Share

Bersembunyi

Ayah masih saja bergeming di dalam kamarku, aku sudah kehabisan cara untuk membuat ayah keluar dari kamar.

[Sayang, buruan suruh ayah kamu keluar, aku bisa mati jika terlalu lama di sini.]

Aku segera membaca pesan dari Jovan dan dengan cepat membalasnya.

[Sabar Jo, aku lagi berusaha. Tahan dikit lagi ya.]

Saat aku kirim pesan ke Jovan, suara handphone Jovan berdering dengan deras sehingga kecurigaan ayah semakin bertambah.

"Suara handphone siapa itu?"

"H-handphone Jo, Yah!"

"Jo, siapa Jo?"

Aku terkejut di buat ucapanku sendiri, aku keceplosan menyebut nama Jo.

"Jo, siapa Jo. Ayah pasti salah dengar, bukan Jo, Yah tapi Je," ucapku memberi alasan.

Ayah menarik nafas dan membuangnya dengan kasar. Mata ayah masih saja tertuju pada satu benda, dan aku tidak mau menanyakannya.

"Yah, maaf, Jeanna sudah mengantuk, apa rasa curiga ayah sudah hilang?"

Aku memasang wajah cemberut dan berulang kali menguap palsu, agar ayah mengira aku benar-benar sangat mengantuk.

"Ya sudah, kamu tidurlah. Jendela sudah ayah kunci dengan rapat. Tidurlah putri ku Sayang, selamat malam, semoga mimpi indah," ucap ayah sambil mencium keningku.

Setelah ayah keluar dari kamarku, dengan cepat aku menutup pintu rapat-rapat dan segera aku kunci.

Jo yang hampir kehabisan nafas langsung jatuh kelantai.

"Jo, kamu tidak apa-apa?" tanyaku panik sambil memukul-mukul pipi Jovan.

"Deerr!" Suara Jovan mengagetkan aku.

"Kamu ya, bercandanya buat aku takut," ambek ku.

"Sttt! Jangan ribut, nanti ada yang patroli lagi."

"Maksud kamu ayah ku?"

"Iya," jawab Jovan sambil mengangguk.

Tubuhku di gendong oleh Jovan dan di baringkan di atas ranjangku yang tidak terlalu besar. Namun untuk tubuhku dan Jovan masih muat walau harus berdempetan. Sangat jauh berbeda dengan tempat tidur yang pernah aku dan Jovan tiduri bersama waktu itu. Yah namanya juga hotel bintang lima.

Tangan Jovan mulai bergerilya, menyentuh setiap lekukan tubuhku. Aku bahkan harus menahan eranganku karena takut ayah akan mendengar suara berisik dari kamarku.

"Jo, jangan serang aku dengan sentyhan yang membuat aku mendesah dan melenguh, itu akan membangunkan ayah," bisikku di telinga Jovan.

"Tapi tubuhmu terlalu indah bila dilewatkan satu inci saja Sayang."

"Jo ..., aku takut ketauan ayah!"

"Sttt! Tenang Sayang, jangan mikiri yang aneh-aneh. Nikmati saja malam kita ini."

Jovan berulang kali mendaratkan sweetkiss nya di bibir dan leherku, bahkan kadang sampai membuat tanda merah di sana.

Sesekali cumbuannya turun ke dada, dan lidahnya bermain-main di antara buah yang belum keluar bijinya.

Pikiranku melayang entah kemana saja, sesekali terngiang ucapan Angelyang mengatakan kenikmatan hidup itu adalah di dalam percintaan, dan selebihnya hanyalah selingan.

Malam ini kami benar-benar seperti sepasang muda-mudi yang lupa diri, dengan sadar kami melakukan itu lagi dan itu lagi. 

Keringatku dan juga Jo sudah bercucuran, seperti petani yang baru selesai menyangkut, nafas kami terengah dengan berat.

"Sayang, kamu hebat!" puji Jo padaku.

Lagi-lagi aku terbuai dengan pujian Jo. Kami berbaring bersebelahan tanpa penutup tubuh. Angin dari kipas angin tidak cukup untuk membuat tubuh ini segar.

Perlahan, aku terlelap. Dan saat aku terbangun ketika ayah mengetuk pintu kamarku, aku tidak melihat diri Jo.

"Jo, di mana kamu?" panggilku dengan pelan.

"Jeanna, bangun! Sudah pagi Sayang!"

Suara ayah membuat aku gelapan, aku segera memakai baju ku. Dan dengan cepat menjawab panggilan ayah.

"Iya Yah, Jeanna mau mandi dulu," sahutku dengan cepat.

Aku masih sibuk mencari Jovan yang tidak tampak batang hidungnya. Aku dekati jendela kamarku, dan ternyata jendela itu sudah tidak lagi tertutup sempurna.

"Hufftt! Syukurlah dia sudah pergi, Jo kamu memang lelaki yang cerdas dan hebat. Aku semakin cinta padamu," ucapku lirih.

Aku hidupkan air keran dengan deras dan bahkan paling deras. Aku cuci semua bagian tubuhku. Tersisa bayang-bayang Jo di pelupuk mata ini, bagaimana dia menaklukkan aku, sungguh tidak terlupakan.

"Selamat pagi Ayah?"

Sapa ku pada ayah yang tengah asik menyeruput kopi dan membaca koran.

"Pagi Sayang, bagaimana tidurmu?"

"Sangat nyenyak ayah," jawabku dengan cepat.

"Oh, baguslah!"

"Apa isi berita hari ini Ayah?"

"Tragis, isinya sungguh tragis. Wanita di bawah umur dibunuh pacarnya sendiri karena menuntut tanggung jawab, karena hamil."

Aku menelan seliva ku saat mendengar perkataan ayah. Pikiranku kembali kepada Jo, aku takut akan nasibku. Tapi Jo berjanji akan tanggung jawab.

"Ah, Jo tidak akan seperti itu padaku," gumamku dalam hati. 

"Jeanna!"

Suara ayah mengagetkan aku, membuat pikiran liarku kembali pada tempat di mana aku harus memposisikannya.

"Kamu ada masalah?" tanya ayah menyelidiki.

"T-tidak Ayah," ucapku gugup.

"Ayah merasa ada yang aneh denganmu, apa kamu sedang jatuh cinta?"

Mendengar ucapan ayah, seakan menembak tepat di ulu hati. Wajahku pucat pasi, keringat dingin tiba-tiba keluar.

"Oh Tuhan, bagaimana ini? Aku harus menjawab apa?" bisik batinku.

"Jeanna, kenapa diam saja. Apa kamu sudah punya pacar?"

"T-tidak Ayah, Jeanna hanya kurang enak badan saja. Jeanna boleh istirahat di kamar Yah?"

"No ... No ...! Tidur di pagi hari akan semakin membuat tubuh mu lemas. Lebih baik kita merumput saja."

Aku pikir ide itu juga cukup baik, untuk mengelak dari serangkaian serangan pertanyaan ayah yang semuanya tidak meleset. 

Aku benar sudah punya pacar, aku benar sedang jatuh cinta dan bahkan hari ini aku begitu merindukannya.

"Jeanna!"

Lagi-lagi ayah memanggilku, padahal aku sengaja menyiangi rumput yang tumbuh di bawah pohon mangga agar berada sedikit jauh dari ayah.

Dengan langkah malas, dan jantung yang berdebar tidak karuan, aku pun menghampiri ayah.

"Ya Yah?"

"Sini duduk, ayah mau bicara sedikit pada kamu."

"Yah, bukannya dari tadi ayah sudah berbicara banyak, lagi pula Kitakan mau menyiangi rumput Yah, bukan mau merumpi," sahutku asal-asalan.

Aku hanya ingin menghindar dari ayah, bukan hanya karena rasa takut padanya, tapi aku tidak mau terus-terusan membohongi ayah dengan jawaban yang tidak benar.

"Ini penting Jeanna, duduklah dulu!"

Mau tidak mau, aku pun duduk di samping ayah. Dulu, hal seperti ini yang paling aku suka, tetapi setelah mengenal Jovan, aku lebih senang bersama Jovan dari pada ayah.

"Jeanna, kamu putri ayah satu-satunya, ayah cuma mau menyampaikan pesan dari almarhumah ibumu."

Mendengar nama ibu, aku pun menanti kelanjutan ucapan ayah. Aku memandang wajah ayah yang terlihat serius memandang ke arah jalanan.

"Apa pesan ibu Yah?" tanyaku penasaran. Aku tidak sabar menunggu ayah memulainya.

"Kata ibumu, wanita itu terlihat terhormat dan mahal apabila dia bisa menjaga kesuciannya. Ibu berpesan, baik-baiklah kamu bergaul, dan jaga kehormatanmu juga nama baik keluarga, terutama ayah yang masih hidup ini."

Aku melihat mata ayah berkaca-kaca, ada genangan air yang tertumpuk di sana. Aku merasa bersalah, karena aku sudah gagal menjaga kehormatanku. Tapi Jovan akan bertanggung jawab. Aku tidak perlu takut akan membuat malu ayah.

"Yah, Jeanna akan menjadi wanita yang baik," sahutku enteng 

"Jeanna, ayah percaya padamu, tapi ayah belum bisa percaya sepenuhnya kepada teman-temanmu. Jeanna, jangan pernah terpengaruh dengan bujuk rayu mereka."

"Siap Ayah!" seru ku.

Aku hanya tidak ingin membuat ayah resah. Sekalipun aku sudah tidak perawan, aku yakin Jovan tidak akan sesadis itu padaku. Jovan pasti tidak akan mengingkari janjinya padaku.

"Kamu tau Jeanna, bagaimana perasaan orang tua saat mengetahui putri mereka hamil di luar nikah, lalu menuntut tanggung jawab, tapi hasilnya nyawa melayang?"

Duh, pertanyaan ayah sangat menyeramkan, hingga aku tidak bisa berkata-kata, aku hanya menggelengkan kepala saja.

"Lebih baik anak itu mati di tangan orang tuanya, dari pada setelah besar justru mati di tangan orang lain dan menorehkan aib."

Ucapan ayah begitu sadis. Aku membayangkan bila posisi aku terjadi pada gadis itu, mungkin benar-benar ayah akan memenggal kepalaku.

"Ayah, sudahlah lebih baik kita jangan bicara hal-hal yang menyeramkan seperti itu, Jeanna takut ayah," sungut ku.

"Tidak perlu kamu takut Jeanna, itu hanya sepenggal kisah anak orang yang tidak kita kenal, tetapi beritanya bisa kamu ambil pelajaran. Sebab kamu perempuan, jangan sebodoh gadis di surat kabar itu."

Aku menarik nafas, lalu mengangguk. Aku merasa serba salah, melepas Jovan sama artinya aku membuang berlian. Namun jika dilanjutkan, aku akan merasa sangat bersalah pada ayah juga almarhumah ibu.

Atau aku menikah muda saja?

"Yah, kalau misalnya Jeanna menikah muda, apa ayah mengizinkan?" tanyaku penuh keragu-raguan.

"Menikah muda? Apa kamu sudah punya pacar?"

"T-tidak ayah, tidak. Jeanna hanya bertanya saja, Jeanna hanya ingin tau pendapat ayah," ucapku penuh rasa takut. Aku takut ayah tau jika aku sudah punya pacar.

"Jika kamu tidak punya pacar, lalu untuk apa kamu memikirkan akan menikah muda. Menikah itu tidak melulu berbicara tentang keindahan, akan ada banyak masalah di dalamnya Jeanna. Lagi pula, kamu ini masih kuliah, jadi jauhkan pikiran untuk menikah muda. Tamatkan kuliah kamu, jika kamu punya pacar, bawa pacar kamu kehadapan ayah, agar ayah bisa memberitahukannya, jika kamu masih harus kuliah, jadi jangan ganggu konsentrasi belajar kamu dengan iming-iming kebahagiaan."

Aku jadi merinding mendengar ceramah ayah yang panjang, dan penuh penekanan-penekanan. 

"Oh Tuhan, aku harus bagaimana? Aku tidak ingin putus dengan Jovan, bahkan menjadi istrinya adalah mimpiku. Lebih baik aku tutupi saja semua ini rapat-rapat dari ayah," gumam ku dalam hati.

"Ingat Jeanna, jangan pacaran sebelum kamu berhasil jadi wanita mandiri. Cam kan itu!"

"Oh ayah, andai ayah tau kekayaan Jovan tidak akan habis sampai aku beranak cucu, lalu untuk apa aku harus mandiri dan susah-sudah belajar," ocehanku dalam hati.

"Yah, sudah mulai panas, kita masuk yuk!" ajak ku.

Ayah dan aku jarang beriringan menuju rumah, namun aku langsung menuju kamarku, dan membersihkan tubuhku.

Aku ambil handphone ku, dan ternyata handphone ini sudah berdering berkali-kali.

"Oh Tuhan, seratus panggilan tidak terjawab dari Jovan. Aduh, aku yakin dia pasti marah, semoga Jovan tidak mutusi aku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status