Share

Jurang Penderitaan

Ardan pun bangkit dengan langkah lunglai, Melisa tahu jika Ardan sedang berperang dengan pikirannya. Jika Melisa menjadi Ardan tentu dia tidak akan mau menjadikan wanita yang tak sempurna dan mempunyai masa lalu yang buruk untuk dijadikan sebagai pendamping hidup.

Dia pasti akan lebih memilih wanita yang bisa memberikannya keturunan dan juga wanita yang baik-baik. Bukan pelakor seperti dirinya.

Melisa pun bangkit melangkah di belakang Ardan, untuk mengantar kepergian Ardan sampai ke teras rumah.

Ardan berbalik melihat Melisa yang berada tepat di ambang pintu. Pandangan mata Ardan sendu, seolah tidak rela menerima kenyataan yang Melisa ungkapkan.

"Saya pergi, Bu. Tolong sampaikan salam saya pada orangtua Ibu Melisa, Assalamu'alaikum," pamit Ardan.

"Wa'alaikumsalam, akan saya sampaikan, Pak," jawab Melisa.

Ardan kembali berbalik dan meneruskan langkah menuju mobilnya, sebelum masuk ke dalam mobil, Ardan kembali menoleh pada Melisa. Sementara Melisa pun segera masuk tanpa menunggu kepergian Ardan.

Melisa tak mau jika menunggu Ardan pergi, dia akan menjadi bimbang dengan keputusannya. Melisa berpikir jika lebih baik hubungan mereka tidak lebih dari hubungan kepala sekolah dan guru saja. Tidak perlu ada hubungan yang lainnya, dia sudah mulai nyaman dengan suasana sekolah, tidak mungkin dia pindah ke sekolah lain.

Apalagi ada Alisa yang membuat Melisa betah di sana, dia tentu tidak akan rela pindah dan berjauhan dengan Alisa. Hati Melisa sudah terpaut untuk Alisa, bagaimana bisa dia melepaskan kebahagiaan yang telah ditemukannya.

"Mana Nak Ardan, Mel?" tanya Imran yang baru saja turun dari tangga dengan sang istri.

"Sudah pulang, Yah," jawab Melisa sambil membereskan gelas-gelas di meja.

"Loh, kok sudah pulang? Lalu bagaimana dengan jawabanmu padanya, Mel?" Kini giliran Meta yang bertanya pada sang putri.

"Melisa sudah menolaknya, Bu," jawab Melisa sembari berjalan akan membawa gelas menuju dapur.

"Berhenti, Mel. Sepertinya kita perlu bicara," ucap Imran menghentikan langkah Melisa.

Sejujurnya Melisa enggan membahas lagi tentang niat Ardan tadi, isi kepalanya sudah penuh. Dia merasa tidak muat lagi jika harus menampung masalah lain lagi.

"Nanti saja, Yah. Melisa sedang ingin istirahat sekarang," sahut Melisa mencoba menghindar.

"Tidak, kita harus segera membicarakan masalah ini. Ayah tidak mau menunda-nunda lagi, ini menyangkut masa depanmu, Mel," tegas Imran.

"Tolonglah, Yah. Aku sungguh sangat capek, jika dipaksakan aku tidak akan bisa," pinta Melisa memelas.

"Biarkan Melisa istirahat dulu, Yah. Nanti setelah makan malam kita bicarakan lagi," ucap Meta sembari mengusap lengan sang suami mencoba memberi pengertian.

Imran diam sejenak nampak berpikir, dia sangat ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.

Jika saja Melisa tadi tidak bertemu dengan ibu Hanan tentu saja dia tidak akan menolak berbicara dengan ayahnya itu.

Sekarang Melisa sedang tidak bisa memikirkan apapun lagi. Dia hanya ingin segera merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata sejenak.

"Baiklah, kita akan bicara setelah makan malam. Siapkanlah cerita yang harus kamu sampaikan pada kami, Mel," pungkas Imran mulai melangkah pergi meninggalkan Melisa dan juga Meta.

"Maafkan Ayahmu, Mel. Ayah hanya ingin kamu mendapatkan kebahagiaan lagi. Kamu tahu ayahmu sangat menyayangimu bukan, Mel?" tanya Meta mendekat pada sang putri.

"Iya, Bu. Melisa mengerti," jawab Melisa singkat.

"Biar ibu saja yang membawa gelasnya ke dapur, Mel. Kamu istirahat saja, ibu tahu kamu sangat lelah. Mungkin kamu tidak mau cerita, tapi ibu tahu ada sesuatu yang terjadi padamu hari ini, yang membuatmu terluka."

Melisa diam tidak menanggapi ucapan Meta, walaupun tebakan sang ibu benar tapi Melisa tidak mau bercerita tentang hari ini. Dia tidak mau sang ibu bertambah khawatir padanya jika mengetahui kalau dia baru saja bertemu dengan Ratih.

"Ingat, Mel, kamu masih memiliki ayah dan ibu yang sangat menyayangimu, jangan pernah berpikir bahwa kamu sendirian. Kami akan selalu ada untukmu. Sekarang masuklah ke kamar untuk beristirahat," ucap Meta  sembari mengambil alih gelas yang ada di tangan Melisa.

Meta segera berlalu ke dapur membawa gelas, meninggalkan Melisa sendirian yang masih memikirkan setiap ucapan sang ibu. Melisa merasa menjadi anak yang tidak berguna, dia hanya bisa menyusahkan kedua orangtuanya saja.

Melisa segera mengusap air mata yang mulai luruh di pipinya karena terharu memiliki orangtua yang begitu sayang padanya, dia tidak mau ibunya melihat dia menangis.

Melisa bergegas melangkah menuju kamar, untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Dia merasa hari ini adalah hari yang sangat panjang baginya.

Setelah tiba di kamar, Melisa langsung merebahkan tubuhnya tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Dia meringkuk di atas kasur memeluk kedua kakinya.

Melisa mencoba memejamkan mata berharap semua yang telah dia lalui hanyalah mimpi bukan kenyataan. Dan Melisa berharap semoga saja yang dia ingat setelah bangun hanyalah tawa polos dari Alisa.

Melisa menyesal telah membuat Alisa berada dalam bahaya hanya karena memikirkan semua perkataan Ratih, sang mantan mertua.. Harusnya dia tidak membawa-bawa masalahnya  jika sedang bersama dengan Alisa.

Padahal waktu yang mereka berdua habiskan sangatlah singkat, tapi Melisa malah menyianyiakannya dan malah memikirkan pertemuannya dengan Ratih.

Besok Melisa memutuskan untuk menebus semua kesalahannya pada Alisa. Melisa tersenyum membayangkan wajah bahagia Alisa saat bermain tadi siang.

Melisa iri melihat kehidupan Alina, Alina tidak kekurangan sesuatu apapun. Suami yang menyayanginya, anak yang penurut seperti Alisa serta dua calon anak yang ada dalam kandungannya.

Andaikan saja Melisa juga bisa memiliki kehidupan seperti Alina tentu dia akan sangat bahagia sekali. Tapi memang Alina pantas mendapatkan kehidupan seperti itu.

Alina adalan orang yang baik bukan orang jahat sepertinya yang tega menghancurkan rumah tangga wanita lain. Melisa pun berpikir dia pantas memiliki kehidupan yang jauh dari kebahagiaan karena dia telah menghancurkan kebahagiaan wanita lainnya.

Setiap perbuatan pasti akan menerima ganjarannya, kini Melisa telah menuai karma karena perbuatannya di masa lalu. Dia harus ikhlas menjalaninya karena memang ini semua karena ulahnya sendiri yang begitu egois ingin mendapatkan cinta dari orang yang sudah lama mencuri hatinya.

Bodohnya Melisa yang tidak memikirkan akibat dari keegoisannya dulu, jika saja dia mampu berpikir jernih tentu dia tidak akan terperosok dalam jurang penderitaan yang tak pernah berakhir seperti ini.

Melisa tidak tahu sampai kapan dia akan terjebak dalam jurang penderitaan seperti ini, akankah selamanya dia akan tetap berada di sana ataukah dia masih memiliki harapan untuk keluar dari jurang tersebut?

Melisa hanya bisa mengikuti jalan yang sudah ditakdirkan untuknya. Tapi dia juga akan tetap berusaha berbenah diri, mencoba menebus semua dosa-dosa yang telah dia lakukan di masa lalu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status