Share

Kedatangan Ardan

Selang dua puluh menit Melisa sudah tiba di rumah, dia segera turun dari mobil. Melisa mengernyit heran ketika netranya melihat ada mobil yang nampak asing sedang parkir di halaman rumahnya.

Melisa buru-buru masuk ke dalam rumah untuk melihat siapa gerangan yang bertamu ke rumahnya. Dia pun membuka pintu setelah sampai di depannya.

"Assalamu'alaikum," salam Melisa sembari akan melangkah masuk ke dalam rumah.

"W*'alaikumsalam," jawab semua yang duduk di ruang tamu.

Melisa membulatkan mata melihat seseorang yang sedang duduk manis di hadapan sang ayah. "Dari mana dia tahu rumahku? Lalu ada kepentingan apa dia sampai datang ke rumahku?" batin Melisa.

Melisa mematung di depan pintu tak mengerti dengan situasi yang telah terjadi. Bahkan dia terhenti dari langkahnya saking terkejutnya.

"Baru pulang, Nak?" tanya Meta mendekat pada Melisa.

"Eh, iya, Bu," jawab Melisa tergeragap karena terkejut.

"Ayo duduk dulu, Mel. Nak Ardan sudah menunggu kamu pulang dari tadi," ajak Meta menggandeng tangan sang putri.

"Apa yang dimaksud Ibu? Kenapa pula Pak Ardan menungguku pulang?" batin Melisa. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia tanyakan, tapi dia malu jika bertanya langsung.

Ya, seseorang yang mengejutkan Melisa karena kedatangannya adalah Ardan. Dia tidak menyangka Ardan akan bertamu ke rumahnya saat ini. Padahal selama ini Ardan tidak pernah tahu alamat rumah Melisa.

Melisa dan Meta pun melangkah menuju kursi untuk duduk bersama. Di sana sudah ada Imran dan Ardan yang duduk sembari melihat kedatangan mereka.

Melisa pun duduk di samping sang ibu sementara sang ayah, berhadapan dengan Ardan. Melisa melirikkan matanya pada Ardan. Ardan tersenyum ketika padangan mereka tak sengaja bertemu. Seketika Melisa menundukkan kepala.

"Baiklah, Nak Ardan silahkan mulai berbicara karena Melisa sudah datang," ucap Imran kepada Ardan.

Melisa memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Ardan. Ada banyak hal yang ingin dia ketahui dengan maksud kedatangan Ardan ke rumahnya

"Terima kasih, Om. Maksud kedatangan saya kemari saya ingin mengkhitbah putri Om dan Tante. Jika diijinkan saya sangat berterima kasih sekali," ucap Ardan dengan jelas.

Melisa membulatkan mata mendengar ucapan Ardan. Dia tidak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu keluar dari bibir Ardan. Melisa juga tidak pernah membayangkan jika ada yang ingin kembali mengkhitbahnya setelah batalnya pernikahannya dengan Aris.

Padahal belum lama ini rencana pernikahannya batal karena cap pelakor yang tersemat pada dirinya. Lalu akankah ada jaminan pernikahannya akan berjalan mulus jika Ardan mengetahui kalau Melisa menjadi pelakor di masa lalunya?

Apakah Ardan bisa menerima Melisa apa adanya? Apakah dia bisa menerima Melisa yang tidak akan pernah bisa memberikan anak untuknya kelak? Berbagai macam pertanyaan hinggap di pikiran Melisa. Dia takut jika akan kecewa lagi.

Melisa benar-benar belum siap menghadapi kegagalan lagi. Padahal Melisa baru saja menemukan jalan kebahagiaan untuknya. Dia bingung, apa yang harus dia lakukan sekarang?

"Bagaimana, Mel? Apakah kamu menerima niat baik, Nak Ardan?" tanya Imran antusias dengan raut wajah yang bahagia. Tentu Imran sangat senang jika Melisa mau menerima Ardan menjadi pendamping hidup putrinya itu. Apalagi setelah Aris tidak jadi menikah dengan Melisa.

Melisa tidak bisa mengabaikan raut bahagia yang terpancar dari wajah sang ayah. Sungguh dia ingin melihat ayah dan ibunya berbahagia tanpa memikirkan Melisa lagi. Tapi Melisa merasa belum bisa menerima Ardan begitu saja.

"Sebelumnya saya ingin berbicara dengan Pak Ardan, tolong Ayah dan Ibu berikan kami waktu untuk berbicara," pinta Melisa.

Ayah dan Ibu Melisa nampak bahagia mendengar Melisa mau menjawab pertanyaan sang ayah. Mereka sangat berharap Melisa juga mau menerima pinangan dari Ardan.

"Baiklah, Mel. Bu, ayo kita ke dalam sebentar, biarkan mereka berdua berbicara terlebih dahulu."

"Iya, Yah," jawab Meta.

Mereka pun bangkit dari duduknya dan melangkah bersama meninggalkan Melisa dan juga Ardan. Sejujurnya Melisa sedikit canggung berbicara berdua dengan Ardan, tapi Melisa harus menjelaskan kondisinya yang sebenarnya.

Lama mereka terdiam setelah kepergian orangtua Melisa, mereka sedang hanyut dalam pikiran masing-masing. Sementara Melisa masih berusaha merangkai kata, untuk menyampaikan kondisinya agar tidak membuat Ardan terlalu berharap padanya.

"Sebelumnya, saya ingin meminta maaf pada Pak Ardan. Saya tidak mungkin bisa menerima niat baik Pak Ardan. Banyak sekali kekurangan dalam diri saya yang tidak akan bisa menjadi pasangan yang sempurna untuk Pak Ardan." Melisa memulai pembicaraan.

"Anda tidak usah khawatir, saya tidak akan menuntut Ibu Melisa menjadi pasangan yang sempurna untuk saya. Cukup Ibu mau menerima saya, saya sudah sangat berterima kasih," jawab Ardan meyakinkan Melisa.

"Tapi, saya tidak bisa, Pak."

"Kenapa, Bu? Apa saya sudah terlalu terburu-buru?" tanya Ardan.

"Bukan, bukan itu, Pak. Hanya saya saja yang menjadi masalahnya," jawab Melisa sembari menggelengkan kepala.

"Jika masalahnya hanya status janda Ibu Melisa, saya tidak masalah dengan status tersebut," sahut Ardan masih mencoba meyakinkan Melisa.

"Bukan, Pak. Tapi sa-ya tidak akan pernah bisa memberikan Pak Ardan keturunan, saya bukan wanita sempurna, Pak. Saya bukan wanita yang sempurna untuk menjadi pendamping Bapak," lirih Melisa dengan air mata yang mulai menggenang.

Ardan membulatkan mata terkejut dengan kenyataan yang Melisa sampaikan. Melisa pikir sebentar lagi Ardan pasti akan memikirkan kembali niatnya untuk menjadikan Melisa pasangan hidupnya.

Apalah gunanya seorang wanita tanpa rahimnya, dia hanyalah bagaikan pajangan saja tanpa memberikan manfaat apapun.

"Saya tidak keberatan dengan kondisi Ibu Melisa seperti itu, saya tetap pada pendirian saya untuk mengkhitbah Ibu," pungkas Ardan.

"Tapi saya juga bukan wanita yang baik, Pak. Tolong pikirkan lagi niat Bapak," ucap Melisa masih tetap menolak Ardan.

"Baik buruknya seseorang bukan hak kita menilainya, Bu. Hanya Allah saja lah yang berhak menilai umat-Nya."

"Tapi aku telah menyakiti sesamaku, Pak! Aku telah menjadi duri dalam rumah tangga orang lain, aku mencintai suami dari seorang wanita yang begitu baik hati. Aku sudah menjadi perusak rumah tangga orang lain, apa Pak Ardan mau menikahi seorang pelakor sepertiku?" pekik Melisa dengan air mata yang mulai mengucur.

Ardan terperanjat, terkejut dengan pekikan Melisa. Melisa tak tau Ardan terkejut dengan pekikannya ataupun dengan fakta yang baru saja dia ungkapkan.

Mereka berdua diam begitu lama setelah Melisa mengungkapkan kebenaran yang sangat memalukan. Melisa hanya ingin tidak ada yang ditutupi dari Ardan yang mempunyai niat seperti itu padanya.

Melisa tidak mau Ardan kelak menyesal telah menjadikannya pasangan. Melisa merasa sudah cukup dengan batalnya pernikahannya dengan Aris, dia tidak mau merasakan lagi gagalnya pernikahan.

"Pikirkanlah dulu, Pak. Apakah Bapak siap menerima semua masa laluku yang begitu suram," ucap Melisa memecah keheningan.

Ardan hanya diam memandang Melisa dengan tatapan yang tidak dia mengerti. Tapi Melisa tahu, Ardan akan mundur dari niatnya itu.

"Kalau tidak ada lagi yang mau Bapak sampaikan, silahkan Bapak pulang dan pikirkanlah lagi semua ucapanku, Pak."

Melisa tidak bermaksud mengusir Ardan, dia hanya ingin segera beristirahat saja. Melisa sudah capek bertemu dengan Ratih tadi, kini malah ditambah dengan kedatangan Ardan yang bermaksud mengkhitbahnya.

Melisa ungguh pusing sekali, rasanya dia ingin segera merebahkan diri di kamar. Hari ini adalah hari yang sangat berat untuknya. Dalam satu hari ini saja sudah bisa menghancurkan semangat yang telah susah payah dia bangun kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status