Share

Sandiwara

Wanita bertubuh mungil itu berjalan menyusuri rumah keluarga Wijaya. Rumah nuansa arsitektur khas Eropa perpaduan kesan mewah dengan cat berwarna putih cream mendominasi setiap ruangan. 

Aurez istri Wijaya sangat menyukai gaya Eropa karena ibunya merupakan keturunan negara Eropa. Namun, sang oma memilih tinggal di desa terpencil di perkampungan Sumatera Utara, tanah kelahiran almarhum sang suami. Jauh dari hiruk-pikuk harta gono-gini. 

"Perpaduan yang sempurna," decak Nahwa kagum. 

Nahwa merasa takjub akan rumah Wijaya, yang berbentuk minimalis, tak terlalu megah. Namun, kesan mewah tak lepas dari arsitekturnya. 

Wijaya menyambut hangat menantunya, begitupun dengan sang istri yang berusaha mencairkan suasana dingin. Sementara Daren mengikuti Nahwa dari belakang. Perempuan bermata teduh itu tersenyum hangat menatap keluarga barunya. Meski perasaannya tak karuan ia berusaha tersenyum dan bahagia. 

"Selamat datang, Nahwa. Kami sangat senang akan kehadiranmu." Aurez tersenyum hangat sembari memeluk Nahwa. Berbeda halnya dengan Nela, adik dari Wijaya. Wanita bertubuh gempal tersebut sangat menampilkan ketidaksukaan akan kehadiran Nahwa. 

"Daren, tolong antar Nahwa ke kamar. Mungkin ia lelah selama perjalanan. Lihat, wajahnya terlihat pucat," titah Aurez dengan lembut. Lelaki yang di belakang Nahwa, kini mengambil alih koper milik sang istri. Mereka beriringan menaiki anak tangga menuju kamar utama. 

"Segera turun! Makan malam sebentar lagi akan selesai!" Teriakan Aurez membuat sepasang pengantin baru itu menoleh dan menyahuti perintahnya. 

Nahwa terkejut kala melihat kamar bernuansakan monokrom. Ornamen minimalis serta lukisan warna monokrom mendominasi kamar Daren Wijaya. Bahkan tempat tidur yang berukuran king size memadukan nuansa monokrom. Tanpa sadar Nahwa memijit pelipisnya, pikirannya semakin semrawut melihat warna yang sangat ia benci. 

"Ada apa?" Daren terlihat bingung mendapati wanita tersebut masih berdiri diambang pintu. 

"Ah, tidak. Hanya lelah saja," elaknya. 

Daren membuka lemari."Ini lemarimu. Di sebelah sana lemariku. Sebagian lemari telah terisi, ibu kemarin yang membelanjakan sebagian hijab dan gamis untukmu," jelas Daren tanpa melihat sedikitpun ke arah Nahwa. Wanita itu hanya mengangguk sembari mengeluarkan pakaian dari koper. 

"Sesuai kesepakatan, kita akan tidur terpisah. Aku akan tidur di sofa dan tak akan mengganggumu. Begitupun sebaliknya," cecar lelaki berambut klimis tersebut. 

Wanita bertubuh mungil itu menimbang sebuah pertanyaan. "Hmm, bisakah seprainya diganti dengan warna lain?" tanyanya hati-hati. 

Daren menoleh, membuat Nahwa semakin salah tingkah. "Kenapa? Kamu gak suka?" 

"Tidak, hanya saja warnanya terlalu monoton," lirih Nahwa pelan. Namun, sang empu masih mendengar suaranya. 

"Ganti saja sesukamu. Kamar ini tak hanya milikku, tapi juga milikmu yah, dalam enam bulan." Jawaban anarkis Daren berhasil membuat hatinya berdesir. Sedikit menohok membuat Nahwa sadar jika posisinya hanya pengantin pengganti. 

"Lupakan," balas Nahwa tak kalah sengit. Detik kemudian Daren pergi ke kamar mandi. Sementara Nahwa sibuk berbenah pakaiannya. 

"Hei! Bisakah kau ambilkan handuk di lemariku!" Teriakan Daren membuat Nahwa sedikit terperanjat. "Apakah kau tak dengar?!" jawabnya tak kalah lantang.

Nahwa hanya menggerutu kesal, pasalnya ia sangat malu jika harus berada satu ruangan dengan lelaki. Dan itu hal yang lumrah bukan? Bagi pasangan suami istri yang telah halal. 

'Sabar Nahwa, istri harus patuh sama suaminya. Harus sabar, gak boleh marah-marah,' batin Nahwa berusaha untuk menyemangati dirinya sendiri. 

"Iyah, sebentar, Kak." Dengan cepat Nahwa mengambil handuk. Tangan kekar milik Daren terjulur dari kamar mandi. Memperlihatkan bulu tangan yang terlihat basah, Nahwa terpaku. Ia malu dan tentu saja membuat degupan jantung semakin tak karuan. 

"Mana handuknya?" Daren menjulurkan tangannya sembari berusaha meraih handuk yang tak kunjung ada di genggamannya. 

"Ah, i-yah." Nahwa sedikit gugup. Namun ia kembali menstabilkan dirinya untuk tidak terlihat gugup. 

Dengan kasar Daren menarik handuk dari tangan Nahwa. Ia menggerutu kesal terhadap Nahwa yang membuatnya sedikit lebih lama menunggu di kamar mandi.

Azan Maghrib berkumandang dengan cepat Nahwa mengambil air wudhu dan membentangkan dua sajadah. 

"Kak, ayo kita salat dulu." Daren tak menghiraukan panggilan Nahwa ia sibuk berselancar di layar handphone, membuatnya terlihat sibuk, padahal ia hanya menggeser-geserkan wallpaper handphone.

"Tak bisakah kau melihat aku sedang sibuk?" jawabnya dengan nada sedikit meninggi dan penuh penekanan. 

Nahwa menggeleng pelan sembari tersenyum geli. "Tahu, Kakak lagi sibuk geser layar utama handphone, 'kan." Sontak jawaban Nahwa mampu menyadarkan Daren dari tindakan konyolnya. 

"Jangan panggil sebutan kakak, kita suami istri setidaknya panggil sebutan yang lain, seperti mas atau apalah. Oma esok akan datang, ingat tujuan kita berbeda," dalih Daren mengalihkan topik pembicaraan. 

Nahwa membeku, rasa sakitnya kembali menyeruak hingga membuat sang empu hampir meneteskan buliran bening dari pelupuk mata teduhnya. 

"Tentu saja, Nahwa masih ingat tentang kesepakatan itu. Kesepakatan untuk Mas Daren menjadi imam Nahwa selama sandiwara ini. Sekarang mari kita salat, Mas. Jadilah imam yang baik bagi Nahwa, walaupun takdir ke depannya tak ada yang tahu kecuali Dia," ucap Nahwa sembari tersenyum paksa. 

Pria dengan kaus oblong tersebut bergegas mengambil wudhu dengan perasaan tak karuan. Daren berdiri di depan Nahwa. Ia mulai melakukan takbiratul ihram, Nahwa bergetar hebat, ia menangis dalam diam tatkala Daren membacakan Al Fatihah. Untuk pertama kalinya ia melaksanakan salat dengan kekasih halal. Imam yang selama ini Nahwa impikan seusai salat. 

Imam yang bisa membimbingnya menuju ridha sang Illahi, imam yang menyayangi dan menjadi ayah terbaik untuk anak-anaknya. Namun, semuanya pupus tatkala ia harus menjadi pengantin pengganti kakaknya sendiri. 

Daren mengucapkan salam, ia dengan cepat berbalik ke arah Nahwa yang masih mengenakan mukena miliknya, membuat Nahwa terlihat menggemaskan dengan pipi yang sedikit gembul. 

"Apa lagi?" tanya Daren dingin. Nahwa masih menunduk mencoba mengontrol dirinya untuk tidak larut dalam kesedihan dan kemarahan. 

"Berdzikir dan berdoa, jika mas tak sanggup akan itu, setidaknya ingat pada-Nya," kilah Nahwa dengan pelan. Namun, kalimat itu berhasil menohok hati Daren yang telah mengeras akan hidayah. 

"Kenapa harus seribet ini, sih? Kita hanya bersandiwara. Aku tak cinta padamu begitupun sebaliknya." 

Nahwa menghentikan aktivitas berdzikir. Ia menatap nyalang lelaki di hadapannya. 

"Kenapa? Mas mau sekalian bersandiwara di hadapan Tuhan? Yang maksa ke sini dan buat kesepakatan konyol ini siapa? Mas atau Nahwa? Nahwa juga gak mau menikah dengan mas yang telah meniduri Kak Nashwa," balas Nahwa dengan geram.

 Setiap kesabaran ada batasnya, Nahwa merasa kesabarannya telah melampaui batas, membuat ia semakin sakit akan ikatan suci ini. Sang empu langsung terdiam tanpa kata, ucapan Nahwa benar, ia telah meniduri Nashwa, wanita yang amat sangat ia cintai meski tega menidurinya hingga hamil di luar

nikah. 

"Maafkan aku, aku tak sanggup. Aku tak sanggup menjadi imam yang baik buat kamu." Daren menunduk dengan rasa penyesalan. 

Nahwa meraih tangan imamnya dan menyalaminya dengan khidmat, tangan yang sama yang telah menjabat tangan dengan sang ayah untuk ijab qabul namanya. "Jadilah imam yang baik setidaknya selama enam bulan," ucap Nahwa dengan nada nyaris tercekat. 

Suara dering telepon berhasil menyadarkan suasana haru yang sempat membeku, Daren mengangkat telepon. Terlihat ia sangat serius ketika melihat kontak panggilan.

"Apa?! Cepat temukan dia!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status