Klarissa memalingkan wajahnya sebentar. Merasa sedikit malu, tapi sayangnya disaat itu saja. Dirinya lantas kembali berkata padanya. "Tapi kan aku udah minta maaf. Masa kamu enggak mau maafin aku sih? Bahkan ke Kiki juga, Kiki aja enggak merasa bermasalah dengan hal ini. Masa kamu sendiri merasa bermasalah sih?" tanya Klarissa."Karena Kiki enggak ada di posisi saya, dia enggak dimarahi siapapun, pusat perhatian siapapun dan bukan seorang pria yang cukup terkenal seperti saya. Jangan asal ucap hanya karena kamu tahu sedikit tentang hidup saya." ucap Dylan. "Y-ya maaf. Masa sih aku enggak dimaafin Lan? Kamu apa enggak tega sama aku yang udah dateng jauh-jauh kesini cuma untuk nemuin kamu?" tanya Klarissa memelas. "Ya kamu mau ngapain nemuin saya? Memang tidak ada pria lain yang akan menjadi incaran kamu selanjutnya?" tandas Dylan."Kok kamu ngomong gitu sih? Incaran apa maksudnya? Yang aku cinta kan kamu Lan!" ucap Klarissa.Dylan memilih terdiam ketika itu. Kiki maupun Putra saling
Dylan keburu pergi meninggalkan mereka yang memendam banyak pertanyaan didalam hatinya, meski mereka ikut mengekorinya menuju mobil.Ketika sampai didalam mobil. Dylan hanya diam saja disana, terduduk dalam keadaan melihat ke arah kaca mobil, berpangku tangan.Kiki dan Putra terlihat keheranan, tapi mereka juga merasa jika sopan kalau tiba-tiba menanyakan apa yang terjadi. Mereka pun memiih untuk berdiam diri hingga mobil itu melaju pergi.Tak lama mobil pun sampai didepan kantor. Kiki membuka pintu mobil dan membiarkan Dylan keluar dari sana. Dylan berpesan pada mereka. "Kamu dan Putra bisa istirahat sekarang, saya kasih kalian waktu satu jam untuk makan di kantin." ucap Dylan yang langsung pergi setelahnya, meninggalkan Putra di kursi setirnya tampak menghela nafas. "Yaelah bener kan kata gue, jauh-jauh ke restoran cuma nungguin pintu doang.""Enggak usah banyak ngarep deh. Udah yok ke kantin." ucap Kiki seraya pergi.Dylan kembali ke ruang kerjanya, terduduk di kursinya seraya me
"Tenang Kiki, enggak usah terlalu pede. Lagian yang harus kamu tanyakan bukan tentang cinta pertamanya melainkan identitas kamu sendiri didalam lingkugan keluarga itu." batin Kiki mencoba untuk tidak terlalu berlebihan dan belum tentu juga yang ada di foto tersebut adalah dirinya. "Saya ingin tanya ke kamu, apa benar nama teman perempuan kamu itu adalah Kiara?" tanya Dylan. Kiki tersentak, nama itu... Kenapa rasanya begitu nyaman saat didengar? Nama yang seperti pernah ia dengar, nama yang familiar, nama yang..."Bukan tuan." ucap Kiki cepat. Dylan tampak tidak terima dengan jawaban itu. "B-bukan? Kenapa bukan? Kok bisa bukan?" "Iya... Namanya bukan itu.""Siapa namanya?""Saya cuma tahu nama panggilannya. Namanya Riska tuan.""Riska? Bukan Kiara? Kenapa namanya sedikit mirip sama kamu? Kamu bercanda kan? Saya enggak salah dengar kan?" tanya Dylan masih tidak terima.Kiki tersenyum tipis. "Enggak tuan. Tuan enggak salah dengar."Tak lama kemudian hujan masih cukup deras, meski be
Esok harinya di kantor.Kiki mendekati Putra yang sedang berbincang dengan beberapa teman bodyguardnya. "Put, bisa ngomong bentar?" ucap Kiki, Putra pun mengikuti kemana Kiki pergi. Mereka akhirnya menepi di halaman samping kantor. "Put, aku mau kasih tahu ini sama kamu tapi kamu jangan kaget ya? Atau teriak-teriak gak jelas sampai bikin pengumuman lewat speaker masjid atau bikin spanduk ditengah jalan tol?" pinta Kiki. Putra terheran. "Dih, emang gue orang gila apa?" balasnya.Kiki melihat ke kanan dan kiri, coba memastikan kalau tidak ada yang melihat mereka saat itu. "Aku... Sebenarnya aku... Perempuan." ucap Kiki, Putra langsung melotot ketika mendengar itu hingga membuatnya tidak dalam waktu lima detik langsung pingsan ditempat.Kiki panik. "Putraaa!"Di ruang istirahat. Kiki masih menunggu Putra yang masih betah tidak sadarkan diri diatas kasur. Menunggu hingga beberapa menit pun akhirnya pria itu terbangun. Ia melihat kembali ada Kiki disana, ia sepintas mengingat lagi pe
"Anu tuan, sebenarnya kami berniat mempertemukan tuan sama Riska. Katanya kan tuan bilang tadi sama Kiki kalau tuan mau ketemu sama Riska, terus Kiki minta bantuan saya. Yaudah sekarang saya jemput dia sama Kiki.""Ya tapi kan maksud saya enggak mesti sekarang-sekarang juga. Pulang kerja kalian langsung kesana emang enggak capek? Kenapa enggak di hari libur aja?" tanya Dylan heran."Enggak tuan, pokoknya sekarang kita bakal balik ke rumah tuan. Saya tutup ya tuan. Malam.""Tung---"Dylan belum selesai bicara tapi Putra sudah mematikan ponselnya terlebih dahulu. Putra melihat jamnya, sudah satu jam tapi kok Kiki belum kelar juga ya?"Putra.."Tiba-tiba Kiki muncul dihadapannya dalam penampilan yang begitu tidak bisa ia kenali. Baju kasual, dibalut jaket dan rok selutut disertai juga rambut hitam panjang yang begitu indah. Putra berkedip-kedip, ia kucek kedua matanya coba memastikan. "I-ini Kiki?""Bukan, ini Riska." ucap Kiki. Putra tertawa. "Cantik banget sih si Kiki, kalo gini sih g
"Karena selain dia cantik, dia juga anak yang polos, lucu dan baik hati. Saya pikir wanita seperti itu sudah cukup langka sekarang.""Bukan langka Pak, tapi bapaknya saja yang tidak pernah mencoba untuk melihat keluar." ucap Kiki.Dylan tertawa mentah. Ia menangkap kalau perkataan itu sengaja menyindirnya. "Cara bicaramu kayak yang udah punya pengalaman seribu kali pacaran." ucap Dylan. Kiki tertawa ringan. "Enggak seribu kali pacaran Pak, tapi saya lebih luas aja mikirnya. Karena bumi nyatanya enggak sesempit itu. Pasti diantara milyaran penduduk bumi minimal banyak diantaranya yang seperti itu. Meski sekalipun itu saling berjauhan." ucap Kiki."Yah tahu deh. Tapi kok selihat saya, saya hampir enggak bisa melihat orang semacam itu ya sepanjang umur saya?" tanya Dylan."Mungkin ada, tapi bapak enggak sempat melihatnya. Atau bisa jadi juga karena bapak terlalu sibuk dengan pekerjaan?" tanya Kiki."Iya sih, saya memang jarang melihat orang lain apalagi yang jabatannya dibawah saya." u
Di kantor Rolland group. Keluar dari dalam mobil, Dylan pun sesegera mungkin masuk ke dalam kantornya, dirinya terus dikejar oleh Kiki ketika itu. "Tuan. Tunggu." ucap Kiki yang langsung menghentikan laju langkah Dylan. Pria itu memutar badan, membiarkan Kiki berbicara. "Tuan, saya mohon dengan sangat. Tolong jangan jadikan teman saya alasan untuk tuan menolak perjodohan itu. Saya mohon, tolong jangan libatkan dia dalam masalah ini tuan. Lagipula tuan kenapa bisa langsung suka sama Riska? Didunia ini banyak yang masih lebih sempruna daripada Riska tuan. Yang lebih cantik, yang lebih pintar, yang lebih baik, polos dan lebih kaya daripada Riska tuan."Dylan tertawa ringan. "Ki, saya enggak perlu semua itu. Yang saya perluin bukan orang yang sesempurna itu. Yang saya cari itu cuma orang seperti dia." ucap Dylan. Kiki tersentak. "A-apa maksud tuan?" tanya Kiki heran. Dylan tersenyum. "Tanpa saya beritahu kamu juga tahu kok, bahkan sejak awal kamu sudah tahu saya menginginkan wanita
Tiba-tiba kilasan ingatan terpintas dikepalanya. Saat seorang anak lelaki seakan mengulang perkataan yang sama. Kiki merasakan pening dan sakit di kepalanya. Dylan kaget melihatnya seperti itu. "Kamu kenapa? Pusing? Kamu sakit Ris?" tanya Dylan cemas. Kiki hanya diam saja terus menguruti keningnya. "Kita keluar sekarang ya?" tanya Dylan. "Enggak Pak, enggak usah. Udah sembuh... Enggak apa-apa... Cuma pusing sedikit. Udah Bapak nonton aja terus, saya baik-baik aja kok. Jangan khawatir ya." ucap Kiki. Dylan terdiam, meski dirinya masih belum sepenuhnya memfokuskan pada hal lain, ia terus terfokus pada Kiki. Ia cemas.Setelah film usai, Kiki dan Dylan pun keluar. Mereka saling jalan berdampingan. Dylan menghentikannya. "Kamu masih sakit Ris? Kalau masih, saya akan antar kamu ke dokter sekarang." ucap Dylan."Udah mendingan kok Pak. Pusingnya juga udah hilang sejak tadi. Udah enggak usah pikirin saya, sekarang bapak mau ajakin saya kemana?" tanya Kiki. Dylan kembali menggandeng Kik