Ada alasan kenapa aku merasa perlu cokelat hangat. Konon katanya cokelat efektif membangkitkan mood. Sayangnya meski sudah berusaha meneguk minuman pahit manis itu aku tetap tidak merasa lebih baik. "Tenanglah, ini nggak akan berjalan seburuk yang kamu bayangkan." Bukan itu masalahnya. Gun tidak mengerti. Keluarga besarku tidak tahu bahwa aku tidak pernah menikah. Ketika mengetahui mengandung si kembar, aku memang mengatakannya pada mereka. Lalu menjauh dari keluarga dengan alasan akan menikah. Aslinya aku menghilang, dan karena MBA (Married By Accident) itu dianggap aib dalam keluarga. Mereka tidak repot-repot mencari tahu apakah aku benar-benar menikah atau tidak. Begitupun Zara. Hanya Mama satu-satunya yang tahu bahwa aku melahirkan sendirian, tanpa status apalagi sebuah pernikahan. Kini, aku ngeri bahwa Zara akan mencari detail silsilah si kembar dan menemukan fakta yang kucoba kubur dalam-dalam. Karena kalau seperti itu, Gun pun pasti akan terkejut dan murka. "Gun, apa ha
Selama itu, tangan Gun tidak lepas menggandeng tanganku. Dia bahkan tetap menggenggamnya selagi berdiskusi bersama Mas Gilman dan Chef Lukas di ruangan. Sementara aku duduk di sampingnya. "Dia sengaja melakukannya, laki-laki itu datang ke sini bukan untuk membicarakan masalah cufflink, itu hanya pengalih perhatian. Target utamanya memang membuat Mita terpancing emosi." Gun melirik sedikit. Merasakan tubuhku menegang, dia meremas genggaman kami untuk memberi dukungan. "Ketika dia berhasil, dia membuat narasi playing victim, seolah korban." Chef Lukas menimpali. "Sekarang urusannya bukan lagi di De Luca." Benar, mungkin awalnya berita ini tidak terlalu besar. Tapi Roy memblow up-nya dan saat dia menyebut restoran itu adalah milik Gun. Semua orang mendadak menaruh perhatian. Sekarang netizen malah menguliti hubungan kami. "Gimana dengan keadaan Restoran?" "Sejauh ini aman." Mas Gilman menceritakan tentang insiden food vloger kelebet tenar. Gun hanya mengangguk tanpa menanggapi.
Tidak seperti kemarin yang sepi, hari ini restoran kembali padat. Bell tanda orderan masuk berbunyi tanpa henti. Dapur didominasi wangi garlic. Tidak ada pasta overcooked. Tidak ada fettucine yang terlalu creamy, tidak ada saos encer. Kurasa kalau Gun ada di sini, dia akan puas melihat kinerja kami. Bahkan wartawan pun tidak ada. Kemungkinan alasan utamanya karena para bodyguard langsung dikerahkan untuk berjaga di sekeliling De Luca. Begitu tiba pagi tadi, aku pun terkejut dengan pengawalan yang Gun berikan. Namun para pengawal itu kemudian menyebar tanpa menarik perhatian, berbaur tanpa mencolok dengan para staf agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan untuk para pelanggan. Kemungkinan kedua karena mereka tidak tertarik lagi pada berita ini. "Kan, netizen itu cepat bosan, mereka butuh sesuatu yang baru terus buat jadi bahan perbincangan. Dan skandal kita nggak begitu menarik dibanding kasus perselingkuhan artis." Chef Lukas berkata setelah selesai menyajikan risotto ai fu
Kami tidak bisa keluar dari akses pintu belakang, kami juga tidak bisa keluar dari pintu depan. Wartawan-wartawan itu jauh lebih pintar dari yang kami bayangkan. "Mereka mau wawancara?" "Kemungkinan iya, mereka mencari salah satu staf, nggak tau di depan tadi ada yang berhasil dipepet buat wawancara atau nggak. Mudah-mudahan sih enggak." Tanpa kesepakatan kami sama-sama memeriksa ponsel, mengecek grup staf De Luca di WA. Ternyata di sana memang sudah heboh, meminta kami yang masih di restoran berhati-hati. Beruntung semua kompak tutup mulut. "Mereka bilang wartawan itu sebenarnya cuma mau cari info tentang De Luca. Masalahnya ini restoran Chef Gun, tanpa ngapa-ngapain aja De Luca udah jadi sorotan apalagi ditambah skandal. Makin deh netizen yang diam-diam benci Chef Gun punya kesempatan buat hujat dia." Lea memberikan analisisnya. Dan dia memang benar. Setelah menunggu kurang lebih dua jam, barulah kami bisa keluar. Ditemani oleh Pak satpam yang berjaga malam. "Rame ba
De Luca hampir kosong oleh tamu. Lampu-lampu gantung menyala temaram, menyisakan cahaya hangat yang membias di atas meja marmer dapur terbuka. Wangi kopi dan cokelat masih menggantung di udara sejak tadi sore. Jam menunjukkan pukul sembilan lewat, melebihi jam operasional. Tapi aku masih di sini. Dan begitu juga staf lain. "Ini kacau." Benar, Mas Gilman sudah berusaha mencari kalimat yang halus. Tapi tetap saja, tidak ada yang bisa menggambarkan situasi ini kecuali kekacauan. Roy benar-benar melancarkan ancamannya. Kupikir awalnya dia hanya main-main. Tapi ternyata tidak. Pagi tadi sebelum tamu VIP pertama datang, medsos dikejutkan dengan sebuah video yang nyaris membuat tanganku teriris pisau. Aku berdiri di dalam video tersebut lalu membentak Roy untuk keluar. Sudut pengambilan videonya direkam dengan pas, persis di samping meja kami. Wajahku terpampang dengan mata membelalak dalam kemarahan. Video itu diuploud semalam, dan langsung trending di X, Lambe Nyinyir bahkan berk
"Kalau ini bukan soal makanan lebih baik kamu lupain aja, Roy." "Duduk dulu, Mita." Sialan. Sebulan aku tidak bertemu dengannya sejak yang terakhir kali. Dan di sinilah dia, dengan setelan kasual semi-formal, kemeja yang digulung sampai siku, rambut berantakan tapi tetap tampan, tangan melingkar di cangkir kopi, tatapan santai seakan menikmati hidangan. Roy Dihan penuh kepalsuan karena ketika aku menolak, dia berkata tegas. "Kamu ingin menarik perhatian?" Bagaimana aku bisa mengabaikannya? Dia sengaja komplain agar bisa menemuiku. Tamu-tamu di meja lain sudah melirik, tersenyum pada Roy, tapi karena kebanyakan mereka adalah para old money yang punya adab, tidak ada yang lancang melotot kepo. Walaupun begitu, bukan berarti mereka tidak penasaran. Roy memang sendirian tapi kehadirannya saja sudah mencuri atensi. "Kak?" Lea berbisik dari balik punggungku, alis mengernyit menatap kami. Antara cemas dan ragu-ragu. "Nggak pa-pa Le, kamu bisa tinggalin aku sendiri," putusku
Kuyakin Hiro bukannya bertanya apa arti dari Principessa, yang dia maksud adalah kenapa ada yang memberikan Mama bunga? Dan untuk balita yang pikirannya masih dangkal, itu hanya berarti satu hal. 'Mama punya pacar!' "Ini dari restoran, Mama yakin staff ngirim ini sebagai ucapan selamat karena bergabungnya Mama di sana." Kepala Hiro langsung berputar dari jendela memandangku dari balik kaca spion dengan mata menyipit. "Untuk apa bunga? Aku lebih suka mereka mengirimkan pizza." Naga yang jawab, tampaknya dia pun tidak terkesan. Bucket itu sangat cantik. Sebuah bunga tulip berwarna orange. Warna kesukaanku yang dipadukan baby's breath. Gun paham apa yang paling kusuka. Tapi jujur aku tidak expect dia akan mengirimkan bunga segala. Maksudku terlepas dari pertanyaan Hiro, dalam hati aku pun diam-diam menanyakan hal yang sama. Kenapa Gun mendadak mengirimkan bucket bunga? Apakah ini karena ciuman kamu? Namun kuputuskan untuk berterima kasih padanya melalui WA, yang belum dibal
Aku terbangun dengan dering suara ponsel yang memekakan telinga. Mata perlahan terbuka. Sejenak seperti terdisorientasi lalu merasakan kecupan lembut di kening. Menoleh, Naga sedang duduk di sampingku dengan ponsel yang menempel di telinga. "Mama udah bangun..." serunya, seperti berbicara pada seseorang dari balik panggilan telepon. "Yaa... oke... Tapi apa Papa Gun akan ke sini?" Bagus sekali, bahkan pagi-pagi sekali dia sudah merecoki kami. Kulirik jendela yang masih dalam keadaan tertutup rapat, cahaya matahari mengintip dari baliknya. Jam dinding memperlihatkan pukul tujuh pagi. Bukannya aku lupa bahwa kami ada janji datang lebih awal di restoran hari ini, tapi sekarang bahkan belum lima belas menit menuju jam masuk kerja. "Yah, kenapa?" Sepertinya jawaban Gun mengecewakan Naga karena dia cemberut. "Aku akan diam-diam." Aku meregangkan lengan, menggeliat sedikit dan bangkit duduk, menebak-nebak apa yang mereka obrolkan. "Oh?" Hanya satu kata kemudian wajah Naga berubah se
“Kenapa harus saya, Chef?” Aku bertanya, merapikan rambut yang tadi sempat kugulung sekenanya. Sesuai kesepakatan, aku akhirnya datang lima belas menit lebih awal dari jam opersional. Kitchen praktis dalam keadaan kosong. Hanya ada staf OB yang sedang bersih-bersih di restoran saat aku tiba. Gun sedang menyiapkan bahan-bahan di atas meja berupa ladyfinger, kopi hitam yang baru diseduh, keju mascarpone, kuning telur, gula, dan bubuk kakao. Tidak seperti biasanya yang mengenakan seragam, pagi ini Gun hanya mengenakan kemeja yang digulung sampai siku. Kelihatan rapi tapi tetap santai. “Karena saya mau." Dia menjawab kalem sambil membuka lemari penyimpanan. “Dan kamu satu-satunya yang bikin tiramisu di De Luca jadi berasa asin.” Astaga. “Itu cuma sekali.” “Dua kali,” koreksinya, memutar badan dan melempar apron putih ke arahku. “Satu kali pakai garam, satu kali kamu memasukkan bubuk lada putih. Ingat?" Wajahku terasa panas, itu terjadi sebelum huru-hara di kantor Lumeno En