Share

BAB 6-Dia Pergi

**** 

Cahaya matahari berlomba-lomba memasuki sela-sela rumah panti hingga menyoroti  Keira sedang yang menyapu di ruang tengah.

Dari kejauhan, Bu Ajeng merasa keheranan pada Keira. 

“Oalah Kei...Kei...,” ucapnya sambil menggelengkan kepalanya. Lalu, ia pun langsung menghampiri Keira. 

“Lah Kei, kok belum siap-siap. Bukannya kamu sekarang sekolah ya,” kata Bu Ajeng sambil mengambil lap lalu membersihkan kaca jendela yang tepat berada di belakang Keira. 

“Nanggung, Bu bentar lagi selesai.” Jawabnya sambil menyapu.

Bu Ajeng menggeleng. Ia menghentikan aktivitasnya. Lalu menoleh, “Yaudah biar ibu aja yang lanjutin. Kamu siap-siap sana gih! Nanti telat loh,” suruh Bu Ajeng.

Keira berhenti menyapu, “Ga usah, Bu. Biar Kei aja yang beresin. Ibu sarapan aja,” jawabnya lagi. 

“Udah sekarang siap-siap aja, Kei.” Suruh Bu Ajeng lagi.

Tetap saja Keira menolaknya. Ia tidak ingin merepotkan Bu Ajeng. Menurutnya Bu Ajeng sudah sangat baik menerimanya dan menjadikannya sebagai anggota keluarganya. Oleh karena itu, ia ingin membantu meringankan beban Bu Ajeng lagi walaupun hanya sedikit.

“Yaudah deh. Susah bujuk kamu mah,” kata Bu Ajeng pasrah. 

“Tapi awas telat ke sekolahnya!” ucap Bu Ajeng lagi memperingati. 

“Siap, Bu.“ ucap Keira bersemangat. 

“Dasar besar kepala,” ucap Bu Ajeng sambil menyentil dahi Keira dengan jarinya. 

Aw... 

“Ah...Ibu, sakit tau.” Protes Keira. 

Bu Ajeng tak menghiraukannya. Ia pergi meninggalkan Keira sambil tertawa. 

Beberapa menit kemudian...

Keira mengusap keringat di dahinya.

“Akhirnya Kerjaan rumah udah beres. Tinggal siap-siap buat berangkat sekolah,” ucapnya yang sedari tadi memegang sapu. 

Lalu Keira pun menuju kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. 

****  

Ceklek 

Suara pintu terbuka

“Kak Kei pasti banyak temennya deh di sekolah beda sama Nisa punya temen deket tapi cuman di panti aja,” celetuk Nisa tiba-tiba yang membuat Keira sedari tadi fokus dengan rambutnya lalu berubah menoleh pada sumber suara. Yaitu suara Nisa. 

“Hei, Nisa! Kirain siapa.” Kata Keira. 

“Hehe iya, Kak.” Sahut Nisa dengan cengirannya. 

“Lain kali ketuk pintu dulu ya. Kakak kaget tau, tiba-tiba Nisa ada di kamar kakak,” ucap Keira menasihati. 

“Iya, Kak. Maafin, Nisa ya.” Kata Nisa. 

Keira hanya tersenyum pada Nisa. 

“Kak?” panggil Nisa pada Keira. 

Ia pun menyahut, “Iya, Nis. Ada apa?” 

“Jawab dulu yang tadi,” ucapnya datar. 

“Oh itu. Temen kakak lumayan banyak. Akrab dan baik banget sama kakak. Kamu jangan sedih gitu ya. Kamu juga pasti bakal punya temen baik sama kayak kakak. Atau mungkin nanti lebih banyakan Nisa dibanding kakak,” jelas Keira panjang lebar. 

“Wah pasti kakak seneng banget,” Nisa sangat takjub. 

“Ya pasti seneng. Bisa main bareng temen-temen, belajar bareng, pokoknya banyak deh.” ucap Keira lagi. 

Lalu ia pun bercermin kembali. 

“Punya temen satu aja susah. Maaf Nisa, kakak bohong.” gumam Keira dengan suara kecil. 

“Apa, Kak? Tadi kakak bilang apa?” tanya Nisa yang ternyata sial ia mendengar gumaman Keira. 

“Ah e-enggak kok,” jawab Keira kelagapan. 

“Hmm. Masa sih?” tanya Nisa dipenuhi rasa curiga. 

Karena bingung, Keira pun mengalihkan arah pembicaraan. 

“Ayo kita sarapan!” ajaknya yang disambut Nisa dengan antusias. 

“Duh kakak, tau aja Nisa udah mulai laper. Hehehe,” ucap Nisa sambil tersenyum gigi. 

“Kan dari tadi cacing di perut kamu udah pada demo, Nis. Makanya kakak tau,” kata Keira sambil menyembunyikan tawanya di balik kedua tangannya. 

“Ah kakak!!!” ucapnya merasa malu lalu pergi tiba-tiba dari kamar Keira. 

****

Pukul tujuh tepat Keira baru sampai di sekolah. Ia langsung bergegas menuju kelasnya. Tapi ada yang aneh dengan hari ini. Semua kelas terlihat ramai. Tak terkecuali dengan kelasnya. Semua teman Keira sedang bergosip ria. Seperti sedang membicarakan suatu topik yang sama.   

“Kenapa rame gini ya?” gumamnya dalam hati. 

Ia mengedarkan pandangan. Lalu menuju tempat duduk di dekat jendela baris kedua. Setelah duduk, ia pun menoleh ke kiri sambil menguping pembicaraan teman-temannya. Keira terlihat penasaran. 

“Sumpah sih gue ga nyangka banget. Nasibnya sampe setragis gitu,” kata cewek bermata sipit yang sejak tadi duduk di meja. 

“Gila sih. Mana masih muda, cantik, pinter lagi,” sahut cowok yang memakai topi hitam yang dimiringkan.

“Meninggal kan ga liat itu semua, bro.” Ucap temannya menimpali. 

“Bener banget, tuh. Tapi gue ga nyangka sih dia senekat itu bunuh diri. Di rooftop sekolah lagi,” kata cewek yang rambutnya diikat kuncir kuda.

“Ih ngeri banget ya, arwahnya pasti gentayangan.” kata cowok bertopi hitam sompral. 

“Sembarangan lo kalau bilang, “ celetuk cewek bermata sipit. 

“Ya siapa tau kan,” ucap cowok bertopi hitam cengengesan.

 

Mendengar itu, Keira semakin penasaran. Akhirnya dengan langkah gontai ia memberanikan diri untuk bertanya. 

“Siska!” panggilnya. Yang dipanggil pun menoleh.

“Lo panggil gue?” tanya cewek yang diikat kuncir kuda menunjuk ke arah Kiera. Cewek itu tak lain bernama Siska. 

Keira mengangguk. 

“Ada apa?” tanya Siska. 

“Tadi kata kamu ada siswi yang bunuh diri. Siapa emangnya?” Keira balik bertanya.

 

“Oh itu ada temennya Laura yang bunuh diri tadi malem,” jawab Siska serius.

Mendengar itu Keira mematung. Detak jantungnya berdegup kencang. Deru napasnya berhenti sejenak. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang buruk telah terjadi. 

“Siapa? Jessy? Tsania? Salsa?” tanya Keira berkali-kali. Ia terlihat tegang dan serius mendapat jawaban dari Siska. 

“Emang lo ga liat grup WA sekolah apa?” tanya Siska. 

Keira menggeleng. 

Mana sempat untuk buka WA. Sedari pagi pun ia sibuk membersihkan rumah. 

“Dasar kudet,” cibir Siska. 

“Yang bunuh diri itu Tsania,” ucapnya lagi. 

Bak tertimpa ribuan jarum. Badannya bergetar hebat. Matanya mulai berkaca-kaca. Seketika pertahanannya runtuh. Cairan mata yang ditahan-tahan pun, akhirnya luruh. Keira merasakan sakit teramat dalam akan hal yang menimpa teman barunya, Tsania.

Teringat ia dengan kenangan bersama Tsania. Walaupun singkat tapi Keira senang Tsania mau berteman dengannya. Bagi Keira sangat indah rasanya. Tapi dengan mudahnya kematian Tsania kini telah merenggut kebahagiaannya. 

“Apa? Tsania? Ga mungkin,” ucapnya tak percaya. Ia menangis tersedu-sedu. Bibirnya bergetar. Ingin rasanya berteriak tapi lidahnya terasa kelu dan tertahan. Tapi ia harus mengatakannya. 

“Di-di mana kejadiannya? Hiks...hiks...hiks...” tanya Keira terbata-bata dan sambil menangis. 

“Rooftop,” jawab Siska.

Tak berpikir panjang, Keira pun langsung berlari menuju rooftop.

 

“Hei lo, mau kemana?” Siska berteriak tapi Keira tak menggubrisnya. 

“Eh maksud gue sekarang jasadnya lagi diselidiki polisi,” teriak Siska sekali lagi.

Tapi nihil, Keira sudah berlari sangat jauh dan tentunya ia tidak mendengarnya. 

Keira berlari dengan cepat sampai-sampai ia menabrak beberapa orang yang menghalangi jalan. 

“Hei jalan hati-hati dong!” 

“Jalan pake mata,” 

Lagi-lagi Keira tak peduli. Perasaan kalut. Ia tak percaya yang telah terjadi. Fokusnya satu saat ini menemui jasad Tsania. 

Pertama, ia menuju lift. Tapi sial di sana sangat ramai. Entah apa yang membuat ramai. 

“Tangga darurat,” ucapnya. 

Kedua, mau tidak mau ia harus menggunakan tangga darurat. Pikirnya pasti tidak ramai seperti di lift. Rooftop sendiri ada di lantai 5. Ia pun mempercepat langkahnya.   

Sesekali ia mengelap keringat di dahinya dan terus berlari menuju tangga. Sesampainya di sana ia pun menaiki tangga dengan langkah cepat. 

Tangga kesatu, kedua, dan ketiga berhasil ia lalui. Keringat bercucuran tidak ia pedulikan. Dan akhirnya sampailah Keira di tangga yang terakhir menuju rooftop. Ia pun terus berlari tergesa-gesa. Hingga akhirnya...

Bruk..

Keira terjatuh. Lututnya berdarah karena terbentur tangga. 

“Issh...issh..” ucapnya menahan rasa sakit. 

“Tahan, Kei. Sebentar lagi sampai.” Menyemangati dirinya sendiri. Tangan kanannya menutupi luka di lututnya. Berharap agar darah yang keluar sedikit berkurang. 

Ia bangkit lalu setengah berlari dengan keadaan kaki yang terpincang-pincang. Tak lupa keringat dan darahnya pun bercucuran. Tapi ia tidak peduli. 

Hingga akhirnya ia sampai di anak tangga terakhir. 

Huh..huh...huh... 

Keira menunduk sambil berusaha menormalkan napasnya yang tidak karuan.  Setelah dirasa napasnya normal, ia mendongak lalu mengedarkan pandangan di sudut bagian-bagian rooftop. 

Nihil. Tak ada seorang pun di sana. Hanya satu yang ia lihat, yaitu cairan kental berwarna merah menimbulkan semilir bau amis di sekitar rooftop. 

“Darah,” ucapnya khawatir. Tentu saja hal itu menambah ketakutannya pada kondisi Tsania sekarang. 

Karena penasaran, Keira pun berjalan mengikuti bercak-bercak darah tersebut. Dan ternyata ujung dari bercak darah itu tepat berada di pinggir rooftop. Lalu ia melihat ke bawah, tepatnya di lapangan ada banyak orang yang sedang berkerumun di pinggiran garis polisi. Dan di tengah itu adalah korbannya. 

Tiba-tiba Keira tersentak, dari kejauhan sepasang matanya fokus melihat busana yang dikenakan korban itu. Yaitu sebuah hoodie yang baru saja tadi malam ia lihat. Ia tak menyangka itu adalah percakapan terakhir dirinya dengan perempuan itu. Yaitu perempuan sang pemilik hoodie berwarna biru muda. 

“Tsaniaaaaaa,” teriaknya sambil menangis lalu jatuh tersimpuh tak kuasa untuk bangkit. Tapi ia lambat laun berusaha bangkit lalu berlari menuju lapangan. Menemui Tsania, temannya yang malang. 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status