Share

Bab 6

     Ini hari pertamaku berada di pondok pesantren lelaki yang mengajaku ta'aruf. Aku masih sibuk membantu wanita paruh baya bertubuh tambun.Orangnya cukup ramah dan juga baik. Aku hanya membantu memasukan nasi ke dalam piring piring yang sudah disediakan untuk para santri yang akan sarapan pagi ini. Dari subuh buta Bik Nah sudah membangunkanku. Padahal waktu subuh adalah waktu yang paling enak untuk tidur, tapi sudahlah hidup tidak melulu begitu.

"Neng itu tolong piring piringnya ditata di meja sana! Biar anak-anak tidak berebut nantinya," ucap Bik Nah menujuk deratan meja panjang yang berjajar di hadapanku.

Segera aku memindahkan piring piring yang sudah di isi nasi tadi ke atas meja seperti yang Bik Nah perintahkan.

Segerombolan anak-anak santri menyerbu kemudian duduk rapi di kursi yang telah disediakan. Aku pun segera berjalan menuju balik meja tinggi pembatas dapur, cukup agar aku tidak terlihat siapa pun tapi aku bisa mengamati mereka .

Bik Nah ,masih membagi lauk di tiap piring anak-anak. Meletakan satu persatu agar semua kebagian. Riuh ramai anak-anak itu bersenda gurau, tawa mereka berderai derai sungguh bahagianya menjadi mereka.

Makanan dan minuman sudah siap di santap. Tapi entah kenapa mereka belum melakukan ritual sarapan pagi ini.

"Bik, kok belum pada makan?" tanyaku pada Bik Nah yang berjalan menuju dapur.

"Ya belum to Neng kan masih nungguin Gus Al dan Neng Salma buat memimpin doa," ucap Bik Nah sekilas melirik padaku.

Benar saja lelaki sedingin es itu datang menghampiri anak anak yang sedari tadi menunggunya. Baju Koko dengan warna biru laut dan sarung berwarna hitam dengan garis horizontal. Membuatku engan berkedip menatap nya. Apalagi bulu halus yang berjajar rapi di rahang kekarnya sungguh membuat hasratku tergelitik.

Tapi siapa perempuan yang mengekorinya itu. Bukankah itu wanita bawel yang memijami aku baju waktu itu. Bahaya jika ia mengetahui keberadaanku. Bisa jadi saingan berat nih. Aku memundurkan tubuhku sedikit ke belakang berharap Salma tidak menemukan keberadaaku.

"Assalamualaikum anak-anak!" sapa ramah Gus Al.

"Wa'alaikum salam ustadz dan ustadzah," jawab anak-anak itu serentak.

"Sudah semangat pagi ini untuk belajar mengaji?" Kini giliran Salma yanf berbicara.

"Sudah ustadz dan ustadzah."

"Sebelum kita makan mari kita berdoa bersama sama dulu ya anak-anak," ucap Gus Al, kini ia lebih cocok untuk menjadi seorang ayah yang terlihat sangat penuh kasih sayang.

"Baik ustadz dan ustadzah!"

"Bismillahirrahmanirrahim, alaahumma barik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaa bannar, amin." Serentak anak-anak itu membaca doa dengan tartil.

"Ayo silahkan makan, kalau sedang makan tidak boleh ada yang bicara ya, itu adalah adab siapa? tanya Gus Al.

"Adab Rasulullah Saw, ustadz!" jawab anak-anak serentak.

Kemudian mereka segera menyantap makanan yang sudah disediakan begitu juga dengan Gus Al dan Salma.

"Neng, malah ngalamun di sini!" ucap Bik Nah mengangetkanku.

"Ayo, cepetan Neng!" sergah Bik Nah memberikanku kode.

Segera aku mengekori Bik Nah yag sibuk mencuci tumpukan piring di dapur.

"Bik, sebanyak itu anak santri sini semua?"  tanyaku sekilas melirik pada Bik Nah.

"Sebagian santri di sini, sebagian anak yatim piatu sekitar pondok yang memang diundang sama Pak haji, " tutur wanita gemuk yang sibuk membilas piring yang sudah aku cuci tadi.

"Oh begitu ya Bik, setiap hari kaya gini?" tanyaku penasaran. Rasanya ngurusin anak-anak sebanyak ini pasti membutuhkan biaya yang banyak sekali, pikirku atau mungkin aku yg terlalu perhitungan.

"Iya lah Neng, tapi biasanya sih kagak sebanyak ini. Ini kan hari jumad bukan kah sebaik-baiknya sedekah adalah hari ju'mad," ucap Bii Nah melihat padaku tersenyum kecil.

Aku sedikit terkagum dengan ucapan wanita di hadapanku ini.

Suara riuh di kantin depan sudah sepi. Sepertinya anak-anak itu sudah berlalu. Segera aku bergegas untuk mengambil piring-piring bekas mereka makan. Aku menumpuk piring-piring itu mejadi satu agar aku mudah untuk membawanya.

"Assalamualaikum!" ucap suara barito membuatku menoleh ke balik punggung.

"Wa'alaikum salam, Gus Al," ucapku terperangah tidak percaya jika lelaki berwajah tenang itu kini berdiri di sampingku.

"Kami cantik sekali, seperti mariyah al-qibtiyah," ucapnya memandangku sendu.

Sepertinya dia sedang mengombaliku .

"Siapa itu?" tanyaku yang merasa asing dengan nama yang barusan diucapkan oleh Gus Al. Tetap aku memasang wajah kesal dengannya.

"Istri nabi," ucapnya sembari membantuku menumpuk piring-piring di atas meja menjadi satu.

"Aku baru dengar." Aku meneruskan lagi pekerjaanKu.

"Benarkah, dia adalah istri yang mampu membuat istri nabi yang lainnya merasa cemburu loh. begitu juga dengan saida aisyah juga cemburu dengan kecantikan Mariyah."

Aku makin penasaran dengan cerita Gus tampan di hadapanku itu. Apakah aku memang secantik Mariyah ataukah dia sedang mengodaku saja.

"Maukah kamu menceritakannya padaku siapa Mariyah itu?" lirihku penasaran.

"Duduklah di sebelahku sini, aku akan menceritakannya padamu. Jika kamu tidak mau, aku tidak akan menceritakan apapun padamu." Gus Al kini duduk tepat di bangku panjang di hadapanku.

Aku hanya mampu mengerutkan dahi ku. Heran dengan perintah lelaki itu.

"Dasar Gus ini ternyata orangnya genit sekali, "gumanku dalam hati.

Aku segera menurutinya dan duduk di sampingnya tapi tidak terlalu dekat namun masih di bangku yang sama .

"Ayo, ceritakan sekarang!" ucapku sedikit ketus kepada Gus Al.

"Mariayah Al qibtiyah adalah budak yang di angkat menjadi Ummul mukminin. Kisah hidupnya penuh lika-liku, dari menjadi pelayan raja, dijadikan hadiah, pindah agama, hingga menerima kehormatan menjadi istri Rasulullah." 

"Karena kecantikan Mariyah, saida aisyah yang masih muda dan jelita pun merasa cemburu dengannya, ya karena Rasulullah sangat mengagumi Mariyah pastinya." Gus al menjeda ucapannya.

"Dari pernikahan Rasulullah dan Mariyah ia melahirkan anak laki laki yang di beri nama Ibrahim. Hal itu membuat para istri Rasulullah yang lain menjadi lebih kesal pastinya. Disaat istri Rosul yan lain kikir akan rahimnya justru Allah memurahkan rahim Mariyah. Tujuh hari setelah kelahiran putranya, Ibrahim, Rasulullah melaksanakan akikah dengan menyembelih kambing, mencukur rambut Ibrahim, dan bersedekah perak pada kaum miskin senilai berat timbangan rambut Ibrahim. Mereka mengambil rambut Ibrahim lalu menguburnya. Nah itu yang sampai saat ini di jadikan acuan setiap anak yang lahir harus diakikahi jika mampu pastinya." Gus Al melempar senyuman kepadaku yang sedari tadi serius menikmati ceritanya.

"Lalu?" tanyaku yang semakin penasaran dengan sosok Mariyah .

"Ehem!" Suara Bik Nah yang datang membuat kami menjadi salah tingkah .

Aku segera bergegas bangun dari tempat duduk dan mengambil tumpukan piring yang sedari tadi menggunung di atas meja. Sementara Gus Al segara berlalu meninggalkan kantin, terlihat jelas wajahnya memerah karena malu. Kini kami seoalah menjadi orang asing yang tidak saling mengenal.

"Neng!" tanya Bik Nah yang meletakan susunan piring kotor di sampingku. Sementara aku masih sibuk mencuci piring yang ada di dalam ember besar yang sedari tadi belum selesai.

"Kenapa Bik?" tanyaku tanpa memandang wajah Bik Nah.

"Jangan terlalu dekat dengan Gus Al neng tar sakit loh," ucapan Bik Nah namun terasa nyeri hingga ulu hati.

"Kenapa Bik?" Rasa penasaranku justru semakin menjadi.

"Katanya sih Gus Al akan dijodohkan kan sama anak kiayi tersohor dari pulau sebrang Neng," ucap Bik Nah yang sedang mengucur kan air ke atas piring piring yang masih di penuhi busa sabun.

Penjelasan itu membuat gaduh seluruh isi hati ku. Seketika wajahku berubah menjadi muram bibir ini pun sedikit menebal. Serasa aku tidak bisa menyembunyikan kekesalan dalam hatiku .

bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status