"Mau sampai kapan, sih, kamu kayak gitu? Ini udah siang, loh!" Aksa mengerang frustasi. Dua jam waktunya berlalu sia-sia hanya untuk mendengar rengekan Ayana. Gadis itu bahkan sampai detik ini masih dengan nyamannya duduk berjongkok di sudut kamar Aksa menolak untuk diusir."Kalau udah siang begini, aku sampai sananya kapan?" keluh Aksa lemas. "Dan berhenti memegang tanganku begini. Aku mau pergi." Aksa berteriak sembari menyentakkan tangannya, berusaha melepaskan tautan tangan Ayana yang berkamuflase seperti jerat gurita. Kepala Aksa semakin berdenyut nyeri. Suara chat dan panggilan masuk dari ponselnya bergantian sahut menyahut sedangkan dirinya masih berjibaku dengan jerat tangan Ayana."Yan," Kala ikut bersuara, berusaha untuk menjadi penengah yang baik. "Jangan merengek begitu. Yuk! Makan siang dulu, yuk!" ajak Kala lembut seperti seorang bapak yang sedang mencoba membujuk sang anak untuk makan.
"Huweeeks."Ayana yang masih sibuk mengunyah keripik singkong pedas terpaksa menolehkan kepalanya ke belakang ketika mendengar Aksa untuk yang kesekian kalinya muntah. Padahal Stelli pewangi jeruk sudah sengaja dibuang dari dalam mobil karena Aksa yang dari tadi mengomel, menyalahkan aroma jeruk yang membuatnya mendadak mabok darat."Kapan sampainya, sih?" gerutu Aksa jengkel.Dari tadi Om sopir selalu bilang sebentar lagi sampai, tidak lama lagi sampai, hanya tinggal menyeberang sungai, tapi nyatanya perjalanan itu terasa semakin lama dan membuat perut Aksa seperti diaduk-aduk. Posisi duduknya benar-benar tidak nyaman."Sudah tahu perjalanannya bakalan ngabisin 6 jam, kenapa juga kamu ngotot pingin bepergian naik mobil? Seisi mobil udah bau muntahan ini," timpal Kala agak jengkel karena harus menghirup aroma tidak sedap sepanjang jalan tadi. Ia bahkan sampai m
"Sebenarnya mau sampai kapan kamu itu bakalan menguji kesabaranku?" tanya Aksa jengah. Dalam sekejap mabok daratnya hilang, ia yang tadinya lemas tak berdaya sekarang bahkan sudah punya kekuatan full untuk mengomel. Ucapkan terima kasih pada Ayana. Siapa lagi orang yang bisa membuat Aksa konsisten mengedumel dari pagi ke malam, selain Ayana. Aksa tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau ia benar-benar sampai menikah dengan Ayana. Mungkin tiap malam ia harus mengkonsumsi obat penenang supaya tidak mendadak kena bipolar."Yan? Bisa nggak kamu lepasin tanganku?" Saga akhirnya ikut bersuara. Ayana yang ngambek tiba-tiba mengambil posisi duduk berjongkok di sudut ruangan. Sebenarnya tidak masalah kalau Ayana memang mau bersemedi di pojokan, tapi masalahnya Ayana mempraktekkan ilmu jerat guritanya. Ia memegangi tangan Saga, bahkan sampai Aksa tarik-tarikan untuk membantu melepaskan Saga dari cengkraman tangan Ayana, Ayana masih juga tidak mau mengalah.
"Saga," panggil Karin dengan suara lemah lembut. Entah bagaimana ceritanya sampai Karin bisa duduk di antara Saga dan Aksa. Kedua sejoli terhalang aturan agama itu terpaksa duduk berjauhan dipisahkan oleh Karin yang sekonyong-konyong ikut bergabung di meja makan."Silahkan makan ini. Ini enak, lho!" Karin dengan antusias mencoba menyuapi Saga dengan ikan bakar yang sudah ia pisahkan dari tulangnya. Secara mendadak, Karin memiliki keahlian bak ibu rumah tangga yang telaten memisahkan daging ikan dengan tulangnya agar keluarganya bisa makan dengan tenang tanpa harus takut tersedak tulang ikan."Makasih, Karin. Tapi, aku bisa makan sendiri," tolak Saga lengkap dengan senyuman manis di bibirnya, walaupun Saga sempat bingung pagi-pagi begini kenapa sudah disuguhi ikan bakar.Aksa yang merasa tersisihkan hanya bisa mengedumel dan memasang raut wajah kesal. Ingin marah dan mengusir Karin pergi, tapi sa
Aksa menggeram pelan sembari menggelengkan kepala. Makhluk hidup yang namanya Ayana itu seperti tidak pernah kehabisan akal untuk menyusahkan Aksa. Ya, ini juga salahnya kenapa tadi ia mau saja menuruti ajakan Ayana untuk berjalan-jalan. Memang diam di penginapan adalah pilihan paling tepat daripada jalan-jalan yang pada akhirnya terkendala karena Ayana nyaris semaput kedinginan. Anak satu itu benar-benar tidak tahan dengan udara dingin."Haduuuh. Dingin banget ini. Rasanya aku mau beku." Ayana mengeluh dengan suara bergetar. Ia yang tadinya berdiri tangguh kini berjongkok sambil memeluk lutut. Udara pagi di pedesaan ternyata jauh lebih dingin daripada di kota. Tulang Ayana mendadak terasa ngilu. Ia merasa seperti orang berusia lanjut yang terkena reumatik."Kamu ini benar-benar!!! Bukannya tadi kamu yang ngebet pengen jalan-jalan ke luar?" omel Aksa. Ia bahkan sudah berbaik hati meski dengan tidak ikhlas, meminjamkan sweat
"Tadi aku larinya ke arah mana, sih?" gerutu Ayana kesal. Tadi ia hanya asal berlari dan tahu-tahu ia sudah berada di tempat di mana pohon-pohonnya terlihat sama semua. Maksud dan tujuan Ayana berlari tadi untuk menghindarkan matanya melihat Aksa dan Saga bermesraan berdua, tapi tak disangka adegan berlarinya yang tak tentu arah justru membuatnya tersesat. Ayana lupa kalau ia punya penyakit buta arah yang bahkan tak bisa tertolong meski melihat peta ataupun google map."Malas banget kalau harus melihat Mas Aksa dan Saga mesra-mesraan berdua. Apa di sini nggak ada cowok keren yang bisa aku incar?" Ayana kembali menggerutu lalu berjongkok mengistirahatkan kakinya. Padahal ia belum lama berlari, tapi betisnya sudah terasa pegal dan berat seperti digantungi makhluk halus. Menjadi seorang atlet memang bukan bakat untuk kaum mageran sepertinya."Ini daun kering juga kenapa jatuh mulu, sih? Bikin kotor aja!" gerutu Ayana sebal kar
Suara derap kaki Ayana terdengar membahana di sepanjang koridor. Sambil bersenandung riang, Ayana melenggang menuju kamar Aksa. Hari ini suasana hatinya sedang sangat baik dan ia berencana ingin jalan-jalan mengelilingi desa sembari melihat sungai bersama Aksa."Mas Aksa, kita jalan-jalan, yok!" ajak Ayana penuh semangat.Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu apalagi mengucap salam meminta izin, Ayana langsung membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Ayana terdiam beberapa saat. Senyum lebar di bibirnya dalam sekejap berubah menjadi senyuman kaku yang sangat aneh. Moodnya yang tadi dalam keadaan baik sekarang anjlok secara drastis.Ayana memegangi kepalanya yang seperti dipukul dengan palu. Penglihatannya mengabur, tapi ia masih bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan matanya. Di kamar itu bukan cuma ada Aksa, tapi juga Saga. Kedua orang itu tidur dengan nyaman sambil berpelukan.
"Anak itu membuatku kesal saja," gerutu Aksa.Pencariannya di penjuru penginapan tidak membuahkan hasil. Pagi-pagi begini ia sudah olahraga kaki berlarian ke sana ke mari hanya untuk menemukan batang hidung Ayana. Tapi, sepertinya Ayana memang dianugerahi kemampuan bermain petak umpet yang mumpuni sehingga susah sekali menemukan Ayana. Anak itu seperti terselip di tempat yang tak terlihat."Dia nggak ada di penginapan, Sa. Aku rasa dia lari ke luar."Perkataan Saga semakin membuat Aksa gusar. Kabut pagi masih begitu tebal, embun masih ada di mana-mana dan itu artinya berkeliaran di luar sana pastinya tidak akan menyenangkan. Bahkan berada di dalam penginapan saja hawa dingin masih terasa menusuk tulang.Aksa mendengus. "Kenapa dia suka sekali melarikan diri waktu lagi kesal, sih? Dingin, tahu, kalau harus mencarinya di luar sana.""