Home / Rumah Tangga / Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti) / Tidak ada Pujian Meski sudah Melakukan yang Terbaik

Share

Tidak ada Pujian Meski sudah Melakukan yang Terbaik

Author: Senja Berpena
last update Last Updated: 2025-07-03 23:53:31

Hari itu, suasana kantor The Moons Company seperti biasa—teratur, cepat, dan dingin. Para karyawan berlalu-lalang, membawa dokumen, menekan-nekan gawai, memburu tenggat waktu yang seolah tak pernah tidur.

Kayla duduk di pojok ruang kerjanya yang kecil, meja yang hanya berbatasan dinding tipis dengan ruang rapat utama.

Di hadapannya, dua layar monitor menyala. Salah satunya menampilkan folder besar berisi arsip proyek lama—yang harusnya tidak menjadi tanggung jawabnya.

Tapi ia tahu. Xavier pasti lupa.

Pagi tadi, saat Xavier bersiap menghadiri rapat tender bersama investor luar negeri, ia hanya membawa map tipis berisi proposal utama.

Padahal, berdasarkan agenda tender yang Kayla intip diam-diam, tim penilai akan meminta data penunjang dari proyek serupa lima tahun ke belakang—termasuk breakdown keuangan, risiko, hingga histori vendor.

Sesuatu yang bahkan sekretaris Xavier sekalipun tidak tahu keberadaannya.

Kayla menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali folder lama, menelusuri file Excel dan dokumen presentasi yang tersimpan dengan nama acak, lalu menyusun satu per satu menjadi berkas pendukung. Lima jam ia bekerja tanpa henti. Bahkan tidak menyentuh makan siangnya.

Tangannya bergerak cepat, matanya fokus. Setiap grafik ia perbarui, setiap angka ia validasi, dan setiap potongan data ia pastikan sinkron dengan proposal utama.

Ini bukan pertama kalinya ia mengerjakan sesuatu di luar tugasnya. Tapi mungkin... ini pertama kalinya ia melakukannya bukan untuk perusahaan.

Tapi untuk Xavier.

Walau lelaki itu sudah terlalu sering membuatnya merasa tak berarti.

Pukul empat sore, Kayla berdiri di depan ruang rapat eksekutif. Di dalam, suara Xavier terdengar lantang, menjelaskan visi proyek terbaru mereka. Di hadapan investor Jepang dan dua auditor lokal, ia bicara dengan percaya diri.

“…kami yakin The Moons Company mampu mengeksekusi proyek ini dengan efisiensi dan presisi, seperti yang sudah kami buktikan pada proyek serupa di Sumatera Selatan, tiga tahun lalu…”

Kayla menunggu. Ia tahu itu gilirannya.

Lalu terjadi.

Salah satu auditor bertanya, “Bolehkah kami melihat data performa vendor dan analisis resiko proyek serupa dari lima tahun terakhir? Kami ingin membandingkan pendekatan yang digunakan.”

Hening sejenak. Xavier menoleh ke asistennya. Pria itu menggeleng bingung.

“Maaf, kami tidak membawa dokumen pendukung itu hari ini,” jawab Xavier akhirnya, suaranya tetap tenang. Tapi dari raut wajahnya ada sedikit perubahan. Alisnya bergerak dan jemarinya mengetuk-ngetuk map dengan tidak sabar.

Saat itulah Kayla mengetuk pintu dan masuk.

“Permisi,” katanya dengan sopan lalu berjalan tenang membawa satu folder hitam berisi print out lengkap serta flashdisk yang sudah ia backup tiga kali.

“Dokumen pendukung tender KL—termasuk performa vendor, studi risiko dan rekam proyek serupa,” ucap Kayla, menyodorkan semuanya pada Xavier tanpa menatap langsung wajah suaminya.

Ruang rapat kembali tenang. Xavier memandang folder itu, lalu menatap Kayla cukup lama.

Sorot matanya tidak lagi hanya datar. Kali ini ada sesuatu di dalamnya—sebuah kilasan keheranan, bahkan mungkin… kekaguman. Tapi ekspresinya segera tertutup kembali. Dingin seperti biasa.

Ia mengambil folder itu tanpa berkata apa pun. “Silakan lanjutkan,” katanya pada tim investor.

Kayla membungkuk sopan lalu keluar, menahan napas agar tidak terlihat gemetar.

**

Malam hari, Kayla masih duduk di ruang kerjanya. Lelah. Tapi ada kelegaan di dadanya. Bukan karena ingin dipuji. Bukan karena ingin membuat Xavier terkesan. Tapi karena ia tahu dirinya tidak bodoh.

Pintu terbuka. Xavier masuk tanpa mengetuk. Jasnya sudah dilepas, dasinya longgar, dan rambutnya sedikit berantakan.

Kayla langsung berdiri, refleks.

Xavier berdiri di ambang pintu. Diam. Matanya lurus ke arah Kayla. “Kau yang menyusun dokumen tender tadi siang?”

“Ya.”

“Kapan?”

“Setelah kau pergi pagi tadi.”

Xavier melangkah masuk. Tidak tergesa. Tidak juga santai. Hanya tenang. Lalu berhenti di depan meja Kayla dan memandangi layar komputer yang masih menampilkan folder kerja.

“Kau mengakses file lama?” tanyanya kembali.

Kayla menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Ya. Semua tersimpan di server lama. Aku hanya mencarinya, menyusunnya kembali, dan memastikan datanya masih relevan.”

“Tanpa diberi perintah?” Xavier menatap dingin wajah Kayla.

Kayla mengangkat dagunya. “Kalau menunggu diperintah, proposal itu sudah gagal sebelum rapat selesai, Xavier.”

Sebuah senyap yang panjang menyusup di antara mereka. Xavier menatapnya. Lama. Seolah sedang menimbang sesuatu. Mata itu tidak dingin kali ini.

Tapi juga belum hangat. Ia menatap Kayla seperti menatap orang asing yang baru ia kenal, padahal telah lama hidup serumah dengannya.

Satu sisi bibir Xavier terangkat sedikit, bukan senyum—lebih seperti… pengakuan yang enggan. Tapi ia tidak mengatakan terima kasih. Pujian? Jangan harap. Tidak akan pernah Xavier lakukan meski pada istrinya sendiri.

“Pastikan proyek ini tetap pada jalurnya,” katanya akhirnya dan kembali mengenakan wajah CEO-nya—dingin dan datar. “Dan jaga folder backup-nya. Jangan sampai hilang.”

Kemudian dia berbalik dan pergi begitu saja.

Kayla duduk perlahan sembari memejamkan mata. Ia seharusnya kecewa—karena Xavier tetap tidak menunjukkan penghargaan. Tapi entah mengapa, ia tidak bisa menghapus pandangan mata tadi.

"Hh! Biarkan saja. Pria itu memang tidak akan kenal dengan kata terima kasih atau hanya sekadar memuji keberhasilan," gumam Kayla kemudian menarik napasnya dalam-dalam. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
AlbyMalik
ga bisa gitu bilang makasihhhh..dihhhhh
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Untung aja kayla datang dengan membawa berkas klo enggak gagal dah tuh tender, singa xavier pasti ngamuk lagi
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Cuek aja kay, klo xavier emang orangnya kayak gitu yang penting kamu gak bikin salah lagi aja biar dia gak berubah jadi singa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Tamat

    Gedung kaca megah milik XKL Company berdiri di bawah langit sore yang berwarna keemasan.Bendera dengan logo XKL berkibar di depan halaman, mencerminkan cahaya matahari seperti lambang harapan baru.Para tamu dan wartawan memenuhi aula besar di lantai utama, di mana Xavier Anderson akan memperkenalkan visi perusahaannya kepada dunia.Beberapa bulan telah berlalu sejak Aurora lahir. Hidup Xavier berubah total. Tak ada lagi ambisi dingin atau malam-malam tanpa arah di kantor The Moons Company.Kini, setiap langkahnya dituntun oleh cinta, oleh tujuan yang sederhana tapi bermakna: keluarganya.Kayla duduk di barisan depan, mengenakan gaun pastel yang anggun. Wajahnya bersinar meski masih tampak lembut kelelahan seorang ibu muda.Di pangkuannya, Aurora tertidur pulas, dibalut selimut putih dengan logo kecil XKL di sudutnya. Anak kecil itu adalah simbol dari segalanya—awal baru, perjuangan, dan cinta yang menebus luka masa lalu.Ketika Xavier naik ke podium, tepuk tangan bergema.Sorot lamp

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Dua Jiwa yang Membuatnya Utuh

    Beberapa minggu telah berlalu sejak malam penuh ketegangan itu. Rumah mereka kini dipenuhi suara lembut—tangisan kecil, tawa pelan, dan nada-nada kehangatan yang menenangkan hati.Kayla perlahan pulih, meski tubuhnya masih lemah. Di pagi hari, sinar matahari menembus tirai ruang keluarga, menyoroti wajahnya yang mulai kembali segar.Ia duduk di kursi goyang dekat jendela, menyusui bayi mungil mereka, Aurora Beatrice.Di sisinya, Xavier duduk santai dengan laptop terbuka, sesekali mengalihkan pandangan dari layar untuk memastikan Kayla nyaman.Ia lebih sering bekerja dari rumah sekarang. Ruang kerjanya tak lagi sunyi seperti dulu; kadang diselingi tawa kecil Kayla, kadang tangisan Aurora yang menuntut perhatian ayahnya.Dan setiap kali bayi itu menangis, Xavier akan segera bangkit, seolah panggilan kecil itu adalah perintah tertinggi dalam hidupnya.“Psst…” bisik Xavier, menghampiri bayi mereka yang baru saja berhenti menangis. Ia menatap wajah mungil itu dengan senyum lembut, lalu ber

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Putri Kita Telah Lahir

    Suasana di luar ruang bersalin begitu mencekam. Lampu indikator merah di atas pintu menyala, menandakan proses kelahiran sedang berlangsung.Setiap detik terasa seperti jarum yang menembus dada Xavier. Ia berdiri mematung di depan pintu, telapak tangannya dingin, napasnya tersengal meski ia berusaha tenang.Dari balik pintu tertutup rapat itu, suara jeritan Kayla terdengar lagi—serak, penuh rasa sakit, membuat darah Xavier seakan berhenti mengalir.“Kayla…” bisiknya lirih, seolah panggilan lembut itu bisa menembus dinding tebal dan memberi kekuatan pada istrinya di dalam sana.Ia menunduk, menatap lantai steril rumah sakit yang terasa seperti dunia yang membeku.Perawat berlalu-lalang, suara alat medis berdentang dari kejauhan, tapi yang ia dengar hanya satu: tangisan tertahan, napas tersengal, dan teriakan “tolong” dari orang yang paling dicintainya.Waktu seperti kehilangan makna.Xavier bersandar pada dinding, menutup wajah dengan kedua tangan. Di sanalah semua ketegangan menumpuk—

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Panik

    Waktu terus berjalan, dan kini usia kandungan Kayla memasuki bulan kesembilan. Perutnya membulat sempurna, kulitnya meregang dengan indah di bawah sentuhan lembut lampu kamar.Namun di balik senyum hangat yang sering ia tunjukkan pada Xavier, tubuhnya mulai terasa semakin berat, setiap langkah disertai napas yang sedikit terengah.Malam-malamnya pun tak lagi tenang — kontraksi palsu datang dan pergi seperti gelombang kecil yang mengingatkannya bahwa waktu sudah semakin dekat.Xavier selalu berusaha pulang tepat waktu. Begitu melewati pintu rumah, ia akan menggulung lengan kemejanya, melepaskan dasi, lalu menuju kamar tanpa menunggu lama.Kayla biasanya sudah duduk di ranjang, mengelus perutnya sambil berbicara pelan pada bayi mereka.Tanpa banyak kata, Xavier duduk di lantai, mengangkat kaki istrinya ke pangkuannya, dan mulai memijat dengan gerakan lembut.Jemarinya menyusuri betis Kayla, penuh perhatian dan kasih yang hanya dimiliki seseorang yang benar-benar mencintai.“Aku sudah bi

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Awal dari Segalanya

    Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah gedung berlantai lima di kawasan yang masih baru berkembang.Tidak semegah The Moons Company, tapi memiliki aura berbeda — lebih hangat, lebih hidup.Logo XKL Company terpampang jelas di atas pintu masuk: tiga huruf yang melambangkan harapan baru, kerja keras, dan cinta yang menjadi pondasinya.Xavier turun dari mobil dengan langkah mantap.Ia menatap gedung itu lama, membiarkan dirinya menyerap setiap detailnya — dinding kaca modern, taman kecil di depan lobi, dan papan nama yang baru dipasang semalam. Semuanya sederhana, tapi memiliki makna besar.Richard sudah menunggunya di pintu, tersenyum bangga. “Tidak sebesar The Moons Company, tapi ini punya jiwa, Xavier.”Xavier mengangguk, matanya menatap lobi yang dipenuhi wajah-wajah muda penuh semangat. “Dan itu lebih dari cukup.”Begitu ia melangkah masuk, seluruh ruangan langsung riuh oleh suara langkah kaki dan bisik kagum.Karyawan-karyawan baru — sebagian besar anak muda idealis yang percaya

  • Bukan Wanita Pilihanmu (Hanya Istri Pengganti)   Langkah Menuju Kebebasan

    Udara pagi di depan gedung The Moons Company terasa dingin menusuk, meski matahari sudah tinggi di langit.Langit Jakarta tampak biru pucat, dan angin membawa aroma logam dari jalan raya yang sibuk.Xavier berdiri di depan pintu kaca besar yang selama bertahun-tahun menjadi pintu masuknya menuju dunia penuh tekanan, ambisi, dan manipulasi. Hari ini, untuk pertama kalinya, pintu itu bukan lagi miliknya.Ia menarik napas panjang, menatap ke dalam sejenak — ke arah lobi megah dengan lantai marmer putih, dinding kaca tinggi, dan logo besar berbentuk bulan perak yang bersinar di tengah ruangan.Di tempat itulah ia dulu belajar menjadi pemimpin, lalu perlahan berubah menjadi boneka di tangan ayahnya.Kini, tempat itu hanya menjadi kenangan.Langkah kakinya terdengar tegas menuruni anak tangga. Setiap langkah seolah menandai akhir dari satu bab besar dalam hidupnya.Mantap, namun berat — seperti seseorang yang meninggalkan bagian dari dirinya sendiri di belakang.Para karyawan yang melihatny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status