Aku ingin pergi, tapi Pak Hengki menggenggam dua tangan dan menahanku di dinding. Sialan. Tapi tepat waktu pula aku muntah di bajunya. Keluar semua isi perutku. “Nggap apa-apa, ini sensasi namanya.” Dia ingin membersihkan bibirku, tapi aku menolak. Aku ingin menjerit tapi nggak bisa. Aku nggak mau disentuh sama si Hengki gila. Aku nggak cinta sama dia. Aku nggak tahu kenapa pintu yang dikunci dari dalam, kok, bisa-bisanya terbuka. Kimmi ada di depan pintu. Pak Hengki menjauh. Aku lihat dia merapikan baju dan celananya yang tadi hampir dia turunkan. “Ditungguin dari tadi, Indah. Lama amat ke toiletnya, ternyata nongkrong di sini, cepetan, kita masih ada kerjaan,” ucap Kimmi. Aku lekas meraih tangannya. “Pusing banget kepalaku, antar aku ke kantor, ya, aku mau istirahat di sana. Gila. Pak Hengki bener-bener kelewatan.” Aku merebahkan kepala di bahu Kimmi. Dia memang lebih tinggi daripada aku dan selalu bisa diandalkan. Kami kembali pakai bus kota soalnya tumben taksi lama banget. Ak
Aku tak peduli dengan supir taksi yang meregang nyawa karena dicekik kuntilanak, hantu, genderuwo atau sejenisnya. Aku terus saja berjalan hingga berjumpa dengan ojek motor online. Kupikir kalau di tempat terbuka mereka tak akan berani mengganggu. “Bang, bisa antar nggak ke kosan, nggak usah pakai order aplikasi dulu, saya bayar lebih.” Aku menunjukkan pecahan uang 100k padanya. Tanpa banyak basa basi bang ojek langsung setuju. Sebelum benar-benar sampai di kosan aku memintanya singgah ke minimarket sebentar. Aku perlu minuman dingin dan buah-buahan segar untuk mendinginkan kepalaku. Aku borong belanja bahkan sebagian aku berikan pada bang ojek, lumayan untuk menyenangkan hatinya. Sampai di kos aku merasa tenang walau kesepian. Akhir-akhir ini ada saja kejadian yang membuat leherku nyaris keram. Entah kenapa sejak ditinggal Om Andi ke kampung halamannya semua ini terjadi. Padahal aku nggak pernah jahat sama dia. “Kenapa, ya?” tanyaku pada bayangan diri di depan cermin. “Kamu pela
“Nora, kamu cari apa?” Aku terkejut ketika Om Andi sudah ada di dalam kamar. Lekas aku masukkan buku nikah kami atau punya dia. Karena di sini identitasku adalah Nora Syafitri. “Kamu cari apa?” tanyanya lagi. “Nggak ada.” Aku turun dari kursi dan hampir jatuh, untung ditangkap sama Om Andi. “Ada yang kamu ragukan?” Sepertinya Om Andi tahu kegelisahanku. “Ada, Om. Apa boleh Indah bicara, takut nanti Om marah.” “Ya, boleh, kenapa tidak. Kamu, kan, istri, Om.” Ucapan dia membuatku merasa semakin aneh. Nora Syafitri dan Indah Nora Diana itu berbeda jauh. “Apa Om punya dua istri? Yang pertama Nora Syafitri dan yang kedua itu Indah?” tanyaku daripada penasaran. “Bukannya kamu sudah lama tahu,” ucapnya. Oh, Tuhan, jadi aku di sini istri kedua untuk mengurus anak-anaknya? “Terus mana istri pertama, Om?” “Sudah meninggal, tak lama setelah Anton lahir. Kamu sudah tahu kenapa bertanya lagi?” Jawaban Om Andi membuatku kian bingung. Aku ingin bangun dari mimpi ini tapi aku nggak tahu gim
Pagi harinya aku mencuci seluruh tubuh. Udara di tahun delapan puluhan ini terasa sangat dingin luar biasa. Belum bercampur dengan kemunafikan dan dosa. Eh, aku juga seorang pendosa besar, sih. Aku masih jadi yang pertama kali bangun. Kulihat Om Andi masih malas beranjak dari pembaringan. Pun Angga dan Anton yang katanya anakku tak juga bangun dari tidurnya. Apa mereka tidak sholat Shubuh. Karena yang aku kenal dulu Bang Angga orang yang rajin ibadah. Aku sendiri? Nggak usah ditanyain gimana hancurnya jadi orang. “Om, Om Andi, nggak bangun?” Aku mengguncang tubuh lelaki yang sudah jadi suami seperti keinginanku. “Jam berapa?” tanyanya, tapi mata tetap terpejam. “Jam setengah enam pagi,” jawabku. “Kalau di sini penyebutannya jam lima setengah, jangan lupa itu, Nora, supaya kamu gampang berbaur.” Om Andi bangkit dan meraih handuk. Tebakku langsung menuju kamar mandi. Aku rapikan sprei dan baju kami yang berserakan di lantai. Malam tadi kami terlalu menggebu seperti kuda liar yang
Aku ditinggal sendirian di tanah tempat enam batu nisan tertancap. Apa Om Andi punya rencana untuk membunuhku? Tapi dia tidak meninggalkanku. Hanya suaranya yang terdengar tapi orangnya tidak ada. Sejujurnya aku nggak tahu mana yang kuburan Tante Nora mana yang bukan. Soalnya nisannya dari kayu dan tulisannya sudah kabur. Perlahan aku coba berdiri, karena nggak mungkin berlama-lama di sini. Tapi tiba-tiba saja salah satu kuburan terbelah. Aku kaku dan terjatuh. Mendadak seluruh tubuh terasa dingin. Aroma anyir darah tercium dari dalam lubang kuburan. “Om Andi, Om, di mana?” panggilku. Tapi jangannya orangnya, suara saja tidak ada. “Om Andi, jangan tinggalin Indah.”Ada tangan dengan kuku panjang yang terus keluar dan perlahan-lahan kaki juga naik dari lubang kubur. Hasratku ingin pipis di celana sangat besar, tapi aku tahan karena malu. “Om Andi, jangan bercanda sama Indah. Indah mau pulang.” Aku menangis. Hari masih pagi, tapi sudah ada hantu yang keluar. Mana langit mendung sert
“Sudah puas?” tanya Om Andi. Aku bingung mendengar kata-katanya. “Apanya, Om?” Justru aku bertanya balik. “Ada di makam Nora Syafitri lama-lama. Dari tadi kamu hanya memandang batu nisannya saja. Sudahlah Nora, semua sudah berlalu.” Om Andi memegang bahuku. Sesaat aku seperti tersihir. Mana dua sosok yang ada di sebelah Om Andi tadi? Rasanya sejak aroma bukhor makin masuk dalam hidungku, semua bayangan jadi gelap dan bercampur aduk. “Sudah, Om, kita pulang aja sekarang, serem,” ucapku ketika langit semakin gelap. “Bodoh kau, Indah, padahal kau punya kesempatan untuk lari.” Bisikan itu datang lagi. Aku menoleh ke belakang. Sosok itu ada di depan pohon jambu, menunjukku dengan tangannya. Kemudian Om Andi menarik tanganku. “Jangan kamu hiraukan penampakan di sini. Desa ini memang teramat sangat sepi. Lebih banyak jumlah hantu daripada manusianya.” “Kenapa bisa gitu, Om?” “Mati ditumbalkan. Sekarang sedang gencar-gencarnya pembangunan jembatan dan fasilitas di luar pulau. Jadi ad
Aku membuka mata perlahan. Aku tak lagi ada di rumah Om Andi. Aku menelisik sekeliling ruangan, aroma obat yang menguar, serta tangan yang diinfus. “Aku di rumah sakit? Kok, bisa?” gumamku sendirian. Mana tidak ada perawat yang jaga. Siapa pula yang membawaku ke sini. Aku masih ingat kejadian terakhir sebelum aku sadar. Perempuan dengan selendang merah yang berada dibawah kendali Om Andi. Mereka berdua terlalu asyik sampai tak menghiraukanku. Aku menyerah kalau sudah ada perempuan lain. Diusahakan sekuat apa pun, yang lama akan kalah dengan yang baru. Bukankah begitu hukum alamnya? Pintu kamarku terbuka, Kimmi muncul sambil menelepon. Dia membelalakkan mata melihatku sadar. “Entar aku telpon lagi, ya,” ucap Kimmi dengan lawan bicara di ponselnya. “Sadar juga akhirnya,” ucapnya sambil duduk di depanku. Kimmi memanggil perawat dengan menekan tombol di dekat kepalaku. “Kok, aku bisa ada di sini?” tanyaku penasaran. “Nggak datang ke kantor, seharian sampai sore nggak ada kabar. Dar
Sepupu lelaki Kimmi bernama Awan. Dia cukup tampan dan bersih. Masih muda nggak jauh sih, dari umurku. Akhirnya lawan yang seimbang. Entah sampai sejauh mana. Aku nggak tahu, kalau asyik aku jalani. “Hai,” sapanya ketika membukakan pintu mobil untukku. “Hai juga,” jawabku ramah sambil tersenyum. Aroma parfummya Awan wangi, tapi jauh lebih maskulin milik Om Andi. Ah, baru sebentar aku nakal, tapi sudah merindukannya. Mungkin karena sudah bolak-balik merasakan kesyahduan bersama. “Kamu cantik banget,” ucap Awan. “Makasih, kamu juga ganteng banget.” “Lipstik merah kamu, bagus. Biasanya aku nggak suka lihat perempuan pakai lipstik merah, tapi kalau kamu yang pakai jadi kelihatan cantik. Merk apa? Biar aku yang belikan.” Wow, di hari pertama kencan dia sudah berusaha gentleman. Apakah ini akibat dari selendang merah yang aku lilit jadi syal. Aku memang sedang ingin berpenampilan berani. Bahkan aku memakai rok di atas lutut. Terlihat Awan melirik rokku setiap saat. Rok atau yang lai