Jangan salah, meski aku orang miskin dan ibu orang kampung, kami tidak kampungan. Bahkan ibu memberi ku nama yang cukup bagus, keren dan modern.
Namaku Leyka, Leyka Mutiara Anatasya. Teman-teman ku biasa memanggilku dengan nama Leyka atau Tiara. Ada juga yang memanggilku Tasya. Keren bukan?
Tapi, dari sekian banyak nya nama panggilan keren yang tercantum di dalam nama panjangku. Abay justru memanggilku dengan sebutan 'Debi'. Aku sendiri tidak tahu kenapa ia memanggilku dengan sebutan itu.
Suatu hari pernah kutanya kenapa ia memanggilku 'Debi' dan inilah jawabannya.
"Karena kamu memanggilku Abay."
"Memangnya kenapa kalau aku memanggilmu Abay? Dan apa hubungannya dengan Debi? Apa Abay dan Debi seperti kisah Romeo dan Juliet atau Rose dan Jack?" Tanya ku kala itu.
"Bukan. Aku memanggilmu Debi dan kau memanggilku Abay. Kalau disingkat jadi Debay, lucu bukan?" Gumamnya sambil tersenyum.
Aku mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Abay ini memang orang nya tidak jelas. Orang seperti ku akan susah menangkap maksud orang seperti Abay.
Usiaku tidak jauh berbeda dari usia Abay. Hanya berbeda beberapa bulan saja. Sebenarnya, aku adalah anak kedua di keluargaku. Tapi, kakak ku meninggal pada saat usianya masih muda. Ia meninggal karena sebuah penyakit tumor.
Penyakit tumor tersebut terlampau ganas sehingga berhasil merenggut nyawa kakak ku yang berjenis kelamin perempuan. Namanya Amalia kalau kata ibu. Kak Amalia 7 tahun lebih tua dari ku. Andai saja beliau masih hidup, mungkin pada kak Amalia lah aku akan mengadu nasib.
Dalam sebuah hubungan persahabatan antara pria dan wanita.. bukankah tidak mungkin tidak ada perasaan cinta diantara salah satunya?
Ya, itu benar.
Aku Leyka Mutiara dengan ini mengakui bahwa aku mencintai seseorang yang bernama Esa Juniansyah.
Tapi cintaku hanyalah cinta tinta biru yang dituliskan di buku harian.
Aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku kepada Abay, dan Abay juga sepertinya tidak tahu mengenai perasaanku.
Aku takut. Aku takut akan merusak persahabatan kami yang telah terjalin cukup lama ini jika aku mengutarakan perasaanku.
Lagipula, sepertinya Abay tidak menyukaiku dan ia lebih menganggapku sebagai adiknya sendiri. Itu pernah Abay katakan langsung padaku.
"Aku menyanyangimu sebagai musuhku."
"Wah kau baik sekali. Musuh saja kau sayang."
"Maksudku adik ku bod*h!"
Terserahlah. Biar kupendam perasaan ini sendirian. Lagipula aku sadar diri. Pria tampan dan kaya seperti Abay tak mungkin menyukai wanita miskin dan sederhana seperti ku ini.
Aku mencintainya, biarlah itu menjadi urusanku. Bisa menjadi teman hidup Abay dari masa kecil saja aku sudah bersyukur.
Aku merasa bahwa aku lah wanita paling beruntung di dunia ini. Wanita mana lagi yang bisa hidup bersaan dengan seorang Esa selain calon istrinya nanti?
"Teruntuk calon istri Abay/Esa. Maaf ya, aku sudah terlalu sering memandangi dan menyanjungi ketampanan calon suamimu ini. Tapi dalam diam kok."
Lagi. Esa dan aku sudah tidak canggung satu sama lain. Maksudku, jika kami sedang berdua kami tidak saling jaim atau menjaga image masing-masing. Kami akan menunjukan sifat asli kami. Kami juga selalu menceritakan rahasia kami satu sama lain. Baik itu rahasia cinta ataupun masalah yang sedang menerpa. Dan kami selalu bersama kemana-mana, meski terkadang orang-orang menganggapku aku adalah asisten Abay.
Abay, dia jorok dan malas mandi. Meski begitu dia tetap tampan.
Debi, dia tukang makan dan tomboy alias kasar. Meski begitu dia tetap baik hati.
Dan inilah kisahku. Kisahku dengan sahabatku yang kucintai dalam diam. Lika-liku kehidupan ku dan kehidupan Abay."Dimana ada Debi, disitu ada Abay."
"Kau adalah Esaku, meski aku bukan Rahmat mu. Kau adalah Esa, penyejuk duniaku."
Aku kembali pulang ke rumah dengan diantar Max. Ia benar-benar baik. Baik di depan Ibu nya maupun di belakanh Ibu nya, ia selalu murah senyum dan seseoali mengajak ku berbicara, tidak ada kecanggungan diantara kami berdua."Gak usah repot-reoit nganterin, gue bisa pulang naik ojek." Aku menghentikan langkahku sesaat untuk sekedar menolak tawaran Max, aku hanya takut merepotkan dirinya."Gakpapa. Gue yang bawa lo kesini maka gue juga yang harus bawa lo pulang.""Gakpapa kok. Mungkin lo mau nemenin tante Puji aja?" Tanyaku padanya."Gakpapa, Mamah lagi istirahat. Gue mau nganterin lo aja."Sebuah keputusan yang tidak bagus untuk dibantah. Karena itu akhirnya aku menyetujui usulnya untuk mengantarkanku pulang karena ia sendiri yang mau dan merasa tidak direpotkan.Kami tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, hanya sesekali saja Max mengajak ku berbicara."Leyka?" Tanyanya dengan setengah berteriak."Ya?' Jawabku."K
"Bay?""Hmm?""Cuek gitu.""Masalah?""Ya nggak sih."Dari tadi aku terus memperhatikan Abay makan tapi ia sama sekali tidak memperhatikanku hingga aku jera sendiri."Gue cuman mau ngomong nanti siang jangan ke rumah."Setelah berkata begitu, barulah ia menghadapku dan menghentikan aktivitasnya memakan gehu."Kenapa?" Tanyanya dengan alis yang mulai meruncing."Gue mau pergi sama Max.""Kemana?""Rumah sakit.""Oh."Tidak hanya kata saja yang dingin, ia juga ternyata enyah dari hadapanku beserta mangkok bakso yang menjadi menu makan siangnya.Sejauh ini aku masih belum nengerti pada tingkah aneh mereka berdua. Maksudku Predi dan Abay.Disaat aku sedang fokus memikirkan apa yang menimpa Abay dan Predi, orang yang menurut Ina penyebab kebakaran ini terjadi datang. Ya, dia adalah Max.Tanpa izin lagi, dia duduk disampingku dengan membawa dua mangkok mie.Kini sem
"Wihh pake parfum banyak banget gitu." Ibu datang dan langsung mengkritik ku yang memang menggunakan parfum hampir setengah botol."Iya hehe." Aku tidak ada kata lain selain cengengsan."Yang pria kemarin itu siapa Ley?"Aku menghentikan aktivitas menata diriku dan mencoba mengingat siapa pria yang Ibu maksud."Ohh yang itu, Leyka ingat. Namanya Max bu, temen baru Leyka."Aku dan Max sudah berjanji tidak akan memberitahukan pasal hubungan palsu kami pada Ibu. Bukan apa-apa, aku takut Ibu tidak setuju kalau kami berbohong mengenai hubungan kami, sementara kalau aku mengatakan bahwa aku pacar nyata Max aku takut Ibu malah menyuruh Abay untuk menyelidiki Max lebih jauh karena kami belum saling mengenal dalam jangka waktu lama.Maka dari itu ada baiknya jika aku hanya diam saja dan mengatakan bahwa Max hanya sekedar berteman denganku. Tidak lebih dan mungkin tidak akan pernah lebih."Ohh. Anak nya sopan yah, Ibu suka."Prasangka ku
Pagi-pagi sekali Ibu sudah membangunkanku lebih pagi dari biasanya. Kulirik jam dinding dimana waktu masih menunjukan jam 7 pagi hari. Ini asalah hari sabtu atau tepatnya hari libur. Setelah selewai shalat shubuh tadi, aku kembali merebahkan diri diatas kasur dengan tubuh dirungkupi selimut tebal yang membantuku memberikan kehangatan."Ada apa sih, Bu?" Tanyaku dengan mata yang masih tertutup dan nyawa setengah sadar."Bangun dulu tuh ada temen nya."Bukannya bangun, aku semakin merapatkan tubuhku dan mempererat pelukanku pada guling kala mendengar nama 'teman' disebut. Teman mana pula yang datang sepagi ini di hari libur."Paling Abay kan? Suruh pulang aja bu, semalam Leyka gadang masih mau tidur.""Oh yaudah."Ibu pergi setelah gagal membangunkanku, selimut yang tadi sempat tersibak kembali kutarik untuk melingdungi diriku dari dinginnya udara pagi.Baru juga aku kembali terlelap dalam mimpi, suara Ibu sudah terdengar ny
"Lo kenapa sih Deb?"Abay menghentikan langkahku ketika kami hendak pergi ke kantin."Apanya yang kenapa?" Tanyaku dengan kening yang mulai mengerut."Kayak orang lagi banyak masalah tapi berusaha disembunyiin gitu."Aku menatap Abay tidak percaya, mataku bulat sempurna. Aku tidak menyangka bahwa Abay ternyata mengetahui wajah asli dibalik topeng yang sedang ku pakai ini.Aku salah, aku salah ketika aku berpikir bahwa berpura-pura bahagia itu ternyata mudah. Ternyata salah, salah besar dan itu sangat susah.Tidak perduli seberapa kencang aku tertawa, selebar apa aku tersenyum, sesibuk apa pekerjaan yang kulakukan masalah tetaplah masalah yang senantiasa muncul kapan saja dan dimana saja lalu sulit untuk disembunyikan begitu saja."Whoa ya enggak dong! Gak bisa bedain orang yang lagi bahagia sama orang yang lagi sedih?" Meski sudah ketahuan, aku masih berusaha untuk terus beralibi."Bisa. Bisa banget bedain orang yang senyumnya
"Hallo guys."Impianku mendapatkan pria dan cinta yang kuinginkan tidak terwujud setidaknya aku tetap bahagia.Aku menghampiri Ina, Daffa, Abay yang saat ini sedang duduk di satu kursi di kantin sana."Heboh banget lu, pake guys guy segalanya." Tukas Ina, ia memang sewot kalau aku sewot."Woiya dong. Kalau orang lagi happy kan heboh."ujarku.Tanpa dipersilahkan, aku langsung duduk dengan begitu anggun dan mengibaskan rambut ku sehingga terbang ke belakang."Tuh rambut lu terbang, awas gak balik lagi." Ujar Daffa, sama nyinyirnya dengan Ina."Iya dong. Rambut gue terbang gara-gara hati gue terbang." Ujar ku sambil cengengesan dan tersenyum sangat lebar.Bagaimana? Langkah awal ku berpura-pura hebat kan? Orang mana yang saat ini tahu bahwa aku sedang sedih? Tidak ada kan?"Bu Susum, gehu 10, nasi goreng satu piring pake acar 3 kantong terus risol 10 sambal nya jangan lupa sesendok ya terus bakso 3!"Aku memesa