Share

Peringatan Angga 2

“Gayungnya nggak ada, Om.” Aku dari tadi mencari.

“Pakai tangan, Nora,” katanya.

“Nggak biasa, Om.” Ya aku mana tahu yang seperti itu. Biasanya tinggal beli air minum dalam kemasan. Calon mertuaku mencuci tangan terlebih dahulu. Lalu dia mengambil air dengan dua tangannya.

“Buka mulut kamu,” perintahnya dan aku ikut saja. Air terasa segar membasahi tenggorokanku. Tak sengaja aku mengigit ujung jemari Om Andi.

“Maaf, Om, nggak sengaja.” Serius aku tidak berbohong. Beliau hanya bilang hmmm saja. Semoga Om Andi tidak salah paham.

Aku mengikuti saja langkah kaki Om Andi. Terkadang aku dibantu berjalan olehnya kalau sepatu boot sudah terlalu tebal jejaknya. Kadang juga aku jalan sendiri. Jauh sekali perjalanan dari kuburan sampai ke rumah. Aku sampai ngos-ngosan di dalam kamar.

Aku ke dapur untuk menghilangkan dahaga yang belum tuntas. Air yang sangat dingin, agak-agak manis dan seperti membuatku tak ingin berhenti meneguknya. Rasanya persis seperti bibir yang menciumku tadi di bawah pohon.

Ah, pikiranku mulai ke mana-mana lagi. Siapa yang berani siang-siang di desa lagi. Kalau di kota ya, bebas-bebas saja. Di kampung, bisa diarak warga tidak pakai baju. Amit-amit, aku nggak mau malu seperti itu.

Aku tidak melihat di mana Om Andi sejak pulang tadi. Aku tidak memedulikan perutku yang lapar. Aku lelah dan mengantuk, jadi aku putuskan tidur lagi di kamar Bang Andi. Aku menghidupkan obat nyamuk bakar karena suara nging-nging di telingaku.

Lalu aku memejamkan mata pelan-pelan. Hal yang berlarian di kepalaku, bukan soal Bang Angga. Sama sekali bukan, tapi … ketika Om Andi memegang tanganku, ketika di kamar dia tidak pakai baju, dan ketika dia memegang pinggangku di jalan. Yang paling parah ketika aku menggigit jemarinya. Lambat laun aku jadi benar-benar mengantuk.

***

Tidurku nyenyak sekali di kamar Bang Angga. Aku melihat selendang punya Tante Syafitri tergantung rapi di paku. Padahal tadi seingatku ada di kasur belum aku rapikan. Apa Om Andi masuk dan meletakkan di mana seharusnya? Atau aku terlalu banyak berprasangka?

Hari sudah jam enam sore ternyata, mulai gelap dan aku hidupkan lampu yang sinarnya ala kadarnya. Om Andi masih belum kelihatan juga. Tidak mungkin aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak sopan. Memangnya aku siapa?

Perutku lapar sekali. Aku ke dapur dan melihat di atas tungku kayu ada wajan dengan tutup. Aku membukanya dan ada ayam dimasak gulai, aromanya sedap sekali. Aku langsung saja mengambil nasi di panci dan makan sendirian. Maaf, Om, tapi aku sudah lapar sekali.

Selesai makan aku mandi. Agar tidak terulang dosa yang sama, aku bawa handuk dan semua baju ganti ke dalam. Air masih saja dingin sekali tapi rasa air di kamar mandi, terutama di keran yang terbuat dari bambu agak manis, jadi bisa aku minum. Selesai aku mandi Om Andi tidak juga kelihatan.

Aku memakai gaun tidur warna putih tulang, panjang dan menutup semua lekuk tubuhku. Ah, kurasa ini sudah sangat sopan. Aku mencari Om di mana dari tadi tidak kelihatan. Rasa penasaran membuatku melangkahkan kaki ke lantai dua.

“Permisi ya, Om.” Sengaja aku mengeraskan suara.

Aku sampai juga di lantai atas. Cukup besar dan prediksiku di sini ada lebih dari dua kamar karena ruang kosongnya tidak seluas lantai bawah.

Dengan lancangnya aku buka satu per satu kamar yang pintunya terbuat dari kayu kualitas terbaik. Lampu aku hidupkan dan kosong, tidak ada siapa-siapa di sana.

“Indah.” Aku mendengar suara yang memanggilku dari kamar paling depan. Aku kenal suara itu. Suara Bang Angga.

“Bang Angga.” Aku berlari menyambutnya, aku rindu sekali dengan dia.

Aku membuka pintu kamar depan dan memang dia ada di sana dengan baju putih dan wajah pucat. Spontan aku berlari dan memeluknya. Tubuh yang terasa sangat dingin tapi masih bisa dipeluk erat. Aku menangis karena tak tahu harus berkata apa.

“Abang kenapa pergi cepat sekali, Bang. Abang janji mau nikahin Indah?” Aku bertanya pada dia yang wangi tubuhnya masih sama.

“Indah, Sayang, turuti kata Abang, Dek, pergi dari sini. Ini bukan rumah, pergi, Dek, besok angkat kaki Adek dari sini secepatnya.”

“Mana bisa, Bang, speed boat ke sini tiga hari lagi.”

“Abang sudah peringati di bus, kenapa Adek masih keras kepala juga? Pergi dari sini, Sayang. Juga selagi Indah masi hidup, jangan berbuat dosa lagi, Dek, bertaubatlah. Hentikan semua dosa yang pernah kita berdua buat. Abang menderita disiksa di alam kubur.”

“Bohong, buktinya Abang ke sini baik-baik saja. Baju Abang putih bersih.”

“Siapa bilang?” kata Bang Angga. Dia mendorong tubuhku.

Detik itu juga aku terjatuh di lantai rumah. Wajah Bang Angga sebelahnya menghitam dan sebelahnya hancur bernanah dan darah. Dia ditarik oleh rantai besi dari dalam tanah dengan jeritan menyayat hati. Peluh mengucur membasahi baju dan tubuhku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi di kamar ini. Mungkin aku akan mati.

Tak lama setelah itu seseorang datang memperlihatkan wajahnya. Om Andi berdiri di depan pintu. Dia menggunakan baju serba hitam dan tanpa meminta izin dariku, calon mertuaku menggendong tubuhku, entah akan dibawa ke mana. Tenagaku sudah tidak ada sama sekali.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status