Share

Siapa Dia?

Rasa pedih di hatinya tidak terperi hingga akhirnya Kania bergerak meraih silet yang berada di atas meja. Jemari lentik Kania sudah mendorong mata siletnya keluar. Ujung mata silet itu sudah berkarat tetapi tidak mengurangi ketajamannya. Kania mulai mendekatkan mata silet itu ke pergelangan tangannya dengan tubuh gemetar hebat.

Pedih di tangannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit dan hancur yang ia rasakan saat ini. Kania merasa seperti sampah yang tidak ada gunanya. Hidupnya telah hancur berantakan dan tidak tertolong lagi. Kania merasa hidupnya sudah seharusnya berakhir di sini.

Ia mulai menekankan ujung silet itu ke pergelangan tangannya hingga sebulir darah keluar dari kulitnya yang kuning langsat. Namun, ketika Kania hendak melanjutkannya, tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Seolah takdir sedang mencegahnya untuk berbuat lebih lanjut. Kania teringat pada janjinya pada dirinya sendiri dahulu bahwa ia harus mencari ibu kandungnya yang pergi meninggalkannya ketika ia masih kecil.

“Mama…” ratap Kania.

Kania ingin bertanya kenapa wanita itu tega pergi meninggalkannya. Kania tahu ayahnya seorang pemabuk dan kasar, tetapi kenapa ibunya tidak membawanya pergi saja? Perlahan-lahan, Kania menjauhkan silet itu dari pergelangan tangannya. Karena jari jemarinya terasa lemas dan pandangan matanya kabur akibat air mata, tanpa sengaja, Kania menjatuhkan silet itu ke lantai. Kania kembali tenggelam dalam isak tangisnya, seolah dunia ini kosong, hanya ada dirinya dan lautan air matanya.

Kania tidak tahu sejak kapan ia telah berhenti menangis, tetapi kini ia sudah menatap kosong ke dinding kamar mandinya yang kusam. Pancuran air hangat dibiarkan terbuka hingga airnya jatuh membasahi seluruh tubuhnya mulai dari kepala hingga ke kaki. Kania diam di bawah pancuran entah untuk berapa lama, ia lupa melihat waktu. Ia tetap berada di bawah pancuran hingga jari-jarinya keriput.

Sebuah notifikasi pesan yang masuk ke telepon genggamnya, membuat Kania tersadar bahwa ia sudah terlalu lama berada di kamar mandi. Kania mematikan keran lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk, tetapi wajahnya tetap basah karena air mata yang kembali meluncur. Kania tidak bisa menahan air matanya itu karena ia tersadar meskipun sudah berada di bawah pancuran air selama berjam-jam, ia tetap merasa kotor.

Meskipun begitu, Kania tetap menghapus air matanya dan setelah berpakaian, ia meraih telepon genggam yang ia letakkan di nakas sebelum pergi ke kamar mandi. Kania melihat notifikasi tersebut dan melebarkan matanya. Itu adalah notifikasi dari aplikasi melamar pekerjaan. Perusahaan yang sudah lama ia incar, kini membuka lowongan pekerjaan magang.

Sebagai lulusan design interior, Kania sangat mendambakan bekerja di perusahaan design interior terbesar di Indonesia tersebut. Indrawan Design Group, itulah nama perusahaan tersebut. Tanpa pikir panjang, Kania segera mengirimkan surat lamaran yang sudah ia persiapkan melalui aplikasi tersebut.

Setelah menaruh kembali telepon genggamnya kembali di atas nakas, Kania sekilas melihat bayangannya di cermin meja riasnya. Dia terlihat kuyu, pucat, dan matanya bengkak. Ia juga masih bisa melihat bekas-bekas air mata di pipinya. Pancuran air hangat seolah menyadarkannya bahwa ia tidak seharusnya kalah karena keadaan ini. Kania melirik bekas luka karena silet di pergelangan tangan kirinya dan menarik nafas panjang.

“Balas dendam, Kania. Kamu harus tetap hidup buat balas dendam,” ujarnya pada bayangannya di cermin.

Kania mengeringkan sisa air mata di wajahnya. Ia akan melupakan apa yang terjadi semalam. Lagipula, kemungkinan sangat kecil Kania akan bertemu dengan pria itu lagi dalam hidupnya. Ia meyakinkan dirinya sendiri tentang hal itu, padahal takdir yang digariskan untuknya tidaklah semudah itu.

 ***

Esok hari datang begitu cepat dan Kania terbangun beberapa kali dalam semalam karena mimpi buruk. Meskipun malam itu Kania mabuk, ia tidak bisa melupakan wajah pria tampan yang merenggut kesuciannya itu. Meskipun sangat tampan, Kania sangat membencinya.

“Dasar lelaki hidung belang!” umpat Kania dengan suara rendah.

Kania merasa kurang enak badan sehingga hari ini ia memutuskan untuk di rumah saja. Setelah lulus kuliah, sangat susah untuk mencari pekerjaan, padahal Kania tidak punya uang sama sekali. Uang tabungan peninggalan ayahnya hanya cukup ia pakai hingga lulus kuliah. Itu pun sering diminta oleh ibu dan adik tirinya. Kania mempertahankan uang itu dengan susah payah.

Dengan sangat terpaksa, Kania bekerja sebagai pelayan bar, karena hanya pekerjaan itulah yang mau menerimanya. Bekerja malam hari dan baru kembali pagi hari, berpakaian minim, dan beresiko dilecehkan, membuat Kania benar-benar ingin berhenti. Namun, jika Kania berhenti, dia sama sekali tidak akan bisa makan. Namun, malam ini ia benar-benar harus istirahat, jadi ia minta ijin untuk tidak bekerja malam ini.

Kepalanya terasa sangat berat, sehingga Kania memutuskan untuk tidur lagi, tetapi tiba-tiba saja sebuah notifikasi surel terdengar di telepon genggamnya. Kania segera meraih telepon genggamnya dari atas nakas dan melihat layarnya.

“Eh?”

Kania hampir tidak mempercayai apa yang ia lihat. Ia menggosok matanya dan melihatnya sekali lagi. Kania takut ia salah lihat.

[Kania Larasati, terima kasih telah melamar untuk posisi magang di perusahan kami. Anda diharapkan datang untuk interview besok pagi ke gedung kantor pusat Indrawan Design group.]

Kania memekik tertahan ketika melihat isi dari email tersebut. Jika saja tubuhnya tidak selemah sekarang, ia pasti sudah melompat. Ini adalah kesempatan Kania. Jika dia diterima dan bisa melakukan pekerjaannya dengan baik, mungkin ia bisa menjadi karyawan tetap di perusahaan impiannya itu.

Setelah semua hal buruk yang terjadi, kini ada secercah harapan. Kania mulai bersemangat. Jika ia bisa berhasil dalam karirnya, suatu hari ia akan membalas dendam pada semua orang yang telah membuatnya terpuruk. Ia bertekad untuk bekerja sekeras mungkin hingga menjadi orang yang sukses.

Kania sama sekali tidak tahu bahwa di balik surel panggilan wawancara itu ada seorang pria tampan yang sangat ia benci. Pria itu sedang duduk di kursi kerjanya sambil tersenyum miring.

“Permisi, Pak,” ujar sekertarisnya sambil masuk membawa banyak berkas-berkas di tangan. Ia menaruhnya di atas meja.

“Pak, ini beberapa laporan yang Bapak minta,” ujar wanita muda itu.

“Interview pegawai magang sudah kamu atur?” tanyanya pada sekertarisnya, mengabaikan tumpukan laporan yang ada di hadapannya itu.

“Sudah, Pak. Ada tiga kandidat yang akan datang besok, sesuai instruksi Bapak. Besok mereka akan menghadap ke HRD,” jawab sekertarisnya dengan sopan.

“Kania Larasati, dia harus diterima. Paham?” ujar pria itu sambil menatap sekertarisnya.

“Paham, Pak. Saya pastikan dia diterima,” jawab sekertarisnya itu.

“Bagus,” katanya.

“Kalau begitu, saya permisi, Pak Jupiter,” ujar sekertarisnya dengan sopan.

Setelah mendapatkan anggukan, sekertarisnya itu pergi meninggalkan ruangan kantor CEO perusahaan Indrawan group. Jupiter Indrawan yang berada di dalam kantor duduk sambil menggoyang-goyangkan kursi kerjanya. Ia merasa senang karena ternyata takdir masih mengijinkannya untuk bertemu wanita itu satu kali lagi. Dia tahu, wanita itu bukan wanita panggilan yang dikirimkan kepadanya sebagai hadiah. Hal itu membuatnya sangat penasaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status