“Gayungnya nggak ada, Om.” Aku dari tadi mencari.
“Pakai tangan, Nora,” katanya.“Nggak biasa, Om.” Ya aku mana tahu yang seperti itu. Biasanya tinggal beli air minum dalam kemasan. Calon mertuaku mencuci tangan terlebih dahulu. Lalu dia mengambil air dengan dua tangannya.“Buka mulut kamu,” perintahnya dan aku ikut saja. Air terasa segar membasahi tenggorokanku. Tak sengaja aku mengigit ujung jemari Om Andi.“Maaf, Om, nggak sengaja.” Serius aku tidak berbohong. Beliau hanya bilang hmmm saja. Semoga Om Andi tidak salah paham.Aku mengikuti saja langkah kaki Om Andi. Terkadang aku dibantu berjalan olehnya kalau sepatu boot sudah terlalu tebal jejaknya. Kadang juga aku jalan sendiri. Jauh sekali perjalanan dari kuburan sampai ke rumah. Aku sampai ngos-ngosan di dalam kamar.Aku ke dapur untuk menghilangkan dahaga yang belum tuntas. Air yang sangat dingin, agak-agak manis dan seperti membuatku tak ingin berhenti meneguknya. Rasanya persis seperti bibir yang menciumku tadi di bawah pohon.Ah, pikiranku mulai ke mana-mana lagi. Siapa yang berani siang-siang di desa lagi. Kalau di kota ya, bebas-bebas saja. Di kampung, bisa diarak warga tidak pakai baju. Amit-amit, aku nggak mau malu seperti itu.Aku tidak melihat di mana Om Andi sejak pulang tadi. Aku tidak memedulikan perutku yang lapar. Aku lelah dan mengantuk, jadi aku putuskan tidur lagi di kamar Bang Andi. Aku menghidupkan obat nyamuk bakar karena suara nging-nging di telingaku.Lalu aku memejamkan mata pelan-pelan. Hal yang berlarian di kepalaku, bukan soal Bang Angga. Sama sekali bukan, tapi … ketika Om Andi memegang tanganku, ketika di kamar dia tidak pakai baju, dan ketika dia memegang pinggangku di jalan. Yang paling parah ketika aku menggigit jemarinya. Lambat laun aku jadi benar-benar mengantuk.***Tidurku nyenyak sekali di kamar Bang Angga. Aku melihat selendang punya Tante Syafitri tergantung rapi di paku. Padahal tadi seingatku ada di kasur belum aku rapikan. Apa Om Andi masuk dan meletakkan di mana seharusnya? Atau aku terlalu banyak berprasangka?Hari sudah jam enam sore ternyata, mulai gelap dan aku hidupkan lampu yang sinarnya ala kadarnya. Om Andi masih belum kelihatan juga. Tidak mungkin aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak sopan. Memangnya aku siapa?Perutku lapar sekali. Aku ke dapur dan melihat di atas tungku kayu ada wajan dengan tutup. Aku membukanya dan ada ayam dimasak gulai, aromanya sedap sekali. Aku langsung saja mengambil nasi di panci dan makan sendirian. Maaf, Om, tapi aku sudah lapar sekali.Selesai makan aku mandi. Agar tidak terulang dosa yang sama, aku bawa handuk dan semua baju ganti ke dalam. Air masih saja dingin sekali tapi rasa air di kamar mandi, terutama di keran yang terbuat dari bambu agak manis, jadi bisa aku minum. Selesai aku mandi Om Andi tidak juga kelihatan.Aku memakai gaun tidur warna putih tulang, panjang dan menutup semua lekuk tubuhku. Ah, kurasa ini sudah sangat sopan. Aku mencari Om di mana dari tadi tidak kelihatan. Rasa penasaran membuatku melangkahkan kaki ke lantai dua.“Permisi ya, Om.” Sengaja aku mengeraskan suara.Aku sampai juga di lantai atas. Cukup besar dan prediksiku di sini ada lebih dari dua kamar karena ruang kosongnya tidak seluas lantai bawah.Dengan lancangnya aku buka satu per satu kamar yang pintunya terbuat dari kayu kualitas terbaik. Lampu aku hidupkan dan kosong, tidak ada siapa-siapa di sana.“Indah.” Aku mendengar suara yang memanggilku dari kamar paling depan. Aku kenal suara itu. Suara Bang Angga.“Bang Angga.” Aku berlari menyambutnya, aku rindu sekali dengan dia.Aku membuka pintu kamar depan dan memang dia ada di sana dengan baju putih dan wajah pucat. Spontan aku berlari dan memeluknya. Tubuh yang terasa sangat dingin tapi masih bisa dipeluk erat. Aku menangis karena tak tahu harus berkata apa.“Abang kenapa pergi cepat sekali, Bang. Abang janji mau nikahin Indah?” Aku bertanya pada dia yang wangi tubuhnya masih sama.“Indah, Sayang, turuti kata Abang, Dek, pergi dari sini. Ini bukan rumah, pergi, Dek, besok angkat kaki Adek dari sini secepatnya.”“Mana bisa, Bang, speed boat ke sini tiga hari lagi.”“Abang sudah peringati di bus, kenapa Adek masih keras kepala juga? Pergi dari sini, Sayang. Juga selagi Indah masi hidup, jangan berbuat dosa lagi, Dek, bertaubatlah. Hentikan semua dosa yang pernah kita berdua buat. Abang menderita disiksa di alam kubur.”“Bohong, buktinya Abang ke sini baik-baik saja. Baju Abang putih bersih.”“Siapa bilang?” kata Bang Angga. Dia mendorong tubuhku.Detik itu juga aku terjatuh di lantai rumah. Wajah Bang Angga sebelahnya menghitam dan sebelahnya hancur bernanah dan darah. Dia ditarik oleh rantai besi dari dalam tanah dengan jeritan menyayat hati. Peluh mengucur membasahi baju dan tubuhku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi di kamar ini. Mungkin aku akan mati.Tak lama setelah itu seseorang datang memperlihatkan wajahnya. Om Andi berdiri di depan pintu. Dia menggunakan baju serba hitam dan tanpa meminta izin dariku, calon mertuaku menggendong tubuhku, entah akan dibawa ke mana. Tenagaku sudah tidak ada sama sekali.Bersambung …Bagian 6 Detak JantungAku yang sudah telanjur lemas hanya bisa diam ketika Om Andi mengangkat diriku dan dibawa turun ke lantai satu rumahnya. Aku dibawa masuk ke kamarku, kemudian di baringkan di ranjang kapuk. Baju tidurku tersingkap. Sayangnya aku sedang tak berdaya. Calon mertuaku menutupi bagian tubuhku yang terbuka dengan selimut. Wajahnya jadi aku lihat serba salah. “Kamu sedang apa di lantai dua?” tanya lelaki berambut pendek ketika telah menutupi tubuhku dengan selimut. Aku berusaha membuka mulut, sayangnya gagal. “Di sini petugas puskemas jauh, dia ada di seberang pulau. Datang jam sembilan pagi pulang jam tiga sore. Paling juga besok baru bisa Om bawa ke sini,” katanya sambil memalingkan wajah. Apa yang salah denganku? Aku ingin berbicara pada Om Andi bahwa aku baik-baik saja. Namun, karena aku masih syok berat atas kedatangan Bang Angga, jadilah tanganku hanya memegang lengan calon mertuaku saja. Dia menoleh dan melihat ke wajahku. Maksudku ingin mengatakan aku baik-b
Orang pertama yang wajib aku curigai adalah Om Andi. Aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak dibuka, aku ketuk lagi, masih juga tidak ada jawaban. Lalu pintu kamar terbuka begitu saja. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan memasuki kabar beliau. Kelambu sebagai alat pengusir nyamuk sudah turun. Lalu aku lihat di dalam sana ada yang berbaring sangat lelap. Iya, itu Om Andi. Dia tidur tidak memakai baju, sangat nyenyak sekali. Tidak masuk akal rasanya kalau tadi dia berbuat tidak baik di kamarku lalu tiba-tiba saja sudah ke kamar sendiri. Aku saja yang terlalu suud’zon. “Nora, kamu kenapa di sini?” Gawat, tiba-tiba saja Om Andi bangun. Aduh, ketahuan aku. Bisa-bisa dituduh mencuri nanti.“Nggak, Om, tadi ada tikus masuk ke kamar, jadi Indah kejar ternyata nggak ada. Maaf, ya, Om.” Lekas aku keluar daripada disangka wanita murahan. Walau memang iya, tapi aku bukan pelacur yang menjajakan tubuhku pada banyak pria. Hanya dengan Bang Angga saja. Satu lelaki dari pertama kali sampa
Aku masih berbaring di atas ranjang kapuk ini, dengan dia. Iya, dia yang sama sekali tidak aku lihat wajahnya karena berada dalam kegelapan. Bahkan bau tubuhnya saja tidak ada. Aku mulai kesal padanya, karena dia tidak melakukan hal yang lebih jauh. Bahkan bajuku saja masih melekat tanpa tersingkap sama sekali. Terasa ada keraguan, aku tahu itu. Lebih anehnya lagi aku. Anggap saja aku pengemis cinta, bukan cinta, tepatnya penghamba kenikmatan semu. Kenapa semu? Karena yang aku lakukan adalah dosa lagi. Isi kepalaku antara ingin menyudahi lebih dahulu atau biarkan saja dia menguasai diri ini. Atau biarkan saja dia berbuat sesuka hati. Bodoh sekali aku jadi orang. Harusnya aku punya harga diri, tapi aku terlihat murahan sekali. Dia mengembuskan napas hangat dan menerpa wajahku. Dia ingin beranjak, aku menahannya. Aku memeluk dia sangat erat, ingin mencari tahu bentuk tubuh siapa ini. Lagi-lagi aku bersikap konyol. Lelaki yang pernah aku peluk erat hanya Bang Angga saja dan orangnya su
“Dulu, waktu mendiang Nora Syafitri masih hidup, dia punya cita-cita ingin punya rumah tingkat dua dengan kayu paling mahal. Di tingkat dua nanti ada empat kamar. Supaya anak-anak kami kalau pulang kampung membawa istri dan anak-anaknya tidak bingung lagi tidur di mana.” Again dia bercerita tanpa aku minta. “Om, Indah nggak nanya loh?” “Kalau tidak bertanya, terus kenapa ada di lantai dua kemarin malam?” “Kepo aja, emang nggak boleh?” “Om nggak tahu ada semua bahasa anak muda, Nora. Jadi pakai istilah biasa-biasa saja.” “Cuma ingin tahu, Om.” Aku ingin membuka satu pintu kamar yang tertutup. Lekas Om Andi memegang telapak tanganku. “Tidak semua yang kamu ingin tahu, harus dicari tahu. Ingat kamu tamu di sini.” “Iya, tahu, Om, besok juga Indah bakalan pulang.” “Sudah pesan tiket speed boat?” tanyanya lagi. “Belum. Nggak tahu mau pesan sama siapa.” “Ya sudah, biar Om yang urus semua. Kamu sedang tidak ada kerjaan, bukan? Tolong masak di dapur, sudah Om belikan bahan. Jangan bi
Di dalam kamar, aku tidak bosan-bosannya memandang perhiasan emas pemberian Om Andi. Ke mana tadi marahku dengan dia? Semua menguap begitu saja tanpa ada jejak. Ingin kasihan dengan diri sendiri sebenarnya. Betapa mudahnya aku dibujuk dengan kilau harta dunia. Ya, orang hidup juga butuh biaya. Aku mendengar suara Om Andi memanggilku. Lekas aku rapikan rambut yang berantakan dan baju aku turunkan agar menutupi pinggang. Aku minta beliau menunggu sebentar. Satu set perhiasan emas itu aku gunakan agar aku terlihat lebih cantik. Apakah wajar yang aku lakukan hal seperti ini? “Iya, Om, kenapa?” tanyaku dengannya, nada bicaraku tidak lagi tinggi seperti tadi. Kurasa bukan Om Andi pelakunya. Mungkin saja … iya, bisa jadi itu arwah Bang Angga. “Ini tiket speed boat untuk pulang besok.” Calon mertuaku menyodorkan lembaran tiket yang masih baru. Senyumku langsung sirna.“Oh, iya ,ya, besok Indah sudah pulang.” Aku mengambil dan mengucapkan terima kasih. Ingin kuganti uang tiketnya tapi dia t
“Om besok mengantar kamu agak siang ke pelabuhan. Karena pagi harinya harus mengurus getah untuk ditimbang. Kamu sendirian pagi di rumah, ya.” “Oke, Om,” jawabku santai aja.Sampai di rumah aku memasak bahan yang diantar oleh orang ke rumah Om Andi. Walau sebenarnya aku sangat lelah. Ada kepiting, lalu aku buat saja sup ditambah dengan jagung rebus. Makan malam kami berlangsung cepat. Kata Om Andi dia kelelahan. Kami masih ke kamar masing-masing. Aku mengganti baju tidur dengan gaun yang pendek sampai ke lutut. Tidak ada lapisan luar lagi karena malam ini cuaca agak hangat. Terasa dari ujung rambut sampai kaki. Aku membaringkan diri di kasur kapuk. Selama di sini ponselku seperti tidak ada gunanya. Detik demi detik mataku berkedip. Perlahan-lahan wewangian menyejukkan itu datang lagi dan membuatku lemas. Aku tidak bisa bergerak dibuatnya. Kembali dalam kepasrahan dan kepatuhan. Namun, tidak ada yang datang, sangat lama aku menunggu. Malam semakin gelap dan aku tidak bisa melihat
Bagian 9 Mimpi Berjalan Satu hari ini aku sudah melewatkan keberangkatan speed boat ke kota. Tiga hari kapal kecil itu akan kembali mengangkut penumpang. Sejujurnya aku menyesal tidak mengikuti nasehat abang awak speed itu. Agar langsung pulang satu jam kemudian. Mana sekarang aku sakit, dan harus diurus orang pula, yang tak lain adalah calon mertuaku sendiri. Dari tadi pagi, sudah terhitung dua kali beliau membantuku makan. Bubur yang dibuat rasanya berbeda-beda terus. Tidak tahu dengan malam ini. Kenapa dia sangat sibuk? Mungkin karena dia kasihan denganku. Aku tidak bisa bangun, kecuali urusan ke kamar mandi. Itu pun jalan memegang dinding. Om Andi melihat tapi tidak mau menolong. Ya, mungkin dia lelah. “Nora, Om boleh izin masuk?” Suaranya membuyarkan lamunanku. “Iya,” jawabku. Lagi pula dia sudah bolak-balik ke sini dari pagi. Apa yang harus aku curigakan?“Sudah bisa makan sendiri. Ini ada bubur pakai kepiting. Kamu harus makan baru bisa minum obat.” Ceramah yang sama, suda
Aku turuti saja apa kata Om Andi. Rumah benar-benar aku asapi semuanya dari lantai bawah dahulu. Di kamarku tidak usah saja, karena aku merasa seram. Masih teringat dengan sosok yang mendekap hingga membuatku kecanduan. Semoga saja dia tidak pernah datang lagi, karena kalau datang aku takut aku yang akan menyambutnya. “Permisi, Om, Indah masuk kamar, ya.” Aku berbicara sendirian agak kuat seolah-olah orangnya ada di rumah. Ya, si Om sudah pergi karena ada pekerjaan katanya. Tadi dia sempat bertanya apakah aku ada titip. Tentu saja, aku meminta bolu atau apalah roti begitu. Sudah kusodorkan uang tapi dia tidak mau. Ya, terserah saja asalkan barang datang. Jengkal demi jengkal kamar Om Andi aku asapi. Mulai dari sudut ke sudut. Lalu aku memutari kasurnya yang ditutup kelambu. Apa, ya? Pikiranku jadi ke mana-mana. Tadi malam aku tidur di sana. Persis seperti pengantin, untung saja bajuku masih tertutup. Ah, sebenarnya apa yang aku harapkan? Isi kepalaku tidak jelas. Aku memegang sprei