Wangi, hangat, tenang. Aku menggeliat, meregangkan tangan, lalu perlahan membuka mata dan menatap langit-langit kamar berwarna biru terang dan seketika sadar bahwa aku tidak sedang berada di dalam kamar apartemen. Rasa pusing di kepala langsung menyerang saat aku duduk tegak, menyadari si kembar sudah tidak ada di sisiku. Dengan gusar aku segera beringsut bangkit, melotot pada jam digital di atas nakas yang menunjukkan angka setengah delapan pagi. Akibat overthinking memikirkan di mana nanti kami akan tinggal, hutang-hutang Mama dan yah ... Gun juga, aku tidur terlalu larut sehingga kini kesiangan! "Pagi." Aku meringis, sudah jelas bahwa itu adalah sindiran karena aku orang terakhir yang muncul di ruang sarapan. Sesuai pesan Gun semalam, seorang pelayan langsung mengarahkan aku untuk bergabung dengan si kembar yang sudah duduk manis di sana. "Mama!" Naga melompat di kursi makan, sudah berseragam rapi, aku melotot dan menyuruhnya duduk. "Mama mau cobain soup bikinan Chef Gun?"
Tentu saja tidak, aku segera menyusuri koridor ke ruangan Gun, mengetuk pintu dua kali, menunggu sahutan dari dalam sebelum perlahan membukanya. "Bapak manggil saya?" "Masuklah," katanya. "Mita ini pengacara saya, Jerikho, dia yang akan membantu kamu dalam kasus perusakan property semalam, para debt collector itu sudah diketahui berasal dari salah satu Bank, dan mereka punya hak untuk melakukan penggeledahan karena Mama kamu selama ini selalu menghindari pembayaran." Aku megap-megap di sofa setelah berjabat tangan singkat dengan Jerikho. "Te-terus gimana?" Mendadak blank. "Kita hanya bisa mengajukan keluhan." Jerikho yang menjawab. "Tapi kami perlu saksi untuk melakukannya ke pihak Bank." "Saksi?" "Hiro dan Naga," kata Gun. Dadaku langsung terasa panas. Mana mungkin aku akan membiarkan anak kecil berhadapan dengan orang dewasa. Kejadian semalam bahkan bisa meninggalkan trauma, meski si kembar tampak ceria tapi bukan berarti mereka baik-baik saja jika harus berulang kali mence
"Mama kembar." Here we go, panggilan alam akhirnya datang, seperti biasa trio Ibu Nuri, Yuli, Yuni menghampiri ketika aku menjemput Hiro dan Naga di sekolah. "Gimana si kembar jadi ikut jalan-jalan ke kebun binatang atau nggak? Saya belum nerima transferan." Aku meringis, mencoba mencari alasan untuk menolak, aku takut bahwa Hiro dan Naga sedih karena di antara teman-teman lain, mereka tidak ikut, sementara biayanya di luar kemampuanku saat ini. "Itu... apa menurut Ibu-Ibu biayanya nggak terlalu kemahalan?" "Loh, kan udah dijelasin ya tempo hari sama Ibu Nuri," kata Ibu Yuli. "Pulang dari kebun binatang anak-anak juga dapat goodie bag, lagian di sana nanti mereka bukan cuma lihat-lihat binatang tapi sekalian belajar." "Kita malah belum kasih tau soal seragam anak-anak loh Mom." Ibu Yuni menimpali. "Seragam?" "Iya biar gampang dikoordinasiinnya, anak-anak kan rawan hilang dari rombongan, makanya kita butuh seragam, jadi mudah dicari dan dibedain dari rombongan TK lain." Penjel
Gelisah, ada alasan kenapa aku menyembunyikan kehamilan pada Gun, salah satunya karena karier laki-laki itu sedang berada di puncak ketika ini terjadi, kedua ibunya nggak menyukaiku. Beliau menganggap aku sebagai penghambat kesukesaan Gun, dan kehamilanku hanya membawa bencana. Lalu kalau ditanya apakah aku menyesali keputusan itu? Jawabannya tidak, aku justru akan menyesal kalau dulu menuruti keinginannya, sesuatu yang tidak akan termaafkan. Meski sulit, tapi aku menikmati setiap proses mengandung anak-anakku. Sakit, pusing, mual, kram, semua kulalui dengan hati gembira, dan hasilnya aku rasa anak-anakku tumbuh menjadi anak yang riang, saking riangnya kadang aku berpikir mereka melewati batas. Aku mulai meragukan diri sendiri, apakah mungkin saja apartemen memang diacak-acak oleh mereka dan bukannya debt collector? Sial, karena julukan banyak orang mereka liar dan nakal aku jadi terkontaminasi. "Hiro, Naga, kalian nggak boleh ngatain orang lain bodoh, itu sangat kasar," kataku be
"Asisten Chef?" Aku tergagap di saat dia langsung masuk ke ruangan lalu dengan wajah puas duduk di kursi kebesarannya. "Terus gimana dengan kerjaan saya? Bukannya dwi jabatan sama nggak diperbolehkan? Saya nggak mungkin double jadi manajer dan asisten chef juga, Pak." "Siapa yang bilang kamu akan punya dua jabatan?" katanya santai. "Kamu nggak perlu jadi manajer saya, saya nggak butuh itu sekarang, semua pekerjaan syuting sudah ditangani Ed, dan kamu sepertinya lebih cocok jadi asisten chef." "Bapak bahkan nggak tau saya bisa masak atau nggak!" kataku melotot. Tapi alis Gun terangkat, kutelan kembali semua kalimat protesku. Tentu saja Gun tahu, pernah menjalin hubungan selama tiga tahun, jelas sedikit banyak dia sudah mengenalku. Dia tahu, meski bukan profesional dan tidak pernah sekolah masak sepertinya, aku diam-diam memiliki passion pada dunia kuliner. Dan Gun sepertinya sedang berusaha memanfaatkan impian yang sudah kupendam itu dalam-dalam. "Memang ada perbedaan besar menja
"Diam sebentar." Dia meremas pinggulku supaya aku berhenti bergerak-gerak di atas tubuhnya. Laki-laki itu mengerang lagi. Ya Tuhan. Aku benar-benar ngeri, tubuhku yang mungil mungkin tidak ada apa-apanya bagi Gun, tapi posisi jatuhnya mengkhawatirkan. Aku takut bahwa dia akan cedera. "Saya udah boleh bergerak?" "Belum." Gun merebahkan kepala, kedua matanya terpejam, keningnya mengernyit samar. Dari jarak sedekat ini, aku bisa memindai dengan jelas wajahnya. Pada bulu matanya yang lentik, rahangnya yang mulus dan sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus. Hidungnya yang bangir, lalu bibirnya yang ranum dan merah muda. Tanpa sadar pipiku terasa merona. Aku pun bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, atau itu adalah detak jantungku sendiri? Aku tidak yakin, tapi tubuh kami yang menempel, membuatku bahkan bisa merasakan sebagaian tubuhnya. Wajahku semakin gosong. "Pak? "Hm? "Saya sudah boleh bangun?" "Belum." "Kita harus cari bantuan." "Benar." "Bapak bisa bergerak
Aku penasaran apa sekiranya jawaban Gun, tapi sayang pendengaranku terinterupsi dengan Hiro yang mendorong kursi lalu melompat turun. Hingga tidak ada yang bisa kudengar selain gumaman. Namun Naga pun diam saja, dia cenderung tidak merespon, dan seperti orang yang mematung menatap perempuan itu. "Aku mau ngerjain tugas," kata Hiro melenggang masuk ke kamar. "Naga sebaiknya kita selesain PR hari ini." Naga masih ragu-ragu di depan pintu. "Naga, ayo cepat." "Hallo?" Prily menyapa, dia menaiki undakan lalu dengan gemas mengacak rambut Naga diikuti Gun di belakangnya. "Siapa nama kamu, anak manis?" Naga segera menepisnya. "Duh, gemasnya. Jangan malu-malu ya, kamu bisa panggil Aunty Prily." "Mohon maaf saya nggak punya Uncle yang menikah sama kamu." "Uhm." Prily tampak terkejut karena sikap lancang Naga. "Memanggil orang lain Aunty bukan berarti harus karena menikah dengan Uncle kok, kamu bisa—" Naga langsung melengos, berlari masuk, menabrak tubuhku yang melangkah mendekati mer
Aku benci bagaimana Gun selalu punya dampak seperti ini tiap kali dia menyebutkan namaku. Tubuhku akan merespon dengan getaran halus, dan detak jantungku langsung melonjak. Masalahnya dia kini berdiri di depan pintu ruangan tempat menyambut Prily. Laki-laki itu masih menggenakan kacamata baca. Dengan pakaian yang sama. Selain kemampuan memasaknya yang di atas rata-rata, Gun juga suka sekali membaca. Aku ingat dia punya ruang khusus perpustakaan di apartemennya dulu. Laki-laki ini sebenarnya adalah seorang nerd, atau lebih tepatnya hot nerd. Kalau bukan karena harus serumah, aku pasti tidak akan memiliki kesempatan untuk melihatnya seperti ini lagi. "Ini baru mau tidur, Pak." "Kenapa kamu malah berkeliaran? Kamu tahu jam berapa sekarang?" "Saya abis temenin anak-anak ngerjain tugas sekolah buat besok." Alisnya terangkat, lalu perlahan berjalan mendekat. "Mereka sudah tidur?" "Iya." "Biar saya lihat." "Sebaiknya jangan." Gun mengernyit karena aku menahan knop pintu.
Aku tidak paham sebenarnya kenapa permintaan Gun berubah, awalnya dia bilang hanya akan berkunjung, lalu tinggal di apartemen sampai makan malam. Dan sekarang, laki-laki itu ingin menginap. Harap dicatat ketika dia meminta, menggunakan kata 'boleh?' itu artinya sama saja 'harus' karena Gun tidak menerima penolakan. "Kamu mau tidur di mana?" tanyaku dari balik gigi yang terkatup rapat saat laki-laki itu sudah menjatuhkan diri di sofa setelah membantuku mencuci piring di westafel. Anak-anak sedang kusuruh masuk ke kamar, mengerjakan tugas. Meski sepertinya tadi aku melihat mereka mengintip dari celah pintu yang terbuka. "Jangan khawatirkan itu, saya orang yang fleksibel, di sofa pun bisa." Dan seakan ingin menunjukkan maksudnya, Gun menggenjot sofa, mencoba-coba tempat itu nyaman dan aman untuknya. Aku mendengus. "Kamu nggak bakal bisa tidur, di sini nggak kedap suara."
Gun benar-benar keras kepala. Dia memang tidak langsung datang dan mengganggu aktivitasku, tapi dia menempati janjinya untuk berkunjung saat makan malam. Namun sayang kehadirannya tidak disambut hangat oleh anak-anak. Begitu aku membuka pintu, Naga mendadak muncul dari balik bahuku dengan wajah coreng moreng, mengenakan topi pantai dan menggenggam senapan laras panjang. "Mama tiarap," perintahnya. Aku refleks melakukan yang dia teriakkan, kemudian senapan itu menyempotkan air tepat ke wajah Gun di balik punggungku. Mataku mendelik ngeri, aku sudah bersiap menerima omelan judes Gun saat menoleh dan melihat laki-laki itu ternyata berhasil menghindar dengan berjongkok. Bibirnya menyunggingkan senyum puas. "Musuh gagal dieksekusi." Naga terdengar kesal. Tapi itu adalah pengalih perhatian yang bagus karena di detik berikutnya, sebelum Gun berdiri tegak. Hiro muncul dari balik sofa lalu membombardirnya dengan tem
Karena aku tak kunjung merespon, dan hanya menarik embuskan napas dengan dada naik turun, Gun kembali bersuara. "Mita..." Perlahan dia menunduk, aku bisa merasakan napas hangatnya membayang di wajahku, ketika bibirnya semakin maju, aku sontak membuang muka. "Kamu bilang mau bicara, Gun." Detak jantungku terasa bertalu-talu, darah seperti mengalir deras dari tubuhku. Gun langsung berhenti. Dia diam cukup lama, seolah menyedot habis oksigen di sekeliling kami hingga aku merasa kesulitan bernapas. Lalu cengkeraman tangannya mengendur, kemudian tubuhnya perlahan mundur. Dia menyugar rambut, menatapku yang mematung. Tapi terlalu muluk jika berharap seorang Gun akan mudah menyerah, karena saat aku mulai bergerak untuk menjauh, dia mencekal lenganku kemudian bibirnya menyerbu bibirku. Gun menahan belakang kepalaku selagi mataku melotot dan berusaha mendorong dadanya mundur. Dia memangut lembut.
Aku mencoba melihat segalanya dalam sudut pandang yang positif. Selama diliburkan, aku bisa menjaga anak-anak tanpa perlu daycare atau orang lain, terlebih Mama yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Aku bahkan bisa membuatkan mereka bekal makan siang untuk dibawa ke sekolah. Lalu mengajak mereka berbelanja mingguan, dan yang paling penting karena mereka tidak ikut liburan bersama teman-teman lain ke kebun binatang. Aku bisa menyempatkan waktu untuk mengajak mereka ke sana. Hiro dan Naga menyambut gembira. Ketika mereka bertanya, kenapa Mama nggak kerja? Aku bisa berkelit dengan menjawab Mama sedang ambil cuti. Dan selayaknya anak berusia empat tahun mereka sangat senang, bakan berharap Mamanya akan cuti selama setahun penuh. Hiro yang biasanya mudah curiga, kali ini juga tidak banyak bertanya. Menghabiskan waktu bersamaku bagi mereka jauh lebih berharga dibandingkan harus memikirkan masalah lain. Sangat tipika
"Apalagi yang perlu dibicarakan, Gun?" Aku sudah lelah dengan drama pencurian ini, jika dia ingin mengkonfrontasi dan membuatku mengaku bahwa akulah yang mencuri barang miliknya, maka lebih baik Gun pergi daripada menghabiskan waktu. "Ke ruangan saya, atau ribut di sini." Namun Gun adalah Gun kan? Setiap kata-katanya tidak bisa dibantah mutlak, hingga ketika dia menggidikkan kepala agar aku mengikutinya, aku tidak memiliki pilihan selain nurut. Belum lagi jika kami ribut di koridor maka itu bisa menarik perhatian para karyawan. Dengan gontai aku memasuki ruangan Gun, merasa sedikit trauma ketika wanginya yang maskulin sontak menyerbu. Inilah tempat yang membuatku dituduh melakukan tindakan amoral. "Duduklah." Aku nurut. Gun melangkah tenang, membuka lemari bening yang berada di sudut ruangan. Mengeluarkan satu botol yang terlihat mahal, menuangkan isinya ke gelas kemudian mengulurkannya padaku. Kepalaku terangkat, bingung. "Aku—" "Minumlah, kamu butuh rileks sekarang." Dia k
Siapapun yang melihat pasti akan langsung sadar bahwa benda itu terbuat dari berlian. Bentuknya kecil seperti kancing manset pada umumnya, namun berkilauan. Aku bisa mendengar semua karwayan menahan napas. Harganya pasti di atas 1M, pantas saja Pak Punjab tampak senewen, meskipun Gun sempat tidak peduli. Mba Niken megap-megap tidak paham. "Saya nggak tau itu ada di sana." Semua pasang mata langsung menatapnya. "Itu barang kamu?" tanya Pak Punjab. "Y-ya," gagap Mba Niken. "Tapi saya nggak mencuri, dan saya juga nggak tau kenapa benda itu ada di dalam sana Pak." "Ini benar milik kamu kan, Gun?" tanya Zara. Aku mengangkat alis, menyadari dia memanggil Gun tanpa embel-embel Pak atau Chef seperti karyawan yang lain, akrab sekali, bund. "Seharusnya ada sepasang kan? Di mana yang satunya lagi?" "Saya nggak tau!" Mba Niken memekik. "Sebaiknya Anda bicara yang sopan." Gerald memperingatkan dengan tajam. "Nggak apa-apa, dalam keadaan seperti ini semua pasti tegang, dia berhak untuk mem
"Saya bukan mau menuduh kamu melakukan pencurian, tapi saya perlu melakukan konfirimasi apa yang kamu lakukan di dalam ruangan Gun." "Benar Pak, saya melihat dia keluar dari ruangan Chef Gun siang ini." Lusi tiba-tiba menyela, suaranya terdengar berapi-api. Pak punjab merentangkan tangan, meminta agar perempuan itu tidak memotong pembicaran. "Kita perlu memberikan Paramita waktu untuk menjelaskan." "Apanya yang perlu dijelaskan Pak? Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kok. Ketika saya tanya apa yang dia lakukan di sana karena Chef Gun sedang nggak ada. Mita sendiri kelihatan ketakutan, seolah dia baru kepergok melakukan sesuatu." Ya Tuhan. Tidak menuduh aku melakukan pencurian? Tapi jelas sekali kata-kata beliau justru menunjukkan yang sebaliknya. Aku bahkan tidak diminta duduk tanpa basa-basi. Di antara empat pasang mata, kecuali Gun, mereka menatapku menunggu jawaban. Punggungku panas dingin. "Apa maksud Bapak pencurian?" tanyaku, lidah terasa pahit saat mengatakan itu
Apartemen kami ternyata sudah rapi, tempat itu sudah tidak dipasang garis polisi. Dan ruang tamunya yang acak-acak dengan perabotan terbalik serta pecah belah sudah dibersihkan dan ditata seperti semula. Aku hanya perlu menyimpan barang-barang kami di kamar masing-masing, membujuk Hiro dan Naga untuk tidur kemudian istirahat. Walaupun aku sendiri insomnia. Bangun-bangun, kepalaku terasa berat, badanku sakit semua seperti habis digebuki. Aku mandi dengan menahan nyeri, kemudian menyadari aku melupakan jadwal pertemuan bersama Miss Clara. "Nggak pa-pa kok Mam, kalau memang masih sibuk, kami maklum. Silakan datang kalau Mama kembar nggak sibuk ya." Aku menggumamkan terima kasih untuk pengertiannya. Lalu meninggalkan anak-anak di kelas. Mengabaikan tatapan kepo dari trio Ibu Nuri, Yuli, dan Yuni. "Ibu-Ibu foto jalan-jalan kemarin sudah dikirim ke grup ya, silakan dicek. Ini saya juga punya bingkisan untuk Ibu-Ibu di rumah, tapi untuk yang ikut-ikut aja." Ibu Nuri mengumumkan di depa
Aku segera melompat bangkit dari kursi, jantung berdebar penuh antisipasi. Mata mendelik nyalang menatapnya. "Apa maksud kamu?" Gun menyesap air putih di meja, gerakannya begitu tenang terkendali, sikap judes yang selalu diperlihatkannya mendadak hilang digantikan sikap dingin, tak tersentuh dan tak terbantah. Seolah dia telah sepenuhnya berubah dari Gun yang dulu pernah kukenal, menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. "Kamu mengerti apa yang saya maksud," jawabnya lambat-lambat. Telingaku berdenging panjang, alarm tanda bahaya menyala. "Kamu bercanda kan, Gun?" "Do I look like I am joking?" Tapi ini sama sekali tidak masuk akal, bahuku merosot lemas, mundur selangkah. Gun bukan laki-laki pemaksa, aku tahu dia sangat galak, judes, dan sulit ditangani. Sebagai pengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD) Gun selalu menuntut kesempurnaan, dia tidak akan bisa bekerja sama dengan orang-orang lamban. Hanya saja, sepanjang kami berpacaran, tidak pernah sekalipun dia