Beranda / Romansa / CALON MERTUAKU / Peringatan Angga 1

Share

Peringatan Angga 1

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-02 19:58:51

Bagian 5

Peringatan Angga

Aku ingin membuka mata, tapi seperti tak mau. Seolah-olah ada yang merasakan bibirku dengan sangat lembut dan aku mulai terlena. Namun, suara-suara asing yang ada terdengar membuatku bangun.

Aku terkejut ketika tertidur di bawah pohon besar. Bukankah tadi aku ingin ke kuburan Bang Angga. Lalu kenapa aku malah duduk di dekat sini. Kemudian, Om Andi mana? Apa bersama orang-orang yang berkerumun itu. Satu lagi, ciuman tadi apa hanya mimpi? Tapi terlalu nyata dan membuatku tak bisa melawan.

“Nora, masih pusing kepalanya?” Aku terkejut ketika disapa Om Andi dari belakang pohon. Kupikir dia ada bersama orang-orang itu. Dia memberiku segelas air putih. Dari tadi aku mencarinya.

“Emang, Indah tadi kenapa, Om?”

“Katamu tadi pusing. Ya sudah, Om suruh saja istirahat di sini.”

“Oh, gitu, ya udah sekarang kita ke kuburan Bang Angga, yuk.”

“Itu, lagi diperbaiki sama warga,” tunjuk Om ke arah sana.

“Kenapa, Om?” Aku penasaran.

“Ada yang menggali kuburan anak, Om. Tali pocongnya diambil.” Aku langsung berdiri ketika mendengar kata-kata itu. Kupikir hal-hal seperti itu hanya ada dalam mitos saja.

“Memang beneran ada, ya, Om? Tali pocong, kuku mayat, sama yang itu, polong hantu kepala terbang?” bisikku perlahan pada Om Andi. Dan yang aku lihat malah bibirnya yang berwarna kemerahan. Sialan, pikiranku mulai tidak bisa dikendalikan.

“Ya, pasti ada, apalagi ini dikampung. Hanya saja, pencuri tali pocongnya salah sasaran. Disangkanya Angga masih perjaka, padahal …” Om Andi memperhatikanku dari ujung rambut sampai kaki. Please, deh, jangan hal itu lagi dibahas. Iya, aku tahu banget kalau sudah tidak perawan.

“Ya memang kenapa, Om? Di kota udah biasa. Manusia hidup, kan, butuh pelampiasan.” Aku tidak mau malu-malu lagi. Sudah tertangkap basah juga berkali-kali. Om Andi menyunggingkan senyum. Wajahnya jadi mirip Bang Angga.

“Ya, tidak apa-apa. Kalau kesulitan kedepannya tanggung sendiri akibatnya. Tidak ada dosa yang tidak menimbulkan penyesalan, Nora.”

“Om, kalau mau ceramah di masjid aja.” Aku mulai kesal. Padahal lelaki yang masih gagah ini juga nggak pernah sholat, puluhan tahun lagi. Gila aja, udah roboh banget tiang agama dibuatnya.

“Nora, kematian adalah nasehat paling baik dan kita ada di tempat orang-orang sudah tida bisa berbuat ama lagi. Silakan kamu renungi.”

“Ish, Om juga kalau gitu. Sama aja, kok, kita.” Dia tertawa mendengarku menggurutu. Bodo amat. Aku dipancing-pancing terus ya terpancing juga jadinya.

“Bang Harun.” Seseorang datang ke tempat Om Andi berdiri. Wait, panggilan Harun, bukannya nama Om, Andi, ya.

“Iye, ade ape?” tanya Om dengan aksen melayunya. Terus warga bilang kuburan Bang Angga harus ditambah lagi tanah timbunnya. Om tidak ada masalah dan memberikan lembaran uang merah lagi. Aku melirik. Banyak juga yang ada di kantong celananya.

“Calon bini awak ni?” tanya yang lain sama Om Andi. Aku agak tidak mengerti.

“Tak, die ni calon bini Angga, tapi macem manelah tak sampai jodoh die.”

“Lawenye,” ucap orang itu sambil memandangku, kemudian dia pergi.

“Harun?” Aku melihat ke arah Om Andi.

“Nama lengkap Om, Andi Harun, menikah dengan Nora Syafitri.” Ya, dia sedang membanggakan mendiang istrinya di depanku.

Satu jam setelah itu kuburan selesai diperbaiki. Kami berdua sudah boleh mendekat. Tanah di sini lengket sekali di sepatu bootku. Bajuku sudah kotor karena lumpur dan aku haus lagi. Air pun habis.

Aku memegang nisan Bang Angga. Lelaki yang sangat mencintai dan tahu bagaimana cara menyayangiku. Walau kami kelewat batas, tapi apa peduli orang pada kami. Di kota semuanya hidup masing-masing dan tidak meminta uang orang lain. Urusanku bukan urusan orang.

Jujur aku tidak tahu harus membaca doa apa. Jadi aku kirimkan Al Fatihah saja untuk calon suamiku. Semoga Bang Angga tenang di dalam sana. Untukku sendiri, entah bagaimana menjalani hidup nanti. Sudah tidak perawan, iya benar sekali. Sedang tidak ingin juga menjalin kasih dengan yang lain. Terbiasa dengan Bang Angga, ah, rasanya sulit untuk dijelaskan.

“Heningnya suasana kuburan, bukan berarti mereka tenang di dalam sana, Nora. Semuanya sedang sibuk. Yang selamat dari pertanyaan Munkar dan Nankir ya selamat terus. Yang tidak bisa menjawab, ya, selamat menikmati hukuman.”

“Om, berat banget pembahasannya dari tadi. Jangan terlalu serius kenapa?” Aku mengikuti Om Andi melangkah meninggalkan kuburan. Sekali lagi aku melihat ke gundukan tanah yang masih basah. Ini kali terakhir aku mengunjungi makam kekasihku. Untuk ke sini sangat sulit.

“Nora, Om sudah tua, mati tidak ada yang tahu.”

“Ya kalau gitu, sholat donk, Om.” Aku spontan menyahut.

“Terima kasih, Nora,” ucapnya aneh sekali.

“Untuk apa, Om?” Aku jadi bingung.

“Setelah Nora Syafitri meninggal, tidak ada yang pernah mengingatkan Om untuk sholat lagi. Lalu datang Indah Nora Diana mengingatkan. Rasanya …” Dia melirik ke arahku. Sorot mata Bang Angga ada di sana. Ya ampun, jantungku tolong kerja samanya.

“Tapi Om sudah berjanji tidak akan pernah sholat lagi, sampai kapan pun.” Ya udah. Terserah Om Andi saja. Hidup dia juga, bukan urusanku. Tiga hari lagi aku akan pulang ke kota.

“Haus ya, Om, apa nggak ada warung buka?” Matahari semakin terik bersinar menyengat kepalaku. Tiba-tiba saja Om Andi berbelok ke arah rumah warga. Dia memanggil si empunya rumah dan meminta air di dalam ember depan rumah. Pemiliknya mempersilakan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • CALON MERTUAKU    Akhir yang Keji

    Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag

  • CALON MERTUAKU    Empat Tahun Kemudian

    Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah

  • CALON MERTUAKU    Perpisahan

    Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue

  • CALON MERTUAKU    Berakhir

    Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang

  • CALON MERTUAKU    Cinta Buta

    Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik

  • CALON MERTUAKU    Runtuh

    Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status