Arthayasa menggenggam kertas itu erat, jemarinya sedikit bergetar. Mata gelapnya menatap kosong ke arah pekat malam, seolah berusaha menembus siapa pun yang tadi meletakkan pesan itu. Ayudia berdiri di ambang pintu, wajahnya diliputi rasa ingin tahu sekaligus takut. “Tha… apa itu?” suaranya nyaris berbisik. Arthayasa tak langsung menjawab. Ia hanya meremas kertas itu, lalu masuk kembali ke rumah. “Kita kunci semua pintu dan jendela. Sekarang.” Nada suaranya membuat semua orang di ruangan terdiam. Nenek langsung berdiri, mengunci pintu samping dan menurunkan palang kayu di pintu depan. Nisa membantu menutup semua jendela, sementara Tiar menyalakan lampu tambahan di ruang tengah. “Ada yang mengikuti kalian sejak di jalan?” tanya Tiar, suaranya rendah tapi tegang. Arthayasa mengangguk. “Bukan cuma mengikuti. Mereka sudah memastikan, kita tahu mereka ada.” Ayudia menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Kalau begitu… apa mereka akan datang malam ini?” Arthayasa memandangnya,
Angin malam berhembus makin kencang, membuat daun-daun kelapa bergesekan seperti bisikan yang gelisah. Di beranda, Arthayasa duduk tegak, matanya tak pernah lepas dari jalan desa yang gelap. Lampu minyak di teras berayun pelan, bayangannya memanjang di lantai papan. Suara mesin terdengar sayup di kejauhan. Ia menegakkan tubuh, jemarinya refleks menyentuh senjata di pinggang. Namun begitu suara itu makin dekat, alih-alih menenangkan, dadanya justru semakin sesak. Tiba-tiba, cahaya lampu mobil memecah kegelapan. Arthayasa berdiri, hatinya setengah lega—setengah waspada. Tapi kemudian ia sadar, mobil itu bukan milik orangtuanya. Sebuah pick-up tua berhenti di depan rumah. Dua lelaki turun, salah satunya berjaket hitam—wajahnya sama seperti yang dilihat Arthayasa di pasar pagi tadi. Lelaki itu tersenyum tipis, bukan senyum ramah, melainkan senyum yang mengancam. “Cari siapa?” suara Arthayasa dingin. Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia hanya memandang sekeliling, seolah menilai seti
Malam di desa itu jatuh pelan, seperti kain tipis yang menutup segala kegaduhan dunia luar. Lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di teras rumah-rumah, sementara suara jangkrik dan gemericik air dari parit kecil di belakang rumah panggung nenek mengisi udara. Ayudia duduk di beranda, lututnya ditekuk, memeluk cangkir teh hangat yang baru saja diseduh. Dari dapur, terdengar suara panci beradu dengan sendok kayu. Nenek sedang menyiapkan makan malam—sayur asem, ikan asin goreng, dan sambal tomat segar. Bau wangi itu membuat perut Ayudia yang sedari siang belum diisi banyak mulai berontak. Arthayasa keluar dari kamar setelah membersihkan diri. Rambutnya masih basah, kaosnya sederhana, tapi ada ketenangan yang belum pernah Ayudia lihat di dirinya selama ini. Lelaki itu duduk di sampingnya, menghela napas panjang. “Udara di sini beda banget ya,” katanya pelan. “Bahkan napas rasanya lebih ringan.” Ayudia tersenyum kecil. “Beda banget sama gudang berdebu itu, jelas lah.” Arthayasa terkek
Malam di atas atap gudang itu terasa berbeda dari malam-malam lain. Bukan hanya karena suara kota di kejauhan, atau angin yang membawa aroma logam dan debu dari atap seng tua ini, tapi karena ada sesuatu di antara mereka berdua yang baru saja berubah. Ayudia masih duduk di kursinya, kaki menjuntai, menatap Arthayasa yang baru saja bersorak seperti anak kecil habis menang lomba. Tatapan itu campuran antara geli, haru, dan… takut. Takut karena ia tahu, setiap kebahagiaan di dunia mereka selalu dibuntuti bahaya. Arthayasa kembali duduk di sampingnya, napasnya masih sedikit memburu karena kegirangan. “Kamu beneran mau, kan?” tanyanya sekali lagi, seperti anak kecil yang takut es krimnya direbut. Ayudia mengangguk, senyumnya tipis tapi hangat. “Aku udah bilang iya, Artha. Nggak usah diulang-ulang. Nanti aku tarik lagi jawabannya.” Arthayasa langsung memasang ekspresi panik. “Eh, nggak, nggak. Udah sah. Udah masuk buku catatan semesta.” Mereka berdua tertawa kecil. Tapi tawa itu per
Gudang lama di pinggiran Cileungsi kini jadi markas sementara tim kecil mereka. Tidak ada plang nama, tidak ada aktivitas mencolok—hanya cat rusak, pagar karatan, dan seekor anjing tua yang ditinggalkan pemiliknya. Tapi di dalamnya, detak perlawanan kembali hidup. Pagi itu, meja utama dipenuhi dokumen, peta digital, dan tablet dengan koneksi satelit gelap. Pak Tyo, seperti biasa, duduk paling dekat layar besar yang menampilkan jaringan pengiriman senjata bawah tanah di Asia Tenggara. Arthayasa berdiri di depan papan taktik, menunjuk salah satu titik merah yang berkedip. “Ini tempat pertama kita, ini adalah gudang senjata yang katanya baru aktif seminggu terakhir. Lokasinya di Bekasi Barat, dan dari laporan Bram, ada aktivitas keluar masuk malam hari. Kita curiga ini jalur masuk senjata Reza.” Surya bersandar di dinding, tangan masih memegang botol air. “Kalau kita masuk terlalu cepat, mereka bakal bersih-bersih duluan.” Ayudia duduk di pojok, mencatat dengan tekun. Ia tak
Suara sirene semakin mendekat. Cahaya biru-merah dari mobil patroli mulai terlihat membelah gelapnya malam di kejauhan. Tapi Arthayasa, Surya, dan Pak Tyo tak mengendurkan langkah. Mereka terus berlari melewati lorong kanal belakang, napas memburu, tubuh berlumur lumpur dan darah, dan dalam pelukan Arthayasa—Ayudia menggigil dalam diam. Tangannya mencengkeram baju pria itu seakan nyawa tergantung padanya. “Gue yang nyetir,” ucap Surya cepat saat mereka mencapai mobil van yang ditinggalkan dalam semak-semak. Pak Tyo segera naik ke kursi depan, memeriksa jalur yang sudah dia rancang seminggu sebelumnya. “Kita bawa dia ke safehouse 3. Jangan ke pos utama. Mereka pasti akan menyisir semua titik kontak.” Arthayasa hanya mengangguk. Ia memeluk Ayudia lebih erat, tubuhnya yang kelelahan tak menghentikan tekadnya untuk tetap siaga. Ia duduk di baris belakang, membaringkan tubuh Ayudia di atas pangkuannya. Hujan deras masih mengguyur, tapi di dalam mobil itu, keheningan terasa lebih mem