Bagian 5
Peringatan AnggaAku ingin membuka mata, tapi seperti tak mau. Seolah-olah ada yang merasakan bibirku dengan sangat lembut dan aku mulai terlena. Namun, suara-suara asing yang ada terdengar membuatku bangun.Aku terkejut ketika tertidur di bawah pohon besar. Bukankah tadi aku ingin ke kuburan Bang Angga. Lalu kenapa aku malah duduk di dekat sini. Kemudian, Om Andi mana? Apa bersama orang-orang yang berkerumun itu. Satu lagi, ciuman tadi apa hanya mimpi? Tapi terlalu nyata dan membuatku tak bisa melawan.“Nora, masih pusing kepalanya?” Aku terkejut ketika disapa Om Andi dari belakang pohon. Kupikir dia ada bersama orang-orang itu. Dia memberiku segelas air putih. Dari tadi aku mencarinya.“Emang, Indah tadi kenapa, Om?”“Katamu tadi pusing. Ya sudah, Om suruh saja istirahat di sini.”“Oh, gitu, ya udah sekarang kita ke kuburan Bang Angga, yuk.”“Itu, lagi diperbaiki sama warga,” tunjuk Om ke arah sana.“Kenapa, Om?” Aku penasaran.“Ada yang menggali kuburan anak, Om. Tali pocongnya diambil.” Aku langsung berdiri ketika mendengar kata-kata itu. Kupikir hal-hal seperti itu hanya ada dalam mitos saja.“Memang beneran ada, ya, Om? Tali pocong, kuku mayat, sama yang itu, polong hantu kepala terbang?” bisikku perlahan pada Om Andi. Dan yang aku lihat malah bibirnya yang berwarna kemerahan. Sialan, pikiranku mulai tidak bisa dikendalikan.“Ya, pasti ada, apalagi ini dikampung. Hanya saja, pencuri tali pocongnya salah sasaran. Disangkanya Angga masih perjaka, padahal …” Om Andi memperhatikanku dari ujung rambut sampai kaki. Please, deh, jangan hal itu lagi dibahas. Iya, aku tahu banget kalau sudah tidak perawan.“Ya memang kenapa, Om? Di kota udah biasa. Manusia hidup, kan, butuh pelampiasan.” Aku tidak mau malu-malu lagi. Sudah tertangkap basah juga berkali-kali. Om Andi menyunggingkan senyum. Wajahnya jadi mirip Bang Angga.“Ya, tidak apa-apa. Kalau kesulitan kedepannya tanggung sendiri akibatnya. Tidak ada dosa yang tidak menimbulkan penyesalan, Nora.”“Om, kalau mau ceramah di masjid aja.” Aku mulai kesal. Padahal lelaki yang masih gagah ini juga nggak pernah sholat, puluhan tahun lagi. Gila aja, udah roboh banget tiang agama dibuatnya.“Nora, kematian adalah nasehat paling baik dan kita ada di tempat orang-orang sudah tida bisa berbuat ama lagi. Silakan kamu renungi.”“Ish, Om juga kalau gitu. Sama aja, kok, kita.” Dia tertawa mendengarku menggurutu. Bodo amat. Aku dipancing-pancing terus ya terpancing juga jadinya.“Bang Harun.” Seseorang datang ke tempat Om Andi berdiri. Wait, panggilan Harun, bukannya nama Om, Andi, ya.“Iye, ade ape?” tanya Om dengan aksen melayunya. Terus warga bilang kuburan Bang Angga harus ditambah lagi tanah timbunnya. Om tidak ada masalah dan memberikan lembaran uang merah lagi. Aku melirik. Banyak juga yang ada di kantong celananya.“Calon bini awak ni?” tanya yang lain sama Om Andi. Aku agak tidak mengerti.“Tak, die ni calon bini Angga, tapi macem manelah tak sampai jodoh die.”“Lawenye,” ucap orang itu sambil memandangku, kemudian dia pergi.“Harun?” Aku melihat ke arah Om Andi.“Nama lengkap Om, Andi Harun, menikah dengan Nora Syafitri.” Ya, dia sedang membanggakan mendiang istrinya di depanku.Satu jam setelah itu kuburan selesai diperbaiki. Kami berdua sudah boleh mendekat. Tanah di sini lengket sekali di sepatu bootku. Bajuku sudah kotor karena lumpur dan aku haus lagi. Air pun habis.Aku memegang nisan Bang Angga. Lelaki yang sangat mencintai dan tahu bagaimana cara menyayangiku. Walau kami kelewat batas, tapi apa peduli orang pada kami. Di kota semuanya hidup masing-masing dan tidak meminta uang orang lain. Urusanku bukan urusan orang.Jujur aku tidak tahu harus membaca doa apa. Jadi aku kirimkan Al Fatihah saja untuk calon suamiku. Semoga Bang Angga tenang di dalam sana. Untukku sendiri, entah bagaimana menjalani hidup nanti. Sudah tidak perawan, iya benar sekali. Sedang tidak ingin juga menjalin kasih dengan yang lain. Terbiasa dengan Bang Angga, ah, rasanya sulit untuk dijelaskan.“Heningnya suasana kuburan, bukan berarti mereka tenang di dalam sana, Nora. Semuanya sedang sibuk. Yang selamat dari pertanyaan Munkar dan Nankir ya selamat terus. Yang tidak bisa menjawab, ya, selamat menikmati hukuman.”“Om, berat banget pembahasannya dari tadi. Jangan terlalu serius kenapa?” Aku mengikuti Om Andi melangkah meninggalkan kuburan. Sekali lagi aku melihat ke gundukan tanah yang masih basah. Ini kali terakhir aku mengunjungi makam kekasihku. Untuk ke sini sangat sulit.“Nora, Om sudah tua, mati tidak ada yang tahu.”“Ya kalau gitu, sholat donk, Om.” Aku spontan menyahut.“Terima kasih, Nora,” ucapnya aneh sekali.“Untuk apa, Om?” Aku jadi bingung.“Setelah Nora Syafitri meninggal, tidak ada yang pernah mengingatkan Om untuk sholat lagi. Lalu datang Indah Nora Diana mengingatkan. Rasanya …” Dia melirik ke arahku. Sorot mata Bang Angga ada di sana. Ya ampun, jantungku tolong kerja samanya.“Tapi Om sudah berjanji tidak akan pernah sholat lagi, sampai kapan pun.” Ya udah. Terserah Om Andi saja. Hidup dia juga, bukan urusanku. Tiga hari lagi aku akan pulang ke kota.“Haus ya, Om, apa nggak ada warung buka?” Matahari semakin terik bersinar menyengat kepalaku. Tiba-tiba saja Om Andi berbelok ke arah rumah warga. Dia memanggil si empunya rumah dan meminta air di dalam ember depan rumah. Pemiliknya mempersilakan.“Gayungnya nggak ada, Om.” Aku dari tadi mencari.“Pakai tangan, Nora,” katanya. “Nggak biasa, Om.” Ya aku mana tahu yang seperti itu. Biasanya tinggal beli air minum dalam kemasan. Calon mertuaku mencuci tangan terlebih dahulu. Lalu dia mengambil air dengan dua tangannya. “Buka mulut kamu,” perintahnya dan aku ikut saja. Air terasa segar membasahi tenggorokanku. Tak sengaja aku mengigit ujung jemari Om Andi.“Maaf, Om, nggak sengaja.” Serius aku tidak berbohong. Beliau hanya bilang hmmm saja. Semoga Om Andi tidak salah paham. Aku mengikuti saja langkah kaki Om Andi. Terkadang aku dibantu berjalan olehnya kalau sepatu boot sudah terlalu tebal jejaknya. Kadang juga aku jalan sendiri. Jauh sekali perjalanan dari kuburan sampai ke rumah. Aku sampai ngos-ngosan di dalam kamar. Aku ke dapur untuk menghilangkan dahaga yang belum tuntas. Air yang sangat dingin, agak-agak manis dan seperti membuatku tak ingin berhenti meneguknya. Rasanya persis seperti bibir yang menciumku tadi di bawah p
Bagian 6 Detak JantungAku yang sudah telanjur lemas hanya bisa diam ketika Om Andi mengangkat diriku dan dibawa turun ke lantai satu rumahnya. Aku dibawa masuk ke kamarku, kemudian di baringkan di ranjang kapuk. Baju tidurku tersingkap. Sayangnya aku sedang tak berdaya. Calon mertuaku menutupi bagian tubuhku yang terbuka dengan selimut. Wajahnya jadi aku lihat serba salah. “Kamu sedang apa di lantai dua?” tanya lelaki berambut pendek ketika telah menutupi tubuhku dengan selimut. Aku berusaha membuka mulut, sayangnya gagal. “Di sini petugas puskemas jauh, dia ada di seberang pulau. Datang jam sembilan pagi pulang jam tiga sore. Paling juga besok baru bisa Om bawa ke sini,” katanya sambil memalingkan wajah. Apa yang salah denganku? Aku ingin berbicara pada Om Andi bahwa aku baik-baik saja. Namun, karena aku masih syok berat atas kedatangan Bang Angga, jadilah tanganku hanya memegang lengan calon mertuaku saja. Dia menoleh dan melihat ke wajahku. Maksudku ingin mengatakan aku baik-b
Orang pertama yang wajib aku curigai adalah Om Andi. Aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak dibuka, aku ketuk lagi, masih juga tidak ada jawaban. Lalu pintu kamar terbuka begitu saja. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan memasuki kabar beliau. Kelambu sebagai alat pengusir nyamuk sudah turun. Lalu aku lihat di dalam sana ada yang berbaring sangat lelap. Iya, itu Om Andi. Dia tidur tidak memakai baju, sangat nyenyak sekali. Tidak masuk akal rasanya kalau tadi dia berbuat tidak baik di kamarku lalu tiba-tiba saja sudah ke kamar sendiri. Aku saja yang terlalu suud’zon. “Nora, kamu kenapa di sini?” Gawat, tiba-tiba saja Om Andi bangun. Aduh, ketahuan aku. Bisa-bisa dituduh mencuri nanti.“Nggak, Om, tadi ada tikus masuk ke kamar, jadi Indah kejar ternyata nggak ada. Maaf, ya, Om.” Lekas aku keluar daripada disangka wanita murahan. Walau memang iya, tapi aku bukan pelacur yang menjajakan tubuhku pada banyak pria. Hanya dengan Bang Angga saja. Satu lelaki dari pertama kali sampa
Aku masih berbaring di atas ranjang kapuk ini, dengan dia. Iya, dia yang sama sekali tidak aku lihat wajahnya karena berada dalam kegelapan. Bahkan bau tubuhnya saja tidak ada. Aku mulai kesal padanya, karena dia tidak melakukan hal yang lebih jauh. Bahkan bajuku saja masih melekat tanpa tersingkap sama sekali. Terasa ada keraguan, aku tahu itu. Lebih anehnya lagi aku. Anggap saja aku pengemis cinta, bukan cinta, tepatnya penghamba kenikmatan semu. Kenapa semu? Karena yang aku lakukan adalah dosa lagi. Isi kepalaku antara ingin menyudahi lebih dahulu atau biarkan saja dia menguasai diri ini. Atau biarkan saja dia berbuat sesuka hati. Bodoh sekali aku jadi orang. Harusnya aku punya harga diri, tapi aku terlihat murahan sekali. Dia mengembuskan napas hangat dan menerpa wajahku. Dia ingin beranjak, aku menahannya. Aku memeluk dia sangat erat, ingin mencari tahu bentuk tubuh siapa ini. Lagi-lagi aku bersikap konyol. Lelaki yang pernah aku peluk erat hanya Bang Angga saja dan orangnya su
“Dulu, waktu mendiang Nora Syafitri masih hidup, dia punya cita-cita ingin punya rumah tingkat dua dengan kayu paling mahal. Di tingkat dua nanti ada empat kamar. Supaya anak-anak kami kalau pulang kampung membawa istri dan anak-anaknya tidak bingung lagi tidur di mana.” Again dia bercerita tanpa aku minta. “Om, Indah nggak nanya loh?” “Kalau tidak bertanya, terus kenapa ada di lantai dua kemarin malam?” “Kepo aja, emang nggak boleh?” “Om nggak tahu ada semua bahasa anak muda, Nora. Jadi pakai istilah biasa-biasa saja.” “Cuma ingin tahu, Om.” Aku ingin membuka satu pintu kamar yang tertutup. Lekas Om Andi memegang telapak tanganku. “Tidak semua yang kamu ingin tahu, harus dicari tahu. Ingat kamu tamu di sini.” “Iya, tahu, Om, besok juga Indah bakalan pulang.” “Sudah pesan tiket speed boat?” tanyanya lagi. “Belum. Nggak tahu mau pesan sama siapa.” “Ya sudah, biar Om yang urus semua. Kamu sedang tidak ada kerjaan, bukan? Tolong masak di dapur, sudah Om belikan bahan. Jangan bi
Di dalam kamar, aku tidak bosan-bosannya memandang perhiasan emas pemberian Om Andi. Ke mana tadi marahku dengan dia? Semua menguap begitu saja tanpa ada jejak. Ingin kasihan dengan diri sendiri sebenarnya. Betapa mudahnya aku dibujuk dengan kilau harta dunia. Ya, orang hidup juga butuh biaya. Aku mendengar suara Om Andi memanggilku. Lekas aku rapikan rambut yang berantakan dan baju aku turunkan agar menutupi pinggang. Aku minta beliau menunggu sebentar. Satu set perhiasan emas itu aku gunakan agar aku terlihat lebih cantik. Apakah wajar yang aku lakukan hal seperti ini? “Iya, Om, kenapa?” tanyaku dengannya, nada bicaraku tidak lagi tinggi seperti tadi. Kurasa bukan Om Andi pelakunya. Mungkin saja … iya, bisa jadi itu arwah Bang Angga. “Ini tiket speed boat untuk pulang besok.” Calon mertuaku menyodorkan lembaran tiket yang masih baru. Senyumku langsung sirna.“Oh, iya ,ya, besok Indah sudah pulang.” Aku mengambil dan mengucapkan terima kasih. Ingin kuganti uang tiketnya tapi dia t
“Om besok mengantar kamu agak siang ke pelabuhan. Karena pagi harinya harus mengurus getah untuk ditimbang. Kamu sendirian pagi di rumah, ya.” “Oke, Om,” jawabku santai aja.Sampai di rumah aku memasak bahan yang diantar oleh orang ke rumah Om Andi. Walau sebenarnya aku sangat lelah. Ada kepiting, lalu aku buat saja sup ditambah dengan jagung rebus. Makan malam kami berlangsung cepat. Kata Om Andi dia kelelahan. Kami masih ke kamar masing-masing. Aku mengganti baju tidur dengan gaun yang pendek sampai ke lutut. Tidak ada lapisan luar lagi karena malam ini cuaca agak hangat. Terasa dari ujung rambut sampai kaki. Aku membaringkan diri di kasur kapuk. Selama di sini ponselku seperti tidak ada gunanya. Detik demi detik mataku berkedip. Perlahan-lahan wewangian menyejukkan itu datang lagi dan membuatku lemas. Aku tidak bisa bergerak dibuatnya. Kembali dalam kepasrahan dan kepatuhan. Namun, tidak ada yang datang, sangat lama aku menunggu. Malam semakin gelap dan aku tidak bisa melihat
Bagian 9 Mimpi Berjalan Satu hari ini aku sudah melewatkan keberangkatan speed boat ke kota. Tiga hari kapal kecil itu akan kembali mengangkut penumpang. Sejujurnya aku menyesal tidak mengikuti nasehat abang awak speed itu. Agar langsung pulang satu jam kemudian. Mana sekarang aku sakit, dan harus diurus orang pula, yang tak lain adalah calon mertuaku sendiri. Dari tadi pagi, sudah terhitung dua kali beliau membantuku makan. Bubur yang dibuat rasanya berbeda-beda terus. Tidak tahu dengan malam ini. Kenapa dia sangat sibuk? Mungkin karena dia kasihan denganku. Aku tidak bisa bangun, kecuali urusan ke kamar mandi. Itu pun jalan memegang dinding. Om Andi melihat tapi tidak mau menolong. Ya, mungkin dia lelah. “Nora, Om boleh izin masuk?” Suaranya membuyarkan lamunanku. “Iya,” jawabku. Lagi pula dia sudah bolak-balik ke sini dari pagi. Apa yang harus aku curigakan?“Sudah bisa makan sendiri. Ini ada bubur pakai kepiting. Kamu harus makan baru bisa minum obat.” Ceramah yang sama, suda