Share

Bab 6

Pagi ini badan terasa pegal. Tidur sama sekali tidak nyenyak. Kulihat Lani masih tidur dengan posisi memunggungi. Biasanya jam segini dia sudah dengan rutinitas pagi. Memasak dan membersihkan rumah. Apa dia sakit. Kudekati dia dan kupegang dahinya. Masih normal menurutku. Mungkin saking capeknya dia masih tertidur nyenyak.

Selepas mandi aku mencari pakaian dinas. Lemari sudah kutelusuri dari atas sampai bawah belum juga ketemu. Dari jongkok sampai berdiri tidak membuahkan hasil. Terpaksa aku cari seragam kemarin yang sudah ada di tumpukan baju kotor.

Lani belum juga bangun, sementara perut bernyanyi minta diisi. Membuka kulkas hanya ada bahan mentah. Duh, bisa kambuh penyakit mag kalau ceritanya begini. Membangunkan Lani, aku tak tega. Ah, baru teringat kalau ada istri yang lain, kenapa tidak dari tadi sih. 

Menelepon Sofi rupanya butuh kesabaran. Sambil celingukan, kalau-kalau Lani terbangun. 

"Ya, Sayang?" terdengar suaranya yang serak.

"Sayang, sudah bangun? Mas ke sana ya? Buatin sarapan?" pintaku.

"Sarapan itu?" jawabnya manja.

"Hah? Haduh, pengen sih Yang, tapi jangan sekarang ya? Mas mau sarapan nasi, perut Mas keroncongan."

"Nggak ada! Minta buatin istri yang sana aja! Males kalau urusan masak nih!"

Tut, Tut, Tut...

Tanpa ba bi bu, sambungan telepon ditutup. Kugaruk kepala yang tak gatal. Karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Aku harus berangkat untuk apel. Cepat-cepat kusambar kunci motor dan gegas menuju tempat kerja.

Jam sepuluh malam aku masuk rumah dengan lemas. Perut terasa mual, badan meriang, kepala pusing. Sepertinya masuk angin. Tanpa melepas sepatu dan seragam aku langsung menuju kamar. Berbaring di ranjang dan memakai selimut. Rasanya dingin sekali.

Aku terbangun karena merasakan ada sesuatu di dahi. Aku meraba dahi, ada kain setengah kering yang menempel. Kulihat Lani tertidur dengan posisi duduk di sebelahku. Merasa ada gerakan, dia terbangun.

"Mas?" tanyanya khawatir.

"Aku kenapa, Dek?"

"Badan Mas panas sekali tadi, tapi menggigil."

"Kepala Mas terasa pusing, Dek."

"Mas pasti belum makan ya? Sepertinya magnya kambuh."

Aku mengangguk lemah. 

"Aku sudah buatkan bubur. Aku hangatkan sebentar."

Lani membawakan bubur hangat dengan teh manis. Dia menyuapiku dengan telaten. Kupegang tangannya kemudian mengecup sambil kuucapkan terima kasih. Dia hanya menjawab sudah menjadi kewajibannya. Selesai makan, dia memintaku untuk beristirahat kembali.

Pusing sudah berkurang, tapi mata sulit sekali terpejam. Lani belum juga masuk ke kamar sedari tadi. Pelan-pelan aku memaksakan diri untuk bangun. Lani termenung di meja makan. Tangannya menopang wajah, tapi pandangan kosong. 

"Dek?" Sapaku.

"Ya?" Lani kaget dengan kedatanganku.

"Kenapa nggak masuk kamar?" aku seret kursi dan duduk di sebelahnya.

Lani menatapku dengan tatapan aneh. 

"Mas, kenapa belum tidur? Kamu harus banyak istirahat." ucapnya.

"Mas belum bisa tidur, nunggu kamu."

"Tidur saja dulu, aku mau sholat malam." jawabnya dengan tersenyum tipis.

Iseng menunggu Lani, aku membuka hand phone yang seharian memang tidak begitu aku hiraukan. Dua puluh lima panggilan dari Sofi, dan beberapa pesan darinya yang aku lihat sudah terbuka. Mati aku. Aku menoleh ke arah Lani yang sedang khusyuk berdoa usai sholatnya. Bahunya berguncang, terdengar tangisan lirih dari mulutnya sambil mengucap Allah berulang kali. 

Ah, Laniku. Aku harus beralasan apalagi kalau sudah begini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status