Share

Bab 7

     Aku masih duduk di pinggir kolam ikan yang terletak di belakang pondok pesantren. Kolam yang berbentuk persegi panjang dengan jumlah 6 petak dan dikelilingi oleh pohon mangga. Aku duduk di atas amben (ranjang yang terbuat dari bambu) yang terletak di bawah pohon mangga menghadap langsung ke arah kolam.

 

   Berkali kali kumelempar kerikil kecil ke dalam kolam sehingga menimbulkan riak riak kecil. Aku berharap kekesalan dalam hatiku akan segera menghilang. Karena ucapan Bik Nah yang terang-terangan melarangku mendekati Gus Al terus terngiang di telingaku. Aku tahu maksud Bik Nah baik, hanya saja hatiku seolah tak ingin berdamai.

 

Kulemparkan batu yang lebih besar agar menimbulkan riak atau bahkan ombak yang mampu melegakan kegundahanku. Padahal aku tau itu tidak mungkin. Sorot kemuning senja hampir menghilang seolah malam yang gelap akan segera menenggelamkanku dalam kehancuran.

 

"Hey, aku mencarimu ke sana kemari tapi kamu tidak ada. Ayo kita pulang!" Suara Gus Al terdengar tak beraturan nafasnya yang naik turun seperti orang yang baru saja lari maraton.

 

Sekilas aku menoleh pada lelaki yang berdiri di sampingku dengan wajah datar. Mulutku sedang kehilangan aksara. Gus Al sama saja dengan lelaki hidung belang yang selama ini menjamah tubuhku. Tidak ada cinta hanya ambisi dan kepuasan yang mereka cari.

 

Aku masih terus melepar kerikil kecil itu ke dalam kolam ikan mengabaikan Gus Al. Lelaki itu menatap wajahku dengan seksama. Kemudian ia duduk tepat di sampingku. Namun, aku masih saja mengabaikan lelaki menyebalkan itu.

 

"Kamu mau aku lanjutin cerita Mariyah?" ucap Gus Al, kini ia mengikutiku melempari kolam ikan dengan kerikil kecil yang ada di sampingku.

 

"Tidak usah, aku bukan anak kecil yang suka mendengarkan dongeng," ucapku ketus tanpa menatapnya.

 

"Apakah hanya anak kecil yg suka dengar cerita, banyak orang dewasa yang menyukai cerita," ucap Gus Al mendekatkan wajahnya di hadapanku. Sorot matanya menelisik jauh ke dalam hatiku membuat aku merasa canggung. 

 

"Awas ikh!" ucapku mendorong tubuh Gus Al agar tidak menghalangi pandanganku. Kemudian Gus Al memundurkan tubuhnya dari hadapanku. Sepertinya dia tau kalau aku sedang kesal.

 

"Aku bukan anak kecil yang suka di dongengin, tau!" Aku menatap sinis lelaki berwajah hangat di sampingku itu. Kemudian aku beranjak pergi meninggalkannya dengan perasaan kesal.

 

"Duduklah dulu, Jangan seperti ini. Bagaimana semua akan jadi baik jika kamu tidak menceritakannya padaku." Lelaki itu menarik lenganku dan mendongakan wajahnya padaku.

 

Aku menghempaskan tubuhku kembali duduk di sampingnya. Menikmati senja yang akan segera menyingsing di kegelapan.

 

"Kamu tau Laila majnun?" tanya Gus Al padaku. Sorot mata hangat itu masih lurus menatap sinar senja yang menguning. Satu tangannya masih mengayun melepar kerikil kecil ke dalam kolam.

 

"Tidak tau!" cetusku. Berkali kali kuayunkan kakiku berharap kekesalan ini akan segera pergi dari hatiku.

 

"Aku suka kisah cinta itu, seorang lelaki biasa bernama Qays yang sangat mencintai kekasihnya yang bernama Laila. Karena saking cintanya Qays kepada Laila hingga orang orang menyebut Qays itu sebagai majnun yang berarti gila. Laila adalah gadis yang sangat cantik jelita, lahir dari keluarga terpandang sementara Qays hanyalah pemuda biasa. Tapi apalah daya takdir telah membuat Laila juga mencintai Qays atau majnun. Namun, cinta mereka terhalang oleh restu orang tua Laila." Gus Al berhenti melempari kolam ikan itu, kini netranya tertuju padaku.

 

"Lalu!" Entah kenapa aku begitu tertarik mendengar cerita Gus Al kali ini. Kubalas tatapan hangat itu dengan beribu perasaan yang membuat kukacau. Semoga Gus tampan itu tidak menyadarinya.

 

"Hingga akhirnya Qays mengasingkan diri. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Majnun hidup karena cinta. Ia tidak mengenali siapapun kecuali Laila bahkan dirinya pun ia tidak kenal. Setiap hari Majnun selalu menyanyikan syair syair cintanya kepada Laila. Dia yakin bahwa syair yang ia nyanyikan akan sampai pada kekasihnya laila melalui angin yang membawanya," ucap Gus Al dangan menyungingkan sebuah senyuman.

 

Aku tertangkap basah memandang wajahnya dengan seksama. Seketika wajahku pun bagaikan udang rebus, memerah.

 

"Jangan marah lagi ya!" Gus Al menatapku begitu hangat.

 

"Apakah aku akan jadi Majnun?" tanyaku pada Gus Al.

 

"Atau aku yang akan jadi Majnun?" Gus Al membalikan pertanyaannya padaku.

 

"Bagaimana bisa?" Kini kita saling berpandangan, tatapan Gus Al membuat ritme jantungku berdetak tidak karuan .

 

"Kamu tau bagaimana semua orang mengatakan Qays adalah majnun?"

 

Aku hanya menggeleng kepalaku karena aku memang tidak pernah tahu tentang kisah itu.

 

"Seseorang bertanya kepada Majnun, Hay Majnun apa yang membuatmu begitu mencintai Laila? Apakah tidak ada yang lain di dunia ini yang bisa kamu cintai selain Laila. Dunia ini lebih indah Majnun. Tanya orang itu kepada Majnun. Lalu majnun menjawab, andai kamu melihat Laila dengan mataku pasti kamu akan mencintainya seperti aku. Itu yg majnun jawab." Gus tersenyum kecil padaku.

 

"Lalu apa hubungannya denganku?" tanyaku penasaran dengan lelaki bertubuh kekar di sampingku kini.

 

"Andai orang lain melihat dirimu dengan hatiku pasti mereka akan mencintai mu sama seperti aku." 

 

Ya Tuhan, ucapan Gus Al kali ini benar benar membuatku mati kutu.

 

"Dasar tukang gombal." Aku menginjak kaki Gus Al dan beranjak meninggalkannya. Jangan sampai Gus Al tau wajahku yang memerah karena tersipu malu.

 

"Augh!" Gus Al mengaduh kesakitan. Sementara aku tetap melangkahkan kakiku meninggalkannya. Karena kini kemuning senja benar benar telah  menghilangkan.

 

"Aku belum selesai cerita Des," teriak Gus Al  tanpa kuhiraukan. 

 

Aku tetap melangkahkan kakiku dan tersenyum lebar. Hatiku bagaikan bunga yang sedang bermekaran. Mungkinkah ini yang di sebut jatuh cinta .

 

*******

     Aku masih menatap lelaki di hadapanku, yang sibuk mengajarkan hafalan Asmaul Husna kepada anak anak yang telah duduk rapi di deretan bangku bangku kantin  Kini Gus Al menyapa anak anak itu sendiri tanpa di dampingi Salma. Sehingga aku lebih leluasa untuk menatap wajahnya yang putih berseri serta bulu halus yang menghiasi di rahang kekarnya itu.

 

"Neng, Jangan senyum senyum aja atuh! Naksir ya sama Gus Al?" ucap Bibik membuyarkan lamunanku.

 

"Apa sih Bik!" Bergegas aku menuju dapur membantu Bibik membereskan piring piring kotor yang sudah menumpuk di dapur.

 

"Ternyata benar ya mencintai itu bisa menjadi Majnun," gumanku dalam hati sambil menggosok piring piring kotor di tanganku. Aku masih saja tersenyum sendiri, rasanya aku tidak bisa mengendalikan diriku yang sedang bahagia ini.

 

 

"Neng, ini nanti tolong antar ke kantor ya!" ucap Bibik menujuk nampan yang ada di atas meja dapur.

 

"Aku Bik?" Aku menunjuk diriku dengan jari telunjukku.

 

"Iya lah Neng Desi, Bibik mau ke pasar belanja bulanan," ujar Bik Nah.

 

"Oh, baiklah!" Aku menyetujui permintaan Bik Nah meskipun ada sedikit perasaan ragu dalam hatiku.

 

Bergegas aku selesai cucian piring yang menumpuk. Kemudian aku susun rapi di atas rak rak yang berada di dapur. Setelah itu aku segera kuambil nampan yang berisi teh dan cemilan di atas meja dapur. 

 

Sepertinya kantin sudah sepi, anak anak pasti sudah masuk kelas begitu juga Gus Al. Pasti ia kini sedang sibuk mengajar .

 

Aku menarik nafas panjang mencoba mengumpulkan kekuatan dan menghembuskannya dengan pelan. Kemudian kuangkat nampan di hadapanku dan kubawa menuju ruang kantor. Mungkin aku sedikit nervous karena baru kali ini aku akan berjumpa dengan Abah Gus Al atau Abah Yai.

 

Aku melewati koridor panjang yang begitu sepi. Tidak ada santriwan atau santriwati yang lewat. Wajar ini adalah jam pelajaran. Tiba aku di ruangan yang Bik Nah maksud. Sebisa mungkin aku mencoba menenangkan diriku. Kemudian melangkahkan kakiku masuk keruangan itu.

 

Tatapan mataku tertuju bukan kepada lelaki paruh yang duduk di kursi besar itu. Melainkan kepada gadis berkerudung putih yang memiliki gigi gingsul yang duduk di hadapan Abah. Sesekali ia melempar senyum atas pujian pujian yang Abah berikan. Sehingga terlihat gigi gingsul yang membuat ia terlihat lebih cantik.

 

"Puspa ini sudah cantik, cerdas, Soleha dan mandiri sekali. Pasti bahagia nanti lelaki yang menjadi suaminya," ucap Abah kepada gadis yang di panggil Puspa. Gadis itu hanya membalas dengan senyuman lugu terlihat begitu anggun.

 

"Alhamdulillah, jangan suka begitu lah Gus Al juga anak yang hebat," ucap lelaki yang duduk di samping Puspa. Mungkin lelaki itu ayahnya. Terlihat dari wajahnya meraka begitu mirip.

 

Mereka saling memuji satu sama lain. Setelah aku meletakkan gelas berisi teh dan cemilan itu aku segera beranjak pergi meninggalkan ruangan.

 

"Lalu kapan ni Kang,  Puspa akan di kenalkan dengan Gus Al?" tanya laki laki itu kepada Abah. 

 

Seketika langkah kakiku terhenti di depan pintu. Ingin sekali aku mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

 

"Oh ... Ya,semoga Neng Puspa bersedia menjadi menantu Abah ya. Hahaha!" 

 

Kemudian mereka saling tertawa. Namun gelak tawa mereka membuat hatiku runtuh sejadi jadinya. Aku masih mematung di depan pintu kantor. Entah kenapa netraku begitu memanas. Apa yang sedang terjadi padaku. Baru saja aku merasakan jatuh cinta, tapi kini cinta itu bukan menjadi miliku. Apakah aku akan seperti Majnun. Hatiku terus meronta kesakitan. Kupeluk nampan yang sudah kosong itu begitu erat. Sesekali kuseka air mata yang menetes di pipi. Aku ingin menangis saat ini juga.

 

Kulihat Gus Al berjalan dari ujung koridor. Sepertinya ia baru selesai mengajar. Dari kejauhan ia menatapku dengan senyuman hangat. Segera aku membalikan badanku dan berjalan cepat meninggalkan ruangan penuh luka itu. Aku tidak ingin mendengar apa pun yang mereka katakan. Cintaku kini benar benar sedang dipermainkan.

 

 

Bersambung .....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status