George menyikat dinding kayu peternakan yang terkena cipratan darah dengan telaten. Suara berisik sikat lantai yang ia gunakan membuat para hewan terbangun. Beberapa ekor sapi melenguh dengan kerasnya."DIAM!" gertak George kesal.Berbicara kepada hewan adalah sesuatu yang salah. Hewan-hewan itu justru semakin gaduh, mengeluarkan suara-suara yang mengganggu dan memekikkan telinga. Berpura-pura seakan tak mendengarnya, George mengusap keringat yang mengalir turun di belakang telinganya dengan perlahan.Melakukan pekerjaan seperti ini sangat melelahkan, tapi sang antagonis haruslah bisa membereskan hal kecil semacam ini."Fuh, akhirnya selesai juga," gumamnya kepada diri sendiri.George menaruh ember besi yang biasa digunakan untuk menampung hasil memerah susu sapi di dekat pintu. Sebelumnya, ia memakai ember tersebut untuk mengambil air di sungai, guna menyiram genangan darah yang mengusik mata. Jelas ia tak ingin ada yang mengetahui perbuatannya, apalagi mengetahui jika George melakuk
Bibi Sean yang mendengar pintu kandang yang tidak dikunci, terang saja langsung memarahi suaminya. "Sudah berapa kali kukatakan padamu! Kunci dengan benar semua kandang ini!"Sam mendengus. "Aku juga sering mengatakan padamu! Aku selalu menguncinya!"Mendadak, sepasang suami istri itu beradu mulut, bertengkar mempermasalahkan kandang yang terbuka dan babi yang hilang, mengabaikan keberadaan keluarga Owens yang memandang mereka berdua dengan kikuk.Joly berjalan menghampiri dan menengahi perselisihan yang terjadi di antara suami istri tersebut. "Berhenti bertengkar!"Kalian berdua jangan bermusuhan hanya karena hilangnya seekor babi, kita masih bisa memotong ternak lain untuk malam nanti."Suami istri Winkler itu terdiam sesaat, kemudian menatap satu sama lain. "Maafkan kami.""Nah, bagaimana kalau kita kembali ke kebun?" Erick tersenyum, ia merangkul anaknya–George dan mengambil garu di sebelah tumpukan jerami yang tersusun rapi. "Tanaman-tanaman itu tidak bisa memberi pupuk mereka se
Putra keluarga Owens saat ini tengah sibuk belajar mempersiapkan ujian masuk ke sebuah sekolah menengah elit yang telah dipilihkan oleh kedua orang tuanya. Selepas menghabiskan libur natal bersama keluarga ibunya di desa yang terletak di dataran yang cukup tinggi, George pulang ke rumah dengan perasaan senang. Sebelum pergi ke sana, dia tak punya minat sama sekali untuk bersekolah di tempat yang tak diinginkan.Tapi, begitu pulang dari rumah neneknya yang sekaligus menjadi tempat berkumpul setiap akhir tahun oleh keluarga Winkler, George langsung berkata kepada sang ibu bahwa ia akan sungguh-sungguh belajar dan mengambil mata ujian masuk ke sekolah itu. Entah apa yang merasukinya.Memang, jika seseorang telah dilahirkan berbakat, apapun yang dilakukannya pasti akan tampak sempurna di mata orang-orang.Tapi, pernahkah seseorang berpikir jika kadang mereka yang terlihat sempurna tanpa kekurangan itu benar-benar bahagia dengan apa yang mereka lakukan?George seringkali ditanya perihal m
Tampak sebuah keluarga kecil tengah duduk beralaskan kain besar berwarna merah hati yang dihampar di atas rerumputan taman. Senyum dan gelak tawa bahagia terukir jelas di wajah mereka. Pagi Minggu memang merupakan waktu yang sangat pas untuk berpiknik bersama orang terkasih di luar rumah."Papa! Mama! Kakak!" seruan riang seorang anak laki-laki terdengar nyaring di pagi hari yang cukup panas itu."Aku membeli es krim!"Anak perempuan dari keluarga yang tengah bersantai itu lalu melambai penuh semangat kepada sang anak lelaki yang berada di seberang jalan. Tampaknya ia adalah kakak dari anak laki-laki yang di kedua tangannya penuh dengan es krim."Hati-hati Michael!"Tak jauh dari Michael-anak laki-laki yang tengah berlari menghampiri keluarganya di taman, seorang remaja laki-laki terlihat kesal dengan mobilnya yang tiba-tiba saja mogok di pinggir jalan. Tepat di dekat keluarga yang tengah bersantai di taman. Garis wajahnya kokoh, dengan surai berwarna cokelat yang terlihat bersinar te
George melempar tasnya sembarang, melonggarkan dasi warna biru dengan motif zig-zag putih miliknya, dan langsung merebahkan diri di kasur yang empuk. Lomba biologi seputar golongan darah yang diikutinya sejak pagi tadi sangatlah menguras tenaganya.Bukan karena materi yang sulit, ataupun debat dengan lawan yang menyusahkan, melainkan cuaca yang kurang bersahabatlah yang membuat George benar-benar kewalahan hari itu.Tetapi, selain cuaca yang panas dan menyengat, semuanya berjalan dengan lancar berkat kemampuan George dalam mengatur jalannya lomba.Bunyi kendaraan yang terdengar bising di luar rumah, memancing rasa penasaran dalam diri George, ia pun keluar dari dalam rumah dan melihat ke sebelah kanan, ke arah sebuah rumah bercat baby blue yang setahunya kosong itu.Beberapa mobil pengangkut barang tampak parkir di pinggir jalan, orang-orang dari agen properti rumah terlihat berseliweran keluar masuk dari sana. Karena itu rumah kosong yang dijual, mungkin ada yang telah membelinya, pi
"HYAAHHH! Terima ini!""Psyuu psyuu, TEMBAK KAKAK!"Gelak tawa yang keras, sesekali didampingi oleh bunyi pistol mainan anak-anak, adalah suara yang beberapa Minggu ini selalu didengar oleh George, yang tempat tinggalnya bersampingan dengan rumah anak-anak tersebut.Kadang-kadang, ketika ada kegiatan di luar rumah, tepatnya mengurus kegiatan di sekolah ataupun badan amal di Gereja, George tidak akan pulang ke rumah. Namun, ketika tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemuda itu, ia hanya akan menghabiskan waktunya bersantai di tempat tinggal yang diberikan oleh sang ibu.Tetapi, bagaimana ia bisa tenang beristirahat jika selalu mendengar suara bising dari luar?Satu-satunya tempat kedap suara di rumahnya hanyalah gudang penyimpanan yang berada di ruang bawah tanah. Mustahil jika ia tidur dan beristirahat di sana. Kecuali tempat itu ia ubah menjadi kamar.Mungkin, bisa saja nanti ia mengubah tempat itu untuk keperluannya mendatang, tapi tidak untuk sekarang.George punya kebiasaan baru la
George tiba di rumahnya sekitar pukul 6 sore, kegiatan yang berlangsung dari pagi itu membuat seluruh tubuh George terasa sakit. Pemuda itu tampak kelelahan. Sebelumnya, George sempat berharap, setelah sampai di rumahnya yang nyaman dan tenang, maka ia akan langsung tidur di pembaringan.George membayangkan ia yang sedang duduk bersantai, memandangi perapian sembari menikmati minuman teh aroma mint.Pemuda dengan marga keluarga Owens itu tersenyum senang, merasa tidak sabar lagi memasuki rumah. George memutar gagang pintu perlahan, bayangan serta aroma manis dari teh yang dibuat olehnya sendiri terus bermunculan di kepala George.Melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu, George juga merasa bahwa kakinya itu semakin pegal saja karena dibawa berdiri terlalu lama. Mungkin selepas membersihkan diri, dan meminum teh hangat beraroma kesukaannya, George akan mandi.Lalu tidur dengan perasaan damai.George masuk dalam rumahnya, berjalan menuju kamar yang terletak dekat dapur, mengganti pakaian
"Kak George! Kenapa kita tidak langsung pulang saja, Kak?"Wah, hutannya lebat sekali!""Apa di sini akan ada serigala yang muncul tiba-tiba, Kak? Hiiyyy, takut ...."George menghela napas panjang, tampaknya kebiasaan buruk itu akhir-akhir ini sering ia lakukan. Sebab, ada banyak hal yang memancing kemarahan putra keluarga Owens tersebut dan menguji kesabarannya. Ia lalu menatap datar pada anak perempuan yang berjalan memimpin di depan.Setelah pulang dari berbelanja keperluan sekolah, seperti perlengkapan klub dan peralatan praktikum, George mengajak Tasia berkeliling. Pemuda itu lalu membawa gadis kecil tetangganya ke hutan lindung, ingin memperlihatkan sesuatu yang menarik kepadanya.George merapatkan jaket kulit hitam yang terbuat dari kulit buaya pemberian ibunya yang berharga, menyembunyikan hadiah kecil untuk si gadis manis yang tengah memperhatikan alam sekitar."Ini pertama kalinya Tasia pergi ke hutan! Indah sekali ... seperti surga!""Tasia ingin ke surga?" George menghenti