Share

Bukan Wanita Cadangan
Bukan Wanita Cadangan
Penulis: syahdazaza

BWC 1

 Telpon di meja kerjaku berdering.

"Reihanaaaaa!!" Suara Nola memasuki runguku.

"Bisa pecah gendang telinga gue, Nolaa! Gue Bisa jadi pasien dokter THT," protesku memutar bola mata jengah. Kebiasaannya yang suka heboh.

"Gue lagi masak banyak nih. Coba resep baru di youtube. channel chef tampan yang ototnya bikin dada berdebar," cerocosnya nggak jelas.

"Lu, keruangan gue, ya! Kita makan bareng," lanjutnya bersemangat.

"Aman nggah tuh masakan, Lu."

"Dari bahan pilihan yang ditanam dan dirawat seperti anak sendiri. Tanpa MSG dan bahan pengawet. Trus dari porsi juga berlebih, jadi lu bisa nambah. Tapi yang nggak aman mungkin dari ... ya rasanya," ucapnya panjang lebar kemudian disusul tawanya yang membahana.

"Dasar, gila! Ya udah, nanti lima belas menit lagi gue kesana."

"Lama lima belas menit, iih. Gue tungguin lima menit, ya."

"Gue beresin kerjaan bentar. Lagian ruangan lu dilantai tujuh ibu Manager ... dan sekarang gue yang cuma staff ini berada di lantai dua. Paham maksud gue."

"Iya ... Iya, tapi cepetan, ye," tutupnya.

Aku menaruh kembali gagang telpon pada tempatnya. Merapikan berkas dan menutup laptop. Bergegas menuju ruangan sahabat yang menjadi atasanku. Lantai tujuh adalah lantai teratas dari gedung tempatku bekerja.

Dilantai ini hanya ditempati para petinggi perusahaan yang bergerak dibidang penyiaran ini. Direktur utama dan Direktur lainnya. Ruang rapat khusus pemilik saham. Ruang Manager yang saat ini sedang aku tuju.

Singkatnya, hanya keluarga Bagaskara group dan pejabat penting lah yang menempati lantai ini.

Aku mengetuk pintu sebagai tanda adanya kehadiranku dan membuka daun pintu perlahan, sebelum suara cempreng khas Nola sahabatku, mempersilahkan masuk.

Memasuki ruangan yang dingin karena Nola selalu memastikan alat pendingin diruangannya harus berfungsi dengan baik dan bekerja prima.

Dingin. Ya terasa dingin, tapi bukan karena  Air Conditioner yang menyergap tubuhku.

Dingin ini sungguh beda, karena aku mendapati kehadiran orang lain dalam ruangan ini.

Narendra Bagaskara dan istrinya yang ku ketahui sebagai selebgram yang mempunyai banyak pengikut.

"Se ... Selamat siang," sapaku canggung.

Memang kurang ajar si Nola. Jika aku tau ada kakaknya yang brengsek dan ipar cantiknya ikut makan siang, maka aku memilih makan di kantin atau menyelesaikan tugasku yang masih terbengkalai.

"Duh, biasa aja sih Hana. Sikap lo formal banget. Sini lo duduk deket gue," suara riang Nola entah mengapa seperti suara yang terdengar horor dirunguku.

Aku berjalan pelan dan sopan menuju sofa single yang berjejer dengan Nola. Sedangkan pasangan suami istri yang salah satunya sangat kubenci itu, duduk berdampingan dengan mesra di sofa berhadapan denganku dan Nola.

Sialnya, posisinya justru aku berhadapan dengan direktur  dan Nola dengan iparnya.

"Gue masaknya sumpah banyak banget. Jadi Bang Naren dan Kak Tiara gue suruh gabung sekalian," Jelasnya memecahkan kecanggungan sejak aku datang.

Oke. Tampaknya mereka semua santai. Hanya aku yang terlihat canggung.

Sungguh, aku salah ruangan. Aku hanyalah staff biasa. Seharusnya aku menolak ajakan Nola tadi.

Kami menikmati makan dalam hening. Sesekali Nola memancing obrolan makan siang kami. 

Namun aku memilih hanya mengangguk-anggukan kepala. Mirip boneka dasbord.

Seolah setuju-setuju saja dengan topik obrolan yang sebenarnya tak begitu aku simak.

"Lucu sebenernya Kak kalau punya anak cewek tuh. Bisa di dandanin yang lucu-lucu gitu. Pernak perniknya juga lebih banyak. Gemes deh," ujar Nola sambil memasukan udang cripsy kedalam mulutnya.

Tentu saja yang diajak bicara adalah iparnya yang berpenampilan anggun itu. Entah, mungkin dia lagi hamil. Sehingga Nola begitu antusias bicara soal anak.

"Bener. Pasti seru. Tapi cowok apa cewek yang penting sehat ya, sayang." Jari lentiknya menyentuh Pipi sang suami. Membuatku cepat menunduk, pura-pura menuang saos.

"Trus kalau kasih nama yang kreatif. Pokoknya nanti kalau Kak Tiara punya anak, jangan kayak aku yang cuma dikasih nama Nola Bagaskara. Cari nama yang artinya keren," usul Nola lalu menoleh padaku.

"Kalau arti nama lo apa, Na."

"Heh ...?" Aku mendongak bingung.

"Owh, nggak tau juga, sih. Raihanna mungkin karena terinspirasi dari penyayi umbrella itu," cetusku asal.

Satu ruangan serempak tertawa kecil. Aku hanya tersenyum canggung sedikit malu, karena memang tidak mengerti arti namaku ini.

Lagipula kenapa Nola harus membahas hal tak penting.

**

"Mbak Hana, Aku sudah cek. Rekaman dari voice over udah siap," ucap jeje PA yang baru lima bulan bekerja masuk timku.

Aku mengacungkan jempol sebagai jawaban.

Program reality show dengan konten yang mendidik dan juga menginspirasi.

Mungkin saat ini share rantingnya belum bagus. Sesuatu yang sensasi memang lebih banyak di gandrungi. Tapi penonton cerdas juga masih ada.

"Oya, Mbak ada rapat hari ini."

Tadi sekertaris Pak Ramdhan yang kasih tau. Mbak Hana nggak ada diruangan.

Kulirik jam dipergelangan tangan.

"Iya. Thanks, Je."

Aku keluar ruangan menyusuri koridor. Aku memasuki lift kosong dan hedak menekan tombol lima pada sisi pintu lift. Sebelum satu tangan mencegah pintu itu yang akan tertutup.

Deg.

Narendra Bagaskara.

Tatapan matanya seolah menghunus tubuhku. Apalagi yang mau ia lakukan saat ini?

Sejak sekitar dua tahun dia resmi menjadi direktur utama Bagaskara group. Sejak itu pula aku selalu berusaha untuk tidak berurusan langsung dengan dia.

Pria beristri yang kubenci sejak mengenal Nola. Pria yang masa mudanya dihabiskan untuk mabuk dan memasuki dunia gemerlap. Hura-hura dengan harta orang tua.

Pria yang hidup seolah dunia adalah miliknya, bisa di atur semaunya sendiri. Pria yang sialnya saat ini harus satu lift bersamaku. Tanpa ada manusia lain di kotak besi ini.

"Lantai berapa?" tanyanya memecah hening saat ku sadari pintu sudah tertutup.

"Owh ..., lima," jawabku tanpa melihat wajahnya.

 Sontak aku memajukan jariku untuk menekan angka lima. Namun, jarinya serempak menekan nomor yang sama dengan jariku.

Aku tersentak. Tubuhku menegang. Bereaksi seakan aku harus melindungi tubuhku dari sentuhan apapun yang mungkin saja terjadi diantara aku dan direktur utama ini.

Tubuhku, selalu bereaksi berlebih terhadap kehadiran dan tatapannya. Seakan, tubuhku tak menginginkan apapun dari dirinya.

Menolak, restiten, phobia atau entahlah apa namanya.

"Sorry," ucapnya santai.

Aku terdiam. Untungnya lantai dua menuju lantai tiga hanya membutuhkan beberapa detik saja. Jadi aku hanya perlu menahan canggung dan rasa tak nyaman berada di direktur utama untuk sesaat saja.

Deting lift menunjukan kalau kami sudah mencapai ke lantai lima. Aku melangkah meninggalkan 'Bos Besarku' tanpa satu sapaanpun. Masa bodohlah.

Untuk sekarang aku alpa dulu dari kode etik bawahan pada atasan.

"Hai, Hana," sapa Choky produser olahraga. Sikapnya yang easy going memang disukai banyak orang.

"Gimana rencana mengajukan program baru. Udah siap proposalnya."

Aku mengangguk. Menunjukkan berkas yang kubawa.

"Semangat. Semoga di approve," ujarnya menepuk pelan pundakku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status