Share

6. Ayana Kabur

Dering alarm ponsel membuat Ayana tersentak dari lamunannya. Sang gadis segera meraih benda pipih itu, lalu mematikan alarmnya. Hari masih gelap, jam menunjukkan pukul 5 pagi saat Ayana sudah bersiap-siap dengan kopernya.

Dia sudah berpikir semalaman untuk kabur dari Daniel. Ayana tidak bisa menikah dengan majikannya itu, seberapa keras pun ia mencoba menerima rencana pernikahan ini, tetap saja hatinya menolak.

Maka dari itu sebelum Daniel terbangun, ia harus sudah tidak ada di kamar atau pun di rumah mewah ini. Setelah memastikan semua bajunya masuk dalam koper, Ayana pun berdiri, dilihatnya terlebih dahulu ruangan yang sudah menampungnya hampir puluhan tahun.

Jika mengingat apa saja yang telah ia lakukan di kamarnya itu, rasanya Ayana sangat sedih bila harus meninggalkan tempat ia menghabiskan seluruh kegiatannya. Sejujurnya ia tidak ingin pergi secepat ini kalau saja majikannya itu tidak berencana menikahinya.

Puas memandangi semua sudut ruangan bawah tanah, Ayana segera menarik kopernya dan menuju lantai atas. Saat sampai di lantai atas, ia mengangkat kopernya pelan-pelan lalu berjalan mengendap-endap.

“Syukurlah, Tuan Besar masih terlelap,” bisiknya.

Ayana bernapas lega karena Daniel masih tertidur dengan nyenyak di king size-nya. Tiba-tiba air matanya terjatuh begitu saja saat ia memandangi wajah damai majikannya itu dari jauh. Pikiran khawatir mulai bercokol di kepalanya. Apakah Tuan Besarnya akan baik-baik saja jika ia pergi? Atau bisakah Tuan Besarnya melakukan semua aktivitas yang Ayana lakukan selama ini untuk dirinya?

Tidak Ayana, kau tidak boleh iba sekarang.

Ayana menghapus bulir air mata yang jatuh dari pelupuknya, ia tidak boleh merasa cemas ataupun ragu meninggalkan Daniel. Sehingga dengan cepat, gadis itu mengayunkan tungkainya untuk keluar.

Entah sudah berapa tahun ia tidak keluar dari kamar mewah Daniel, yang pastinya sekarang ia tengah menatap takjub lampu-lampu yang menggantung di langit luar kamar majikannya itu serta tiang-tiang besar yang menopang rumah terlihat sangat kokoh dari lantai atas tempat ia berdiri.

Aroma lezat dari arah dapur membuat Ayana menurunkan kopernya, ia kemudian berjalan seraya menarik kopernya mengikuti aroma tersebut. Suara koper yang beradu dengan lantai terdengar menggema saat Ayana menuruni tangga. Kicauan burung dan udara segar dari arah jendela yang terbuka menyambut kebebasan gadis itu.

Ayana tersenyum hangat melihat sebuah bingkai foto yang menampilkan kebahagiaan keluarga Hamilton. Tidak apa, Ayana. Daniel pasti akan baik-baik saja dan segera menemukan penggantimu. Ia meyakinkan dirinya sendiri.

“Mbak Ayana, yah?”

Baru saja ia ingin melangkah, suara lembut nan manis menyapa indera pendengarannya. Ayana berbalik dan mendapati seorang gadis bertubuh ramping yang ia perkirakan usianya sama dengannya.

“Iya,” balas Ayana.

Gadis itu mendekat, ia menampilkan senyum bersahabat pada Ayana seraya tangannya terulur. “Kenalkan, aku Rosemary. Koki di rumah ini,” beritahunya.

Ayana balas tersenyum dan meraih tangan gadis yang bernama Rosemary itu untuk berjabat tangan. “Ayana, panggil saja begitu.”

“Aku senang bisa melihatmu secara langsung Ayana, aku pikir tidak akan bisa melihatmu dan hanya mendengar cerita tentangmu dari Pelayan-Pelayan di rumah ini. Aku tadi kaget saat melihatmu, kupikir aku bermimpi,” ujar Rosemary.

Ayana mengerutkan kening, apakah di rumah ini ia sepopuler itu sehingga gadis yang di hadapannya ini merasa takjub melihat dirinya? Ia pikir, dirinya tidak sepenting itu untuk menjadi topik pembahasan di rumah majikannya itu.

“Ayana, kau ingin ke mana? Kenapa kau membawa koper? Dan apakah tidak masalah kau keluar dari kamar Tuan Daniel?” tanya Rosemary secara beruntun.

Ayana baru ingat jika sekarang ia harus pergi sesegera mungkin sebelum Tuannya benar-benar terbangun dan mencari keberadaannya.

“Rosemary.” Ayana meraih tangan Rosemary. “Bisakah kau menunjukkan jalan keluar lain dari rumah ini selain di gerbang depan? Waktuku tidak banyak Rosemary. Aku harus keluar dari rumah ini sekarang,” mohonnya.

“Kau tidak berencana kabur, kan, Ayana?” Rosemary mulai menangkap keanehan dari Ayana. Apalagi gadis itu sedang memegang koper di tangannya.

Ayana menatap takut-takut Rosemary. “Aku tidak ingin menikah dengan Tuan Daniel, Rosemary. Jadi kumohon bantu aku untuk pergi dari rumah ini?” ibanya.

Rosemary yang mendengar itu langsung menarik tangannya yang digenggam Ayana. “Aku tidak bisa, Ayana,” tolak gadis itu.

Ayana tertunduk lemah, ia memijit pelipisnya. “Cukup tunjukkan di mana jalan keluarnya. Kau tidak perlu mengantarku, aku akan mencarinya sendiri.”

Sejujurnya melihat Ayana memohon padanya, Rosemary merasa iba dan sangat ingin membantu. Tapi jika ia membantu calon istri dari majikannya itu, ia mungkin saja akan dipecat. Kabar pernikahan Daniel dan Ayana sudah tersebar di rumah mewah itu, bahkan semua pelayan di rumah itu sudah sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk pernikahan yang rencananya akan diadakan dua hari lagi.

“Maafkan aku Ayana. Aku benar-benar tidak bisa membantumu,” tutur Rosemary. Gadis itu meninggalkan Ayana begitu saja.

Ia tidak jahat pada Ayana, hanya saja Rosemary tidak ingin ikut campur. Ia hanya pekerja di rumah itu dan tidak punya hak mencampuri kehidupan pribadi Ayana dan Daniel.

“Aku harus bagaimana sekarang? Rumah ini terlalu besar dan pasti ada banyak Bodyguard yang berjaga.” Ayana sangat bingung sekarang.

Gadis itu berpikir cepat. “Paviliun belakang, iya. Aku bisa menemukan pintu keluar di sana.” Ayana tersenyum bahagia. Tanpa menunggu lama, ia langsung menarik kopernya menuju paviliun.

***

Daniel meregangkan tubuhnya, pagi ini begitu indah. Ia tersenyum memikirkan pernikahannya dengan Ayana yang akan digelar dua hari lagi. Ia benar-benar tidak sabar menunggu momen penting yang akan menentukan kelangsungan hidup magernya di masa depan.

“Ay, Calon Istriku yang sangat rajin. Aku sudah bangun, bisakah kau ke sini sekarang? Aku ingin mandi dan berjalan-jalan keluar. Aku harus mengecek persiapan pernikahan kita,” kata Daniel penuh bahagia.

Tidak ada jawaban dari Ayana, sehingga Daniel mengarahkan matanya pada jam yang terletak di atas nakasnya. Waktu menunjukkan pukul 7, seharusnya suara kesibukan Ayana di dapur sudah terdengar di telinganya. Tapi, kenapa rasanya sunyi sekali?

“Ay, apa kau sedang mandi?” Daniel mulai cemas.

Tanpa berpikir panjang, Daniel segera beranjak dari kasurnya, ia tidak peduli sekarang jika harus kelelahan karena berjalan. Yang terpenting adalah menemukan keberadaan Ayana.

“Ay, di mana kau?” Daniel berteriak mencari Ayana.

Dimulai dari dapur lalu menuju kamar mandi, namun Ayana tak kunjung ia temukan. Rasa khawatir semakin menguasai pikiran Daniel. Ia berlari ke ruang bawah tanah, menyusuri setiap sudut ruangan itu. Keringat yang membanjiri tubuhnya bahkan tidak ia pedulikan.

Shit!” Daniel membanting pintu lemari di kamar Ayana saat melihat benda itu kosong.

Amarah menguasai lelaki itu, di bantingnya meja kecil yang ada di hadapannya hingga menubruk lantai. “Ayana kau benar-benar membuatku marah,” dongkolnya dengan wajah merah padam.

Ia kemudian merogoh saku celana, lalu mengambil ponselnya. Daniel mendekatkan gawainya hingga menempel di kupingnya setelah membuat sebuah panggilan.

Berselang beberapa detik, suara berat terdengar dari seberang telepon.

“Kerahkan semua penjaga, juga anak buahmu yang ada di luar. Cari Ayana dan jangan kembali sampai kau menemukannya!” putus Daniel.

Arghh....” Daniel membanting ponselnya ke tembok hingga benda itu hancur. Berani sekali asistennya itu lari darinya. Jika ia tahu hal ini akan terjadi, ia tidak perlu menunggu lama untuk menikahi Ayana.

Awas saja kau Ayana!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status