Share

BAB 3 : Revisi

Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam saat Tania tiba di depan rumah. Mukanya yang memang terlihat lelah makin muram karena dia tahu apa yang akan dihadapinya di dalam nanti.

"Tania, baru pulang?" sambut Nami sembari tersenyum. Senyum secerah sinar matahari karena tahu kalau hari ini menantunya itu gajian.

"Iya, Ma. Tadi bertemu teman dulu di luar." Tania hampiri wanita tua itu lalu mencium punggung tangannya dengan khidmat. Sudah menjadi kebiasaan, ibunda dari suaminya itu pasti akan menginap di rumahnya saat hari gajiannya tiba.

"Bagaimana, sudah gajian?" lanjut Nami lagi tanpa memedulikan ekspresi juga keadaan hati Tania.

Tania diam sejenak. Dia yang menunduk melepaskan kaus kaki tersenyum getir. Hatinya menjerit keras, meronta pada takdir yang rasanya tidak adil. Kendatipun demikian Tania tetap berusaha kuat. Senyum dia ukir kala mata mereka beradu.

"Aku sudah transfer ke rekening Mama kok uang buat belanja."

Nami tetep mengukir senyum, dia usap tangan Tania. "Bukan itu maksud Mama. Mama berpikir baiknya kamu belikan Adit motor. Kasian. Dia butuh motor baru buat kuliah."

"Apa, Ma?" Tania agak kaget dengan permintaan mertuanya kali ini. Tidak uang untuk belanja pakaian anak gadisnya seperti biasa, melainkan motor. Motor!

Tidak habis pikir Tania. Uang gajinya tidaklah sebesar itu. Tabungan selama ini juga menyusut dari waktu ke waktu, itu karena mertuanya selalu minta ini dan itu yang dirasanya keterlaluan. Mertuanya terlalu boros, suka belanja baju dan ke mall bersama teman-teman sebaya.

Awalnya Tania memaklumi, tapi makin ke sini batinnya menjerit. Semenjak menikah dia tidak pernah sekali pun dirinya merasakan bahagia, rileks sebagai istri atau disayangi seperti anak sendiri. Justru, semenjak menikah dia merasa seperti sapi perah. Sedang Dika – sang suami, sama sekali tidak pernah memihaknya.

Lalu apa lagi ini, motor? Bukankah adik iparnya itu juga sudah punya motor?

Merasa raut muka Tania berubah Nami pun mulai mendramatisir keadaan. Dia berdiri, berkacak pinggang lalu menatap tajam menantunya itu.

"Kenapa? Keberatan? Jangan perhitunganlah. Kamu tau, Mama membesarkan Dika itu habis berapa? Tidak akan terhitung, Tania. Harusnya kamu paham dan sudah selayaknya membalas budi. Apa salahnya membelikan adiknya motor? Mama dulu bahkan rela jual tanah agar bisa menguliahkan Dika. Sekarang dia sudah sukses tapi malah menikah sama kamu. Kamu harusnya bahagia. Pokoknya Mama tidak mau tau, kalian harus bisa belikan Adit motor! Lagian kamu pelit sekali, Dika saja tidak keberatan."

Setelah berteriak begitu Nami pun masuk rumah dan kebetulan berpapasan dengan Dika. Seperti biasa, wanita lima puluh tahunan itu akan berpura-pura teraniaya dan mengadu pada anak sulungnya.

Tania yang melihat tidak bisa apa-apa, lenyap semua lisannya kala melihat betapa lihai sang mertua bercerita pada Dika. Sakit hati, kesal, marah dan tidak percaya membuat Tania ingin berteriak, tapi wanita malang itu berusaha menahan. Dilewatinya Dika begitu saja tanpa peduli sang suami memanggil.

"Sayang kita harus bicara," panggil Dika untuk kesekian kali. Sekarang mereka sudah berada di kamar dan Dika menutup rapat pintu kamar mereka. Lelaki tiga puluh tahun itu mencoba merayu istrinya.

Akan tetapi Tania yang sedang kesal tidak memedulikan dan terus melucuti pakaian yang terasa sesak, engap. Dia ambil handuk yang tergantung, tapi pergerakannya terjeda karena Dika. Nanar mata Tania dan Dika paham apa artinya.

"Kita harus bicara!"

"Bicara apa lagi? Bukankah kamu sudah memutuskan sendiri?" balas Tania, giginya bergemerutuk. Dia tepis tangannya yang dicekal sang suami.

"Kamu keterlaluan. Bisa-bisanya menyetujui hal itu tanpa bicara sama aku. Kamu tahu persis berapa sisa saldo tabungan kita," ujar Tania, tidak mampu lagi dia menahan diri. Dia biarkan air matanya luruh. Dia lelah, lelah dengan segalanya. Mertua yang selalu menuntut dan suami yang terlalu menurut.

"Tapi Adit memang perlu motor. Mama bilang motor lamanya sudah sering mogok."

"Mustahil, Dik. Kita belikan Adit motor belum tiga tahun," balas Tania lagi. Menghentak jantungnya saking geram, dan yang dilakukan Dika hanyalah diam.

"Tabungan kita menipis. Sedang cicilan bank harus dibayar setiap bulan. Apa harus aku ingatkan berapa pinjaman hutang kita di bank tempatku bekerja?" lanjut Tania. Dia ingat betul utangnya bermula ketika sang mertua merengek minta liburan ke Korea sebagai hadiah ulang tahun. Tania dan Dika pun menyetujui, mereka bahkan meminjam uang di bank dengan menggadaikan sertifikat rumah.

"Tapi ...."

"Aku mau kamu bicara lagi sama mama," sela Tania. "Hutang kita baru dicicil enam bulan, masih tersisa dua tahun lebih, Dik. Bayangkan! Gaji kita hanya bisa untuk bertahan, tabungan juga untuk keperluan mendesak. Bukan hal seperti motor baru."

Dika mengusap wajahnya lalu menekan pundak Tania yang turun. "Baiklah, aku akan bicara sama mama. Kamu mandilah, setelah itu kita makan malam. Ara sudah tidur, dia di kamarnya bersama Mama."

Mendengar itu agak lega hati Tania. Wanita itu berpikir sang suami akan memihaknya kali ini.

Namun, sepertinya tak semudah yang Tania harap, karena ketika selesai mandi suaminya itu kembali datang dengan wajah yang sudah bisa Tania tebak.

"Kita berikan saja ya Adit motor. Aku tidak ingin mama mogok makan gara-gara ini. Kasihan, mama sudah tua."

"Dika!"

"Aku hanya tidak ingin mama sedih. Dia sudah tua, Sayang. Lagi pula tabungan kita masih bisa dapat satu motor lagi."

"Dika!"

Tak sanggup lagi Tania menahan diri. Dia lewati pria itu lalu merebah di ranjang. Dia selimuti seluruh tubuh lalu terisak sendiri. Perih hatinya, Dika tetap saja sama. Tetap plin-plan dan hanya mementingkan orang tuanya ketimbang rumah tangganya sendiri.

***

Lain Tania lain Icha. Wanita cantik itu tengah gemetar menatap horor sang suami. Dari pantulan cermin Icha sudah bisa menebak apa makna tatapan suaminya itu.

"Sudah selesai mandi?" tanya Aaron, dia yang tadinya rebahan bersandar di kepala ranjang pun berdiri, lalu mendekat dan memegang kedua pundak Icha yang terbalut gaun tidur.

"Iya, sudah. Kamu sudah mandi?" tanya Icha yang dibalas Aaron dengan anggukan pelan. Lelaki itu terus membelai rambut Icha yang setengah basah. Tadinya Icha pikir Aaron pulang larut. Nyatanya, suaminya itu sudah pulang sebelum dia.

"Kalau begitu kita makan malam. Aku temani kamu makan." Setelah mengatakan itu Icha pun hendak berdiri, tapi dicegah Aaron dengan cara menahan pundaknya.

"Aku belum lapar," balas Aaron setelahnya menarik laci di dekat Icha duduk dan mengeluarkan dua buah kotak berpita merah dari sana.

"Aku membeli ini sebagai hadiah," lanjut Aaron sembari membuka kotak pertama. Isinya sebuah kalung berlian dan Icha pun terkagum karenanya. Dalam beberapa detik kalung itu telah menghiasi lehernya yang jenjang.

"Terima kasih, ini indah," balas Icha sembari tersenyum, dia belai kalung itu pelan.

Namun, binar mata itu berubah melotot saat Aaron membuka kotak kedua, karena isinya adalah sebuah borgol. Alat yang sebenarnya bukan hal yang asing bagi Icha.

"Dan ini hadiah keduaku. Bagaimana, indah bukan?" bisik Aaron tepat di telinga Icha yang membuat wanita itu menahan napas lalu mengangguk pelan.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Nia Kurniawati
mertua Tania gak banget
goodnovel comment avatar
Nellaevi
pondok mertua indah , suami kelainan seks.. semua punya batu kerikilnya masing²
goodnovel comment avatar
Risma Magdalena
Serem bgt si aron kasihan bgt si icha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status