Sayu sayu suara adzan subuh membuatku terbangun, entah sejak kapan aku tertidur. Yang aku ingat semalam Abi meninggalkanku karena pertengkaran kami. Baru pertama kali ini selama pernikahanku terjadi keributan. Biasanya kami saling mengalah satu sama lain setiap ada masalah diantara kami.
Aku menuruni ranjangku, melangkahkan kakiku menuju pintu kamar. Hatiku terus penasaran dengan siapa Abi melewati malamnya semalam. Kubuka pintu kamarku, kulihat pintu kamar Desi yang terletak berhadapan dengan kamarku masih tertutup. Aku memutar tubuhku hendak masuk kembali ke dalam kamar. Batinku masih sakit saat Gus Al lebih mementingkan Desi daripada aku. Namun aku juga sangat merindukan pria itu.
"Teteh!" panggil Desi sontak membuatku terkesiap.
Kulihat wanita itu baru saja datang dari arah dapur membawa segelas susu hangat di tangannya. Terlihat dari kepulan asap yang menyeruak ke udara.
'Tumben, Desi bikin susu
"Kalau datang bulan ibu terakhir kapan?" tanyanya lagi padaku.Aku diam sejenak mendengar pertanyaan Dokter itu. Sepertinya aku tau kemana arah pembicaraannya kali ini. Tapi bukankah Dokter spesialis kandungan telah memvonisku bahwa aku tidak akan bisa memiliki anak."Ibu!" Panggilnya lagi membuatku tersadar dari lamunan.Tersadar kalau aku sudah hampir seminggu lebih belum datang bulan."Sepertinya semingguan, Dok!" ucapku seraya menatap manik coklat pada wanita itu.Jantungku terus bergemuruh, menanti aksara yang akan diucapkan wanita yang sedang tersenyum ramah kepadaku."Selamat ya ibu, anda positif hamil."Deg!"Dok, anda tidak sedang bercanda kan?" tegasku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja Dokter katakan padaku."Tidak Bu, ibu memang positif hamil," tukasnya menujukan sebuah alat tes keh
Masih POV Desi.Kulalui hari-hariku dengan bahagia. Menikmati kehamilanku yang kian membesar. Tidak ada lagi rasa iri atau penyakit hati lainnya yang menyelinap masuk di dalam hatiku. Yang ada hanya rasa syukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepadaku dan mengumpulkanku dengan orang-orang yang sholehSemenjak Puspa hamil, Abi meminta gadis berkulit putih itu untuk berhenti dulu dari aktivitas bekerjanya. Alasannya sama, Abi hanya ingin menjaga kandungan Puspa dan juga ibunya.Semakin hari Puspa semakin baik kepadaku. Begitu juga denganku. Bagaikan memiliki seorang kakak perempuan yang saling menyayangi.Tetapi perhatian Umi masih tetap sama. Mertuaku itu lebih menyayangi Puspa daripada aku. Tidak apalah, semua ini hanyalah butuh waktu saja.Seperti halnya suatu pagi beberapa hari yang lalu. Saat itu aku sedang sibuk menonton televisi di ruang tengan rumah kami. Perutku yang mulai membesar memang paling nyaman untuk bermalas malasa
POV UMIKabar kehamilan Puspa bagaikan mukjizat yang Allah berikan kepada keluargaku. Setelah harapanku untuk menimang cucu pupus. Justru Allah menunjukkan kebesarannya lewat kehamilan Puspa yang serasa tidak mungkin namun justru terjadi.Aku berjanji pada diriku sendiri akan menjaga kehamilan Puspa sebaik mungkin. Karena anak yang terlahir dari keturunan keluarga yang baik pasti akan tumbuh menjadi anak yang baik pula.Maka dari itu, dulu aku begitu selektif memilihkan jodoh untuk Al. Mulai dari agamanya, kekayaanya, kecantikannya, serta nasabnya yang jelas. Dan semua itu ada dalam diri Puspa. Agar jika mereka memiliki keturunan dapat terlahir anak anak yang baik pula akhlaknya.Sementara Desi, tetap saja aku tidak menyukai wanita itu. Mungkin setelah bayi itu lahir, aku akan tetap mengambil anak itu sekalipun Puspa telah memiliki anak bersama Al. Bagaimanapun bayi itu tidak memiliki dosa sedikitpun. Dan nasib Desi tetap dengan keputusan awalku. M
"Sudahlah mi, untuk apa Umi ikut campur urusan rumah tangga Al. Al sudah dewasa, toh kita sudah membekali Al dengan ilmu agama yang mumpuni. Pasti dia bisa memilah mana yang baik untuknya dan mana yang tak baik untuknya," ucap Abah sambil mengusap lembut pada punggung tanganku.Dadaku masih bergemuruh. Rasa kesal karena sudah ditipu oleh anak dan pelacur murahan membuatku susah untuk melupakan."Abah, jika Al memang sudah memiliki bekal agama yang mumpuni, tapi kenapa dia masih membohongi Umi, Bah. Dia membawa masuk pelacur itu ke dalam lingkungan pesantren kita diam-diam," cetusku dengan suara serak dengan air tangis yang tersisa isakan. Kulihat Abah yang duduk berjongkok di hadapanku itu menatapku sendu."Aku tidak mau pondok pesantren kita ini tercemar hanya gara-gara pelacur murahan itu. Apa kata orang Abah?" pekikku kesal pada Abah yang juga terkesan sangat santai sekali."Umi, setiap orang berhak unt
Malam kian merangkak naik. Keheningan malam semakin merajam hatiku yang merana. Memikirkan Desi dan janin yang berada dalam kandungannya. Bukankah ibu hamil dilarang stres. Namun justru aku yang sedang dibuat stres dengan keadaan ini.Kulepas perlahan pelukan Puspa yang melingkar pada pinggangku. Wanita berkulit putih ini memang menyukai tidur dalam pelukanku. Suara nafasnya terdengar beraturan. Manandakan saat ini Puspa sudah memasuki alam bawah sadarnya.Aku berjalan menuju kamar Desi, untuk melihat keadaannya yang sedari pagi mengurung diri di dalam kamar.Tok! Tok!Kuketuk pelan pintu kamar Desi. Hening. Tidak ada jawaban atau gerakan yang terdengar. Apakah Desi sudah tertidur?Kulirik jam pada dinding telah menunjukkan pukul 11 malam. Tapi mana mungkin Desi sudah tertidur, biasanya sebelum dia tidur, dia akan mengulang kembali hafalannya. Agar jika tiba gilirannya tidur be
POV Gus AlHari ini adalah hari yang kupilih untuk acara nujuh bulan kehamilan Desi. Semua orang tengah sibuk di rumahku. Kupasang tenda di halaman rumah untuk menampung tamu undangan yang nanti sore akan datang. Karena akan diadakan acara pengajian yang diisi oleh sahabat Abah.Kulihat Desi yang tengah sibuk membantu Puspa di dapur. Kandungan Puspa pun sudah mulai membesar, kini janin dalam rahim Puspa telah menginjak hampir lima bulan. Jadi dua bulan lagi aku pun akan mengadakan acara yang sama untuk Puspa."Teh, nggak usah ngangkat yang berat-berat, biar santriwati yang lain saja yang ngangkat itu!" cegah Desi yang melihat Puspa mengangkat ember berisi kentang."Iya deh!" sahut Puspa meringis meletakkan ember itu."Izah," panggil Puspa pada seorang santri Wati yang tengah sibuk di dapur.Gadis dengan kulit sawo matang itu segera menghampiri Puspa.
POV PUSPAAku mulai merasakan sakit yang menjalar di sekujur tubuhku. Bunyi patient monitor mendengung memenuhi pendengaranku. Ku rasakan seseorang sedang menggenggam erat tanganku. Apakah itu Abi? Batinku.Ku buka perlahan kedua mataku, hanya langit-langit kamar yang nampak dalam pandanganku."Sayang, kamu sudah sadar!" Ucap ayah yang terus memegangi tanganku. Wajahnya terlihat pias dengan netra yang sembab.Ku ukir senyuman disudut bibirku. Melihat pria yang sudah beberapa bulan tak pernah ku temui itu.Wajah ayah terlihat lelah, mungkin ayah dan Abi bergantian menjagaku disini. Tapi dimana dirinya, kenapa diruangan ini hanya ada ayah dan tidak ada siapapun lagi."Yah, Abi mana?" tanyaku lirih.Bibir ini terasa sulit untuk ku gerakan, sebuah alat masuk melalui mulutku dan itu sangat sakit sekali
POV Gus AlAku masih duduk di sofa televisi. Menatap wajah Desi yang terlihat berisi. Wanita itu tersenyum lebar melihat tayangan yang menontonkan aksi pelawak dengan rambut pirang. Sementara tangannya tidak henti mengusap perutnya yang telah membesar. Mungkin akhir bulan depan Desi akan segera melahirkan bayi kami yang berjenis kelamin perempuan dari rahimnya."Abi, kok bengong!"Sejenak aku terdiam, bingung mau menjawab apa kepada Desi. Pikiranku terus mengembara mengingat Puspa yang sudah seminggu lebih terus memenuhi benakku. "Ehm!" ucapku berdehem dengan wajah lelah."Abi kengen sama Teteh?" Desi menatap lekat padaku. "Bagaimana kalau besok kita nengok Teteh di rumah sakit. Bunda kan belum pernah sekalipun melihat keadaan, Teteh," beo Desi.Aku memang tidak memberi tahu tentang keadaan Puspa kepada Desi. Aku hanya menyampaikan jika anak Puspa tidak dapat terselamatkan. Selebihny