Share

BAB 2 : Revisi

Tiga bulan yang lalu

"Hei, sorry telat. Biasa macet," tutur seorang wanita dewasa dua puluh tujuh tahun yang mengenakan pakaian serta aksesoris yang tergolong cukup mahal.

Icha namanya, sahabat Nadine yang memiliki suami super tajir. Seorang CEO sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti. Maka dari itu tidak heran jika penampilannya sangat mentereng. Jam tangan berwarna silver menghiasi pergelangannya yang ramping. Kacamata dan tas branded juga tak pernah luput untuk menunjang penampilannya.

Nadine yang awalnya sibuk menatap laptop pun mendelik, bibirnya mencebik melihat sesuatu di pergelangan tangan Icha. "Itu jam tangan sepertinya baru? Dari mana lagi sekarang?" tanyanya saat Icha baru saja duduk di kursi tepat di depannya duduk.

"Oleh-oleh dari perjalanan bisnis Aaron. Kamu tahu? dia begitu mengerti seleraku. Coba kamu lihat!" Icha memperlihatkan jam mewah yang melingkar di pergelangan tangannya itu pada Nadine. "Indah, 'kan? Dia membelinya saat pergi ke Singapura."

Nadine pun hanya membalas dengan anggukan. "Iya, bagus. Cukup bisa diandalkan untuk menutupi sesuatu."

Seketika senyuman Icha sirna, tapi cepat-cepat dia menormalkan itu dan tetap berusaha ceria seperti sebelumnya. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan di depan Nadine meski Nadine tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bekas merah yang melingkar di pergelangan tangannya tak bisa dia tutupi.

"Oh ... iya, kamu kenapa malah bawa laptop? Kamu bilang mau senang-senang, rumpi-rumpi ria. Tapi malah bawa kerjaan ke sini. Tidak asik," oceh Icha, bibirnya dilipat, sengaja memperlihatkan ketidaksukaannya.

"Itu karena aku tahu kalian tidak akan bisa tepat waktu, jadi aku sekalian saja menunggu sambil bekerja. Jangan bawel! akan aku matikan," balas Nadine yang benar-benar menutup benda elektronik di depannya.

"Nah begitu, dong." Icha memperlihatkan deretan gigi lantas mengangkat jari tengah dan telunjuk tangan kanannya, dan tak berselang lama seorang pegawai restoran pun datang.

Saat Icha sedang sibuk membolak-balik buku menu untuk memesan minuman, datang lagi seorang perempuan berpakaian formal menuju meja meraka. Namanya Tania. Dari raut wajah saja sudah terlihat kalau wanita itu tengah kelelahan. Maklum saja, Tania adalah pegawai bank yang kadang dituntut untuk bekerja lembur di akhir bulan seperti ini.

"Pesan apa?" tanya Icha pada Tania yang baru saja duduk di kursi sebelahnya.

"Samakan saja," balas Tania sembari melepas sanggul rambut. Setelah itu dia mencepolnya sembarangan. Baginya gaya ikat rambut seperti itu lebih nyaman.

"Ini, ambillah. Aku dapat ini dari seorang teman. Katanya ini bisa menjaga daya tahan tubuh." Icha menyodorkan satu botol suplemen pada Tania dan sahabatnya itu pun mengernyit heran.

"Ambillah, ini suplemen. Bukan racun. Aku yakin kamu lebih butuh ini daripada dia," lanjut Icha lagi setelah mendelik sinis ke arah Nadine.

Nadine pun hanya geleng-geleng kepala, dia memalingkan muka sambil menyeruput jus tiga diva miliknya. Bagi Nadine Tania memang butuh suplemen untuk mempertahankan kebugaran. Hidup dihimpit beban pasti membuat otak serta tubuh cepat lelah, siapa pun itu tak hanya Tania.

"Iya, ambil saja," sahut Nadine. Dia tatap lekat Tania yang memang terlihat tidak segar. "Suplemen memang kita butuhkan. Terlebih kamu yang bekerja sejak pagi sampai hampir malam."

Itu bukan perkataan sarkas, itu adalah kenyataan. Baik Nadine maupun Icha tahu kesulitan apa yang dihadapi Tania. Temannya itu dihimpit beban ekonomi karena harus menanggung dapur mertua. Mendapat tekanan dalam hal pekerjaan dan juga tekanan di kehidupan pribadi pasti membuat siapa saja rentan sakit fisik dan mental.

Tidak berapa lama, datang seorang wanita lagi yang pakaiannya formal sama seperti Tania. Wangi namanya, dia bekerja di sebuah perusahaan besar dan memiliki jabatan sebagai wakil manager pemasaran.

"Maaf ya lama. Tadi harus mencocokkan data dulu sebelum pulang," tutur Wangi yang dibalas ketiga wanita di sana dengan anggukan saja. Baik Nadine, Icha maupun Tania sudah paham dengan kesibukan masing-masing termasuk Wangi.

Meskipun begitu keempatnya tetap kompak meluangkan waktu untuk bertemu. Persahabatan yang sudah terjalin sejak SMA itu tetap mereka jaga. Kesibukan sebagai ibu rumah tangga yang merangkap wanita karier membuat mereka harus pintar-pintar mencocokkan waktu. Terkecuali Icha, wanita itu hanya ibu rumah tangga yang punya banyak waktu luang. Sibuk saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam saja. Jika sudah pukul itu, siapa pun tidak akan bisa menghubunginya. Wangi hanya fokus bekerja karena satu-satunya yang belum menikah di antara mereka. Nadine sudah menikah tapi belum memiliki anak, sedangkan Tania adalah wanita karier yang merangkap menjadi istri, ibu serta menantu yang harus menuruti apa pun keinginan mertua.

Pekerjaan Nadine sendiri adalah pekerja lepas, sehingga dia tidak perlu berpakaian rapi seperti Tania dan Wangi. Kesehariannya hanya menatap laptop. Ia bisa menggunakan baju apa pun baik baju kekurangan bahan atau daster. Penulis. Ya, Nadine bekerja sebagi penulis di sebuah platform online. Karier yang dia geluti sejak lama sebelum menikah dengan Putra. Saking sayangnya, dia tidak ingin berhenti. Bagi Nadine jika masih bisa produktif, kenapa tidak?

Itu semata-mata bukan karena materi, karena Putra sendiri sudah memiliki karier yang bagus di pekerjaannya, dan dapat dipastikan tidak akan menyusahkan kehidupan rumah tangga mereka. Nadine hanya ingin mandiri. Dia punya kepuasan sendiri ketika tulisannya dibaca dan dihargai pembaca.

Setelah bercerita tentang banyak hal, keempatnya pun memilih menyudahi obrolan. Icha pulang mengendarai SUV mewahnya sedang Tania berniat pulang menggunakan taksi. Ini aneh, Tania menolak saat diantar Icha padahal rumah mereka satu arah. Namun, lagi-lagi mereka memaklumi. Tania memang begitu sejak mereka masih remaja. Ia tidak ingin merepotkan orang lain.

Dari ketiga temannya, Nadine merasa Wangi yang paling normal seperti dirinya. Mereka sejatinya tahu bagaimana kehidupan masing-masing. Pertama Icha, walau bergelimang harta dia punya suami yang memiliki kelainan. Sedang Tania, beban hidupnya lumayan berat. Dia seperti dijadikan tulang punggung keluarga oleh mertuanya. Maka dari itu Nadine merasa lebih dekat ke Wangi ketimbang dua sahabatnya yang lain.

_

_

"Mau sampai kapan kamu melajang?" tanya Nadine saat keduanya berjalan menuju parkiran.

"Entah, aku belum bertemu laki-laki yang pas," balas Wangi. Dia s***k sedikit rambutnya hingga membuat lelaki yang kebetulan lewat hampir menabrak orang lain.

"Tu lihat, pesonamu kuat. Tunggu apalagi?" balas Nadine dengan cara berbisik. Senyumnya terukir begitupun Wangi.

"Aku hanya belum kepikiran," balas Wangi pelan.

"Aku sarankan cepatlah mencari pasangan, kita sudah dua puluh tujuh tahun."

"Tapi umur segitu juga belum bisa dibilang terlambat. Tidak perlu buru-buru. Minimal tiga puluh tahun lah. Aku akan memikirkan pernikahan saat usiaku sudah tiga puluh,” jawab Wangi santai.

Nadine hanya bisa geleng-geleng kepala, dia pukul lengan Wangi pelan. "Siapa pun suamimu kelak, aku berharap kamu mendapatkan suami yang baik, tidak punya kelainan dan bisa diandalkan dengan lebih memihakmu ketimbang ibunya sendiri."

"Hem ..., sepertinya masih misteri kira-kira siapa laki-laki yang akan menjadi jodohku." Wangi tersenyum, wajahnya seketika berubah saat Nadine menoleh ke arah lain.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Nellaevi
wangi busuk dimana²
goodnovel comment avatar
Nia Kurniawati
wangi tak sesuai nama mu sama kelakuan mu
goodnovel comment avatar
Risma Magdalena
Ya ampun udah dijadiin sahabat ehh ngerampok suami sahabat sendiri lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status