha mulai berinvestasi. Saat ini akan di bangun di Bali."

Nahwa tak kuasa menahan isakan tangis, Aurez mengusap bahu Nahwa dengan lembut, berusaha menguatkan sang empu yang tak bisa berkata-kata. "Jika pernikahan ini gagal akan berpengaruh dengan perusahaan, saat ini Daren telah menduduki posisi yang tinggi. Abraham sangat kecewa dengan Nahswa begitupun Daren yang tak luput dari kekecewaannya, maafkan kami, Nak." Wijaya membalikkan tubuhnya ia mulai bersimpuh menatap putri bungsu sahabat karibnya. 

"Tidak, Ayah. Ini bukan salah siapapun. Semua ini sudah takdir, toh kita tak tahu jika ini terjadi."

Wijaya semakin terisak mengingat kematian tak terduga dari sahabat yang telah dianggap saudara kandungnya. Menyesali keputusan yang sangat konyol dan membuat kekecewaan Abraham pada Daren, hingga membuat penyakit jantungnya kambuh. 

***

"Bagaimana? Siapa Azlan? Kenapa bisa satu mobil dengan Nashwa?! Apa hubungan mereka!" Sorot mata yang kian memerah menatap nyalang terhadap pria di hadapannya. 

"Identitas Azlan sangat misterius, dan susah didapatkan, Tuan. Namun, dari hasil penyelidikan Azlan merupakan keturunan Quwait, ibunya merupakan keturunan asli Indonesia, sedangkan ayahnya asli keturunan timur. Hanya itu yang baru saja kami dapatkan." 

Daren membanting vas bunga membuat suasana ruangan semakin runyam. "Dan apa hubungannya dengan Nashwa?! Arghh!" Teriakan frustasi membuat dirinya semakin tak terkendali. "Selidiki ini lebih lanjut, dan di mana ia dengan Nashwa berada sekarang," ucapnya dengan penuh penekanan. 

Daren meninggalkan ruangan kerjanya, ia berhasil meredam amarah menampilkan sikap dingin yang tengah mengakar di tubuhnya. 

Jadwal rapat meeting kali ini sangat padat, ia harus turun ke lokasi untuk mengobservasi lapangan. Melakukan kesepakan dengan perusahaan lainnya sehingga Vila wisata di Bali serta hotel mewah bintang lima hendak di di dirikan di pulau Dewata. 

Daren memasuki kamarnya, pandangannya kacau ia melemparkan dasinya sembarangan. Kemudian bergegas memandikan raganya yang telah lelah akan masalah yang tiada henti. 

Nahwa masuk ke kamar, mengambil buku di nakas sebelah tempat tidur. Jemari lentiknya mulai mengambil pena dan menggoreskan setiap narasi. Ia merindukan suasana kampus, ia merindukan senyuman hangat dari sang ayah. Ia merindukan kejahilan sang kakak. Ia merindukan semuanya, tanpa terasa buliran bening melesak membasahi pipinya. 

Pria dengan tubuh tinggi 175 cm tersebut keluar dari kamar mandi, hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Menampilkan roti sobek di perut Daren. Rambut klimisnya basah mengkilap menyeruak aroma vanila segar. 

"Ahhh!!" Nahwa terpekik, bagaikan melihat setan di siang bolong dirinya gelagapan menutupi wajah yang kian memerah. 

'Ya Tuhan, mata hamba ternodai,' batinnya. 

Nahwa membuka sedikit ujung buku yang menutupi wajahnya, perlahan ia melihat Daren yang masih mengenakan handuknya dan berjalan ke arahnya. 

Lelaki itu berjalan mendekatinya membuat Nahwa mati kutu, tidak. Lebih tepatnya degupan jantung yang semakin bertalu-talu membuat ia mati karena malu. 

"Apa?! Apa yang, Mas lakukan!" teriaknya dengan gugup. 

Daren tak menghiraukan teriakan Nahwa yang semakin memekakkan telinga. Ia terus berjalan menghampiri Nahwa dan membuat wanita di atas kasur itu semakin kehabisan napas, kala melihat Daren tepat di hadapannya. 

"Diam atau?"

Lelaki itu menggantung kalimatnya,  "Atau apa?" lanjut Nahwa menantang. 

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status