Petang ini langit sudah tidak lagi bersahabat, hujan lebat kembali mengguyur kota Jogyakarta. Seharusnya Candra, petang ini sudah pulang namun hujan yang mengguyur bumi begitu derasnya membuatnya terjebak di kampus yang sama dengan sang istri rahasianya. Siapalagi kalau bukan Ayana sang preman kampus penakluk semua orang di kampus ini.
Kampus pun nampak tak seramai biasanya, sepertinya hampir semua orang sudah pergi yang tersisa hanya sebagian dosen dan para mahasiswa dan mahasiswi tingkat akhir yang sedang mengerjakan tugas akhirnya.
“Belum pulang pak?” tanya Sandy, mahasiswa yang baru saja keluar dari perpustakaan dan kebetulan berpapasan dengan Candra.
“Belum San, masih hujan ini” jawab Candra.
“Mau bareng saya aja pak?” tawar Sandy dengan sopan. Candra tersenyum, ia menolak dengan h
Pagi-pagi sekali, Ayana telah bersiap dengan kaos hitam kebesarannya serta celana jeans hitam setengah robek-robek dilututnya. Tak lupa rambut sebahunya ia kuncir, ponsel yang menjadi penemannya selama ini ia masukan kedalam saku celananya.Mengingat Candra yang hampir semalaman menggigil kesakitan membuat Ayana dengan terpaksa memasak bubur terlebih dahulu sebelum pergi. Mau bagaimana pun Candra yang ia benci itu telah membuat hidupnya sedikit berubah, tidak lagi menjadikannya sebagai seorang pemalas seperti dulu.Usai membuatkan bubur, Ayana bergegas memasuki kamar Candra dan meletakkan semangkuk bubur yang ia buat di mejikom itu ia letakan di atas nakas. Suara dengkuran halus terdengar menjadikan Ayana berjalan dengan mengendap-endap. Tubuhnya kembali berputar sembilan puluh derajat ketika melihat ponsel Candra tergeletak di atas nakas tersebut dengan bebasnya.Tiba-tiba saja ide cemerlangnya muncul, membuat Ayana dengan tak peduli membuka ponsel Candra
Jadi apa makna dari persahabatan yang sesungguhnya?Ruang dewan rakyat kini di penuhi para beberapa perwakilan anggota BEM dan para ketuanya masing-masing dari kampus yang berbeda. Sementara dari kampus Nusa Bangsa diwakili oleh Bisma sang presbem serta Asep dan Guntur, mereka bertiga kini diberi kesempatan oleh BEM dari perwakilan kampus lain untuk menyampaikan orasi mereka yang bertujuan sama. Yakni menyerukan keadilan.Satu jam berlalu, orasi setiap kampus yang berbeda kini diterima baik oleh ketua DPR di daerahnya. Mereka dengan cepat mengiyakan permintaan demonstran untuk membatalkan revisi undang-undang KUHP dan yang lainnya.Sejumlah awak media pun bahkan kini tengah mengerubungi gedung putih yang telah demonstran rusak."Gimana? Apa perasaan adek saat permintaannya di kabulkan para dewan?" tanya salah satu wartawan pada Asep yang tengah berjalan bersisian dengan Bisma, sementara Guntur berada di belakang mereka."Ya alhamdulillah, kami sang
Samar-samar kedua telinga Ayana kembali mendengar suara dua orang berbicara di sampingnya membuat ia kembali membuka mata setelah tadi para sahabatnya izin pulang dan membiarkan Ayana untuk beristirahat malam ini."Sayang, kok bangun? Kenapa, haus ya?" tanya Ayah ayana yang menyadari jika putrinya telah terbangun dari tidurnya.Ayana menggeleng, ia berusaha bangun dari pembaringan. "Ayah ngapain disini?" tanya Ayana."Ya ayah mau nemenin putri ayahlah, ngapain lagi coba" jawab ayah Ayana dengan senyum manisnya.Ayana terdiam, pandangannya terlihat kosong. "Mending ayah temanin Dinda aja, Aya gak papa kok. Sebentar lagi juga pulang," ucap Ayana dingin.Handoko menghembuskan napas kasar, mencoba mendekati putri bungsunya. "Kamu juga putri ayah, ayah berhak jagain kamu" ucapnya mengelus puncak kepala Ayana dengan penuh kasih sayang."Ayana sudah besar, bisa jaga diri sendiri. Lagi pula ayah yang ajarin Ay untuk mandiri bukan?" perkataan Ayana y
Awan mendung telah menyelimuti kota Jogyakarta sepagi ini, membuat siapa pun enggan untuk beraktivitas seperti biasa apalagi udara dingin kini begitu terasa. Mungkin sebentar lagi awan hitam itu akan menumpahkan airnya. Tunggu saja, tidak akan lama lagi.Ayana mendesah, ia berkali-kali menatap jendela ruang tamu dengan gusar. Bagaimana bisa, dirinya pergi ke kampus dengan keadaan kaki masih terasa nyeri, balutan perban pun bahkan belum di buka pagi ini."Ngapain sih lihatin luar mulu," tegur Candra dengan menaikan satu alisnya sembari berjalan menghampiri Ayana."Bukan urusan lo," juteknya."Ya emang bukan urusan saya, tapi saya risih dengan tingkah kamu" jujur Candra. Ia duduk di samping Ayana sembari memakai sepatu kerjanya."Ya ngapain lo risih juga, ini kehidupan gue. Terserah gue dong, mau ngapain aja"Candra mendesah. Menampakan raut wajah sebalnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Siniin kaki kamu," pinta Can
"Woy Tik, bae-baekan lo? Kemarin kemana? Buat kita khawatir aja," seru Leo dengan menjitak kepala Tika saat mereka baru saja saling bertemu di koridor kampus."Langsung pulang, sory" jawab Tika dengan cengiran tak berdosanya.Marteen menggeleng kesal, tatapan tak suka sengaja ia lontarkan pada Tika. "Lain kali lo harus paham, kita bela-belain nerobos gas air mata gara-gara lo. Harusnya lo tuh samperin kita dulu, pamit dulu kek. Untung kita gak kenapa-napa" kesal Marteen. Seketika cengiran polos Tika berganti dengan wajah muramnya, hatinya seakan terasa tercabik dengan apa yang di katakan Marteen barusan."Iya Tik, harusnya lo tuh kabarin kita. Punya ponselkan? Apa gunanya kalau gak di pake," tambah Guntur merangkul Tika.Kedua mata Tika terpejam, ia menghela napas gusar. "Ya maaf, kan gak kepikiran""Halah, emang otak lo tuh lemot Tik. Gue gak paham sama lo," seru Marteen dengan gelengan serta tawa renyahnya.Tika meringis, ia tersenyum miri
HAyana, tak henti-hentinya menggerutu di balik pintu kamar. Perlakuan Candra padanya benar-benar sukses membuat degup jantungnya berdetak begitu cepat."Ya ampun ... Bodoh kamu Ya, kalau gini terus bisa-bisa kena serangan jantung lagi" ucapnya menepuk jidat."Tidak, lo gak boleh cinta sama dia Aya. Gak boleh!" ucapnya penuh penekanan dengan kedua tangan memegang kepalanya.Ia menggeleng, duduk di bibir kasur dengan berusaha menetralkan detak jantungnya."Ah, udahlah. Pusing gue, mending lanjut tidur" pikirnya membaringkan tubuhnya di kasur tersebut. Netranya menatap langit-langit dengan pikiran yang terus saja terarah pada sikap Candra yang manis akhir-akhir ini. Sekali lagi benaknya bertanya, apa telah salah menilai Candra dengan sebegitu buruknya hingga menganggap Candra sebagai musuhnya?"Aih kenapa masih mikirin dia sih," kesal Ayana menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.Tring!Satu pesan yang di tunggu-tunggu sed
Suasana sarapan pagi dikediam Herlan nampak begitu hangat. Farmasi keluarganya kali ini seakan lengkap saat Adinda ada di tengah-tengah mereka dengan senyum bahagia."Tumben nih putri ayah ceria sekali," tegur Herlan dengan menatap senang kearah Adinda yang tengah menikmati sarapannya dengan senyuman yang tak berhenti terbit di bibirnya."Ya jelas dong Yah dia bahagia, orang semalam dia cerita ada pangeran datang membantunya" ucap Heni,mengambilkan secentong nasi ke piring suaminya."Ih, mamah apaan sih. Dindakan bilang jangan cerita sama ayah" protes Adinda dengan malu-malu."Pangeran siapa Mah? Pacarnya Dinda?" tanya Herlan penasaran."Belum jadi pacar yah, tapi masih masa pendekatan" sela Adinda cepat. Ia menyelesaikan sarapannya dengan cepat."Oh ayah kira pacar kamu," gumam Herlan yang masih bisa mereka dengar."Bukan, pacar Dinda sudah dinda putuskan" ucapnya miris, hatinya terasa kembali tersayat ketika mengingat pe
Siang ini, meski terik matahari begitu menyengat tak membuat seorang Ayana Wiratmi Kencana Sari mengeluh. Ia tetap gigih dan tukuh akan bekerja meski kakinya belum pulih total."Lo yakin, masih mau bekerja? Kaki lo masih sakitkan?" tanya Asep khawatir. Ayana mengangguk dengan senyuman manisnya."Gue yakin Sep, lagian kalian tanpa gue tuh bagai taman tak berbunga" kekehnya."Hey begitulah kata para pujangga, aduh hai begitu ...""Stop! Suara lo bikin pusing telinga gue tau Le," sela Tika dengan tangan membekam mulut Leo cepat."Aduh Tik, apaan sih. Lepasin gak? Tangan lo bau terasi," canda Leo dengan kasar melepas tangan Tika."Sembarangan!" pekik Tika kuat membuat para sahabatnya menutup telinga cepat."Aduh! Tika! Lo tuh ya bikin pengang telinga kita aja!" bentak Marteen yang seketika membuat Tika diam membeku dengan sesak yang menyeruak secara perlahan-lahan. Pikirannya bergelut keheranan, entah kenapa akhir-akhir ini Marteen