Menjelang hari ketiga di rumah, tentu saja aku sadar kami tidak bisa berleha-leha selamanya. Ada kasus yang harus diurus. Jadi untuk menghindari bentrok dengan anak-anak yang selalu kepo terhadap semual hal, Gun menyambut Briptu Rein di paviliun, langkap bersama Jerikho, Ed, bahkan dokter Alex. Karena kami membutuhkan analisisnya. Kami duduk di meja panjang dari salah satu ruangan, seperti ruangan rapat yang kemungkinan dipakai Gun untuk diskusi setiap akan bikin konten. Aku duduk di paling depan, Gun di sampingku, dengan tangannya yang tidak lepas menggenggam tanganku. "Semua gelas langsung dibersihkan setelah pesta selesai. Kami nggak bisa menentukan gelas mana yang dipakai Mba Mita. Rupaya nggak ada yang menyangka kalau reaksi yang dia alami akibat bubuk pengawet, yang kemungkinan sengaja dimasukkan ke dalam minumannya." Mengikuti gaya Gun yang tidak mengenal basa-basi. Briptu Rein langsung memulai. "Buka
Masa-masa di rumah sakit adalah hal yang paling menakutkan. Dari dulu aku tidak pernah bersahabat dengan tempat ini. Bahkan sebisa mungkin menjauhinya. Tapi hari buruk tidak ada di kalender. Setelah seminggu dirawat, dan ruam-ruamnya di bagian leher maupun tangan mulai berkurang. Aku akhirnya diizinkan pulang, walaupun masih harus menjalani perawatan ringan di rumah untuk membersihkan sisanya. Gun belum membolehkan bekerja, aku juga berniat meminta libur karena secara keseluruhan aku merasa perlu mengembalikan tenaga. Jadi hari pertama di rumah, aku mulai meniatkan untuk ngegym. Sekedar lari di treadmill. Ditemani Gun tentu saja. Kurasa dia sudah seperti trainer yang mengawasi walaupun ikut ngegym juga. FYI, kami melakukannya di rumah, di ruang gym dengan pemandangan yang langsung mengarah ke halaman belakang. Gun berdiri dengan tank top hitam dan celana training abu-abu. Keringatnya mengilap d
"Aku harus ikut." Pagi berikutnya berjalan sangat hethic, Gun sudah mengenakan polo t-shirt dengan topi, yang semuanya serba putih, kinclong rapi khas dirinya. Sementara aku hanya bisa memandangnya dengan iri. "Anak-anak pasti butuh Mamanya, lagian ini lomba pertama mereka, Gun." "Kamu belum boleh terkena sinar matahari." "Aku bisa di dalam mobil," kataku ngotot. "Atau di bawah tenda. Para ibu kan cuma bakalan jadi penonton aja." "Justru itu, kalau cuma nonton saja lebih baik kamu di sini. Ed akan merekam semuanya, kita punya tim. Nanti kamu bisa menonton ulang kegiatan mereka." Aku cemberut, merasa kesal, dan itu sama sekali tidak ditutup-tutupi. Tapi bukan karena Gun, melainkan Zara yang menyebabkan semua rasa sakit ini. Aku sudah menunggu momen ini begitu lama semenjak Gun setuju untuk menemani anak-anak dalam lomba. Dan sekarang aku kehilangan segalanya. "Mita..." sebut Gun mendesah, dia mendekat, duduk di sampingku saat melihat mataku mulai berkaca-kaca. Berusaha membujuk
Aku terbangun keesokan paginya dengan rasa terbakar di tenggorokan dan perut. Gun langsung melompat bangkit dari tempat tidur untuk memanggil dokter, tapi di saat yang sama aku pun bangkit untuk muntah-muntah hebat di kamar mandi. Tubuhku lemas, rasanya seperti apa yang kumakan semalam keluar semua. Gun membantu meraup dan menggenggam rambutku selama aku mengosongkan isi perut. Begitu dokter Alex tiba, aku sudah tidak bisa apa-apa di atas tempat tidur. Beliau mengatakan bahwa ini reaksi obat, tapi gatalnya luar biasa. Aku menggaruk ruam-ruam itu saking tidak tahan. Lalu tertidur karena kepala berat, bangun hanya untuk makan dan minum obat. Namun begitu benar-benar bisa membuka mata, wajah Hiro dan Naga adalah yang pertama kali kulihat. "Mama udah bangun!" Naga berseru di atas tempat tidur, di sisi kananku. Sementara Hiro di sisi lain, tampak sedang mengusapi keningku dengan tisu. "Mama keringetan," katanya manis. Lalu Gun nongol dalam penglihatanku, membantu menyusun bantal aga
"Udah." "Kamu harus makan lebih banyak." "Mau buah aja." "Oke." Senang sekali rasanya melihat Gun begitu perhatian dan lembut. Jarang-jarang dia nurut dan mudah menyerah. Rasanya aku pengin abadikan momen ini di ponsel dan merekamnya, sekadar menyimpan kenangan. Omong-omong soal ponsel, aku baru mengaktifkan benda itu sekarang. Dan notif langsung jebol. Ada 20 percobaan panggilan, 30 pesan dan email dari bank untuk tagihan bulanan hutang Mama. Aku mengabaikan yang terkahir dan mencoba membaca pesan satu per satu sambil dibantu makan malam sama Gun. Pertama ada dari Lea, yang menanyakan kabar. Dia mendapatkan berita ini dari Ed. Entah bagaimana, berhubung laki-laki itu sangat pendiam. Lalu dari Chef Lukas dan Rena yang kurang lebih isinya sama. Kemudian jemariku berhenti di chat dari Mba Niken da
Gun tidak merespon seakan dia sudah menduga dan hanya perlu memastikan. "Jadi memang hanya minuman itu?""Hanya itu, dan aku juga nggak ada riwayat alergi sebelumnya. Dokter Alex bilang metabisulfit itu sangat berbahaya."Haruskah aku menceritakan tentang apa yang akan dilakukan Mba Niken?Ini membuatku takut, dia sudah memberikan warning tentang sebuah bubuk putih yang tidak jadi dimasukkan dalam minumanku, tapi bagaimana jika Zara nekat menggunakan orang lain?"Masalahnya," kataku lagi sambil berdeham. "Kalau ada orang jahat yang sengaja masukin bubuk itu ke dalam minuman malam itu. Kapan tepatnya? Kita lihat sendiri botol wine itu dibuka dan dituang di depan mata kita, dan kamu...""Benar, kalau minuman itu sudah dicampur metabisulfit dari dalam botol, seharusnya aku juga mendapatkan reaksi yang sama, tapi hanya kamu yang terluka.""Gun," kataku, bergerak-gerak gelisah. Aku yakin tidak perlu mengajarkan dia segala prosedur ket