Share

MARK NATAMA

Gue baru saja membuka mata dan melihat ke arah jam dinding yang sengaja gue simpan di depan tempat tidur. Gue punya alasan kenapa jam dinding dengan ukuran sangat besar ada dihadapan gue banget ketika bangun, karena gue ingin sekali mendisiplinkan hidup gue. Waktu buat gue adalah money dan disiplin dalam segala hal tentu saja wajib. Sejak kecil gue terbiasa hidup sendiri, jauh dari orang tua, tidak punya sahabat kecuali si Adi brengsek yang sebentar lagi pasti sudah mengetuk pintu.

Meski gue tidak punya banyak teman, jauh dari orang tua tapi gue bersyukur karena gue ada asisten rumah tangga yang sudah gue anggap seperti emak gue sendiri. Yups, namanya Mak Nie. Gue sudah tinggal cukup lama dengan Mak Nie, Mak Nie harta yang paling berharga yang orang tua titipkan ketika orang tue gue memilih untuk tinggal di USA. Gue juga punya adik perempuan Catrine yang saat ini juga memilih tinggal di USA tapi sangat bawel, hampir setiap hari menelpon dan menyuruh gue cari pasangan.

Usia gue sama Catrine hanya beda dua tahun saja, Catrine sudah beberapa kali berganti pasangan dan beberapa kali juga gagal menikah. Bagi Catrine mudah saja berganti pasangan dan move on dari patah hati, tapi bagi gue sangat susah. Gue punya cinta pertama yang susah untuk gue lupakan, cinta pertama yang gue temui waktu gue pertama kali menginjakan kaki di Indonesia. Gue bangun langsung pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka dan langsung menuju dapur karena gue tahu Mak Nie pasti sudah masak enak hari ini.

Wangi makanan rumahan yang bisa gue nikmati satu minggu sekali, Mak Nie usianya sudah lima puluh dua tahun, gue gak mau kalau Mak Nie kecapean karena harus mengurus rumah dan beberapa karyawan yang ada di rumah. Jadi gue Cuma meminta Mak Nie untuk memasak seminggu dua kali saja, hari Sabtu dan Minggu saat gue ada di rumah. “Hari ini masak apa Mak?” Gue bertanya pada Mak Nie yang masih sibuk mengurus masakan depan kompor sementara gue duduk di meja makan sambil minum segelas air putih.

Mak Nie menoleh ke arah gue “Masak gulai kambing sama tumis sayuran.” Mak Nie memang paling bisa bikin kolestrol gue naik. Tapi gimana lagi, gue paling gak bisa nolak masakan Mak Nie. “Pantesan aja wanginya nyampe ke depan kamar, salad buah aku masih ada kan Mak?" Salad buah menu makan wajib yang harus gue makan tiap hari, walau bagimanapun tubuh gue adalah aset paling berharga.

“Sebentar ya, ini tinggal diangkat saja. Nanti Mak bawakan.” Gue mengangguk. Tidak berapa lama Mak Nie menyudahi adegan masaknnya, Mak Nie menuang gulai kambing ke dalam mangkuk kaca putih dan menata beberapa makanan di meja. Mak Nie juga mengisi air minum di gelas kosong milik gue. Mak Nie menuju kulkas dan mengambil salad buah kemudian menyajikannya untuk gue.

“Udah siap semuanya, makan yang banyak nak.” Gue mengambil nasi satu sendok kecil dan langsung menuangkan gulai kambing ke mangkuk. Gulai kambing yang gak akan pernah gue temuin di resto manapun, rasanya enak banget. Rempah-rempah khas Indonesia membuat gue makin cinta sama Indonesia. Selain bisnis masakan Indonesia juga salah satu factor yang bikin gue gak bisa jauh dari Indonesia.

Gue berharap siapapun calon bini gue nanti, bini gue harus bisa masak masakan seenak Mak Nie masak. Sendokan terakhir gue makan Mak Nie bertanya “Sekretaris baru lagi? Dalam setahun maa sudah ganti empat sekretaris Nak?” Gue hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Mak Nie sambil bersiap mendengarkan kultum yang sebentar lagi akan dimulai. Mak Nie memang asisten rumah tangga, tapi bawelnya melebih emak kandung gue.

“Kamu tuh gimana sih Nak, kamu ke Mak bisa lembut dan sayang banget masa sekretaris harus terus kamu bentak-bentak. Kamu sudah saatnya mencari pengganti Bu Dina. Bu Dina gak bisa jadi sekretaris kamu terus karena Bu Dina sudah tua, sudah waktunya menghabiskan waktu di rumah dan momong cucu. Sekretaris kali ini harus dibaikin ya, jangan sampai gak betah juga kerja sama kamu nak.” Kultum sudah dimulai.

Meski Mak Nie ngomel gak akan pernah gue lawan. Gue memang belum bisa move on dari Bu Dina. Bu Dina sekretarsi bokap gue yang kemudian jadi sekretarsi gue. Usianya sangat tua tapi untuk masalah kerjaan Bu Dina sangat cekatan dan juga sangat mengerti gue. Karena sangat teliti gue jarang sekali marah waktu Bu Dina jadi sekretaris.

Setelah Bu Dina resign gue belum menemukan yang seperti Bu Dina. Tidak banyak menyangkal saat diomongin dan kerjanya rapih, teliti. Paling penting sih jujur, karena sekretaris gue akan pegang semua yang gue miliki. Jujur dan menjaga rahasia paling penting. Gue menjawab pertanyaan dari Mak Nie “Iya Mak, aku usahain gak akan terlalu galak. Si Adi pasti bilang ada sekretaris baru ya? Kurang ajar emang tuh anak.”

Mata Mak Nie langsung melotot ke arah gue “Nah kan baru juga Mak bilang jangan marah-marah, udah marah lagi. Kamu masih muda gimana kalau nanti kena darah tinggi atau jantungan. Kurang-kurangin marah.” Mak Nie pasti akan marah kalau ada yang terjadi pada Adi. Adi keponakan dari Mak Nie yang paling disayang.

Orang tua Adi meninggal saat masih kecil karena kecelakaan, Adi tinggal bersama gue dari kecil. Gue udah anggap Adi sebagai adik gue, Adi juga orangnya sangat baik dan bisa gue percaya. Bokap gue yang biayain sekolah Adi dan menganggap Adi seperti anaknya juga. Bahkan sepertinya bokap lebih sayang Adi dibandingkan gue, karena bokap lebih sering nelpon Adi dibandingkan gue.

Adi tinggal di salah satu rumah kecil yang ada di belakang rumah gue, jadi Adi bisa kapan saja gue panggil. Hampir setiap hari gue bertemu dengan Adi. Tumben hari ini dia belum ke rumah, biasanya sebelum gue bangun Adi sudah gedor pintu kamar gue atau karena gue bangun terlalu pagi? “Si Adi kemana Mak?”

“Adi tadi Mak suruh nganter ke pasar, soalnya Pak Totong sopir lagi nyuci mobil-mobil kamu.” Gue mengangguk, pantesan Adi belum gedor kamar gue. “Mak, besok siapin baju buat golf ya. Aku besok mau golf sama Adi.” Hidup gue memang membosankan, setiap hari gue kerja dan akhir pekan gue habiskan waktu dengan Adi.

“Iya, nanti malam Mak siapkan ya.” Mak Nie langsung mencatat perintah gue di buku kecil yang selalu Mak Nie bawa kemana-mana. “Kalau ada waktu kamu telpon Ibu dan Bapak, mereka kangen.” Mak Nie menyuruh gue untuk nelpon bokap nyokap gue. Sejujurnya gue canggung banget kalau harus nelpon bokap nyokap, seperti ada jarak diantara gue sama mereka. Gue mengangguk dengan cepat “Iya, nanti aku telpon. Aku mau olahraga tolong siapkan buat berendam ya Mak.”

Gue segera beranjak dari kursi meja makan dan langsung menuju ke area gym yang ada di sebelah rumah gue. Gue memulai gym dengan jalan santai sambil melihat pemandangan depan rumah yang penuh dengan tanaman yang terawat. Semua orang di rumah ini bekerja sangat keras, mereka semua keluarga gue. Sekilas gue membayangkan wajah sekretaris yang baru saja gue pilih. Wajah yang akrab dan tidak asing, gue seperti pernah bertemu sebelumnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status