Ini hari pertamaku berada di pondok pesantren lelaki yang mengajaku ta'aruf. Aku masih sibuk membantu wanita paruh baya bertubuh tambun.Orangnya cukup ramah dan juga baik. Aku hanya membantu memasukan nasi ke dalam piring piring yang sudah disediakan untuk para santri yang akan sarapan pagi ini. Dari subuh buta Bik Nah sudah membangunkanku. Padahal waktu subuh adalah waktu yang paling enak untuk tidur, tapi sudahlah hidup tidak melulu begitu.
"Neng itu tolong piring piringnya ditata di meja sana! Biar anak-anak tidak berebut nantinya," ucap Bik Nah menujuk deratan meja panjang yang berjajar di hadapanku.
Segera aku memindahkan piring piring yang sudah di isi nasi tadi ke atas meja seperti yang Bik Nah perintahkan.
Segerombolan anak-anak santri menyerbu kemudian duduk rapi di kursi yang telah disediakan. Aku pun segera berjalan menuju balik meja tinggi pembatas dapur, cukup agar aku tidak terlihat siapa pun tapi aku bisa mengamati mereka .
Bik Nah ,masih membagi lauk di tiap piring anak-anak. Meletakan satu persatu agar semua kebagian. Riuh ramai anak-anak itu bersenda gurau, tawa mereka berderai derai sungguh bahagianya menjadi mereka.
Makanan dan minuman sudah siap di santap. Tapi entah kenapa mereka belum melakukan ritual sarapan pagi ini.
"Bik, kok belum pada makan?" tanyaku pada Bik Nah yang berjalan menuju dapur.
"Ya belum to Neng kan masih nungguin Gus Al dan Neng Salma buat memimpin doa," ucap Bik Nah sekilas melirik padaku.
Benar saja lelaki sedingin es itu datang menghampiri anak anak yang sedari tadi menunggunya. Baju Koko dengan warna biru laut dan sarung berwarna hitam dengan garis horizontal. Membuatku engan berkedip menatap nya. Apalagi bulu halus yang berjajar rapi di rahang kekarnya sungguh membuat hasratku tergelitik.
Tapi siapa perempuan yang mengekorinya itu. Bukankah itu wanita bawel yang memijami aku baju waktu itu. Bahaya jika ia mengetahui keberadaanku. Bisa jadi saingan berat nih. Aku memundurkan tubuhku sedikit ke belakang berharap Salma tidak menemukan keberadaaku.
"Assalamualaikum anak-anak!" sapa ramah Gus Al.
"Wa'alaikum salam ustadz dan ustadzah," jawab anak-anak itu serentak.
"Sudah semangat pagi ini untuk belajar mengaji?" Kini giliran Salma yanf berbicara.
"Sudah ustadz dan ustadzah."
"Sebelum kita makan mari kita berdoa bersama sama dulu ya anak-anak," ucap Gus Al, kini ia lebih cocok untuk menjadi seorang ayah yang terlihat sangat penuh kasih sayang.
"Baik ustadz dan ustadzah!"
"Bismillahirrahmanirrahim, alaahumma barik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaa bannar, amin." Serentak anak-anak itu membaca doa dengan tartil.
"Ayo silahkan makan, kalau sedang makan tidak boleh ada yang bicara ya, itu adalah adab siapa? tanya Gus Al.
"Adab Rasulullah Saw, ustadz!" jawab anak-anak serentak.
Kemudian mereka segera menyantap makanan yang sudah disediakan begitu juga dengan Gus Al dan Salma.
"Neng, malah ngalamun di sini!" ucap Bik Nah mengangetkanku.
"Ayo, cepetan Neng!" sergah Bik Nah memberikanku kode.
Segera aku mengekori Bik Nah yag sibuk mencuci tumpukan piring di dapur.
"Bik, sebanyak itu anak santri sini semua?" tanyaku sekilas melirik pada Bik Nah.
"Sebagian santri di sini, sebagian anak yatim piatu sekitar pondok yang memang diundang sama Pak haji, " tutur wanita gemuk yang sibuk membilas piring yang sudah aku cuci tadi.
"Oh begitu ya Bik, setiap hari kaya gini?" tanyaku penasaran. Rasanya ngurusin anak-anak sebanyak ini pasti membutuhkan biaya yang banyak sekali, pikirku atau mungkin aku yg terlalu perhitungan.
"Iya lah Neng, tapi biasanya sih kagak sebanyak ini. Ini kan hari jumad bukan kah sebaik-baiknya sedekah adalah hari ju'mad," ucap Bii Nah melihat padaku tersenyum kecil.
Aku sedikit terkagum dengan ucapan wanita di hadapanku ini.
Suara riuh di kantin depan sudah sepi. Sepertinya anak-anak itu sudah berlalu. Segera aku bergegas untuk mengambil piring-piring bekas mereka makan. Aku menumpuk piring-piring itu mejadi satu agar aku mudah untuk membawanya.
"Assalamualaikum!" ucap suara barito membuatku menoleh ke balik punggung.
"Wa'alaikum salam, Gus Al," ucapku terperangah tidak percaya jika lelaki berwajah tenang itu kini berdiri di sampingku.
"Kami cantik sekali, seperti mariyah al-qibtiyah," ucapnya memandangku sendu.
Sepertinya dia sedang mengombaliku .
"Siapa itu?" tanyaku yang merasa asing dengan nama yang barusan diucapkan oleh Gus Al. Tetap aku memasang wajah kesal dengannya.
"Istri nabi," ucapnya sembari membantuku menumpuk piring-piring di atas meja menjadi satu.
"Aku baru dengar." Aku meneruskan lagi pekerjaanKu.
"Benarkah, dia adalah istri yang mampu membuat istri nabi yang lainnya merasa cemburu loh. begitu juga dengan saida aisyah juga cemburu dengan kecantikan Mariyah."
Aku makin penasaran dengan cerita Gus tampan di hadapanku itu. Apakah aku memang secantik Mariyah ataukah dia sedang mengodaku saja.
"Maukah kamu menceritakannya padaku siapa Mariyah itu?" lirihku penasaran.
"Duduklah di sebelahku sini, aku akan menceritakannya padamu. Jika kamu tidak mau, aku tidak akan menceritakan apapun padamu." Gus Al kini duduk tepat di bangku panjang di hadapanku.
Aku hanya mampu mengerutkan dahi ku. Heran dengan perintah lelaki itu.
"Dasar Gus ini ternyata orangnya genit sekali, "gumanku dalam hati.
Aku segera menurutinya dan duduk di sampingnya tapi tidak terlalu dekat namun masih di bangku yang sama .
"Ayo, ceritakan sekarang!" ucapku sedikit ketus kepada Gus Al.
"Mariayah Al qibtiyah adalah budak yang di angkat menjadi Ummul mukminin. Kisah hidupnya penuh lika-liku, dari menjadi pelayan raja, dijadikan hadiah, pindah agama, hingga menerima kehormatan menjadi istri Rasulullah."
"Karena kecantikan Mariyah, saida aisyah yang masih muda dan jelita pun merasa cemburu dengannya, ya karena Rasulullah sangat mengagumi Mariyah pastinya." Gus al menjeda ucapannya.
"Dari pernikahan Rasulullah dan Mariyah ia melahirkan anak laki laki yang di beri nama Ibrahim. Hal itu membuat para istri Rasulullah yang lain menjadi lebih kesal pastinya. Disaat istri Rosul yan lain kikir akan rahimnya justru Allah memurahkan rahim Mariyah. Tujuh hari setelah kelahiran putranya, Ibrahim, Rasulullah melaksanakan akikah dengan menyembelih kambing, mencukur rambut Ibrahim, dan bersedekah perak pada kaum miskin senilai berat timbangan rambut Ibrahim. Mereka mengambil rambut Ibrahim lalu menguburnya. Nah itu yang sampai saat ini di jadikan acuan setiap anak yang lahir harus diakikahi jika mampu pastinya." Gus Al melempar senyuman kepadaku yang sedari tadi serius menikmati ceritanya.
"Lalu?" tanyaku yang semakin penasaran dengan sosok Mariyah .
"Ehem!" Suara Bik Nah yang datang membuat kami menjadi salah tingkah .
Aku segera bergegas bangun dari tempat duduk dan mengambil tumpukan piring yang sedari tadi menggunung di atas meja. Sementara Gus Al segara berlalu meninggalkan kantin, terlihat jelas wajahnya memerah karena malu. Kini kami seoalah menjadi orang asing yang tidak saling mengenal.
"Neng!" tanya Bik Nah yang meletakan susunan piring kotor di sampingku. Sementara aku masih sibuk mencuci piring yang ada di dalam ember besar yang sedari tadi belum selesai.
"Kenapa Bik?" tanyaku tanpa memandang wajah Bik Nah.
"Jangan terlalu dekat dengan Gus Al neng tar sakit loh," ucapan Bik Nah namun terasa nyeri hingga ulu hati.
"Kenapa Bik?" Rasa penasaranku justru semakin menjadi.
"Katanya sih Gus Al akan dijodohkan kan sama anak kiayi tersohor dari pulau sebrang Neng," ucap Bik Nah yang sedang mengucur kan air ke atas piring piring yang masih di penuhi busa sabun.
Penjelasan itu membuat gaduh seluruh isi hati ku. Seketika wajahku berubah menjadi muram bibir ini pun sedikit menebal. Serasa aku tidak bisa menyembunyikan kekesalan dalam hatiku .
bersambung ....
Aku masih duduk di pinggir kolam ikan yang terletak di belakang pondok pesantren. Kolam yang berbentuk persegi panjang dengan jumlah 6 petak dan dikelilingi oleh pohon mangga. Aku duduk di atas amben (ranjang yang terbuat dari bambu) yang terletak di bawah pohon mangga menghadap langsung ke arah kolam. Berkali kali kumelempar kerikil kecil ke dalam kolam sehingga menimbulkan riak riak kecil. Aku berharap kekesalan dalam hatiku akan segera menghilang. Karena ucapan Bik Nah yang terang-terangan melarangku mendekati Gus Al terus terngiang di telingaku. Aku tahu maksud Bik Nah baik, hanya saja hatiku seolah tak ingin berdamai.Kulemparkan batu yang lebih besar agar menimbulkan riak atau bahkan ombak yang mampu melegakan kegundahanku. Padahal aku tau itu tidak mungkin. Sorot kemuning senja hampir menghilang seolah malam yang gelap akan segera menenggelamkanku dalam kehancuran.
Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk pintu kamarku berkaki-kali. Aku masih meringkuk, membenamkan wajahku pada bantal bersarung hijau. Rasanya aku begitu kesal dengan lelaki yang kini tengah menghuni hatiku, begitu bodohnya aku yang terpesona dengan keluguan dan kesholehannya. Namun ternyata dia adalah seorang penipu yang ulung.TokTok! Tok!Gedoran pintu itu masih berlanjut, segera aku beranjak dari pembaringan dengan kesal menuju ke arah pintu.Cekreekkk!Aku membuka pintu kamarku. Pria dengan punggung bidang itu telah berdiri di depan pintu, menatap ke arah kantin yang terletak membelakangi kamarku. Memang kamarku terletak dekat dengan kantin, maklum kali ini aku sudah mirip sekali seperti babu, sial."Apa!" ucapku ketus kepada pria yang kini membalikan tubuhnya setelah mendengar bunyi derit pintu kamar yang terbuka."Kok sahutnya ketus gitu!"
Aku memang suka mengajak anak santri di pondok pesantren Abah berjalan jalan keliling kompleks setiap sore hari. Selain untuk menyegarkan pikiran para santri, agar mereka juga mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar pondok pesantren. Entah kenapa ketika aku melewati sebuah jalan di gang sebelah pondok pesantren diriku ingin sekali berhenti, bukan karena hantu atau apapun yang pasti karena ada sosok wanita yang begitu cantik, yang menarik perhatianku.Sebenarnya bukan karena kecantikannya melainkan lebih dari kebaikannya. Aku sering melihat wanita bertubuh semampai itu memberikan uang atau makan kecil untuk para adik adik santri yang melintasi pagar kontrakannya. Dia pun tidak ragu menolong siapa pun yang membutuhkan bantuannya. Aku kagum pada wanita yang masih belum aku ketahui namanya itu. Entahlah, sepertinya rasa di dalam hatiku ini lebih dari rasa kagum belaka. Terkadang hati kita yang belum baik saja masih suka merendahkan orang lai
Akad nikah itu diucapkan dengan lantang dan lancar oleh pria yang mengenakan kemeja putih berbalut jas senada. Di sambut sorak Sorai para tamu undangan dengan ucapan "Syah". Tapi aksara itu sama sekali tidak keluar dari bibirku. Kulihat pengantin wanita dengan hijab syar'i berwarna putih itu terlihat berseri-seri. Diraihnya tangan Gus Al dan kemudahan mencium punggung tangan pria kekar itu. Tidak lupa Gus Al pun menjatuhkan ciuman di pucuk kencing Wanita itu hingga wajahnya bersemu merah menahan malu. Abah dan umi yang mendampingi pun terlihat terharu mereka saling berpandangan dan tersenyum. begitu juga dengan pria yang duduk di sebelah Puspa pasti itu ayah dari pengantin wanitanya. Berkali-kali pria itu mengusap lembut sudut netranya yang basah.Sementara aku hanya mampu duduk di antara barisan para tamu undangan. Menatap pria yang menjanjikan manisnya pernikahan padaku namun itu hanyalah ceritanya belaka. Ternyata dia justru meni
POV DESINamaku Desi Anggraini, orang-orang mengenalku dengan panggilan Desi. Aku adalah wanita keturunan Jawa. Ibuku asli orang Purwodadi dan ayah kandung asli Pacitan. Namun, ketika aku berusia empat tahun ayah kandungku meninggal dunia. Kata ibu, ayah meninggal karena serangan jantung. Semenjak itu beban kehidupan bertumpu di pundak ibuku. Beban ekonomi yang semakin mencekik membuat ibu memutuskan untuk merantau di Jakarta.Hampir tiga tahun ibu berjualan di warung kelontong yang buka selama 24 jam. Jangan bayangkan keadaan kami yang hanya tinggal di trotoar jalanan ibukota. Sudah pasti hal itu sangat memprihatikan. Hingga suatu ketika ibu kenal dengan seorang pria bertubuh tegap dangan kulit hitam legam yang membuatnya jatuh cinta.Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar dan aku harus menerima keputusan ibu untuk menikah dengan ayah baruku. Awalnya pria yang bernama Joko itu sangat lembut padaku. Bahkan
POV DESI 2Aku tak hanya singgah di satu tempat hiburan saja. Banyak tempat hiburan yang paling ramai sekali pun telah aku jajaki di kota Jakarta. Hingga diriku sampai di kota Cilegon dan mengenal mami Dian dan Riri sahabat karipku itu. Dan di DINASTI inilah aku merasa nyaman menjalani lakonku sebagai seorang wanita malam. Perindustrian yang maju pesat membuat dunia hiburan di kota kecil ujung pulau Jawa itu pun memiliki omset lebih besar daripada kota lainnya.Bercinta dengan banyak pria membuatku semakin babal dan nyaman menjalani peranku tanpa harus mencintai. Namun, tak selamanya menjadi wanita malam itu selalu menyenangkan terkadang banyak juga dari kami yang tumbang karena penyakit seksual yang mematikan. Terkadang kami juga harus berebut pelanggan dengan anak kesayangan sang mucikari. Ah, Dunia malam tak selalu indah seperti yang mereka bayangkan.Indahnya polesan dan senyum yang mengembang di wajahku itu hany
Aku masih duduk di amben yang terletak di belakang gedung pondok pesantren. Beberapa amben berjajar rapi yang berhadapan langsung dengan kolam ikan milik pondok pesantren.Wanita yang sedang duduk di sampingku itu terlihat sendu. Wajah mungilnya selalu terulas senyuman setiap kali kami berpapasan.Jantungku berdebar kencang, mungkin saat ini wajah'ku terlihat pucat menunggu wanita itu menyampaikan tujuannya kepadaku.Kulihat tatapan sendu wanita itu terlihat santai. Tak terlukiskan ekspresi apapun dari wajahnya. Mungkin dia lebih pandai menyimpan rasanya dari pada aku."Des," ucap Puspa meraih punggung tanganku yang berada di pangkuanku, menjatuhkan tatapan hangat padaku yang gugup."Iya," sahutku sedikit terkejut dengan wanita yang usianya lebih tua dariku itu. Meskipun tubuh mungilnya membuatnya masih terlihat awet muda."Aku ingin melamarmu untuk
Aku masih duduk di ruang tamu kediaman Abah dan umi, pemilik pondok pesantren. Hari ini adalah jadwal yang sudah Puspa atur untukku bertemu dan memohon ridho kepada kedua orang tua Gus Al. Pria yang sampai detik ini belum juga menampakkan dirinya."Duduk dulu, Des! Aku panggil Abah dan Umi dulu," izin wanita dengan gamis tosca yang membuat kulit putihnya samakin terpancar.Aku mengangguk, dengan tersenyum kecil.Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruang tamu rumah minimalis itu. Selama aku tinggal di pondok baru kali ini aku memasuki kediaman rumah orang tua Gus Al yang terletak di sudut kompleks pesantren. Ternyata lebih tenang dari riuh suara para anak-anak santri. Apalagi di halaman depan rumah berlantai dua ini ada sedikit taman kecil yang dipenuhi tumbuhan hijau sehingga terlihat begitu asri."Des!" Puspa yang berjalan dari dalam ruangan hampir saja mengagetkanku."Iya!" Pandanganku s