Harusnya aku sadar, harusnya aku paham, harusnya menikmati keindahan Jakarta tidak membuatku lupa.
Aku ke sini untuk tugas menjemput tamu VVIP. Dan inilah tamu tersebut. Kenapa aku sempat berpikir kalau Gun berniat mengajakku berjalan-jalan setelah hari yang melelahkan? "Aku pikir kamu balik lagi ke Bali untuk syuting Truffle Gun," katanya sambil mengurai pelukan, tersenyum cerah sambil menyelipkan rambutnya yang berantakan. "Ed kasih tau aku kalau kamu bakalan mendarat di hotel Ayana." Sosok muram Ed muncul di belakangnya bersama seorang perempuan yang kutebak adalah asisten Prily. "Kita jadi dinner? Semuanya udah disiapkan Ed. Iya, kan Ed?" "Pak." Ed hanya menunduk sekilas seolah mengkonfirmasi apa yang dikatakan Prily sekaligus apa yang ada di pikiranku. Aku mundur selangkah. Angin berembus keJenardi dan Ed adalah yang pertama kali berkunjung di hari berikutnya. Mereka membawa bucket bunga, cantik sekali, peony dan baby's breath. "Kata Gun, lo suka banget tulip orange, tapi gue yakin dia pasti udah beliin itu duluan, jadi gue bawain yang lain aja." Aku meringis sambil berterima kasih. Diam-diam melirik tulip orange dalam sebuah vas yang sejak pagi sudah bertengger manis di samping tempat tidur. Gun tidak pernah beranjak dari sisiku kecuali untuk kebutuhan toilet, bukannya senang lama-lama aku malah risi. Aku sudah lumayan membaik, ruam merah itu masih mecolok tapi jantungku sudah tidak berdegup kencang, napasku mulai terasa teratur. Dokter Alex juga bilang perkembanganku sangat memuaskan. Walaupun aku masih harus rawat inap, diikuti pengobatan ringan. Sementara itu, kulitku masih sensitif, dan tubuhku lemah seperti habis berenang maraton. Tapi selain itu, semua aman.
Jungkir balik. Rasanya seperti aku melihat kilas balik semua hidupku dalam satu film dokumenter. Dari aku kecil, ketika Mama pertama kali membawaku ke sekolah. Masa SMP yang menakutkan sebagai seorang remaja, masa SMA yang berbunga-bunga pertama kali mengenal cinta. Masa kuliah yang penuh tantangan, sampai berhenti ketika aku berada di rumah sakit lalu mendengar seorang perawat mengatakan. "Kedua bayi Bunda laki-laki." Di sanalah aku menangis sejadi-jadinya, menyaksikan dua tubuh mungil mencari kehangatan di dadaku. Untuk pertama kali, kulit kami bertemu, dan aku bisa merasakan mereka hidup. Lalu, semuanya kembali berubah, aku dalam kekalutan, dicaci maki keluarga saat membawa mereka ke Jakarta. "Di mana Papanya? Kenapa nggak kamu berikan aja anak-anak itu ke dia?" "Kalian langsung bercerai?" "Satu anak aja sudah membuat repot dan kamu malah punya dua." "Aib keluar
"Gimana?" "Dengerin dulu. Dia taunya kita masih diem-dieman. Dan mungkin berpikir kalau gue masih berada di pihak dia. Memang setelah kejadian di kapal. Gue nggak menjauh, lebih tepatnya, dia dipecat, pindah ke kantor baru, tapi sebenarnya komunikasi kita nggak pernah putus." Dadaku tiba-tiba terasa panas. "Dia minta gue buat masukin ini ke minuman lo." Mataku melotot, melihat dia mengeluarkan botol mini berisi bubuk putih mencurigakan dari dalam clutchnya yang dibuka sedikit sekali, seperti celah. "Apa itu Mba?" Dia mengangkat bahu, dan cepat-cepat menyembunyikannya lagi. "Siapa yang tau? Mungkin racun tikus, obat tidur, atau malah obat perangsang," katanya. "Padahal kalau beneran obat perangsang dia nggak perlu pakai bubuk segala, udah nggak zaman, sekarang banyak obat perangsang yang lebih simple, dalam bentuk cokelat, perme
"Udah lama banget gue nggak lihat lo secara real life." "Lo nggak ada pas gue pamitan terakhir di Lumeno, Mba." "Jadi beneran asisten Chef? Gue nggak tau kalau lo bisa masak." "Yah, kemampuan terpendam, dan kayaknya menurut Gun memang lebih baik dipendam aja." Mba Niken meringis, lalu menjatuhkan dirinya untuk duduk di sampingku. Penampilannya malam ini kelihatan cantik sekali. Dia sebenarnya agak tomboy dengan rambut potongan pixie, dan ada tindik di hidungnya. Sedikit rebel juga dengan tato di lengan, yang biasanya tersembunyi oleh pakaian. Tapi kali ini dalam balutan gaun off shoulder hitam, seni bergambar rasi bintang Orion itu eksis, memberi kesan seksi untuk keseluruhan penampilannya. "Katanya dia dermawan ya?" "Lo dapat info dari mana?" "Jadi manajer aja bisa dua kali li
"Mitaa..." Aku menyambut pelukan Jenardi dengan gembira. Laki-laki itu kelihatan sangat flawless hari ini dalam balutan blazer dan celana bahan yang semuanya serba hitam, rambut panjang ditata rapi ke belakang. Dia tampak seperti Lady Boss yang biasanya ada di film-film suspense. "Gimana, gimana?" "Kamu udah dari tadi?" "Baru banget dateng sih, cuma macet banget di depan, nggak bisa bergerak sama sekali," katanya rungkat. Mengibaskan tangan gaya dramatis. Dia memang tidak salah, rolls-royce kami bahkan nyaris tidak bisa jalan, kalau Pak Wilis tidak berpengalaman dan pintar mencari alternatif jalur lain. Dan begitu sudah dekat ke lokasi, kemacetan itu sudah tidak tertolong. Banyak fans yang berkerumun di depan hotel tempat acara awardsnya diadakan. Meskipun banyak sekali pengawal yang dikerahkan untuk berjaga-jaga. Mereka berdiri di balik
"Lebih baik kita fokus dengan apa yang ada di depan mata sekarang," katanya begitu mobil kami perlahan melaju pelan untuk menjemput Hiro dan Naga. Senin secara keseluruhan tidak pernah se-hethic ini, tapi aku mungkin harus mulai terbiasa dengan jadwal Gun. Dia sendiri tidak pernah istirahat, kalau tidak di restoran, maka dia pasti ada jadwal syuting belum photoshoot brand dan tentu saja Awards yang dimaksud Lea. "Kamu harusnya kasih tau aku lebih awal Gun, nggak semua orang punya kecepatan seperti kecepatan kamu. Dan nggak semua orang hidupnya semudah kamu." "Ini cuma penghargaan." "Ini yang pertama kali buat aku selain sebagai manajer." "Yang penting kamu nggak sendirian." See? Bagaimana mungkin dia menyepelekan sebuah acara yang akan diselenggarakan oleh salah satu stasiun TV bergengsi di Indonesia dan disaksikan jutaan pasang mata, serta ribuan share di sosial media? Kurasa ini adalah tipikal Gun, dia selalu memberi informasi secara dadakan. Seperti ketika dia meng