Share

Bukan Pernikahan Impian
Bukan Pernikahan Impian
Penulis: Dyah Ayu Prabandari

Wasiat

"Tidak, Pa. Aku tidak mau!" Dada Dion naik turun.Sorot matanya menatap tajam ke arah lelaki yang terbujur lemah di atas ranjang khas rumah sakit. 

"Tapi, Dion. Savira perempuan baik-baik, Papa ingin kamu menikahinya," ucap Purnawan lirih. Suaranya pelan bahkan hampir tak terdengar. 

"Mana ada wanita baik-baik yang berhubungan dengan lelaki beristri. Sampai kapan pun aku tak sudi menikah dengan wanita simpanan Papa!" ucap Dion lalu melangkah pergi meninggalkan Purnawan. 

Sepeninggal Dion, Purnawan mengelus dada yang terasa sesak. Ucapan Dion mampu memporak-porandakan hati lelaki berusia enam puluh tahun itu. 

"Kamu selalu sibuk dengan duniamu, Dion. Andai kamu tahu apa yang Papa rasakan saat ini, " ucap Purnawan lirih. 

Lelaki bertubuh tambun itu terdiam seraya menatap langit-langit kamar bernuansa putih itu. Purnawan seorang pengusaha kelapa sawit terkenal di pelosok negeri. Dia tergeletak tak berdaya karena penyakit komplikasi yang ia derita dua tahun ini. 

Rasa sakit tubuh tak sebanding dengan rasa kesepian yang menemani Purnawan. Anak yang ia harapkan menjadi warna dalam hidupnya justru sibuk dengan dunianya sendiri. Dia bahkan tak pernah menganggap keberadaan Purnawan. 

Suara panggilan telepon membangunkan Dion dari tidur nyenyak. Lelaki bertubuh atletis itu mengambil ponsel yang tergeletak tak jauh dari bantalnya. Dengan kesal ia tarik gambar telepon ke atas. 

"Mas Dion, tolong ke rumah sakit sekarang! Tuan Purnawan kritis," ucap Hendra, orang kepercayaan Purnawan. 

Sebuah senyum tergambar jelas di wajah lelaki itu. 

"Akhirnya lo mati juga, lelaki sepertimu memang pantas di neraka!" ucap Dion dalam hati. 

"Oke, aku segera ke sana."

Mobil sport milik Dion melaju dengan kecepatan sedang. Lelaki itu tak ingin terburu-buru sampai ke rumah sakit. Baginya kematian Punawan adalah harapan yang sebentar lagi menjadi kenyataan. 

Setelah tiga puluh menit, kendaraan roda empat milik Dion berhenti tepat di halaman rumah sakit. Dengan cepat ia berlari menuju ruang ICU. 

"Bagaimana keadaan Papa?" tanyanya seraya mengatur napas yang tersengal. 

"Tuan tidak bisa diselamatkan. Beliau meninggal lima menit yang lalu," ucap Hendra dengan mata berkaca-kaca. 

"Papa!" teriak Dion. Wajahnya mulai berkabut. Tubuh atletisnya luruh di depan pintu ruang ICU. 

"Ikhlaskan Tuan, Mas." Hendra mengelus pundaknya. 

"Papa, Hen... Papa." Dion mulai terisak. Rasanya kehilangannya membuat Hendra merasa iba. 

"Keluarga Bapak Purnawan?" tanya seorang suster. 

"Kami keluarganya, Sus," jawab Hendra. 

"Tolong segera urus administrasinya."

"Baik, Sus."

"Maaf, Mas. Saya harus mengurus administrasi dulu," ucapnya lalu meninggalkan Dion di depan ruang ICU seorang diri. 

Sepeninggal Hendra, Dion segera menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. 

"Akhirnya kamu mati juga. Kini semua kekayaan yang kamu miliki akan jatuh ke tanganku." 

Dion tersenyum kala membayangkan harta Purnawan yang akan berpindah ke tangannya. Lelaki itu ternyata pandai bersandiwara. Di depan umum ia nampak kehilangan tapi di belakang ia tertawa penuh kemenangan. 

***

Satu persatu pelayat telah meninggalkan kediaman Purnawan. Kini hanya tinggal Dion, Hendra, Regina serta Ridwan, pengacara Purnawan. 

"Katakan isi surat wasiat Papa!" ucap Dion seraya menatap tajam ke arah Ridwan. 

"Tapi ini belum empat puluh hari, Tuan."

"Mau sekarang atau besok sama saja. Bacakan sekarang juga isi wasiat mantan suami saya."

"Ta-tapi Nyonya."

Hendra menggelengkan kepala melihat sikap Dion dan Regina. Kedua orang itu seperti bunglon, dalam sekejap mata bisa merubah sikap dan perilaku. 

"Ternyata benar apa kata Tuan Purnawan, mereka pandai bersandiwara," ucap Hendra tapi hanya di dalam hati. 

"Apa susahnya membacakan wasiat Mas Purnawan. Kami berhak tahu!" bentak Regina. 

"Bagaimana ini, Pak?" tanya Ridwan seraya melirik ke arah Hendra. Lelaki itu tahu Hendra adalah orang kepercayaan Purnawan saat masih hidup hingga sekarang. 

"Katakan saja, Pak," ucap Hendra. 

Dengan sedikit ragu Ridwan mengeluarkan kertas berisi wasiat Purnawan sebelum meninggal dunia. 

"Semua harta Papa akan jatuh ke tanganku, kan?" tanya Dion sambil tersenyum penuh arti. 

"Semua harta dan aset milik Pak Purnawan akan jatuh ke tangan Mas Dion ...."

"Benar, kan, Ma. Semua ini akan menjadi milik kita," ucap Dion jumawa. 

"Mama yakin, tak mungkin harta itu jatuh ke tangan orang lain. Kamu itu anak satu-satunya Mas Purnawan, dan hanya kamu yang berhak atas itu!" ucap Regina dengan senyum penuh kemenangan. 

"Saya belum selesai, masih ada kelanjutannya."

"Cepat katakan, apa kelanjutannya." 

"Semua harta dan aset milik Pak Purnawan akan jatuh ke tangan Mas Dion setelah Mas Dion menikah dengan Savira."

"Apa!" Teriak Dion dan Regina bersamaan. 

"Aku tak sudi menikah dengan gundik Papa. Aku tak sudi!"

"Jangan mengada-ada, Ridwan! Tak mungkin Mas Purnawan menjerumuskan putra kandungnya!" Teriak Regina lantang. 

Wanita dengan pakaian berwarna hitam itu berdiri seraya menatap tajam ke arah Ridwan dan Hendra. Dia yakin wasiat yang Ridwan bacakan itu palsu. 

"Katakan di mana surat wasiat yang asli berada!" 

Ridwan menghembuskan napas kasar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun tak pernah terbayangkan jika ia akan dituduh menyembunyikan surat wasiat Pak Purnawan. 

"Ini surat yang asli, Nyonya. Ada tanda tangan Pak Purnawan." Ridwan memperlihatkan kertas berisi tulisan tangan Pak Purnawan sebelum ia meninggal dunia. 

"Aku yakin ini palsu, kalian pasti bekerja sama untuk menguasai harta manta suami saya, kan!" tuduh Regina dengan mata melotot. 

"Surat ini sah dimata hukum!" Jawab Ridwan kesal. 

"Tidak... Tidak mungkin," ucap Regina seraya menjatuhkan tubuh di atas sofa. Sesekali tangannya memijit kepala yang terasa kian berputar-putar. 

"Satu lagi, Mas Dion wajib menikah dengan Savira dalam kurun waktu satu bulan setelah pembacaan wasiat. Kalau tidak seluruh aset dan harta Pak Purnawan akan disumbangkan ke panti asuhan, yayasan amal dan panti jompo."

"Apa!"

Seketika Regina jatuh pingsan di atas sofa. 

Dion dan Regina duduk lemas di sofa. Beberapa menit lalu Hendra dan Ridwan telah meninggalkan kediaman Purnawan. Ketidakpercayaan Regina membuat pengacara mendiang Purnawan meradang. Hingga akhirnya mereka memilih pergi. 

Sepi dan sunyi, rumah mewah yang dulu ditinggali Purnawan seorang diri terasa tak berpenghuni. Tak ada  tahlilan atau doa bersama, Dion dan Regina terlalu sibuk mengurus surat wasiat hingga ia lupa mengadakan acara tahlilan. Lebih telatnya pura-pura  lupa. Lagi pula kematian Purnawan adalah mimpi mereka berdua. Lalu untuk apa mengadakan tahlilan jika dalam hati mereka tertawa bahagia. 

"Bagaimana ini, Ma? Aku tak sudi menikah dengan wanita simpanan Papa!" ucap Dion seraya memijit kepala yang terasa berdenyut.

"Kamu bisa diam tidak? Kepala Mama mau pecah! Lelaki tua itu benar-benar keterlaluan. Hidup menyusahkan mati justru menambah penderitaan!" omel Regina.

"Dion pikir akan menjadi pengusaha kaya raya. Tapi nyatanya kehancuran berada di depan mata. Dion tak sanggup hidup miskin, Ma. Bagaimana kalau Julia tahu aku tak punya apa-apa? Dia pasti akan meninggalkanku."

Dion dan Regina terus saja berdebat. Impian menjadi orang kaya lenyap begitu saja. Kini justru bayangan kemiskinan yang menari-nari di depan mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status