Demi membalas budi. Icha rela dijodohkan dengan Aaron. Putra pertama dari majikan ayahnya. Awalnya Icha menolak karena alasan majikan sang ayah sungguh di luar nalar. Namun, kesempatan menikah dengan pria kaya raya jelas tidak bisa dilepaskan begitu saja. Apa lagi Icha dan Aaron memang sudah lama saling mengenal. Meski ditentang oleh ibunda Aaron, tapi pernikahan itu akhirnya terlaksana. Hingga Icha mengetahui fakta bahwa pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu memiliki orientasi menyimpang. Menghadapi mertua yang kejam dan suami yang seperti memiliki dua kepribadian membuat Icha dilema, haruskah dia bertahan atau menyerah dengan pernikahannya.
Lihat lebih banyakRintihan seorang wanita terdengar diiringi isak tangis di dalam sebuah kamar hotel yang terbilang cukup mewah. Ia baru saja selesai melakukan kegiatan yang seharusnya membuat dirinya terbang sampai ke atas awan. Namun, nahas. Malam itu dia malah menjadi bulan-bulan seorang pria yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya akan berlaku kasar seperti beberapa saat yang lalu.
Wanita bayaran itu menutupi tubuhnya dengan selimut dan meringkuk ketakutan. Sedangkan pria yang baru saja menuntaskan birahi kepadanya begitu santai memakai kembali kemeja dan jasnya.
“Jika aku tahu dia memiliki kelainan seperti ini, dibayar mahal pun aku tidak akan mau,” gumam wanita bayaran itu di dalam hati. Jangankan berucap, dia saja tidak berani menatap pria yang baru saja menumbuknya beberapa menit yang lalu itu.
Bukan kenikmatan yang wanita bayaran itu dapat, melainkan rasa sakit karena pria itu memukuli dan bahkan mencekik lehernya.
“Ini tambahan uang untukmu, pergilah berobat! aku yakin uang ini juga cukup untuk menutup mulutmu.”
Pria bernama Aaron itu keluar dari kamar tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sejatinya dia pun tak tahu kenapa dirinya bisa bertindak gila saat ingin menikmati surga dunia. Rasa takut pun menyelimuti hatinya. Pria itu seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda.
***
“Tunggu! apa Bapak bilang? Menikah dengan Mas Aaron?”
Icha yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarganya terkejut. Gadis berumur dua puluh empat tahun itu sampai tak sadar meletakkan piring dengan kasar ke meja. Dia membuat Ramadhan – bapaknya kaget.
“Lamaran itu datang langsung dari Pak Hendrawan, beliau bilang hanya kamu gadis yang cocok untuk Mas Aaron. Dia tidak ingin putra pertamanya itu mendapat gadis yang hanya ingin memanfaatkan harta mereka saja,” jawab Ramadhan mencoba memberi penjelasan ke putrinya yang sedikit tidak senang dengan rencana ini.
“Apa Mas Aaron setuju? Apa Bapak memi …. “
Belum juga Icha menyelesaikan kalimatnya, Nilam – sang ibu sudah keluar dari kamar dan langsung menyela. Wanita itu berkata bahwa Icha tidak perlu susah-susah memikirkan bagaimana pendapat Aaron, asal Hendrawan yang statustnya adalah majikan bapaknya setuju, maka tidak perlu menolaknya.
“Kita itu miskin, tawaran seperti ini seribu satu. Jangan sok menolak kamu Icha!”
“Bapak lihat sendiri, Pak Hendrawan tidak ingin putranya menikah dengan wanita yang gila harta tapi sepertinya dia akan memberi putranya mertua yang mementingkan harta,” sindir Icha. Bukan tanpa alasan dia bersikap ketus ke ibunya sendiri. Ini dikarenakan Nilam tahu bahwa dia sudah memiliki kekasih, tapi kenapa malah seolah setuju dengan pembahasan soal perjodohannya.
“Cha, pak Hendrawan juga pasti lihat-lihat, tidak sembarangan pilih calon mantu, kalau dia pengennya kamu jadi mantunya, itu jelas ada sesuatu dari kamu yang tidak dimiliki gadis lain.” Nilam duduk, dia menoleh Ramadhan dan suaminya itu mengangguk mengamini ucapannya.
“Pikirkan lagi Cha, karena pak Hendrawan juga sudah membahas hal ini dengan keluarganya,” kata Ramadhan.
Pria itu berharap putrinya akan berkata iya dan tak perlu berpikir lagi. Toh selama ini Icha sudah sangat dekat dengan keluarga sang majikan, bahkan beberapa kali putrinya itu menggantikannya menjadi sopir Hendrawan saat dia sakit atau sibuk mengurusi Masayu, anak bungsunya yang memang memiliki satu syndrome bawaan sejak bayi.
“Aku masih ingin kerja Pak, aku masih ingin menjadi wanita karier. Menurut Bapak kalau akau menikah dengan Mas Aaron apa yang akan terjadi? aku pasti tidak akan leluasa bergerak karena menjadi menantu orang kaya,” sangkal Icha.
“Tidak perlu bekerja ibu yakin uang bulananmu dari anak pak Hendrawan itu pasti sepuluh kali gajimu sekarang, atau bahkan seratus kali lipat. Kata orang zaman dulu, dalam keluarga pasti ada satu anak yang akan memutus rantai kemiskinan, dan ibu yakin itu kamu Cha.”
Icha tak bisa membalas lagi ucapan Nilam, dia memilih menghempaskan pantatnya ke kursi makan dengan netra berkaca-kaca. “Lalu apa aku harus putus sama Mas Bima? Aku nggak bisa Bu.”
“Pokoknya kamu harus nikah sama anak Pak Hendrawan, terima saja Pak lamaran itu,” kata Nilam ke Ramdhan. Icha tak bisa berkata-kata lagi, dia masih bingung dan berharap semua ini hanya mimpi.
_
_Sementara itu, Hendrawan juga melakukan hal yang sama dengan Ramadhan. Ia memberitahu keluarganya bahwa ingin menjodohkan Aaron dan Icha. Sarapan di kediamannya pun menjadi sedikit tegang, hal ini karena Laras-istrinya baru saja menghempaskan sendok dengan kasar ke piring.
“Apa Papa sudah gila menjodohkan Aaron dengan anak sopir? Kalau hanya mencari gadis untuk putra kita, aku bisa mendapat yang jauh lebih baik segalanya dari dia,” ketus Laras.
“Kamu tidak bisa menolaknya, lagi pula Aaron juga sudah setuju,” jawab Hendrawan dengan enteng.
“A-a-apa?”
Laras menoleh putra pertamanya. Mulutnya komat-kamit tak percaya sedangkan Aaron nampak menyesap teh dari cangkir dengan tenang. Putranya itu memang memiliki pembawaan dingin. Namun, tetap saja urusan perjodohan dan pernikahan tidak bisa dianggap sepele.
“Ron! Katakan sesuatu! Mama tidak mengerti dengan jalan pikiranmu,” bentak Laras. Ia memalingkan muka frustrasi. Sementara putra kedua dan putrinya hanya diam sejak tadi mendengar perdebatan soal perjodohan ini.
“Aku sudah membahasnya dengan Papa, menurutku Icha tidak begitu buruk. Kami sudah saling mengenal dan Mama juga tahu betapa baik dan sopannya dia.” Aaron akhirnya buka suara.
Laras semakin mati kata, dia menyesal karena membiarkan Icha sering datang dan keluar masuk rumahnya. Gadis itu bahkan beberapa kali dia minta untuk menggantikan sopirnya. Hanya saja beberapa bulan ini Icha sudah mendapat pekerjaan dan jarang datang.
“Apa yang kalian sembunyikan dari Mama?” tuduh Laras. “Ada yang mencurigakan di sini, kenapa harus Icha? Ron, kamu tidak memperkosanya ‘kan? dia tidak sedang hamil anakmu bukan?”
Airlangga dan Farasya, adik kedua dan ketiga Aaron sampai tersedak. Mereka menoleh sang kakak yang masih saja bersikap datar meski sudah dituduh yang bukan-bukan oleh sang Mama.
“Pikiran Mama terlalu dangkal.” Aaron menjawab lantas berdiri. Ia tatap Laras masih dengan ekspresi yang sama. “Aku menyukai Icha sejak lama, dia gadis baik dan aku yakin bisa menjadi menantu yang baik juga di keluarga kita.”
"Masuk!" seru Aaron tanpa mengalihkan pandangan dari tablet di tangan siang itu. Lelaki tampan nan gagah itu tengah melihat video animasi 3D sebuah cluster - yang rencananya akan dia bangun di salah satu lahan miliknya. Ia tampak antusias dan tak memerhatikan seseorang berjalan mendekat setelah dipersilakan tadi. "Pak, ini kopinya." Suara lembut dan serak seorang wanita sontak membuat Aaron mendongak. Ternyata Stella - sekretarisnya yang masuk ke dalam. Namun, Aaron tak peduli, dia kembali menunduk untuk melihat lagi video di tangan. Alasannya dia sangat tak menyukai penampilan Stella. Gadis itu terlalu berpakaian mini, bahkan dua kancing paling atas seperti sengaja dibuka hingga belahan dadanya terekspos semua. Aaron sudah memperingatkan tapi Stella seperti tak mau mendengarkan. Benar saja, firasat Aaron tak salah. Stella memang sengaja membuka dua kancing atas agar bisa menggaet bos tampannya itu. Aaron memang terkenal sangat dingin pada wanita lain kecuali Istrinya. Stella pun me
[Sayang, aku pergi, ya. Kalau lapar tinggal panaskan saja makanan yang sudah aku siapkan di dalam kulkas] Begitu isi pesan Nadine ke Putra karena suaminya berkata akan lembur lagi malam itu. Nadine sudah berpenampilan cantik nan anggun, dia berjalan melewati unit apartemennya menuju lift. Tak lama ponsel yang ada di tangannya pun bergetar. Bergegas Nadine mengecek dan mendapati pesan dari Putra. Pesan yang membuat wanita itu mengernyitkan alis, karena hanya emoji jempol yang sang suami kirimkan. Pesan tersingkat sepanjang sejarah pernikahan mereka. Namun, karena dikejar waktu Nadine pun tak sempat berpikir yang bukan-bukan. Segera dia masuk lift ketika bilik persegi panjang itu terbuka, dia lantas menekan angka satu menuju lantai dasar. Sembari menunggu lift sampai, Nadine pun memindai dirinya lewat pantulan kaca di dinding lift untuk memastikan penampilannya sudah menunjang. Pasalnya dia diundang ke pesta salah satu temannya yang sama-sama berkecimpung di dunia literasi. Teman Nadi
Tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih mungkin pantas disematkan untuk lelaki brengsek seperti Putra. Bukannya pulang ke rumah dan menyicipi makan malam yang disiapkan Nadine, beberapa menit yang lalu dia justru tergesa menapaki koridor sebuah apartemen dengan senyum menyeringai. Senyum jahat penuh hasrat liar yang meronta untuk dilampiaskan. Langkahnya kian lebar saat unit yang ditempatinya bersama sang wanita idaman lain tepat di depan mata. Wanita itu juga sama saja, tidak tahu malu dan brengsek. _ _ "Bagaimana, Sayang? Apa aku seksi?" tanya Wangi melanjutkan apa yang akan dimulainya dan Putra. Pria itu pun mengangguk sambil mengurung tubuh Wangi yang berada di bawah kendalinya, bibirnya pun mendaratkan ciuman di sana, "Kalau begitu, ayolah, aku sudah siap." Tanpa menunggu dan mengulur waktu, Putra pun melepas satu persatu kancing kemejanya lantas menyerang Wangi dengan buas. Mereka bergumul, membelit dan saling melepas apa yang ada di badan. Suara tawa binal Wangi sepert
"Sayang, maaf ya. Aku lembur malam ini," ucap Putra, wajahnya terlihat sangat lelah kala melakukan panggilan video call, membuat Nadine yang awalnya kesal jadi tidak enak hati. Dia pun mengangguk lesu. Nadine kecewa karena tidak bisa makan malam bersama. Ia mendesah berat, lalu menatap Putra yang ada di depan layar. Suaminya itu tampak mematahkan leher ke kanan ke kiri. Terlihat sangat kelelahan. "Sayang, bicaralah. Jangan marah!" "Ya sudah kalau begitu, tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi." Nadin terdengar merajuk. "Jangan begitu mukanya! dengan kamu begini malah membuatku jadi tidak tenang. Apa aku pulang saja?" Tawaran Putra ini malah membuat Nadine gelagapan. Wanita yang memakai kardigan cokelat itu langsung menggeleng panik. "Ya, jangan. Kalau kamu pulang nanti bagaimana dengan atasanmu? Tidak enak juga dengan rekan satu tim kamu, masa mereka bekerja keras sedangkan kamu pulang." "Maka dari itu, tersenyumlah. Jangan cemberut. Aku janji akan menembusnya lain kali. Pasti! Masuk
"Kenapa murung?" tanya Dika sesaat selesai mengelap mulut dengan tisu pagi itu. "Tidak apa-apa," balas Tania, yang tak terlihat bersemangat sama sekali. Mereka sedang sarapan dan ada Ara yang berada satu meja dengan mereka "Ada apa sebenarnya?" lanjut Dika bersikukuh ingin tahu. Wajah istrinya itu cemberut beberapa hari ini dan itu mengusik. Pupus sudah harapannya untuk memulai hari dengan baik, wajah cemberut Tania membuatnya mau tak mau berpikir yang bukan-bukan. Dika melirik Ara lalu menatap lagi wajah sang istri yang masam. "Sungguh, aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah, tidak bisa tidur dengan tenang beberapa hari ini dan itu karena seseorang." Tania terdengar sedikit memberi penekanan di akhir kalimat, dan itu membuat Dika memutuskan diam. Lelaki yang sudah rapi dengan kemeja berwarna biru itu pun melihat sang anak yang juga telah rapi dengan baju olahraga berwana merah muda. "Baiklah baiklah." Dika mengangkat tangan, pasrah dan paham sindiran keras yang istrinya lontarkan. Dia
Malam saat Nadine tidur, samar-samar terdengar suara. Suara itu mulanya pelan tapi semakin jelas dan mengusik ketentraman. Nadine yang baru saja terlelap segera menjauhkan kelopak mata dan agak kaget saat mengetahui tidak ada putra di sebelahnya. "Ke mana dia?" gumam Nadine lalu beranjak dari kasur. Pelan dia melangkah sembari menajamkan indra pendengaran. Nadine sangat yakin bahwa itu merupakan suara tawa bayi. "Apa ada yang punya bayi di sekitar sini?" gumam Nadine lagi. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar tamu. Sesaat setelah pintu terbuka, dia mendapati punggung seseorang yang amat dikenalnya. Orang itu berjongkok sembari menatap seorang bayi. "Putra?" gumamnya. Awalnya Nadine bingung melihat penampakan itu, bagaimana bisa seorang bayi ada dalam rumahnya terlebih lagi sekarang sudah larut malam. Namun, keanehan itu Nadine lupakan, dia terlena dan berakhir tersenyum saat melihat bagaimana pandainya Putra menenangkan bayi itu. Bahkan suara tawa bayi yang ada di atas ranjang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen