"Kamu tuh udah cukup umur, mau sampai kapan toh le? Ibu dan bapakmu ini sudah tua, pengen segera momong cucu. Cepatlah menikah! " bujuk Ratih, sang ibu dengan lembut.
"Kamu itu putra tunggal keluarga Nugroho, pewaris semua kekayaan Ayah tapi kamu malah memilih jalur lain, untuk sebuah masa depan kamu padahal ayah sudah siapkan semua perusahan ini tapi kamu memilih profesimu sendiri! Kurang apa ayahmu ini, hah?!" sambung Nugroho dengan wajah emosinya namun, tetap saja Candra menolak dengan gelengan tegas pada mereka.
"Lagian siapa juga yang nyuruh Ayah untuk nyiapin semua ini? Candra gak pernah sekali pun meminta itu. Yah," ucap Candra dengan berusaha setenang mungkin namun tetap saja kedua tangannya ia kepalkan untuk mencoba lebih sabar lagi menghadapi kedua orangtuanya yang sudah cukup tua.
"Tapi ini bentuk sayang Ayah dan Ibu sama kamu! Ayah gak mau kalau kamu ngalamin hidup susah seperti kami, Ayah gak mau itu! " ucap Nugroho seketika membuat Candra menghela napas kasar dan menatap sang ayah dengan jengah. Inilah yang selalu membuat Candra lemah, dan memilih untuk mengalah. Kasih sayang mereka padanya sudah sangat besar dan bahkan baktinya Candra pada mereka belum seberapa di banding pengorbanan mereka.
"Tapi Yah, setidaknya jangan jadikan perjodohan sebagai jalan terakhir yang kalian tempuh untuk Candra segera menikah. Kasihlah Candra keaempatan untuk membawa dia kehadapan kalian" ucap Candra semakin membuat kedua orangtuanya kesal. Mau sampai kapan mereka harus menunggu orang yang gak jelas dan bahkan selalu menyakiti putra tunggalnya iti. Sungguh mereka benar-benar tak lagi bisa menunggu.
Bagi Candra, perjodohan tidaklah salah hanya saja pernikahan dengan jalan ini menurutnya akan terasa lebih sulit untuk membina sebuah hubungan rumah tangga seperti pada umumnya dan bahkan cara ini menurutnya sudah sangat kuno meski pada akhir-akhir ini perjodohan kembali trend dikalangan masyarakat biasa maupun konglomerat.
Namun tetap saja baginya perjodohan ini sudah sangatlah kuno apalagi mengingat dongeng siti nurbaya yang tiada henti di perbincangkan sampai sekarang bahkan kisahnya selalu saja menjadi momok menakutkan baginya.
Selain itu, Candra juga takut pasangan yang di pilih kedua orangtuanya itu tidak bisa menerima kekurangan dirinya atau bahkan dia mempunyai perangai buruk yang tak pernah diketahui kedua orangtuanya.
"Tapi memang ini satu-satunya cara, supaya kamu bisa melupakan masalalu kamu. Mau sampai kapan le? Mau sampai kapan kamu mati rasa hanya karena menunggu seseorang yang bahkan tak peduli dengan kamu? Mau sampai kapan kami menunggu, le?" ucap Ratih dengan mengusap lembut puncak kepala Candra.
Candra menoleh kearah sang ibu dengan binar mata yang tak bisa diartikan, hatinya merasa begitu nyeri ketika ucapan sang ibu barusan terasa begitu menohok.
"Sudahlah bu, kalau Candra masih ngotot gak mau nikah, ya udah. Ayah akan segera cabut hak izin rumah sakitnya!" ancam Nugroho seketika membuat Candra mendongak dan langsung berdiri dari duduknya.
Memiliki Rumah sakit yang ia impikan sedari dulu membuatnya harus kembali berpikir keras, masa iya rumah sakitnya harus berhenti beroperasi begitu saja hanya karena ia menolak perjodohan ini?
Memejamkan mata sejenak kemudian membukanya kembali, lalu mengehembuskan napas kasar.
"Baiklah, dengan berat hati Can akan menerima perjodohan ini!"
Candra pun berlalu pergi begitu saja mengabaikan respon kedua orangtuanya yang begitu bahagia.
"Nah, gitu dong! Besok malam ayah dan ibu antar kamu untuk menemui calon istrimu! Ingat besok malam!" teriak Nugroho yang Candra hiraukan. Ia memilih untuk menghubungi sahabatnya dan memilih pergi menemuinya yang baginya jika bercerita pada sahabatnya itu , ia akan menemukan solusi dari setiap masalahnya bahkan menemukan ketenangan.
mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Jogyakarta demi mencari ketenangan dirumah sahabatnya itu yang selalu memberikan kehangatan padanya, ia lakukan malam-malam begini.
***
Jika bukan karena ancaman sang ayah, ia mungkin tak akan pernah mau menerima perjodohan ini. Apalagi gadis yang akan dijodohkan dengan dirinya itu belum ia ketahui. Bagaimana sikapnya? Cantik apa enggak? Sesuai kriterianya apa enggak? Ah, sungguh jika memikirkan hal itu membuat kepala Candra seakan akan hampir saja meledak."Lo kenapa, bro?" itu Haris yang bertanya. Keduanya kini tengah duduk di gazebo rumah milik Haris, sekedar untuk menikmati udara malam.
Di gazebo inilah, mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama untuk sekedar nongkrong atau saling berkeluh kesah satu sama lain mengenai masalah hidupnya.
"Tau gak? gak ada angin, gak ada hujan, tiba-tiba saja nyokap sama bokap nyuruh gue nikah! " ucap Candra prustasi sembari memperhatikan Sri, istri dari Haris yang membawakan kopi kearah mereka sambil menggendong putri buah cinta mereka.
"Ya, bagus dong. Lo kan juga sudah cukup umur buat nikah," ujar Haris sambil mengambil alih putri dari gendongan sang istri.
"Sri, cuma kopi aja?" tanya Candra heran menghiraukan ucapan Haris, pasalnya jika Can berkunjung kerumah Haris. Sri tak segan-segan menyuguhkan segala makanan padanya.
"Brownisnya belum matang Can, tunggu saja. Bi, titip putri ya. Umi mau beresin dapur sebentar" ucap Sri membuat Candra menghela napas pelan. Ucapan lembut Sri pada Haris seolah menjadi tamparan keras baginya. Haris sangat beruntung memiliki istri yang solehah seperti Sri, dan Candra telah mengakui jika Sri termasuk kriterianya.
"Makannya nikah woy, biar gak iri lihat kemesraan gue" sindir Haris.
Can hanya melirik jengah, kemudian berdecak sebal melihat tingkah sahabatnya yang seolah-olah mendukung apa yang keluarganya inginkan.
"Gue masih senang sendiri. Ris," jawab Candra begitu lirih.
"Ck. Mau sampai kapan lo begini? Gue aja udah buntutan dan lo? Masa senang ngebujang sih. Ingat umur woy, lagian nikah itu ibadah yang nikmat tau"
"Nikahkan sunah bukan wajib jadi terserah gue dong kalau masih pengen sendiri," ucap Candra dengan entengnya membuat Haris hanya terkekeh.
"Hati-hati loh Can, kalau bicara. Nikah itu memang sunah tapi bisa juga wajib ketika seseorang telah dianggap mampu melaksanakannya," sela Sri yang datang membawa kue brownis yang masih panas pada dua lelaki yang sedang asik berbincang itu.
"Maksud kamu apa Sri? Gue gak paham," tanya Candra dengan mengerutkan keningnya dalam.
"النكاح سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني
“Nikah adalah sunahku. Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan umatku.(Bukhari Muslim) kamu mau gak diakui sebagai umatnya? Kamu tuh udah dikatakan wajib menikah loh, harta sudah punya. Sukses pula, umur? Sudah matang, lalu apalagi yang kamu tunggu? Jangan suka pilih-pilih nanti malah dapat yang gak sesuai lagi," jelas Sri.
"Tuh dengerin, istri gue lagi ceramah. Haha," sela Haris yang dihadiahi tatapan tajam dari Sri.
"Yaallah Sri, gitu banget ngomongnya. Doain yang baik-baik kek," protes Candra sambil mengaduk secangkir kopi ditangannya.
"Saya bukan ngedoain, cuma ngasih tau aja," seru Sri sambil ikut duduk disamping Haris.
"Ck. Kenapa kalian seperti keluarga gue, nyuruh nikah" decak Candra begitu prustasi.
"Sudah sewajarnya, lagian mereka mau kamu menikah juga karena mereka sayang sama lo, mereka begitu juga ingin melihat lo bahagia dengan keluarga lo. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya bahagia. Keinginan mereka itu baikloh, Can" ucap Haris."Tapi masalahnya gue itu mau mereka jodohin sama anaknya sahabat bokap gue, dan gue gak tau mau dijodohin sama siapa. Gue gak kenal dia, lagian gue gak cinta sama dia," keluh Candra, mengusap wajahnya kasar.
"Jadi? Lo prustasi gara-gara ini? Gara-gara di jodohin?" tanya Haris diiringi tawa renyahnya. Candra mendelik sebal, lalu mengangguk sebagai jawaban.
"Namanya juga perjodohan, ya pasti gak langsung cintalah.Tapi cinta akan hadir seiring berjalannya waktu, Niat mereka baikloh" jawab Haris dengan menaik turunkan alisnya.
"Benar tuh kata Mas Haris, lagian dulu juga Sri gitu. Belum ada rasa sama Mas Haris, tapi... "
"Yang, kok gitu?" potong Haris dengan wajah lesu membuat Candra sontak menutup mulut menahan tawa.
"Mas, kalau istri ngomong gak usah dipotong," tegur Sri lembut.
"Iya tapi apa?" tanya Haris mesem.
"Tapi seiring berjalannya waktu, Sri sadar jika Mas jawaban dari setiap istkharah yang Sri jalani selama ini,"
"Baru sadar, Sri bukan cinta?" tanya Candra yang sontak tertawa terbahak-bahak sementara Haris menampakkan wajah kecewanya.
"Eits, jangan salah Can. Kalau sudah sadar berarti cinta, bahkan cinta itu kini semakin besar," sanggah Sri membuat wajah Haris kembali berbinar.
"Beneran, Yang?" tanyanya dengan pupy eyesnya membuat Candra berdecak sebal.
"Iyalah Mas, masa bohong," jawab Sri begitu enteng.
"Makasih yang," ucap Haris sambil memeluk hangat Sri dan anaknya.
Melihat kemesraan sahabatnya ini membuat Candra merasa panas dingin, ingin buru-buru merasaka momen seperti pemandangan dihadapannya. Tapi dengan siapa? Apa mungkin rumahtangganya akan seharmonis ini jika melalui perjodohan? Ah, rasanya hati kecil Candra tak yakin.
"Ekhem..." Candra berdehem seraya membenarkan posisi duduknya sementara Haris dan Sri kini telah melepaskan pelukannya sambil cengengesan melihat Candra yang sudah mulai tak nyaman dengan posisinya saat ini.
"Jadi gimana? Apa kamu sudah memiliki keputusan untuk menerima perjodohan itu atau mulai mencari kembali sosok wanita yang kamu cintai itu?" tanya Sri memulai percakapan kembali setelah dirasa suasana tak secanggung tadi.
"Sebelum gue kesini juga gue udah menerima perjodohan ini dengan sangat terpaksa, dan merelakan untuk berhenti mencari" jawab Candra lemah.
"Ikhlaskan saja, gak usah pake terpaksa-terpaksa segala,"
Mendengar respon Haris, entah kenapa membuat Candra rasanya ingin melemparkan cangkir berisi kopi panas ini kewajahnya.
"Atau gini aja, lo buat kesepakatan bersama dengan calon jodoh lo itu. Senyaman mungkin, gue juga gak yakin kalau tuh cewek bakalan langsung cinta sama pria kanebo kaya lo. Gak percaya gue," ucap Haris meremehkan.
"Kesepakatan apa maksud lo?" tanya Candra dengan kedua alis bertaut sempurna.
"Ya seperti gue dan Sri dulu, buat kesepakatan senyaman mungkin. Ya, seperti kalian saling mengenal dulu satu sama lainlah tanpa langsung melakukan hubungan suami istri. Hahaha"
"Gitu aja?" tanya Candra dengan ekspresi datarnya.
"Ya gitu aja, saling mengenal satu sama lain. Biar nanti saling mengerti, lagian kesihan juga istri lo nanti, yang tiba-tiba dapat suami kanebo kering kaya lo. Bisa-bisa dia kabur lagi"
"Wah Sri, suami lo ngeremehin gue segala lagi. Gak tau apa kalau gue itu pujaan mahasiswi dikampus gue ngajar, gak mungkin ada cewek yang gak mau sama gue. Itu gak mungkin!"
"Bodo amat Can, bodo amat! Haha," seru Haris masih tertawa puas.
"Sri? Lo gak belain gue? Tega benar lo," adunya lagi pada Sri, istri dari sahabatnya sekaligus teman kampusnya dulu yang masih saja terkekeh tanpa mengindahkan aduan dari temannya itu.
"Ngapain belaiin kamu? Suami saya benar kok, kamu dari zaman kuliah emang masih tetap aja kaku kaya gini, haha"
Sri dan Haris nampak tertawa puas. Hanya helaan napas kasar yang bisa Candra lakukan saat ini sambil merenungi nasib dan saran daru Haris tadi.
Ya, apa salahnya jika ia mencoba memberikan kesempatan pada perjodohan ini. Apa salahnya ia kembali memulai menata hidup yang baru tanpa embel-embel orang di masalalunya yang masih menghantui pikirannya. Apa salahnya?
"Bunda! Bangun, shalat subuh yuk"Teriakan dua orang yang berbeda nada suara itu begitu mengganggu waktu tidur Ayana pagi ini. Bukannya bangun, Ayana malah sengaja menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya membuat kedua laki-laki beda usia itu berkacak pinggang tak terima. Keduanya saling menatap lekat seolah memberi pesan jika keduanya telah merencanakan sesuatu. SatuDuaTiga"Ayo bangun Bunda, nanti subuhnya telat!"Keduanya kembali berteriak dengan menarik kuat selimut yang tengah Ayana kenakan. Sabiru sudah tidak sabar, ia menaiki ranjang dan memeluk Ayana erat. "Bunda, ayo dong" Sabiru kembali membangunkan Ayana dengan mencium wajah cantiknya. Menyadari ada yang tidak beres membuat Ayana segera membuka mata, ia memeluk Sabiru erat. "Sayang, Ummah masih ngantuk. Kalian duluan aja ya nanti Ummah nyusul" Sabiru menggeleng, ia menarik lengan Ayana untuk segera bangun dari pembaringan. "Ayo bunda, kita berjamaah sama Ayah"Kedua mata Ayana memicing, indra pendengarann
Mata Bisma menyala, jarum suntik yang ia pegang pun mampu dipatahkannya. Ia semakin tersulut emosi, dimana otak Ayana kali ini? Bukankah telat satu jam saja nyawa Sabiru taruhannya sementara jarak pesantren dan rumah sakit ini bisa ditempuh tiga puluh menit belum proses pengecekan golongan darah dan kesehatan. "TOLONGLAH PAHAM, AYA! DIA AYAHNYA, DIA YANG PALING BERHAK MENOLONG SABIRU!" teriak Bisma begitu kencang. Candra begitu syok mendengar pernyataan Bisma, ia pun turun dari ranjang pasien menghampiri Ayana yang berdiri kaku diambang pintu."Apakah yang Bisma katakan itu benar?" tanya Candra tak percaya. Ayana masih membeku enggan menjawab. Kedua tangan Candra terangkat, ia mengguncang tubuh Ayana. "Jawab Aya, apakah itu benar?"Melihat pemandangan tersebut membuat Bisma semakin geram, ia tidak mau membuang banyak waktu hanya karena ini. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sabiru, ia ingin Sabirunya selamat. "Aya aku tidak akan pernah memaafkamu jika Sabiruku tidak selamat," lir
Selepas kepergian Candra, Ayana menangis sesenggukan dengan Sabiru yang sudah tertidur dipelukannya. Dengan datar Bisma mengambil sabiru untuk ia tidurkan lalu menyuruh Ayana untuk menjauh agar tidak mengganggu Sabiru. Ayana menurut, ia menjauh dari Sabiru dan terduduk di kursi tunggu yang tersedia diruangan tersebut. "Kenapa tidak jujur saja? pernyataan yang kamu lontarkan itu suatu kebohongan yang suatu saat akan merugikan kamu sendiri" Bisma menyodorkan tisu pada Ayana dengan kecewa. Kenapa Ayana seolah-olah kembali memberikan harapan besar padanya padahal jelas-jelas ia akan kembali merasakan sakitnya kembali ditolak oleh Ayana. Ayana mendongak, ia menerima tisu tersebut untuk menghapus ingusnya. Bisma duduk disampinya, mendengarkan tangis Ayana yang tidak mau berhenti itu dengan setia."Kenapa dia datang disaat aku hampir saja berhasil melupakannya?" tanya Ayana disela tangisnya. "Yang dia bilang itu benar Ya, pertemuan kalian itu sudah menjadi takdir Tuhan. Kamu tidak bisa
Tiga tahun berlaluSenja, kelabu masih saja menjadi peneman hari-hari Candra sejak tiga tahun terakhir setelah ia tidak pernah menemukan Ayana dimana pun. Kedua orangtua pun tidak ada yang memberitahu kemana perginya Ayana sebenarnya. Sejak tigak tahun terakhir pula, hidup Candra diambang keputus asaan. Ia begitu bingung ingin melanjutkan hidupnya seperti apa sementara kehidupan telah berakhir sejak penyesalan terbesarnya itu."Sudah tiga tahun loh, lu gak mau bangkit melupakannya? Gue aja udah punya anak tiga loh" sindir Haris menemui Candra yang tengah terduduk di balkon kantornya. Ya, Candra kembali bekerja di rumah sakit miliknya sebagai CEO sejak ayahnya mengetahui jika Candra sudah putus dengan Hanin. Candra tak tergerak untuk menjawab, ia masih saja menikmati senja yang akan kembali digantikan dengan gelapnya malam. "Gue masih menunggu dia balik, sekali pun dia sudah bukan jadi istri gue tapi gue akan tetap menjadi miliknya. Gue gak mau nikah dengan siapa pun kecuali dengan
Hari-hari berikutnya adalah penderitaan bagi Candra, sesak yang menggunung dihatinya tidak akan pernah runtuh sebelum ia meminta maaf pada Ayana dan Ayana memaafkannya. Menyesal, merasa bersalah dan rindu yang amat besar membuat hari-hari Candra menjadi sangat kelabu.Untuk menuntaskan semuanya pagi ini bahkan Candra bergegas untuk menjemput Ayana dan meminta maaf padanya, wajah yang sayu itu kini sudah menatap sendu pekarangan rumah Herlan. Disana nampak begitu sepi pagi ini dan Candra tidak begitu yakin kalau Herlan akan mengizinkannya masuk. Namun bukan Candra namanya kalau tidak mencoba. Ia berusaha menguatkan hatinya, bersikap bodo amat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut. Beberapa penjaga bahkan menyambutnya dengan ramah. Menghela nafas dalam, Candra keluar dari mobil dan berjalan menuju depan pintu rumah tersebut. Belum sempat Candra mengetuk pintu tiba-tiba Adinda keluar dari rumah tersebut dengan pakaian dinasnya. "Kamu, sedang apa disini?" tanya Adinda beg
Sudah hampir tiga bulan sejak perpisahan Candra dengan Ayana, kini dirinya sudah kembali terbiasa menjalani hari-hari. Melakukan pekerjaan rumah tanpa di bantu oleh Ayana. Keterbiasaan itu entah kenapa menjadikan hatinya suram untuk menjalani hari-hari. Ia merasa harinya kurang lengkap tanpa ada pengganggu di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Ayana. Sudah hampir tiga bulan juga Candra tak lagi menjadi seorang CEO dirumah sakit miliknya atau pun di perusahaan milik ayahnya. Hidup Candra kembali lagi kemassa dimana ia hanyalah seorang pegawai rumah sakit biasa di salah satu rumah sakit swasta. Haris, yang merupakan sahabatnya pun tak peduli dengannya. Entah, mungkin ini memang hukuman baginya atas apa yang ia lakukan pada Ayana dulu. Candra menarik napas dalam, menatap kearah sebrang rumah sakit. Dimana ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, perempuan yang sedari dulu ia cintai tengah menunggunya duduk santai menikmati secangkir kopi andalan yang disajikan di kafe tersebut.