Share

Berubah

Mengingat Jovan masih marah karena teleponnya tidak terjawab hingga 100 kali, pagi ini aku harus pergi dengan bis kota menuju kampus.

Biasanya Jovan selalu menjemput ku di simpang jalan.

"Jo, please maafkan aku, aku semalam itu lagi cabut rumput sama ayah di halaman, jadi aku tidak dengar suara teleponku berdering," rayu ku pada Jovan.

Emang dasarnya dia idola, jadi rengekkan ku seperti nyanyian merdu. Bukannya memberi maaf, dia justru meninggalkan aku pergi dengan wanita lain.

"Kasian ya sih Juliet di tinggal kabur sama Romeo nya," ejek kawan-kawan kampus ku sambil tertawa terbahak-bahak.

Aku berlari menuju taman belakang kampus, karena tidak tahan menahan malu akibat ejekan dan cibiran fans-fans Jovan.

"Angela, hanya Angela yang mengerti aku saat ini," gumamku, aku hapus air mataku dan aku mencari Angela sekeliling kampus.

"Arghh! Di mana anak itu?" gerutu ku sambil terus mencari.

Langkah ku berhenti, di depan sebuah ruang kosong, mataku melotot hingga hampir keluar.

"Angela dan Pak Fred! Mereka ...." Aku tidak melanjutkan ucapanku, aku hanya terus mengintai mereka, sungguh luar biasa liar Angela, aku bahkan tidak menyangka jika dia nekat melakukan itu di kampus dan lawan mainnya adalah orang terpandang nomor dua di kampus ini.

"Ckckck ...." Aku berdecak kagum dengan kepiawaiannya dalam merebut hati lelaki, aku harus berguru padanya.

Lama aku menunggu di luar hingga pertunjukkan selesai. Aku persis seperti orang bodoh, mondar-mandir tidak tentu arah.

"Hey, Jeanna ... sedang apa kamu di sana?"

Salah seorang teman sekelas ku memergoki aku tengah gelisah di lorong sepi, pinggiran kampus. Gedung yang memang di gunakan setahun sekali bila ada penghelatan besar di kampus kami.

"A-aku sedang berpikir, jangan kemari, jangan kemari!" Teriakku, saat temanku itu ingin menghampiri aku.

Karena mendengar suara berisik, Angela dan Pak Fred menyudahi semua. Hari ini aku bakal kena damprat, pikirku.

Angela yang keluar dengan nafas ngos-ngosan, dengan santai menghampiri aku. 

"Kau sedang apa di sini Jeanna, kau sedang memata-matai aku ya? Atau jangan-jangan ...."

"Sttt!" Aku memberi kode agar Angela menghentikan ucapannya, mataku melirik kepada seseorang yang tengah berjalan mendekati aku dan Angela.

"Kalian sedang apa di sini? Tau tidak, di sini itu angker, kalian bisa kesurupan!" ucap teman yang tadi memergoki aku tengah gelisah.

"Kau memang sumber masalah Jeanna!" ucap Angela kesal sambil menginjak kaki ku.

"Kalau begitu, kau pergi saja. Ini urusan aku dan Jeanna, aku takut kalau-kalau nanti kau akan kesurupan."

Dengan kesal akhirnya, teman sekelas ku pergi meninggalkan aku dan Angela. Tak berselang lama, Pak Fred muncul dari balik pintu.

"Saya pulang dulu ya, urusan pelajaran nanti kita bahas lewat pesan grup."

"Siap Pak, terimakasih atas ilmu dan bimbingannya," sahut Angela berbasa-basi, untuk mengelabui aku.

Aku hanya tersenyum kecut melihat Angela dan si tuabangka Pak Fred.

"Angela, udah tidak usah berakting, aku sudah tau semua apa yang kau dan Pak Fred lakukan tadi," ucapku dengan senyum datar.

"Apa? Kau melihat semua?" 

Wajah Angela memerah, ada rasa malu yang tidak bisa dia tutupi di hadapanku.

"Tapi tenang aja, aku tidak akan bocorkan semua ini, tapi ada syaratnya!" ucapku sambil mengerlingkan mata.

"Apa syaratnya?" tanya Angela dengan ketus.

"Wait, tenang Nona manis, kita bicara di tempat yang nyaman saja, di sini serem, entar kita kesurupan!" ucapku sambil berlari meninggalkan Angela.

"Jeanna ... Jeanna ... brengsek kau, kau sudah berani bermain-main denganku ya?" teriak Angela sambil mengejar ku, dia rela bertelanjang kaki agar lebih muda menghampiriku.

"Kena kau! Mau lari kemana?" ancam Angela sambil menarik tas punggungku.

"Angela, aku tidak akan lari kemanapun meski kau mengejar ku, aku mencarimu ke sekeliling kampus ini, karena aku ingin meminta bantuan kamu," ucapku dengan memasang wajah sedih.

"Memangnya kau minta bantuan apa?" tanya Angela penasaran.

Aku membisikkan sesuatu di telinga Angela, mulut Angela ternganga dan matanya membulat saat mendengar permintaan aku.

"Kau sudah gila, Jeanna?" tanya Angela tidak percaya.

"Iya, aku sungguh ingin berguru padamu, aku ingin membuat Jovan tidak bisa lepas dari ku, seperti Pak Fred!" ucapku berseloroh.

Angela memukul bahuku dengan kencang. Hingga suara pukulan itu terdengar sangat mantap di telinga.

"Sakit tau," gerutuku pada Angela.

"Lah, kau minta belajar ilmu gituan?!"

He ... He ... He .... Aku hanya tertawa cengengesan.

"Kapan kau ingin memulai belajar hal itu?" 

"Sesegera mungkin," ucapku yakin.

"Oke, besok kita mulai belajarnya. Aku akan kerumah kau."

"Oh ... No, no! Kalau kau kerumahku, kau bisa menggaet ayahku juga," ucapku bercanda.

Angela tertawa mendengar ucapanku, dia tau, jika aku hanya bercanda.

"Angela, boleh aku tanya sesuatu?"

"Apa itu?"

"Kau kenapa lebih memilih memuaskan lelaki tuabangka yang udah bau tanah ketimbang mengejar lelaki muda, seperti Jovan misalnya, dia itu kan juga kaya sama seperti Pak Fred, malah ada plus nya lagi, tampan dan masih muda."

"Kalau aku juga memburu Jovan, maka kau akan tertinggal jauh, apa kau mau itu?"

"T-tidak Angela, Jovan punya ku, milikku," ucapku dengan tegas.

"Ya, ya ... Kamu memang harus memiliki Jovan, sebab kau sudah memberikan segalanya yang berharga milikmu."

"Ya, lalu apa jawabanmu atas pertanyaan ku tadi."

"Aku memilih lelaki tua karena aku suka di manja, aku suka di sayang. Bila aku dapat lelaki muda, maka nasibku akan seperti dirimu, mengejar-ngejar perhatian mereka, dan aku rasa itu sangat melelahkan. Aku lebih suka di kejar dan di sanjung!"

Aku tidak menyangka jika Angela begitu sangat merindukan perhatian. Hingga dia tidak butuh cinta.

***

"Jeanna, kenapa kamu belum juga tidur?" tanya ayah yang tiba-tiba muncul di belakangku.

"Jeanna belum mengantuk ayah," sahutku.

Padahal malam ini, pikiranku lagi kacau. Aku memikirkan Jovan yang pasti sedang asik-asikkan dengan cewek yang dirangkulnya saat di kampus tadi.

"Arghh!" gerutuku dalam hati.

"Ayah, jika ayah sudah mengantuk, ayah tidur saja deluan, sebentar lagi Jeanna juga akan tidur," ucapku.

Ayah pun mengangguk. Aku tau hari ini ayah pasti sangat sibuk dan lelah. Sudah makanan sehari-hari bila hari Senin hingga Kamis kerjaan ayah pasti menumpuk.

"Duh, lama amat paginya, aku sudah tidak sabar, ingin membuat Jovan kembali bertekuk lutut denganku," ucapku lirih.

Kring ... Kring ....

Dering alarm membangunkan tidurku yang baru sesaat. Aku segera membersihkan diri, lalu berangkat ke kampus.

Pagi ini masih konsen mengikuti pelajaran, namun begitu mendapat pesan dari Angela, perhatianku pada dosen di depanku jadi buyar.

Begitu bel tanda berakhir pelajaran, aku segera mencari Angela. Hari ini aku pulang bersama Angela.

"Mobil baru?" tanyaku penasaran.

"Dari Pak Fred," ucap Angela enteng, sambil menyunggingkan senyuman.

Satu Minggu sudah berjalan, aku belum juga bisa mempraktikkan pada Jovan. Hingga dengan nekat aku yang lebih dulu menghubunginya.

[Jo, tolong maafkan aku, kasih aku kesempatan, aku akan selalu ada untuk mu. Hari ini aku tunggu kamu di gedung belakang kampus jam tiga sore.]

Waktu sudah bergulir, dan aku masih menunggu kedatangan Jovan. Tubuhku sedikit merinding, karena di sini hanya ada aku sendiri.

Tiba-tiba aku menangkap suara derap langkah, aku yakin itu Jovan.

"Ada apa menyuruhku kemari?"

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung memeluk Jovan.

"Aku tidak punya banyak waktu, aku ingin jalan dengan Gladis," ucap Jovan datar.

"Jo, please, kita belum putus, kenapa kamu jalan dengan Gladis?"

"Karena Gladis lebih punya banyak waktu untuk menemaniku."

"Oke, kalau kamu meminta waktu padaku, mulai hari ini aku akan memberikan semua waktuku untukmu."

"Kamu janji?"

"Ya, janji!" seruku.

Kelingkingku dan Jovan saling mengait dan hari ini kami kembali jalan bareng.

Aku sengaja mematikan handphine ku setelah memberi kabar pada ayah, jika malam ini aku tidak pulang karena ada tugas kampus sehingga aku harus menginap di rumah teman.

Dup ... Dap ... Gedegup ....

Derap musik disko mulai menggebu hasrat ingin berjoged. Kali ini aku yang menari Jovan untuk turun kelantai.

"Jeanna, siapa yang mengajariku seluar ini?" tanya Jovan dengan suara yang setengah berteriak.

"Aku tidak belajar, aku hanya melakukan apa yang kamu suka, Jo!"

"Sungguh luar biasa, kamu sangat hebat! Lebih baik kita ke hotel saja, aku sudah tidak sabar ingin bobok bareng kamu, sebab aku sudah sangat merindukan momen itu."

"Tentu Jo, aku juga rindu saat-saat itu."

Malam panjang sudah aku lewati bersama Jo, bahkan kami tidur hampir matahari terbit. Entah berapa kali, aku mendengar erangan, lenguhan dan rancau Jovan malam tadi, aku merasa puas, aku yakin setelah hari ini Jovan tidak akan berpaling lagi.

"Jo, bangun, kita harus ke kampus hari ini," ucapku sambil mengecup kening Jovan.

"Sayang, aku masih mengantuk."

"Jo ...."

"Yayayaya ...."

Dalam perjalanan menuju kampus, handphone Jovan terus berdering, setiap kali aku melirik, jovan selalu mematikan layarnya.

"Jo, kenapa tidak di angkat?"

"Ah, tidak penting."

"Jo, itu berdering terus handphone kamu, mungkin penting. Ya sudah sini biar aku yang jawab," ucapku sambil mengulurkan tangan ingin meraih ponsel Jovan.

"Hey ... kamu apa-apaan sih! Aku tidak suka ya," bentak Jovan.

Aku pun terdiam seribu bahasa, Jovan kini berubah, padaahal hanya satu minggu saja kami berdiaman, tapi dia seperti dendam padaku.

"Kamu turun di sini saja ya, aku ada urusan sebentar."

"Jo, tapi kampus kita hanya beberapa meter lagi, masak kamu tega nuruni aku di tengah jalan seperti ini," keluhku.

"Jeanna Wilson, tolong ya jangan manja. Aku paling tidak suka lihat perempuan manja."

Aku menghela nafas dengan kasar, aku kesal pada Jovan tetapi aku harus mengalah sebab aku tidak mau Jovan berpaling ke pelukan wanita lain. Aku tidak ingin Jovan lepas tanggung jawab atas ucapan dan perbuatannya, lagi pula aku sangat mencintai Jovan. Aku harus bisa membuat Jovan menikahiku.

Daengan berjalan kaki menuju gerbang kampus yang memang tidak jauh lagi, tiba-tiba mobil Jovan melintas dengan cepat.

"Jovan, apa-apaan ini?" gerutuku, aku mempercepat langkahku.

Saat sampai di gerbang kampus, aku melihat Jovan tengah membukakan pintu untuk seorang wanita yang kecantikannya juga standar, hanya saja dandanannya jauh lebih sexi dari pada aku, sebab ayah tidak mengizinkan ku berpakaian serba terbuka.

"Jovanther ...," teriakku.

Semua mata memandang kearahku, termasuk Jovan dan wanita yang berada di sampingnya, namun dengan santai Jovan justru merangkul perempuan itu dan pergi meninggalkan aku seperti orang bodoh.

"Wah, kasian ya, Julietnya kena tikung wanita baru," ucap mahasiswi yang juga ngefans pada Jovan yang cintanya tertolak dan menertawai aku terbahak-bahak.

Angela melintas di hadapanku, namun dia hanya tersenyum dan berkata, "Aku angkat tangan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status