Share

Perang Dingin

"Jovan, aku akan membalas perbuatanmu," umpatku dengan kesal.

Aku kembali kerumah dengan wajah kusut. Aku lihat rumah kosong karena ayah sedang bekerja. aku masuk ke kamarku, aku banting pintu kamarku dengan kuat. Aku hempaskan tubuhku ke atas tempat tidur yang menyimpan kenangan dengan Jovan.

"Jovan, kamu brengsek ... brengsek, aku benci sama kamu, lihat saja aku akan membalasnya!" ucapku lirih. Air mataku terus saja menetes membasahi bantal.

Aku mengurung diri di kamar, aku larut bersama kesedihan dan kenanganku bersama Jovan, hingga aku tidak lagi mendengar kepulangan ayah.

"Jeanna, kamu sudah ppulang, Nak?"

Suara ayah menyadarkanku, aku segera menyeka air mataku, aku rapikan rambutku yang berantakan. Aku bercermin dan kulihat mata ini sembab karena banyak menangis.

"Ayah sudah pulang?" ucapku sambil membuka pintu kamar.

"Ada apa dengan kamu Jeanna?"

Pertanyaan ayah membuat aku tertunduk, aku malu menatap ayah karena aku sudah rela membohongi ayah hanya demi lelaki brengsek Jovan.

"Jeanna hanya kurang sehat Yah, kepala Jeanna pusing jadi Jeanna menangis karena tidak ada ibu yang bisa merawat Jeanna."

Ayah memelukku dengan erat. "Biar ayah saja yang akan merawat kamu sayang!" ucap ayah sambil menuntunku duduk sofa ruang keluarga.

Aku benar-benar merasa bersalah pada ayah. Rasanya aku sangat menyesal sudah membohongi ayah. Ternyata tidak ada lelaki yang baik di dunia ini selain ayah. ayah merawatku dengan penuh kasih sayang, hingga aku tertidur di ruang tengah. Aku tidak mendengar jika handphoneku berdering.

"Selamat Pagi Jeanna, apa tidur kamu nyenyak?" 

"Ayah, jadi tadi malam Jeanna tidur di sini ya Yah?"

"Iya, maaf ya, ayah tidak bisa mengangkat kamu ke kamar, sebab gadis kecil ayah kini sudah sebesar ini dan ayah pun sudah semakin tua," ucap ayah sambil tertawa.

"Ayah, terimakasih ya, maafkan Jeanna ya Yah," ucapku lirih disertai linangan air mata.

"Tadi malam saat kamu tertidur ada teman kamu menelepon."

"Siapa Yah?" tanyaku penasaran.

"Jovanther."

Mataku terbelalak mendengar nama lelaki brengsek itu, tapi ada rasa berbunga sedikit.

"Apa katanya Yah?"

"Dia hanya me nanyakan kamu, tetapi ayah bilang kamu tidur karena kurang sehat."

"Oh!" ucapku lirih, dalam hatiku merasa senang karena ayah tidak marah padaku.

"Sepertinya Jovan itu perhatian sama kamu, apa dia pacar kamu?"

Aku menggeleng, "T-tidak Yah," jawab ku gugup.

"Baguslah kalau tidak, karena  ayah ingin kamu selesai kuliah dulu. Lagi pula ayah merasa dia bukan laki-laki yang baik."

"Kenapa ayah bisa berpikir seperti itu?"

"Seperti ada perasaan tidak enak di hati ayah saat mendengar suaranya."

"Maksud ayah?" tanyaku tidak mengerti.

"Dia pasti suka mabuk-mabukan, ya 'kan?" 

Aku terkejut mendengar pernyataan dan tebakan ayah yang tidak meleset. Ingin rasanya aku menceritakan semua keburukannya, tetapi itu tidak mungkin, jika ayah tau kalau aku dan Jovan sudah .... Ayah pasti akan membunuhku.

"Entah lah Yah, Jeanna tidak tau," ucap ku sembarang.

Selesai ayah membuatkan sarapan untuk ku, ayah langsung pergi ke kantor tempatnya bekerja, dan tinggallah aku sendiri di rumah.

Hari ini memang aku tidak ingin ke kampus. Aku ingin menyusun rencana buat membalas dendam kepada Jovan. Iya, aku memang mencintainya tetapi aku juga sakit hati. Jadi aku harus memberikannya pelajaran.

Handphone ku terus berdering, ya memang dari Jovan, meski aku ingin sekali menjawabnya, tetapi aku juga ingin membuatnya menyadari bahwa dia butuh aku juga.

Ku utak-atik F******k ku, ku lihat kontak pertemanan ku, dan aku tidak menyangka, jika aku berteman dengan teman Jovan, langsung aja aku mulai salam perkenalan.

'Hai, aku lihat kamu sedang on, dan aku kesepian, jadi aku chat kamu, maaf jika mengganggu.'

Tidak perlu waktu lama, chat dari ku langsung di balas.

'Hai, tidak apa-apa, aku juga lagi santai, dosenku hari ini tidak masuk.'

'Oh kamu kuliah di mana?'

Percakapan kami berlanjut hingga kami menyebutkan universitas kami masing-masing, dan bertukaran nomor handphone.

Dan hari itu juga, aku ditembak olehnya, tanpa basa-basi aku langsung menjawab "Ya".

"Misiku berhasil, Edo tampan dan setajir Jovan, paling tidak aku bisa membuat Jovan kepanasan, biar dia tau rasa!" gerutuku.

***

Pagi ini aku sudah bersiap untuk ke kampus, Edo memang teman Jo terapi tidak satu kampus dengan ku, tapi setidaknya, Edo juga bisa mengantar jemput aku dengan satu kali kecupan saja.

"Edo, kamu anter aku sampai ke dalam ya mobilnya, itu ke parkiran itu tepatnya di sebelah mobil merah itu."

"Memangnya kenapa Jean?" 

"Do, please. Aku hanya sebel aja lihat orang itu, dia itu sok ganteng, padahal kamu lebih ganteng darinya, jadi buat nyadari dia aja."

"Oh ... baiklah bidadari ku," sahut Edo sambil mengerlingkan matanya ke aku dan aku pun beranikan diri mencium pipinya sebagai ucapan terima kasih karena dia sudah menuruti mau ku.

Saat pintu mobil Jovan terbuka. Edo pun membuka pintu mobilnya. Aku tau ini bakal seru, sebab mereka adalah teman.

"Jo ...," ucap Edo menyapa.

Jovan pun terkejut melihat Edo.

"Bro, ngapain kamu di sini?"

"Biasa nganter cewek aku, Bro!"

"Oh ya mana cewek kamu, kenalin ke aku dong, di jamin akan aku jaga, biar tidak ada anak kampus sini yang gangguin dia," ucap Jovan dengan senangat.

Saat Edo membukakan pintu untuk ku, dengan wajah tenang aku keluar dari mobil Edo.

Aku melihat ekspresi wajah Jovan yang seperti melihat setan di siang bolong. Terbongong, tidak berkedip.

"Bro, biasa ajalah lihat cewek aku, awas ya kalau sampai kamu gangguin dia!" ucap Edo bergurau.

"Tenang, tenang. Aku tidak akan mengganggunya, tetapi aku akan menjaganya," sahut Jovan dengan wajah kikuk.

"Aku masuk dulu ya Edo, sebentar lagi dosenku masuk. Kamu juga, cepat ke kampus, nanti kamu telat loh," ucapku sambil mengecup bibir Edo, tanpa rencana.

Aku pergi meninggalkan kedua lelaki brengsek itu, tetapi, lucu juga bila aku lihat ekspresi Edo dan Jovan tadi, saat aku mencium bibir Edo.

"Argh! Mereka memang idiot!" gerutuku.

Aku berjalan dengan santai, aku tau Jovan mengejar ku, namun aku berpura-pura untuk mengabaikan panggilannya.

"Jeanna, tunggu ... Jeanna!" 

Mendengar dia memanggil namaku di depan orang ramai, hatiku tertawa terbahak-bahak, akhirnya tiba giliranmu, aku permalukan.

Tangan Jovan dengan sigap menahan pintu kelas ku. Dia tidak mengizinkan aku masuk.

"Ayo ikut aku, kita cabut kuliah hari ini." Jovan menarik tanganku, dan semua mata tertuju pada kami termasuk perempuan-perempuan genit dan kecentilan itu, mereka yang menertawakan aku tempo hari.

Jovan membawaku ke danau yang letaknya tidak jauh dari kampus ku.

"Untuk apa kita kesini, masa kita sudah usai," ucapku ketus.

"Aku minta maaf Jeanna, aku sadar, jika aku tidak bisa hidup tanpa kamu," ucap Jovan memelas, dia bersujud di kakiku.

"Lalu, kekasih baru mu itu, mau kamu kemana 'kan dia?" 

Aku memasang suara tegas dan sorot mata yang marah, aku tidak perduli. Aku memang ingin membuat Jovan tidak bisa melepaskan aku.

"Lory maksud kamu? Dia sudah aku putuskan, dia tidak sehebat kamu."

"Maksud kamu? Kamu sudah tidur dengannya?" sahutku dengan nada marah.

"M-maaf Sayang, kamu kan tau, jika aku suka tidur di temani. Kamu sudah aku telepon tetapi yang menjawab ayah kamu."

"Ya, ayah ada cerita padaku."

"Jadi bagaimana sayang? Kamu mau kan kita balikan seperti dulu?"

"Lalu aku harus jawab apa dengan Edo?"

"Kamu putuskan saja dia, lagi pula kita ini pasangan serasi, orang-orang menjuluki kita Romeo dan Juliet."

"Tetapi tidak ada Romeo yang mengkhianati Juliet nya?" sahutku kesal.

"Tapi itu semua, juga karena kamu Sayang, aku kangen banget sama kamu saat itu, tapi kamu abaikan panggilanku."

"Tapi aku sudah kasih tau alasannya, Jovan."

"Ya sudah, kita perbaiki lagi ya hubungan kita ini, kamu putusi Edo."

"Aku pikir-pikir dulu," sahutku ketus.

Jovan mendekapku dari belakang, nafasnya memburu di telingaku, membuat getar-getaran cinta itu bermunculan.

"Lepaskan Jovan, aku mau pulang!"

"Baiklah, tapi segera kasih aku jawaban."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status