Hari itu, suasana kantor The Moons Company seperti biasa—teratur, cepat, dan dingin. Para karyawan berlalu-lalang, membawa dokumen, menekan-nekan gawai, memburu tenggat waktu yang seolah tak pernah tidur.
Kayla duduk di pojok ruang kerjanya yang kecil, meja yang hanya berbatasan dinding tipis dengan ruang rapat utama.
Di hadapannya, dua layar monitor menyala. Salah satunya menampilkan folder besar berisi arsip proyek lama—yang harusnya tidak menjadi tanggung jawabnya.
Tapi ia tahu. Xavier pasti lupa.
Pagi tadi, saat Xavier bersiap menghadiri rapat tender bersama investor luar negeri, ia hanya membawa map tipis berisi proposal utama.
Padahal, berdasarkan agenda tender yang Kayla intip diam-diam, tim penilai akan meminta data penunjang dari proyek serupa lima tahun ke belakang—termasuk breakdown keuangan, risiko, hingga histori vendor.
Sesuatu yang bahkan sekretaris Xavier sekalipun tidak tahu keberadaannya.
Kayla menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali folder lama, menelusuri file Excel dan dokumen presentasi yang tersimpan dengan nama acak, lalu menyusun satu per satu menjadi berkas pendukung. Lima jam ia bekerja tanpa henti. Bahkan tidak menyentuh makan siangnya.
Tangannya bergerak cepat, matanya fokus. Setiap grafik ia perbarui, setiap angka ia validasi, dan setiap potongan data ia pastikan sinkron dengan proposal utama.
Ini bukan pertama kalinya ia mengerjakan sesuatu di luar tugasnya. Tapi mungkin... ini pertama kalinya ia melakukannya bukan untuk perusahaan.
Tapi untuk Xavier.
Walau lelaki itu sudah terlalu sering membuatnya merasa tak berarti.
Pukul empat sore, Kayla berdiri di depan ruang rapat eksekutif. Di dalam, suara Xavier terdengar lantang, menjelaskan visi proyek terbaru mereka. Di hadapan investor Jepang dan dua auditor lokal, ia bicara dengan percaya diri.
“…kami yakin The Moons Company mampu mengeksekusi proyek ini dengan efisiensi dan presisi, seperti yang sudah kami buktikan pada proyek serupa di Sumatera Selatan, tiga tahun lalu…”
Kayla menunggu. Ia tahu itu gilirannya.
Lalu terjadi.
Salah satu auditor bertanya, “Bolehkah kami melihat data performa vendor dan analisis resiko proyek serupa dari lima tahun terakhir? Kami ingin membandingkan pendekatan yang digunakan.”
Hening sejenak. Xavier menoleh ke asistennya. Pria itu menggeleng bingung.
“Maaf, kami tidak membawa dokumen pendukung itu hari ini,” jawab Xavier akhirnya, suaranya tetap tenang. Tapi dari raut wajahnya ada sedikit perubahan. Alisnya bergerak dan jemarinya mengetuk-ngetuk map dengan tidak sabar.
Saat itulah Kayla mengetuk pintu dan masuk.
“Permisi,” katanya dengan sopan lalu berjalan tenang membawa satu folder hitam berisi print out lengkap serta flashdisk yang sudah ia backup tiga kali.
“Dokumen pendukung tender KL—termasuk performa vendor, studi risiko dan rekam proyek serupa,” ucap Kayla, menyodorkan semuanya pada Xavier tanpa menatap langsung wajah suaminya.
Ruang rapat kembali tenang. Xavier memandang folder itu, lalu menatap Kayla cukup lama.
Sorot matanya tidak lagi hanya datar. Kali ini ada sesuatu di dalamnya—sebuah kilasan keheranan, bahkan mungkin… kekaguman. Tapi ekspresinya segera tertutup kembali. Dingin seperti biasa.
Ia mengambil folder itu tanpa berkata apa pun. “Silakan lanjutkan,” katanya pada tim investor.
Kayla membungkuk sopan lalu keluar, menahan napas agar tidak terlihat gemetar.
**
Malam hari, Kayla masih duduk di ruang kerjanya. Lelah. Tapi ada kelegaan di dadanya. Bukan karena ingin dipuji. Bukan karena ingin membuat Xavier terkesan. Tapi karena ia tahu dirinya tidak bodoh.
Pintu terbuka. Xavier masuk tanpa mengetuk. Jasnya sudah dilepas, dasinya longgar, dan rambutnya sedikit berantakan.
Kayla langsung berdiri, refleks.
Xavier berdiri di ambang pintu. Diam. Matanya lurus ke arah Kayla. “Kau yang menyusun dokumen tender tadi siang?”
“Ya.”
“Kapan?”
“Setelah kau pergi pagi tadi.”
Xavier melangkah masuk. Tidak tergesa. Tidak juga santai. Hanya tenang. Lalu berhenti di depan meja Kayla dan memandangi layar komputer yang masih menampilkan folder kerja.
“Kau mengakses file lama?” tanyanya kembali.
Kayla menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Ya. Semua tersimpan di server lama. Aku hanya mencarinya, menyusunnya kembali, dan memastikan datanya masih relevan.”
“Tanpa diberi perintah?” Xavier menatap dingin wajah Kayla.
Kayla mengangkat dagunya. “Kalau menunggu diperintah, proposal itu sudah gagal sebelum rapat selesai, Xavier.”
Sebuah senyap yang panjang menyusup di antara mereka. Xavier menatapnya. Lama. Seolah sedang menimbang sesuatu. Mata itu tidak dingin kali ini.
Tapi juga belum hangat. Ia menatap Kayla seperti menatap orang asing yang baru ia kenal, padahal telah lama hidup serumah dengannya.
Satu sisi bibir Xavier terangkat sedikit, bukan senyum—lebih seperti… pengakuan yang enggan. Tapi ia tidak mengatakan terima kasih. Pujian? Jangan harap. Tidak akan pernah Xavier lakukan meski pada istrinya sendiri.
“Pastikan proyek ini tetap pada jalurnya,” katanya akhirnya dan kembali mengenakan wajah CEO-nya—dingin dan datar. “Dan jaga folder backup-nya. Jangan sampai hilang.”
Kemudian dia berbalik dan pergi begitu saja.
Kayla duduk perlahan sembari memejamkan mata. Ia seharusnya kecewa—karena Xavier tetap tidak menunjukkan penghargaan. Tapi entah mengapa, ia tidak bisa menghapus pandangan mata tadi.
"Hh! Biarkan saja. Pria itu memang tidak akan kenal dengan kata terima kasih atau hanya sekadar memuji keberhasilan," gumam Kayla kemudian menarik napasnya dalam-dalam.
“Nyonya Kayla?” panggil Edwin dengan sopan namun terdengar ragu, membuat Kayla yang tengah termenung di depan salah satu etalase butik menoleh pelan.“Ada apa, Edwin?” tanyanya dengan suara lemah, mencoba tersenyum namun tak berhasil menutupi sorot matanya yang sayu.Edwin melirik sekeliling mall yang sudah berkali-kali mereka kelilingi.Dia memperhatikan tas-tas belanja di tangan pengunjung lain yang lalu-lalang, kontras dengan Kayla yang tak membawa apa pun.“Apa Anda tidak ingin membeli barang yang Anda inginkan?” tanyanya hati-hati.Sejak tadi mereka hanya berjalan tanpa tujuan pasti, berpindah dari satu toko ke toko lain tanpa satu pun barang yang dibeli.Kayla tersenyum kecut. Dia menggeleng pelan, menyandarkan punggungnya pada dinding kaca butik.“Tidak, Edwin. Aku hanya … sedang menunggu sampai Xavier menghubungiku dan memintaku pulang. Atau setidaknya … dia datang menjemputku kemari.”Nada suaranya lirih dan terdengar penuh harapan yang rapuh. Matanya menerawang, menatap laya
“Di mana Kayla?” tanya Anthony tajam saat melihat Xavier keluar dari kamarnya.Suaranya dalam dan penuh tekanan, seperti biasanya—menuntut, bukan bertanya.Xavier berjalan santai menuju ruang tengah lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dia bersandar santai, namun sorot matanya tetap dingin saat menatap pria yang telah membesarkannya itu.“Bertemu dengan sahabatnya,” jawab Xavier tenang. “Di café tempat dia dulu bekerja.”Anthony mengangkat alisnya, keningnya langsung berkerut curiga. “Kau membebaskan dia berteman dengan siapa pun sekarang?”“Ya,” jawab Xavier ringan. “Aku sudah menyelidiki sahabatnya itu. Namanya Julia. Mereka sudah berteman sejak SMA. Dia bukan ancaman.”Nada bicara Xavier terdengar acuh, tapi tetap tegas. Sorot matanya tajam, menandakan bahwa dia sudah memperhitungkan semuanya.Anthony menyipitkan mata, matanya memindai gerak-gerik anaknya. “Kenapa kau begitu santai membiarkan dia keluar? Kau lupa kalau status perempuan itu menentukan segalanya dalam keluarga kita?” N
“Astaga!” Julia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, matanya mengerjap tidak percaya dengan semua yang baru saja didengarnya.“Ini benar-benar sulit, Kayla. Jika ayahmu sampai bangkrut, kau pasti akan dihantui rasa bersalah seumur hidupmu.”Kayla hanya tersenyum lirih, senyum yang lebih mirip perih yang tertahan di sudut bibirnya. “Sayangnya tidak, Julia,” jawabnya pelan, namun penuh ketegasan yang getir.Julia mengerutkan keningnya, tidak paham dengan maksud sahabatnya itu. “Maksudmu apa? Kau tidak akan merasa bersalah kalau itu terjadi?”Kayla menghela napas panjang, menarik udara dalam-dalam seolah ingin mengusir sesak di dadanya. Tatapannya menunduk, fokus pada jari-jarinya yang saling menggenggam erat.“Karena sebenarnya, orang tuaku sudah sepakat untuk membuangku. Mereka tidak peduli dengan nasib hidupku. Jika aku gagal, mereka memang sudah berniat menyingkirkanku.”
“Oh my God, Kayla!” pekik Julia dengan suara melengking penuh kegembiraan begitu pintu ruang kerjanya terbuka dan melihat sosok sahabatnya itu berdiri di ambang pintu.Tanpa menunggu aba-aba, Julia langsung berlari memeluk Kayla erat-erat seolah takut wanita itu akan menghilang lagi.“I miss you so much, you know?” lanjut Julia dengan penuh semangat. “Ke mana saja kau selama ini, huh? Kau tahu aku sampai nyaris menyatroni rumah keluargamu untuk mencarimu!”Pelukan itu begitu hangat hingga membuat dada Kayla sedikit bergetar. Ada perasaan lega sekaligus perih yang bercampur saat dia merasakan kehangatan seorang sahabat yang begitu tulus mencarinya.Kayla tersenyum tipis, berusaha menghapus rasa sesak yang diam-diam menumpuk.Dia kemudian membalas pelukan Julia sebentar sebelum akhirnya keduanya duduk di sofa empuk yang berada di sudut ruang kerja Julia yang estetik itu—dihiasi rak buku, tanaman hias kecil, dan foto-foto kenangan mereka berdua.“Aku bahkan berpikir kalau aku tidak akan
Kayla hanya diam menatap Xavier, tubuhnya kaku sementara pikirannya bergemuruh hebat. Perkataan Xavier seperti palu besar yang menghantam jantungnya, menimbulkan rasa sakit yang menusuk-nusuk tanpa ampun.Dia menggeleng pelan, seolah menolak semua yang baru saja dia dengar.“Tidak mungkin …,” bisiknya lirih dan suaranya tercekat. “Kau … bercanda, kan?” tanyanya nyaris putus asa, sorot matanya penuh harap bahwa semua ini hanyalah bualan dari pria di depannya.Namun Xavier hanya mengangkat kedua bahunya dengan acuh, tatapannya tetap datar tanpa empati.“Tergantung padamu. Mau percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Aku hanya memberitahumu apa yang kutahu selama ini,” sahutnya santai.“Aku selalu melarangmu bertemu dengan mereka karena mereka sudah menutup pintu untukmu, Kayla. Mereka tidak akan menyambutmu kembali, bahkan jika kau memohon.”Kata-kata Xavier bagaikan cambuk yang menc
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi ketika sinar matahari mulai menerobos masuk melalui celah tirai kamar yang sedikit terbuka.Begitu matanya terbuka sepenuhnya, rasa pening langsung menyerang kepalanya. Berat dan berdenyut seperti dihantam benda keras semalaman.Tangannya otomatis meraih pelipis, mengurutnya perlahan sembari mengerang kesal.“Ah, sial ... aku mabuk lagi,” gerutunya dengan suara serak. Ia memejamkan mata sebentar, berharap rasa berat di kepala itu segera mereda, namun sia-sia.Xavier kemudian menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan sang istri. Kasur di sebelahnya sudah kosong, selimut yang tadinya membungkus tubuh Kayla sudah terlipat rapi di sisi tempat tidurnya.Kening Xavier berkerut, sorot matanya penuh tanya. “Apa dia sudah bangun? Siapa yang membawaku kemari? Bukannya aku pergi sendiri? Tidak mungkin Kayla … tubuhnya terlalu mungil untuk membawaku sampai ke sini.”Dengan gerakan