Share

Bab 4. Ketahuan

Setelah berganti pakaian Bianca bingung harus tidur dimana. Jika boleh memilih dirinya akan langsung tidur disebelah suaminya. Namun, Bianca juga ragu, takut jika nantinya Dewa marah karena sudah lancang tidur di sebelahnya.

Bianca tidak ingin hal itu terjadi, ia mendapatkan Dewa secara cuma-cuma, mana mungkin ia membuat kesalahan dengan membuat pujaan hatinya marah.

"Apa yang kamu lakukan, Bianca!" Suara Dewa membuat langkah Bianca yang sejak tadi mondar-mandir langsung terhenti. Wanita itu melihat Dewa masih dengan posisi tidur dan mata terpejam.

"Kamu mengganggu tidur saya!" Lanjut Dewa matanya terbuka lebar.

"Maaf Mas." Ucap Bianca. Bukannya takut dengan tatapan tajam Dewa, Bianca justru membalas tatapan itu dengan cengiran.

"Aku tidur dimana ya, Mas?" Tanya Bianca penuh harap, sangat berharap bisa tidur disamping pria itu.

"Kamu tidak sedang menyuruhku tidur di sofa, kan?" Dewa balik bertanya, matanya memicing semakin tajam.

Bianca menggeleng keras, "Tidak.. Tidak… bukan seperti itu!"

"Lalu?"

"Apa boleh aku tidur disana." Bianca menunjuk sisi ranjang yang masih kosong.

"Terserah." Dewa memiringkan posisi tubuhnya.

Dalam hati Bianca bersorak senang, meski Dewa tidak mengatakan boleh, setidaknya Bianca diberi pilihan untuk menentukan sendiri.

Tak mau lebih lama lagi, Bianca langsung berjalan ke sisi ranjang yang kosong. Bianca menarik selimut lalu membungkus dirinya dengan selimut. Bianca dapat dengan jelas melihat tubuh kokoh suaminya karena Dewa tidak menutup  tubuhnya dengan selimut. 

"Betapa nyamannya bisa tidur di pelukanmu, Mas!" Batin Bianca, berharap suatu saat dirinya mampu menaklukan hati Dewa.

Cukup memandangi punggung Dewa, Bianca mencoba memejamkan matanya, lima menit, sepuluh menit hingga lima belas menit, matanya tak kunjung bisa terpejam. Pikirannya kembali terbayang kejadian hari ini, kejadian yang sungguh jauh dari bayangannya. Tanpa dia sadari tubuhnya terus bergerak hingga lagi-lagi Dewa menegurnya.

"Kali ini apa lagi, Bianca!" Desis Dewa, tubuhnya masih membelakangi istrinya.

Sebelum menjawab, Bianca memiringkan tubuhnya menghadap punggung suaminya. "Aku tidak bisa tidur, Mas! Boleh aku tanya sesuatu?"

Dewa tak menjawab, pria itu masih betah memunggungi Bianca. Tapi, Bianca tidak ingin menyerah, ia sudah sangat penasaran dengan jawaban Dewa.

"Mas."

Dewa masih diam.

"Mas Dewa."

Dewa tetap tidak merespon.

Bianca menghembuskan nafas lemas, ternyata tidak mudah mengajak bicara suaminya.

"Apa Mas Dewa akan menceraikanku besok?" Bianca tetap bertanya meski tidak yakin akan mendapat jawaban dari Dewa.

"Kamu ingin segera menjadi janda?" Dewa membalik badan, tatapan tajamnya langsung berhadapan dengan mata coklat milik Bianca.

Bianca terkejut dengan ucapan dan pergerakan Dewa yang terlalu tiba-tiba, padahal dia mengucapkannya tidak terlalu keras.

Sedikit gelagapan namun Bianca tetap menjawabnya. "Tentu saja tidak! Wanita mana yang ingin menjadi janda!"

"Tidur." Dewa kembali membalik badan memunggungi Bianca.

"Tidak maukah dia memelukku." Cicit Bianca pelan. 

Sadar harapannya terlalu tingginya, Bianca menepuk dahinya sendiri. "Bi, sadarlah. Suamimu tidak mencintaimu." Gumamnya pada diri sendiri.

Bianca memejamkan matanya, ia meyakinkan diri sendiri jika dia akan berhasil mendapatkan hati pujaan hatinya. Iya. Bianca akan berjuang keras untuk mendapatkan itu. Lihat saja nanti.

***

Bianca merenggangkan tubuhnya, tidurnya tadi malam sangat nyenyak, bahkan ia bermimpi indah bersama seorang pria yang wajahnya samar-samar tidak jelas.

Berbicara seseorang, Bianca jadi teringat jika dia sekarang berada di kamar hotel dengan Dewa.

Bianca melihat sekitar ruangan namun dia tidak menemukan Dewa dimana-mana. Ah! Mungkinkah pria itu menyesal sudah mau menikah dengan dirinya.

Jujur saja Bianca sedih tidak melihat keberadaan Dewa. Bianca beranjak dari ranjang, mencari notes atau sesuatu yang mungkin saja ditinggalkan Dewa untuknya.

Nihil.

Bianca tidak menemukan apapun selain pakaian Dewa saat acara resepsi tadi malam. Mendesah kecewa Bianca memasuki kamar mandi untuk mencuci muka. Karena terlalu nyaman saat tidur, dia jadi telat bangun. Sekarang sudah jam 8 pagi, seandainya Bianca bangun lebih pagi, dia pasti tahu kemana Dewa pergi.

Di tempat lain, Dewa sedang menikmati sarapannya seorang diri. Saat sedang menikmati sarapannya, Dewa dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya.

"Dewa…. Dimana istrimu?" 

Dewa menelan makanannya barulah menjawab pertanyaan sang ibu. "Masih tidur."

Maria dan Hasan saling memberi tatapan menggoda. "Istrimu pasti kelelahan melayanimu. Seperti Papa mu dulu saja." Ucap Maria dengan diakhir kekehan.

Dewa mengabaikan ucapan Maria, ia melanjutkan sarapannya tanpa menghiraukan kedua orang tuanya yang ikut bergabung satu meja dengannya.

"Cepat berikan Mama cucu, ya!" Pinta Maria sebelum pergi mengambil makanan.

"Papa bangga sama kamu! Meski sebagai pengantin pengganti, kamu tetap serius dengan pernikahan ini." Ucap Hasan setelah istrinya benar-benar jauh.

"Papa tahu keputusan yang kamu ambil ini sangat berat apalagi dia calon istri saudaramu sendiri, tapi, Papa tidak ingin kamu menyakiti Bianca. Dia gadis yang baik. Jadilah pria sejati yang tidak menyakiti hati." Lanjut Hasan.

Dewa hanya mengangguk tanpa ucapan. 

"Satu lagi. Setelah ini keluarga Langit pasti akan mengganggu hubungan kalian. Papa berharap kamu bisa melindungi Bianca, bagaimanapun Bianca korban disini."

"Kalian bahas apa sih, muka Dewa kok tegang gitu!" Sahut Maria yang sudah selesai mengambil sarapan.

"Bukan apa-apa, Ma. Papa hanya memberi tips dan trik untuk anak kita." Hasan menggoda Maria dengan kedipan mata. Maria salah tingkah, seperti inilah kehidupan orang tuanya. Saling melempar godaan meski usia sudah melebihi pertengahan abad.

Jika diperbolehkan, Dewa saat ini sudah memutar bola matanya. Kedua orang tuanya tak segan bermesraan saat ada dirinya. Jadi sejak dia bisa hidup mandiri, Dewa memutuskan untuk tinggal sendiri daripada setiap hari disuguhkan hal seperti itu terus menerus.

Selesai dengan makanannya, Dewa segera berpamitan kembali ke kamar. Entah setelah ini apa yang harus dilakukannya, mengingat hari ini libur dan statusnya sudah menjadi seorang suami.

"Jangan lupa pesankan makanan untuk istrimu." Teriak Maria membuat beberapa orang yang ada disana menoleh ke arah mereka.

Dewa mendengus, tanpa menoleh Dewa melanjutkan langkah kakinya. Sampai di depan lift Dewa melihat jam di tangan kirinya, lalu bergumam, "Apa dia sudah bangun?" 

"Sudah jam 8.30, seharusnya dia sudah bangun." Lanjutnya.

***

Dewa baru saja masuk ke dalam kamar sudah disambut dengan suara Bianca begitu kencang hingga memenuhi kamar, Bianca sendiri tak menyadari jika baru saja ada yang membuka dan menutup pintu.

Dewa tak langsung mendekat, ia memilih mendengarkan pembicaraan Bianca yang tampak asyik bercerita dengan lawan bicaranya melalui ponsel pintarnya.

"Kalau gue ketemu Langit, mampus tuh cowok gue bejek-bejek!Enak aja main ngilang setelah tanda tangan kontrak pra nikah."

"Udah biarin aja. lo juga seneng kan bisa nikah sama Mas Dewa, pujaan hati lo."

"Iya juga. Tapi kan nikah karena paksaan Tika! Coba kalau nggak terpaksa, mana mau Mas Dewa nikah sama gue yang biasa-biasa aja." Ucap Bianca sedih.

Bianca saat ini sedang berdiri di kaca kamar hotel, melihat banyaknya mobil dan motor memenuhi jalanan.

"Jadi lo beneran masih suka sama dia?"

"Masih dong! Lo nggak tau aja jantung gue suka maraton waktu Mas Dewa pegang tangan gue. Apalagi pas gue nggak sengaja lihat roti sobeknya, Biuh meleleh gue!" Teriak Bianca kelewat semangat.

"Wah gercep juga lo! Terus lo udah skididap?"

"Belumlah! Gue sih dengan senang hati kalau dia ngajak. Tapi, kayaknya gak mungkin deh!"

"Jangan bilang kalau Mas Dewa lo itu gay!"

"Anjir! Lo belum tau aja ceweknya Mas Dewa kayak gimana. Badannya aja kayak gitar spanyol. Lah gue? Depan, belakang semuanya tepos." 

Alis Dewa menukik mendengar Bianca menyebut jika dirinya memiliki kekasih. Sedangkan dia tidak pernah dekat sedikitpun dengan seorang wanita.

"Astaga kalau badan lo tepos, terus gue apaan? Udah lo duluan aja yang maju."

"Malu lah! Masa gue minta duluan. Bahkan ngomongin dia doang gue udah berdebar, apa gue sakit kena penyakit jantung, ya?" Bianca memegang sebelah kiri dadanya.

"Fix lo harus periksa sekarang juga. Lagian gue juga gak percaya mana ada jantung berdebar padahal radiusnya cukup jauh."

"Terserah lo percaya atau nggak, gue sendiri udah pastiin kalau jantung gue terlalu peka buat Mas Dewa."

"Serah lo, Bi. Serah. Terus langkah lo selanjutnya apa?"

"Justru karena itu gue telpon lo, Tika! Gue harus gimana? Niat gue sama Langit kan cuma nikah selama satu tahun doang. Tapi semua hancur gara-gara tuh cowok ngilang gitu aja."

"Lupain Langit! Harusnya lo justru berterima kasih sama dia, berkat dia kabur lo bisa nikah sama Mas Dewa."

"Iya juga sih! Terus gue harus apa sekarang?"

"Gas poll lah, Bian. Lo juga udah mupeng kan?"

"Ck, gimana gue gak mupeng kalau Mas Dewa aja hot banget gitu. Gue gak yakin bisa tahan godaan."

"Ya udah sih, lo pancing duluan aja. Cowok mah gampang terpancing birahinya."

"Gak mungkin kalau Mas Dewa bakal mau!" Bianca menggelengkan kepala tak membenarkan ucapan Cantika.

"Belum di coba udah bilang gak mungkin aja sih, Bi."

"Buktinya semalem gue minta bantuan ke Mas Dewa buat bukain resleting gaun gue, tapi dia biasa aja tuh!"

"Jadi semalam kamu memang sengaja menggoda saya?" 

Dewa sudah tidak tahan untuk menginterupsi pembicaraan Bianca dengan Cantika, sahabat istrinya itu.

Glek! Bianca menelan ludah susah payah, suara Dewa terdengar begitu datar dan dingin. Hingga membuat tubuh Bianca menengang dan merinding.

Reflek Bianca menutup sambungan telepon dengan Cantika, perlahan Bianca memutar tubuhnya menghadap Dewa yang entah sejak kapan bersandar di dinding dekat ranjang.

Bianca mencoba tenang meski berujung gagal karena suaranya tiba-tiba menghilang sama seperti Langit.

"Ma- Mas Dewa sejak kapan disitu?" Cicitnya.

"Sejak kamu membicarakan saya." Jawab Dewa tenang dengan senyum yang jarang sekali ditunjukkannya.

Bianca menggaruk rambut panjangnya. Matanya sibuk menghindari tatapan Dewa yang sejak tadi seolah menelanjangi tubuh Bianca.

"Hm - maaf, Maaf." Hanya itu yang mampu diucapkan oleh Bianca.

Baru kali ini Bianca tertangkap basah saat membicarakan orang. Mana orang itu adalah suaminya sendiri. 

Malu, gugup, takut bercampur menjadi satu. Hening beberapa menit hingga ucapan Dewa kali ini mampu membuatnya melotot.

"Kamu suka sama roti sobek saya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status