Aku segera melompat bangkit dari kursi, jantung berdebar penuh antisipasi. Mata mendelik nyalang menatapnya. "Apa maksud kamu?" Gun menyesap air putih di meja, gerakannya begitu tenang terkendali, sikap judes yang selalu diperlihatkannya mendadak hilang digantikan sikap dingin, tak tersentuh dan tak terbantah. Seolah dia telah sepenuhnya berubah dari Gun yang dulu pernah kukenal, menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. "Kamu mengerti apa yang saya maksud," jawabnya lambat-lambat. Telingaku berdenging panjang, alarm tanda bahaya menyala. "Kamu bercanda kan, Gun?" "Do I look like I am joking?" Tapi ini sama sekali tidak masuk akal, bahuku merosot lemas, mundur selangkah. Gun bukan laki-laki pemaksa, aku tahu dia sangat galak, judes, dan sulit ditangani. Sebagai pengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD) Gun selalu menuntut kesempurnaan, dia tidak akan bisa bekerja sama dengan orang-orang lamban. Hanya saja, sepanjang kami berpacaran, tidak pernah sekalipun dia
Apartemen kami ternyata sudah rapi, tempat itu sudah tidak dipasang garis polisi. Dan ruang tamunya yang acak-acak dengan perabotan terbalik serta pecah belah sudah dibersihkan dan ditata seperti semula. Aku hanya perlu menyimpan barang-barang kami di kamar masing-masing, membujuk Hiro dan Naga untuk tidur kemudian istirahat. Walaupun aku sendiri insomnia. Bangun-bangun, kepalaku terasa berat, badanku sakit semua seperti habis digebuki. Aku mandi dengan menahan nyeri, kemudian menyadari aku melupakan jadwal pertemuan bersama Miss Clara. "Nggak pa-pa kok Mam, kalau memang masih sibuk, kami maklum. Silakan datang kalau Mama kembar nggak sibuk ya." Aku menggumamkan terima kasih untuk pengertiannya. Lalu meninggalkan anak-anak di kelas. Mengabaikan tatapan kepo dari trio Ibu Nuri, Yuli, dan Yuni. "Ibu-Ibu foto jalan-jalan kemarin sudah dikirim ke grup ya, silakan dicek. Ini saya juga punya bingkisan untuk Ibu-Ibu di rumah, tapi untuk yang ikut-ikut aja." Ibu Nuri mengumumkan di depa
"Saya bukan mau menuduh kamu melakukan pencurian, tapi saya perlu melakukan konfirimasi apa yang kamu lakukan di dalam ruangan Gun." "Benar Pak, saya melihat dia keluar dari ruangan Chef Gun siang ini." Lusi tiba-tiba menyela, suaranya terdengar berapi-api. Pak punjab merentangkan tangan, meminta agar perempuan itu tidak memotong pembicaran. "Kita perlu memberikan Paramita waktu untuk menjelaskan." "Apanya yang perlu dijelaskan Pak? Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kok. Ketika saya tanya apa yang dia lakukan di sana karena Chef Gun sedang nggak ada. Mita sendiri kelihatan ketakutan, seolah dia baru kepergok melakukan sesuatu." Ya Tuhan. Tidak menuduh aku melakukan pencurian? Tapi jelas sekali kata-kata beliau justru menunjukkan yang sebaliknya. Aku bahkan tidak diminta duduk tanpa basa-basi. Di antara empat pasang mata, kecuali Gun, mereka menatapku menunggu jawaban. Punggungku panas dingin. "Apa maksud Bapak pencurian?" tanyaku, lidah terasa pahit saat mengatakan itu
Siapapun yang melihat pasti akan langsung sadar bahwa benda itu terbuat dari berlian. Bentuknya kecil seperti kancing manset pada umumnya, namun berkilauan. Aku bisa mendengar semua karwayan menahan napas. Harganya pasti di atas 1M, pantas saja Pak Punjab tampak senewen, meskipun Gun sempat tidak peduli. Mba Niken megap-megap tidak paham. "Saya nggak tau itu ada di sana." Semua pasang mata langsung menatapnya. "Itu barang kamu?" tanya Pak Punjab. "Y-ya," gagap Mba Niken. "Tapi saya nggak mencuri, dan saya juga nggak tau kenapa benda itu ada di dalam sana Pak." "Ini benar milik kamu kan, Gun?" tanya Zara. Aku mengangkat alis, menyadari dia memanggil Gun tanpa embel-embel Pak atau Chef seperti karyawan yang lain, akrab sekali, bund. "Seharusnya ada sepasang kan? Di mana yang satunya lagi?" "Saya nggak tau!" Mba Niken memekik. "Sebaiknya Anda bicara yang sopan." Gerald memperingatkan dengan tajam. "Nggak apa-apa, dalam keadaan seperti ini semua pasti tegang, dia berhak untuk mem
"Apalagi yang perlu dibicarakan, Gun?" Aku sudah lelah dengan drama pencurian ini, jika dia ingin mengkonfrontasi dan membuatku mengaku bahwa akulah yang mencuri barang miliknya, maka lebih baik Gun pergi daripada menghabiskan waktu. "Ke ruangan saya, atau ribut di sini." Namun Gun adalah Gun kan? Setiap kata-katanya tidak bisa dibantah mutlak, hingga ketika dia menggidikkan kepala agar aku mengikutinya, aku tidak memiliki pilihan selain nurut. Belum lagi jika kami ribut di koridor maka itu bisa menarik perhatian para karyawan. Dengan gontai aku memasuki ruangan Gun, merasa sedikit trauma ketika wanginya yang maskulin sontak menyerbu. Inilah tempat yang membuatku dituduh melakukan tindakan amoral. "Duduklah." Aku nurut. Gun melangkah tenang, membuka lemari bening yang berada di sudut ruangan. Mengeluarkan satu botol yang terlihat mahal, menuangkan isinya ke gelas kemudian mengulurkannya padaku. Kepalaku terangkat, bingung. "Aku—" "Minumlah, kamu butuh rileks sekarang." Dia k
Aku mencoba melihat segalanya dalam sudut pandang yang positif. Selama diliburkan, aku bisa menjaga anak-anak tanpa perlu daycare atau orang lain, terlebih Mama yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Aku bahkan bisa membuatkan mereka bekal makan siang untuk dibawa ke sekolah. Lalu mengajak mereka berbelanja mingguan, dan yang paling penting karena mereka tidak ikut liburan bersama teman-teman lain ke kebun binatang. Aku bisa menyempatkan waktu untuk mengajak mereka ke sana. Hiro dan Naga menyambut gembira. Ketika mereka bertanya, kenapa Mama nggak kerja? Aku bisa berkelit dengan menjawab Mama sedang ambil cuti. Dan selayaknya anak berusia empat tahun mereka sangat senang, bakan berharap Mamanya akan cuti selama setahun penuh. Hiro yang biasanya mudah curiga, kali ini juga tidak banyak bertanya. Menghabiskan waktu bersamaku bagi mereka jauh lebih berharga dibandingkan harus memikirkan masalah lain. Sangat tipika
Karena aku tak kunjung merespon, dan hanya menarik embuskan napas dengan dada naik turun, Gun kembali bersuara. "Mita..." Perlahan dia menunduk, aku bisa merasakan napas hangatnya membayang di wajahku, ketika bibirnya semakin maju, aku sontak membuang muka. "Kamu bilang mau bicara, Gun." Detak jantungku terasa bertalu-talu, darah seperti mengalir deras dari tubuhku. Gun langsung berhenti. Dia diam cukup lama, seolah menyedot habis oksigen di sekeliling kami hingga aku merasa kesulitan bernapas. Lalu cengkeraman tangannya mengendur, kemudian tubuhnya perlahan mundur. Dia menyugar rambut, menatapku yang mematung. Tapi terlalu muluk jika berharap seorang Gun akan mudah menyerah, karena saat aku mulai bergerak untuk menjauh, dia mencekal lenganku kemudian bibirnya menyerbu bibirku. Gun menahan belakang kepalaku selagi mataku melotot dan berusaha mendorong dadanya mundur. Dia memangut lembut.
Gun benar-benar keras kepala. Dia memang tidak langsung datang dan mengganggu aktivitasku, tapi dia menempati janjinya untuk berkunjung saat makan malam. Namun sayang kehadirannya tidak disambut hangat oleh anak-anak. Begitu aku membuka pintu, Naga mendadak muncul dari balik bahuku dengan wajah coreng moreng, mengenakan topi pantai dan menggenggam senapan laras panjang. "Mama tiarap," perintahnya. Aku refleks melakukan yang dia teriakkan, kemudian senapan itu menyempotkan air tepat ke wajah Gun di balik punggungku. Mataku mendelik ngeri, aku sudah bersiap menerima omelan judes Gun saat menoleh dan melihat laki-laki itu ternyata berhasil menghindar dengan berjongkok. Bibirnya menyunggingkan senyum puas. "Musuh gagal dieksekusi." Naga terdengar kesal. Tapi itu adalah pengalih perhatian yang bagus karena di detik berikutnya, sebelum Gun berdiri tegak. Hiro muncul dari balik sofa lalu membombardirnya dengan tem
"Pagi." Nyaris tidak ada yang membalas sapaanku ketika melenggang memasuki kantor keesokan paginya. Ternyata terbukti tidak bersalah setelah huru-hara drama kantor tidak serta merta membuat keadaan kembali seperti semula. Beberapa karyawan masih memandangku skeptis, ada yang hanya tersenyum tipis kemudian kembali memusatkan perhatian pada layar komputer. Ada yang hanya melonggokkan kepala dari kubikel. Ada yang menjawab tapi dengan suara yang pelan. Sisanya tidak repot-repot mengangkat kepala. Lusi di seberang kubikel bahkan menunduk dalam-dalam seolah sedang khusyuk berdoa. Tidak apa-apa, aku mengerti, bagaimana pun juga berita kemarin lumayan dar-der-dor, pasti perlu waktu untuk mereka mencerna apa yang terjadi. Kujatuhkan tubuh di kursi, lalu memadang kursi di sebelahku yang kosong. Mba Niken tidak terlihat. Kemungkinan dia ada jadwal syuting bersama para selebriti di bawah naungannya. "Sssttt..." Sebuah suara mendesis terdengar dari balik punggungku. "Mita..." Aku menoleh, m
"Di mana kita bisa mendapatkan pistol yang bisa diisi pasir?" "Memang ada pistol berisi pasir?" "Pasti ada di suatu tempat." "Kita harus beli?" "Ya iyalah, memangnya kamu mau mencuri? Mama nggak pernah ngajarin kita melakukan itu." "Tapi aku nggak punya uang." "Kita bisa nabung." Percakapan macam apa ini? Sengaja aku membuka heels terlalu gaduh supaya mereka mendengar kehadiranku. Hiro dan Naga sontak menjauh satu sama lain, duduk tegak di sofa sambil memainkan konsol PS. "Tembak dia Naga," perintah Hiro, suaranya terlampau nyaring untuk didengar. "Ai, ai, Captain!" Suara tembak-tembakan kemudian terdengar heboh ke seluruh living room. Ternyata dari sinilah mereka mendapatkan ide untuk membombardir Gun dengan senapan air. Dan karena hasilnya tidak maksimal, kini mereka merencanakan untuk membeli senapan lain? Benar-benar anaknya Gun. Maksudku kalian tahu kan Gun dalam bahasa Inggris dibaca Gan artinya senjata api. "Oh selamat siang, Mama." "Hai Mama." Mereka menyapa se
Tidak ada yang biasa-biasa saja dari Gun. Seharusnya aku ingat ini. Bahkan untuk mengungkapkan kebenaran, dia perlu melakukannya dengan cara yang bombastis di hadapan belasan pasang mata orang-orang penting Lumeno. Tapi aku salut karena dengan begini semua orang tahu aku tidak mencuri. "Itu nggak benar." Sebuah seruan terdengar dari arah tangga, lalu langkah kaki berhamburan. Zara, Lusi dan Mba Niken baru saja naik dan menyaksikan bukti-bukti kejahatan itu dipaparkan. Aku tahu orang-orang di sekitar kami terutama keluarga selalu membuat aku dan Zara bersaing, tapi aku tidak menyangka perempuan itu akan merendahkan dirinya seperti ini. Gun tidak repot-repot menoleh, dengan santai tetap menjelaskan. "Di hari ketika saya sedang sibuk di De Luca bersama Mita sebagai asisten Chef saya, perempuan ini bolak-balik masuk ke ruangan saya. Entah apa yang dia lakukan di sana saat jelas tau bahwa saya nggak ada di tempat. Alasannya, di
"Gimana dengan anak-anak Gun?" "Mereka nggak ada yang jemput?" "Pulang nanti mereka pasti kaget kalau aku nggak ada di rumah." "Titipkan pesan ke guru, katakan pada mereka kalau kamu ada pekerjaan penting." Case closed. Gun tidak bisa dibantah ketika dengan lembut mendorongku masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak bercanda. Tidak lama setelah panggilan, Ed tiba-tiba membunyikan bel di pintu. Asistennya itu membawakan beberapa lembar pakain ganti berupa jas dan kemeja baru untuk Gun. Sementara aku? Karena Gun terus mendesak. Mau tidak mau aku langsung mengubek-ubek lemari, mencari pakaian yang pantas. Maksudku, pesta seperti apa yang akan kami hadiri? Aku sepenuhnya clueless. Sedangkan Gun tidak memberitahu dan hanya meminta aku mengganti pakaian. Jadilah pilihanku jatuh pada ruched side midi skirt dipadukan atasan deep V berbahan satin, bernuansa bata. "Good." Gun hanya memuji singkat ketika aku meminta pendapatnya. Lalu dia buru-buru menggunakan dasi, enggan menatapku
Aku tidak paham sebenarnya kenapa permintaan Gun berubah, awalnya dia bilang hanya akan berkunjung, lalu tinggal di apartemen sampai makan malam. Dan sekarang, laki-laki itu ingin menginap. Harap dicatat ketika dia meminta, menggunakan kata 'boleh?' itu artinya sama saja 'harus' karena Gun tidak menerima penolakan. "Kamu mau tidur di mana?" tanyaku dari balik gigi yang terkatup rapat saat laki-laki itu sudah menjatuhkan diri di sofa setelah membantuku mencuci piring di westafel. Anak-anak sedang kusuruh masuk ke kamar, mengerjakan tugas. Meski sepertinya tadi aku melihat mereka mengintip dari celah pintu yang terbuka. "Jangan khawatirkan itu, saya orang yang fleksibel, di sofa pun bisa." Dan seakan ingin menunjukkan maksudnya, Gun menggenjot sofa, mencoba-coba tempat itu nyaman dan aman untuknya. Aku mendengus. "Kamu nggak bakal bisa tidur, di sini nggak kedap suara."
Gun benar-benar keras kepala. Dia memang tidak langsung datang dan mengganggu aktivitasku, tapi dia menempati janjinya untuk berkunjung saat makan malam. Namun sayang kehadirannya tidak disambut hangat oleh anak-anak. Begitu aku membuka pintu, Naga mendadak muncul dari balik bahuku dengan wajah coreng moreng, mengenakan topi pantai dan menggenggam senapan laras panjang. "Mama tiarap," perintahnya. Aku refleks melakukan yang dia teriakkan, kemudian senapan itu menyempotkan air tepat ke wajah Gun di balik punggungku. Mataku mendelik ngeri, aku sudah bersiap menerima omelan judes Gun saat menoleh dan melihat laki-laki itu ternyata berhasil menghindar dengan berjongkok. Bibirnya menyunggingkan senyum puas. "Musuh gagal dieksekusi." Naga terdengar kesal. Tapi itu adalah pengalih perhatian yang bagus karena di detik berikutnya, sebelum Gun berdiri tegak. Hiro muncul dari balik sofa lalu membombardirnya dengan tem
Karena aku tak kunjung merespon, dan hanya menarik embuskan napas dengan dada naik turun, Gun kembali bersuara. "Mita..." Perlahan dia menunduk, aku bisa merasakan napas hangatnya membayang di wajahku, ketika bibirnya semakin maju, aku sontak membuang muka. "Kamu bilang mau bicara, Gun." Detak jantungku terasa bertalu-talu, darah seperti mengalir deras dari tubuhku. Gun langsung berhenti. Dia diam cukup lama, seolah menyedot habis oksigen di sekeliling kami hingga aku merasa kesulitan bernapas. Lalu cengkeraman tangannya mengendur, kemudian tubuhnya perlahan mundur. Dia menyugar rambut, menatapku yang mematung. Tapi terlalu muluk jika berharap seorang Gun akan mudah menyerah, karena saat aku mulai bergerak untuk menjauh, dia mencekal lenganku kemudian bibirnya menyerbu bibirku. Gun menahan belakang kepalaku selagi mataku melotot dan berusaha mendorong dadanya mundur. Dia memangut lembut.
Aku mencoba melihat segalanya dalam sudut pandang yang positif. Selama diliburkan, aku bisa menjaga anak-anak tanpa perlu daycare atau orang lain, terlebih Mama yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Aku bahkan bisa membuatkan mereka bekal makan siang untuk dibawa ke sekolah. Lalu mengajak mereka berbelanja mingguan, dan yang paling penting karena mereka tidak ikut liburan bersama teman-teman lain ke kebun binatang. Aku bisa menyempatkan waktu untuk mengajak mereka ke sana. Hiro dan Naga menyambut gembira. Ketika mereka bertanya, kenapa Mama nggak kerja? Aku bisa berkelit dengan menjawab Mama sedang ambil cuti. Dan selayaknya anak berusia empat tahun mereka sangat senang, bakan berharap Mamanya akan cuti selama setahun penuh. Hiro yang biasanya mudah curiga, kali ini juga tidak banyak bertanya. Menghabiskan waktu bersamaku bagi mereka jauh lebih berharga dibandingkan harus memikirkan masalah lain. Sangat tipika
"Apalagi yang perlu dibicarakan, Gun?" Aku sudah lelah dengan drama pencurian ini, jika dia ingin mengkonfrontasi dan membuatku mengaku bahwa akulah yang mencuri barang miliknya, maka lebih baik Gun pergi daripada menghabiskan waktu. "Ke ruangan saya, atau ribut di sini." Namun Gun adalah Gun kan? Setiap kata-katanya tidak bisa dibantah mutlak, hingga ketika dia menggidikkan kepala agar aku mengikutinya, aku tidak memiliki pilihan selain nurut. Belum lagi jika kami ribut di koridor maka itu bisa menarik perhatian para karyawan. Dengan gontai aku memasuki ruangan Gun, merasa sedikit trauma ketika wanginya yang maskulin sontak menyerbu. Inilah tempat yang membuatku dituduh melakukan tindakan amoral. "Duduklah." Aku nurut. Gun melangkah tenang, membuka lemari bening yang berada di sudut ruangan. Mengeluarkan satu botol yang terlihat mahal, menuangkan isinya ke gelas kemudian mengulurkannya padaku. Kepalaku terangkat, bingung. "Aku—" "Minumlah, kamu butuh rileks sekarang." Dia k